Senin, 26 November 2012

Pada Bulan Merah, Akankah Kau Pulang?



Cerpen: Fakhrunnas M. A. Jabbar

Pelataran kecil di tepi laut itu kian rapuh dan ringkih. Ombak kecil masih berlarian. Saling mendahului dan berpacu. Teritip bertumbuh di tiap-tiap tiang kayu. Saling berhimpitan. Bak ukiran yang terpahat sendiri. Lengkung-lengkung berwarna hitam dan abu-abu di tiang-tiang itu membentuk mosaik yang begitu elok.

Di sela-sela mosaik itu selalu kulihat kilau kenangan bermunculan. Sekelebat wajah Zaini menyembul dengan senyum terkulum. Lelaki gagah dan berwibawa itu tak mudah lenyap dari pikiran dan perasaanku. Aku tiba-tiba jadi bergairah dan asyik-maksyuk tenggelam ke masa-masa silam itu. Cahaya lampu-lampu kapal di kawasan Pelabuhan Sri Bintan Pura bagai mengepung kesunyian. Memang, aku kian suka bersunyi-sunyi belakangan ini.

Meski boleh jadi aku datang bersendiri atau ditemani Zami, anakku satu-satunya --berusia sepuluh tahun-- buah pernikahanku dengan almarhum Usman. Seketika kutatap langit terbentang kala senja baru berlalu, warnanya kemerah-merahan. Biasanya, sebentar lagi bulan merah akan menggelantung di langit tinggi Tanjung Pinang. Sejak dulu, tak kutahu pasti kenapa bulan itu bisa berubah jadi merah saga.

Suasana begutlah pernah kulewati bersama Zaini. Lelaki berkulit agak gelap dengan kumis lebat yang pernah berikrar akan memperistri diriku. Aku selalu berbisik bangga pada lelaki itu bahwa dirinya adalah jelmmaan wira Melayu, Hang Jebat. Meski kemudian kutahu semangat kelelakiannya begitu jauh dari sosok sang wira.

"Pada bulan merah, aku pasti pulang!" hanya kalimat itu juga yang selalu terngiang di gendang telingaku. Kalimat itu juga yang diucapkan Zaini saat meninggalkan tanah Kawal yang merah terakhir kali.Butiran-butiran bauksit yang memerah ikut bersaksi malam itu. Zaini di usia belia --masa itu-- harus meninggalkanku. Ia hendak menimba ilmu di negeri Jiran Tanah Semenanjung Malaysia yang letaknya hanya berseberangan pulau saja.

Sampai penantian itu berbilang tahun --20 tahun hingga kini-- bagai kumbanng putus tali. Hilanng tanpa kendali. Andaikata pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalaupun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.

Amboi, Zaini begitu melekat dijiwaku. Padahal, selama dua puluh tahun itu, irama hidupku silih berganti. Aku sempat pula menikah dengan Usman atas paksaan Ayah dan Emak. Bahkan, hubungan pernikahan itu telah membuahkan Zamzami --orang-orang yang memanggilnya Zami--. Perkawinanku dengan Usman ditakdirkan tak berkekalan. Di usia Zami genap lima tahun, Usman mengalami kecelakaan feri. Ia tenggelam bersama puluhan penumpang lain di perairan antara Batam dan Bintan.

Meski hubungan cinta-kasihku dengan Zaini ditentang Ayah dan Emak --keduanya sudah almarhum dan almarhumah-- tapi kebengalan kami tetap saja tak mengapikkan kemarahan orang tua masing-masing. Kian hari, rasa cinta kami menghujam di lubuk hati yang terdalam. Sampai-sampai Zaini selalu mendendangkan pantun Melayu yang hingga kini tak akan pernah kulupa:

"Buah kelemak buah bidara
Sayang selasih diluruhkan
Buanglah emak buanglah saudara
Bila kekasih hati diturutkan


Biasanya bila Zaini sudah berpantun begitu, kami pasti tertawa bersama. Serasa diri kami bagaikan sepasang burung merpati yang sedang diamuk asmara. Sikap keras hati kami pula yang menyebabkan kisah cinta kami jadi buah mulut orang sekampung termasuk di sekolah kami.

Banyak hal yang membuat percintaan kami berkekalan di masa itu. Kami sama-sama menyukai sejarah. Titisan darah Melayu yang mengalir dalam nadi-nadi kami benar-benar menjadikan kami bagaikan Sultan dan Tuan Puteri yang bertahta di singgasana istana. Konon, diriku ini masih berkaitkelindan dan hubungan darah dengan pujangga Raja Ali Haji yang menghasilkan mahakarya Gurindam 12.

"Pada bulan merah, aku pasti pulang!" kalimat ringkas Zaini itu selalu berulang-ulang merajut kesunyian diriku. Bila aku sudah larut dalam lamunan yang ditingkahi debur ombak keputihan, tak kusadari aku bisa menghabiskan waktu setengah malam. Angin laut yang dingin tak mempan mengejutkan lamunanku.

"Mak, kenapa Emak suka bersunyi-sunyi di pelantar ini?" ucap Zami membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Amat gugup menatap mata Zami yang penuh ingin tahu.

"Apakah Emak teringat ayah?" selidik Zami dalam bahasa tanpa basa-basi.

Aku jadii teringat cara bertutur Zaini. Aku hanya bisa berdiam diri. Lamban. Tak bermaya.

Meski sebenarnya aku hendak berterus terang kepada Zami bahwa kerinduanku hanya semata kepada Zaini, lelaki yang tak pernah dikenalinya. Aku tak mungkin berterus terang pada Zami. Apa katanya bila sesungguhnya akumembayangkan seorang lelaki lain yang buukan ayah kandungnya. Tapi aku tak mungkin mengelabui hati dan perasaanku. Cinta-kasihku pada Zaini terpatri begitu dalam. Tak mungkin kulupa barang sekejap pun.

Ihwal Zaini sebenarnya bukannya tak pernah terbesut dari cerita-cerita orang sekampung yang juga merantau di Negeri Jiran itu. Tapi tak satu pun kisah-kisah itu yang bisa meyakinkan diriku. Seperti pernah dituturkan Wan Suib, sahabat karib Zaini setelah lima tahun kepergiannya.

Konon, Zaini yang menyeberang menuju Johor dengan menggunakan pompong yang mengangkut orang-orang Riau Kepulauan --masa itu-- sebagai TKI gelap, sempat disergap Polis Laut Diraja Malaysia.

Zaini bersama belasan orang yang tak begitu dikenalnya dijebloskan ke lokap. Sudah jamak jadi pembicaraan, barang siapa yang sempat masuk ke lokap itu pastilah mendapat perlakuan tak pantas.

Seperti yang dialami beberapa orang sekampung kami. Hasyim, Galib, dan Rajak yanng sempat disiksa selama ditahan di Negeri Jiran. Tahu-tahu waktu pulang terdampar di salah satu pantai Bintan yang tersuruk di ceruk-ceruk bakau. Keadaan ketiganya begitu memprihatinkan. Selain kondisi tubuh mereka yang jeging dan kumal juga senu atau hampir gila dan lupa ingatan. Memang tersebar luas di kampung itu, "pendatang haram" di Negeri Jiran biasanya diperlakukan tak manusiawi. Bahkan sampai-sampai disuntik "anjing gila."

Entah angin apa yang bertiup, Wan Suib, karib Zaini yang dulu menjadi tali-baut hubunganku dengan Zaini, bersama istrinya Zuleha, selepas Maghrib datang ke rumah. Aku terperanjat karena sudah lama sekali Suib tak bertandang.

"Ihwal apa yang awak bawa, Suib?" sambutku.

"Aku dapat kabar. Tapi boleh jadi ini kabar baik sekaligus kabar buruk," katanya. Wan Suib terbata-bata. Bagai menahan beban berat untuk berucap.

"Ihwal Zainikah?" desakku tak sabar.

Wan Suib mengangguk. Tak sabar aku mencecar dirinya. Tanganku seccara tiba-tiba mengguncang tubuh Suib. Aku betul-betul tak peduli pada Zuleha yang mendampinginya.

"Apakah Zaini sudah pulang? Di mana dia sekarang?" tanyaku tak habis-habisnya.

"Dengar dulu, Wan," sahut Wan Suib yang sejak dulu memanggil namaku Wan Zuraida. Wan Suib pun bercerita panjang lebar. Dirinya mengabarkan kepulangan Zaini beberapa hari lalu. Tapi kondisi Zaini begitu jauh berbeda. Ia pulang sudah jadi orang gila. Rambutnya kusut-masai. Ia benar-benar lupa ingatan. Tak seorang pun yang dikenalinya lagi. Benarlah kata orang bila sudah masuk lokap di Negeri Jiran itu, sudah bisa dipastikan tak akan selamat lagi.

"Sudahlah, Wan. Berdoa dan bersabar saja bagi kesembuhan Zaini," hanya kalimat itu yang bisa diucapkan orang-orang sekampung sekedar bersimpati pada diriku. Benarlah firasat burukku dulu bahwa kepergian Zaini ke negeri jiran hanya menjemput kenestapaan. Konon, kuperoleh cerita yang terpisah-pisah, Zaini tak sempat bersekolah apalagi bekerja karena ditangkap pihak polisi.

Meski hanya beberapa bulan di lokap tapi saat dirinya dilepas, kondisinya sudah senu. Hidupnya luntang-lantung di kawasan kebun sawit di Johor. Bahkan pernah pula ia terlantar di terminal bus Kuala Lumpur. Tak ada yang peduli. Hidupnya pun jadi orang usiran tanpa ada yang berbelas-hati. Tak banyak yang tahu bagaimana nasibnya selama belasan tahun lebih di rantau orang.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Hari-hariku masih selalu berharap agar Zaini kembali hidupseperti sediakala. Meski dokter jiwa memperkirakan penyakit gila Zaini sudah sangat kronis. Sulit disembuhkan. Tapi aku tak pernah menyerah. Meski kedengarannyaaku seolah-olah ikut jadi gila. Kucoba membawa Zaini ke pelantar kecil di tepi pantai yang pennuh kenangan itu. Kebetulan bulan merah bertahta persis di atas Pulau Penyengat. Kukisahkan sesukaku pada Zaini bagaimana bulan merah itu selalu jadi saksi percintaan kami. Aku bercerita lepas begitu saja bagai orang gila.

"Zaini, pada bulan merah ini, kau pulang. Masih ingatkah kau ucapkan janji itu?" ucapku tanpa berharap Zaini menyahut. Tapi selalu ada harapan dalam hatiku. Bolamata Zaini tampak menatap lama ke bulan merah itu. Meski tak kutahu apa maknanya. Zaini terbatuk beberapa kali. Ajaib. Kurasakan bolamatanya basah. Air matanya mengalir hangat yang hinggap di jemariku.

"Zaini....!! kupanggil namanya kuat-kuat. Berteriak sesukaku. Meski Zaini tetap bergeming. Terus saja kuberteriak. Berharap lelaki itu tersadar dan merajut kembali sisa kenangan yang lama berlalu.

Zainiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!" (*)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres,Minggu, 30 September 2012

Di Balik Jendela

Di Balik Jendela


Brak!!!

Klik!!!

Suara pintu berdentum keras di belakangku, diikuti suara anak kunci diputar. Pintu dikundi dari luar. Aku menarik napas panjang. Tanda kelegaan yang luar biasa. Beberapa detik kemudian aku masih terdiam, menunggu keadaan benar-benar aman.

Sret... sret... sret... suara sandal yang di seret menjauh dari pintu menyakinkanku bahwa bahwa pemiliknya sudah pergi. Kuayun langkah mendekati Alya, putri kecilku. Dia duduk di sudut. Meringkuk ketakutan dengan tubuh mengigil. Seingatku, setiap kali ayahnya ada di rumah, Alya lebih sering dalam posisi seperti itu. Ketakutan akan sosokk ayah ayah membuatnya menekuk tubuh seperti itu.

Kupeluktubuh kecil mungil itu. Di usianya yang hampir enam tahun, posturnya tak lebih besar dari anak berumur empat tahun. Rambutnya tipis, bahkan nyaris botak akibat sering di tarik-tarik. Tingkahh tidak seperti anak-anak sebayanya. Gadis kecilku itu mengalami keterbelakangan mental.

"Ngg... Gi? Aya.. gi?" tanyanya berulang-ulang.

"Iya, Sayang. Ayah sudah pergi."

Sesaat dia menatapku sebelum akhirnya asyik dengan boneka lusuhnya.

Kuedarkan mataku mengelilingi ruangan. Tempat ini begitu pengap dan dingin. Rasanya lebih tepat jika kukatakan lebih mirip gudang daripada rumah. Bagaimana tidak, satu-satunya sumber penerangan di malam hari hanyalah redp lampu di tengah ruangan. Di sana-sini berserakan pakaian kotor, piring bekas makanan, dan botol-botol bir bekas minuman Bayu suamiku.

Dulu, sesekali aku mencoba membereskan ruangan ini. Tetapi lama kelamaan kurasa tak ada gunanya, karena setiap kali Bayu datang, ia memorakkporandakannya lagi. Melemparkan segala macam barang kesana kemari hingga Alya ketakutan setengah mati.

Terkadang ulahnya bisa lebih parah lagi. Entah sudah berapa ribu kali dia menendang, memukul dan menjambakku. Tapi aku selalu pasrah menerima perlakuannya, selama diia tidak mengganggu Alya. Bila dia mulai menampar Alya, aku akan berteriak mencaci-maki agar dia mengalihkan perhatiannya kepadaku dan melupakan kekkesalannya pada gadis kecilkku itu.

Sudah sekitar tujuh tahun aku terkurung di sini. Sejak menikah dengannya duniaku menyempit menjadi hanya seukuran ruangan berukuran dua puluh llima meter di lantai dua ini. Saat Bayu tidak di rumah dia akan mengunci pintu dari luar. Meninggalkan aku dan Alya terpenjara di dalam.

Jendela ruangan inilah satu-satunya penghubungku dengan dunia luar. Aku senang berlama-lama di situ jika Bayu tidak sedang di rumah. Berjam-jam memandangi orang-orang tak kukenal yang lewat di depan rumah susun kami. Menyenangkan sekali melihat kehidupan dari balik jendela ini. Seperti pagi hari ini, ada seorang tukang sayur berhenti. Beberapa ibi langsunng mengerumuninya.

"Bawa sayur bayam nggak, Bang?" tanya ibu berbaju mmerah yang menggandeng anak lellakinya.

"Ada, Bu. Mau ambil berapa? Masih segar lo."

Boleh deh. Dua ikat ya, Bang. Buat anak saya, dia lagi senang-senangnya makan sayur bayam."

Sesekali mereka tertawa memdengar salah seorang dari mereka melontarkan kalimat-kalimat lucu.

Aku tersenyum sendiri, membayangkan seandainya aku ada di sana bersama mereka. Kalau saja hidup kami seperti mereka, mungkin aku pun bisa berbelanja sambil menggandeng Alya. Sayangnya, suamiku yang pemabuk dan ringan tangan itu tidak akan membiarkanku dan Alya berkeliaran. Alya yang cacat mental membuatnya malu mengakui bahwa gadis kecil itu adalah anak kandungnya. Dia sering menimpakan kesalahan padaku. "Dasar perempuan tak berguna! Pasti kau berselinguh dengan lelaki lain! Bisa-bisanya melahirkan anak cacat seperti itu," serunya.

Aku diam saja. Terbiasa dalam situasi seperti ini tidak membuatku tidak lagi banyak mengeluh. Bukannya aku tidak pernah memikirkan bagaimana caranya untuk melarikan diri dari tempat ini. Berulang kali aku sempat berpikir untuk kabur dengan berbagai cara. Namun selalu urunng kulakukan saat ingat bagaimana harus membawa kabur Alya dan menghidupinya di tengah kota sebesar Jakarta.

Jadi, aku biarkan apa saja dilakukannya padaku asalkan dia tidak menyentuh Alya. Memar dan ngilu di tulang hampir setiap hari kurasakan. Saking seringnya, aku bahkan mungkin tidak akan tahu bedanya jika ada salah satu tulangku yang patah atau tidak.

Pkiranku melayang ke peristiwa bertahun-tahun lalu. Ketika itu kami masih pacaran. Tak henti-hentinya Bayu meminta uang hasil kejaku setiap lkali aku menerima gaji. Seharusnya saat itu juga aku harus bahwa Bayu bukanlah calon suami yang baik. Tapi entah mengapa aku selalu luluh setiap kali dia memohon-mohon maaf dariku sehabis memaksaku memberikan uang, membentak atau mencaciku. Bagai debu tersapu hujan, aku pun melupakan kesalahannya.

Kini setelah hampir tujuh tahun perangainya semakin mennjadi buruk saja. Terkurung di dunia sempit membuatku lupa berharap untuk bisa keluar dari kekacauan ini. Aku si bungsu dalam keluarga yang selalu dimanjakan oleh kakak-kakakku, kini harus bisa bertahan hidup demi Alya. Tidak ada kakak dan orang tua yang bisa melindungiku seperti dulu. Mungkin mereka pun tidak tahu apakah aku hidup atau mati, karena selama aku menikah tidak pernah sekalipun aku bisa menghubungi mereka.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Kilatan pisau beradu dengan sinar matahari membuat mataku silau. Sontak aku memekik kaget ketika melihat Alya memegang pisau itu.

"Alya! Lepaskan pisau itu, Nsk!" pekikku khawatir.

Alya tertawa-tawa dengan pisau dalam genggamannya. Mungkin baginya pisau itu mainan baru yang menyenangkan. Dimainkannya pisau itu hingga membentuk kilauan sinar di dinding.

"Bu.. liat... liat..." ucapnya kegirangan.

Aku berusaha merebut pisau itu dari genggamannya.

"Jangan, Nak! Sini.. berikan pada ibu."

"Aa..! Gak au..! Alya berusaha menghindar dariku. Aku semakin jadi khawatir karenanya.

"Nak, jangan main-main dengan pisau, berbahaya!" Mendengar aku berteriak, Alya semakin keras melawan. Dia berlari sementara aku mengejarnya.

Kres!!!

Darah menetes di mana-mana. Aku terpaku. Menatap tanganku yang berlumuran darah.

"Tidaaaaaaak...!!!" teriakku.

Aku terbangun dengan napas terengah. Ternyata hanya mimpi. Aku bersyukur dalam hati.

Sinar matahari menerobos lubang di jendela. Aku menggeliat sebentar, meneliti sekeliling ruangan yang tampak sama seperti kemarin. Bayu pasti tidak pulanng semalaman, pikirku. Betepa senangnya aku jika Bayu tidak pulang hingga berhari-hari lamanya. Sebagai istri seharusnya aku mengharapkannya pulang. Tetapi hari-hari gelap yang telah kulalui selama ini membuat hatiku beku. Sejak ia memperlakukanku tanpa belas kasih, aku tak lagi mengharapkannya pulang.

Kulihat Alya masih tertidur meringkuk bagai kucing di tikar. Dengkuran halus terdengar sesekali. Aku beranjak dari tempat tidur berjalan menuju meja makan yang penuh dengan remah-remah roti. Hanya sedikit yang tersisa di meja itu. Tiga potong roti tawar dengan beberapa pisang. Kadang Bayu pulang membawa makanan entah dari mana.

Sambil mengunyah roti aku teringat mimpiku tadi malam. Mimpi buruk. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku bermimpi indah. Rasanya sejak tiba di tempat ini, mimpiku selalu buruk.

Kupandangi Alya lagi. Jika bukan karena Alya, mungkin aku tidak akan bisa bertahan di sini. Membuat Alya ikut hidup menderita adalah penyesalan terbesarku. Karenanya, aku berjanji dalam hati untuk selalu melindunginya.

Jangan khawatir, Nak. Ibu akan selalu menjagamu, bisikku padanya.

Khawatir langkahku akan membangunkannya, pelan-pelan aku mennuju jendela. Betapa rindunya aku melihat dunia luar. Kemarin Bayu seharian berada di rumah. Bila dia berada di rumah, aku tidak akan bisa sekedar melongok ke luar jendela. Dia akan murka hanya karena aku memiliki dunia sebesar jendela itu.

Kubuka lebar-lebar daaun jendela tersebut. Udara pagi menyeruak masuk ke dalam hidungku. Kuhirup dalam-dalam aroma dunia luar yang tidak pernah nyata aku rasakan lagi. Di bawah sana terlihat beberapa anak sedang berangkat sekkolah. Sebagian diantar oleh ibunya, sebagian lagi berkelompok dengan teman-teman sebayanya. Mereka bersanda-gurau, sesekali suara tawa mereka terdengar di telingaku.

Aku tersenyum. Sungguh berbeda kehidupan di luar sana. Meski hanya dibatasi sebuah jendela, kehidupanku di sini kontras sekali. Di balik jendela ini aku bisa sedikit merasakan kehidupan luar. Ini membuatku sejenak melupakan derita yang kurasakan. Bagaimanapun, sejak aku terpenjara di dalam rumah, tidak pernah sekkalipun aku berbincang dengan orang lain kecuali dengan Alya yang tidak mengerti betul apa yang kukatakan.

Tetangga-tetanggaku bahkan mungkin tidak akan tahu kalauada aku di dalam salah satu ruang di rumah susun ini. Tentu saja. Maklum, hampir setiap waktu pintu rumah terkunci dari luar, sementara jendela pun hanya sesekali kubuka saat Bayu tidak berada di rumah. Orang-orang di luar sana juga tidak akan tahu apa sebenarnya terjadi di balik jendela ini.

"Bu... bu..." suara Alya membuat lamunanku buyar.

"Ada apa, Nak?"

"Na.. ik.. Itut, Bu....," katanya terbata-bata ingin ikut naik di atas kursi yang kududuki. Kuangkat tubuh mungilnya ke pangkuanku. Dia lalu melonjak-lonjak kegirangan melihat beberapa anak kecil berkejar-kejaran di depan rumah susun.

Aku memandangi Alya dengan dada sesak. Ada sesal yang mendesak-desak ke luar rongga hatiku. Betapa sayangnya aku pada Alya. Rasanya, apa pun akan kulakukan untuk membahagiakannya.

Tubuh Alya tiba-tiba mengerut, membuatku terkejut.

"Kenapa, Nak?"

"Ng.. ng.." ucapnya takjelas. Mata bulat yang tadiya berbinar ceria mendadak berubah. Ketakutan jelas terpancar dari mata itu.

Aku tersadar, sekilas kulihat ke bawah, tampak Bayu sedang berjalan bersama seorang perempuan cantik. Mereka bergandengan tangan bak sepasang kekasih. Belum pernah aku melihat Bayu berjalan dengan seorang perempuan. Tapi hatiku benar-benar sudah beku. Rasanya aku tak perduli lagi apakah dia akan berselingkuh atau tidak.

Tiba-tiba Bayu menatap ke atas. Tepat pada saat aku melihatnya dari jendela. Buru-buru kututup daun jendela setelah Bayu menatap geram ke kami. Tubuh Alya semakin meringkuk dipangkuanku. Tidak hanya Alya yang ketakutan, aku pun demikian. Belum pernah sekalipun Bayu memergoki kami sedang membuka jendela di saat dia tidak ada di rumah.

Sret... sret.. sret...

Suara langkah kaki terdengar mendekati pintu.

Dia datang! Dia datang!

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Sedemikian takutnya aku sampai-sampai tanganku bergetar hebat. meski telah sering mengalami perlakuan buruk darinya,, entah kenapa perasaanku mengatakan ini akan lebih buruk dari yang sudah-sudah.

Kupeluk Alya erat-erat. Kami berdua lalu meringkkuk di pojok ruang seperti yang biasa kami lakukan jikka Bayu datang.

Brak!!

Pintu terbuka lebar. Bayu masuk dengan langkah terhuyung. Dengan sebelah tangan dibantingnya lagi pintu itu kembali.

Brak!!!

Dia lalu menuju ke arahku dan Allya.

"Sudah kubilang jangan pernah membuka jendela! Berapa kali harus akku katakan, heh!" bentakknya tepat di wajahku. Bau alkohol langsung tercium.

Sudah kuduga dia pasti mabuk, pikirku.

Matanya yang merah menghujam mataku. Kurengkuh bahu Alya erat-erat. Sementara Alya menggigil ketakutan.

"Kau tahu apa akibatnya jika melanggar perintahku?!!"

Bayu mengangkat daguku tinggi-tinggi. Tangannya yang kasar dan kuat menampar wajahku berkali-kali hingga aku ajtuh tersungkur. Kepalaku terasa pusing. Samar-samar kulihat Bayu menghampiri Alya.

Aku berusaha bangkit. Saat itu hanya satu hal yang ada di dalam pikiranku. Menyelamatkan Alya.

Alyaku sayang, jangan sampai Bayu menyakkitimu! Pekikku dalam hati.

Bayu menarik rambut Alya hingga Alya menjerit kesakitan.

"Hei, ternyata kamu cantik juga ya?" gumam Bayu sambil mengamati Alya. Si pemabuk itu mulai mengucapkan kata-kata yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Krek!!!!

Disobeknya baju Alya dengan paksa hingga dadanya terlihat. Kulitnya yang putih mulus sedikit kemerahan karena tercakar. Alya semakin kencang memanggilku.

Tuhan, apa yang akan dilakukannya?

Terhuyung-huyung aku berjalan ke arah mereka. Tapi Bayu kembali menamparku hingga aku terjatuh. Kekuatannya sungguh luar biasa. Aku tahu dalam keadaaan mabuk seperti ini dia bisa melakukan apa saja. Tapi aku harus menolong Alya. Alya adalah hidupku! Alyalah kebahagiaanku!

Mataku menangkap sebuah benda berkilat di atas meja. Tanpa pikir panjang aku ambil beda itu dan berjalan terhuyung menuju Bayu.

Kress!!

Darah menetes di mana-mana. Memenuhi lantai, baju dan tanganku!

Sinar matahari menerobos masuk dari celah jendela mengenai benda berkilau di tanganku. Kulihat gunting di dalam genggamanku. Penuh dengan lumuran darah, seperti dalam mimpiku. Aku seperti mengalami deja vu

__________________________________



Sumber: KARTINI

Kamis, 22 November 2012

Pengalaman Mengobati Putri Penguasa Gaib Bukit Zamzaya

Pengalaman Mengobati Putri Penguasa Gaib Bukit Zamzaya
Oleh :Agus Siswanto

Kisah ini tergolong aneh. Selain sulit di terima akal sehat, juga jarang terjadi pada manusia. Tapi pada kenyataannya, kisah ini memang benar-benar terjadi. Sebagaimana dituturkan Ki Joyo Agung kepada Misteri.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



KISAH ini terjadi pada saat aku sedang berdzikir selepas melaksanakan shalat tahajjud. Entah kenapa, malam itu udara terasa panas, sehingga untuk melanjutkan dzikir, telah membuatku harus pindah posisi dari dalam kamar keuang tamu. Sekitar settengah jam berdzikir, tiba-tiba saja ada hawa dingin yang datang menerpa. Aku mulai merasakan keanehan, sebelumnya udara terasa begitu menyengat, mengapa sekarang tiba-tiba mendadak berubah dingin?

Namun aku tak mau terganggu, meskipun tahu akan ada sosok gaib yang ingin bertemu. Tetapi hawa dingin ini terasa asing, tidak seperti hawa sahabat-sahabat gaibku yang biasa datang berkunjung. Aku langsung memejamkan mata lebih mengkhusyukkan diri dalam menyatukan pikiran dalam memuji-Nya. Ketika mata baru saja dipejamkan, kembali hawa dinginn menerpaku. 'kali ini terpaannya agak lama, seakan mengganggu tafakurku.

Aku sengaja tidak memperdulikan hawa dingin tersebut. Tapi semakin aku diamkan, hawa dingin tersebut semakin malah semakin kencang menerpa hingga membuat gorden dan beberapa perabot di ruang tamu menjadi bergoyang. Seiring terpaan hawa dingin tersebut, sayup-sayup terdengar suara halus memanggil, "Des bagus... denn bagus." Suara itu semakin jelas terdengar dan seakan memenuhi ruang tamu.

Aku yang merasa terusik dengan sedikit kesal berkata, "Tolong jangan menggangguku. Kalau memang ingin bertemu, datang secara baik-baik dan tunjukkan wujudmu yang sebenarnya.

Setelah bberkata begitu, aku pun terus melanjutkan dzikir sambil memejamkan mata. "Selamat malam, Den bagus. Saya ada di sini di depan Anda."

Seketika aku merasakan hawa dingin yang sangat menusuk dari arah depan. Dengan memantapkan hati, pelan-pelan kubuka kelopak mata. Karena tak ingin kelihatan terkejut dihadapan makhluk halus tersebut, aku pun berdo'a, "Ya Allah kuatkan dn lindungilah hamba dari makhluk yang datang ini."

"Allahu Akbar!" Teriakku dalam hati, karena kaget melihat makhluk yang ada dihadapanku. Namun, kekagetanku cepat-cepat kusembunyikan.

Terlihat sosok anggun dan cantik. Aku mengetahui makhluk itu dari jenis kuntilanak. Karena tak ingin tergoda, maka, aku langsung menanyakan maksud kedatangannya. "Ada apa malam-mlam begini berkunjung menemuiku? Kalau sekedar ingin berkenalan, sebutkan siapa Anda dan asal usul Anda. Setelah itu pergi dari sini. Saat ini waktunya tidak tepat. Aku sedang berdzikir dan lain kali kalau kalau mau bertemu beritahu dulu... ya," kataku dengan nada agak ketus.

Sejenak kulihat kuntilanak itu terdiam dan ragu-ragu untuk mengutarakan maksudnya. Dengan sorot mata tajam, dia terus menatapku dan tiba-tiba menitikkan airmatanya.

"Ya Allah, saya sudah menyakiti hatinya," kataku dalam batin. Melihat keadaan itu, aku menjadi kasihan dan barkata, "Maafkan... aku telah membuatmu bersedih. Katakanlah apa maksudmu. Aku akan mendengarkan dan kalau kamu ada keperluan, Insya Allah aku akan membanntumu."

Setelaah mendengar jawabanku, kuntilanak itu pun tersenyum.

"Namuku Gendawari, Penguasa Bukit Zamzaya. Adapun maksud datand ke sini inginn minta bantuan kepada Den Bagus. Tapi Dan sebelum kulanjutkan, boleh aku bertanya apa benar Den Bagus yang bernama Ki Joyo Agung? Kalau diizinkan boleh saya panggil Den bagus dengan nama itu?" kata Gendawari membuka percakapan.

Astaga! Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Bukit Zamzaya? Di mana tempatnya? Dan dari mana dia tahu namaku?

"Lanjutkan ceritamu dan terma kasih telah mengenal saya," jawabku seolah tidak tertarik dengan kedatangannya.

Gendawari melanjutkan ceritanya, "Sejak beberapa bulan ini, anakku sakit. Aku tak tahu apa penyakitnya. Aku sudah kemana-mana berobat, namun penyakitnya tidak kunjun sembuh. Terus aku diberitahu untuk menemui Ki yang bisa mengobati. Dan apabila berkenan, sebagai balasannya aku akan mengabdi pada Ki Joyo seumur hidup."

Usai berkata begitu, Gendawari terdiam sambil menunggu reaksiku selanjutnya. Aku bingung dan terpana seakan tak percaya pada apa yang tengahh kualami.

"Maaf aku hanya manusia biasa yang tidak mempunyai kuasa seperti itu. Kalaupun aku mampu itu hanya kepada manusia, belum pernah kepaa makhluk gaib seperti Nyi Gendawari ," kataku jujur menjawab prmohonannya.

"Tolong Ki. Anak saya sangat parah keadaannya. Saya rasa Ki dapat mengobatinya," ujar Gendawari seperti menangis.

Kembali aku tak tega melihat ekspresi wajahnya dan barkata, "Baiklah aku akan berdoa dul memohon petunnjuk-Nya. Kalau bisa, maka, akan ku bantu. Tapi kalau tidak bisa mohon dimaafkan, karena kecuali Allah SWT, setiap makhluk punya keterbatasan."

"Silahkan, Ki. Aku juga bredoa agar Ki diberi kekuasaan itu," ujar Gendawari mengharap.

Aku pun memejamkan mata sambil berdoa, "Ya Allah, hamba tidak tahu apa yang Kau hadapkan pada hamba sekarang ini. Namun hamba tahu, di balik semua ini ada hikmah besar yang Kau berikan pada hamba. Untuk itu, mohon berilah petunjuk, tuntunan dan kekuatan yang datangnya hanya dari-Mu."

Setelah selesai berdoa, aku pun berkata pada Gendawari ," Silahkan bawa kesini anakmu, Insya Allah aku bissa membantu."

Sambil tersenyum bahagia, Gendawari menoleh ke belakang dan berkata, "Bawa anak kita. Ceptlah dia mau diobati."

Tak lama kemudian muncul dihadapanku dua makhluk. Yang satu tinggi besar dan yang satu makhluk kecil di dalam pangkuannya. Belum habis keterkejutanku, Gendawari berkata lagi, "Ini suamiku. Namanya Lauberdah dan ini anakku. Lihatlah keadaannya sangat parah sehingga harus dipangku bapaknya."

Tanpa banyak bicara, Lauberdah menurunkan anaknya dan meletakkannya dihadapanku.

"Saat aku mengobati, kalian juga harus berdoa dan memohon untuk kesembuhan anakmu," pintaku. Mereka menganggukkan kepala dengan perasaan haru dan cemas melihat keadaan anaknya yang lemah dan tak berdaya itu.

Tanpa membuang waktu, aku merapalkan amalan Ilmu Sepuluh Malaikat, sambil memohon agar diberikan kemampuan oeh Sang Pencipta. Kemudian kuusap dengan perlahan mulai dari kepala hingga kaki menarik keluar ppenyakit anak Gendawari.

Setelah usapan yang ketiga, aku pun berkata dengan sedikit berteriak, "Waras kau dan banngkitlah!"

Alhamdulillah. Dengan ridho dan rahmat-Nya, anak Gendawari langsung duduk dari tidurnya sambil menampakkan wajah ceria layaknya anak manusia yang lucu. Sesaat kemudian, Gendawari memeluk anaknya sambil menangis haru penuh bahagia diikuti suaminya.Melihat situasi ini, hatiku jadi tersentuh, turut larut dalam keharuan. Ya Allah, jangankan manusia, makhluk halus ternyata juga mempunyai rasa kasih sayang terhadap anaknya.

Terkadang kita harus merasa malu, karena di kalangan manusia banyak orag tua yang menelantarkan anaknya. Bahkan tega membunuh dengan cara mengugurkan dan dibuang dengan alasan takut aib terbuka dan tidak mau menanggung malu.

Aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hikmah padakudari peristiwa ini. janganlah sekali-kali menyia-nyiakan anak. Karena dia merupakan titipan yang diberikan Allah kepada kita sebagai orang tua. Kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban mengenai harta kita, termasuk anak-anak kita.

Setelah larut dalam keharuan, Gendawari berkata kepadaku, "Terima kasih, Ki telah mengobati anakku hingga bisa sehat seperti semula."

"Jangan berterima kasih kepadaku, tapi berterima kasihlah kepada Tuhan yang telah mengabulkan permohonanmu," ujarku memotong perkataannya.

"Sebenarnya apa yanng terjadi pada anakku, Ki? Dan penyakit apa yang diderita sehingga keadaannya saangat parah?" Tanya Gendawari dengan nada penasaran.

"Anakmu pernah bermain jauh dari lingkungan kalian, bahkan lupa pulang. Karena bingung, dia sempat menyakiti anak manusia," kataku menjelaskan.

"Orangtua anak itu pun memanggil orang pintar untuk mengobati. Orang pintar itu lalu memaksa anakmu pergi dengan sangat kasar. Sehingga anakmu yang idak kuat akhirnya jatuh sakit," lanjutku menguraikan penyebab sakitnya anak Gendawari.

Gendawari dan Lauberdah mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan penuturanku. Selanjutnya, Gendawari berkata, "Sekali lagi saya dan suami serta segenap rakyat Bukit Zamzaya mengucapkan terima kasih kepada Ki atas bantuannya tadi," katanya.

"Saya juga berterima kasih karena telah dipercaya untuk membantu kalian," jawabku.

Kemudian Gendawari berkata pada Lauberdah suaminya, "Bawa pulang anak kita dan janngan biarkan berain terlalu jauh." Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, Lauberdah menghilang daeri pandanganku sambiil menuntun anaknya pulang ke alamnya.

Selanjutnya Gendawari berkata lagi kepadaku, "Sesuai janjiku tadi, maka aku rela mengabdi kepada Ki Joyo seumur hiduup."

Belum sempat kujawab, tiba-tiba sosok Gendawari menghilang ditutup asap tebal. Aku sampaimenutup mata dan hidung karena tidak tahan dengan asap tersebut. Setelah asap mulai menghilang, aku pun berteriak memanggilnya, "Nyi Gendawari, engkau ada di mana?"

Tiba-tiba terdengar suara, "Aku masih di hadapanmu Ki. Sebagai bentuk pengabdianku, maka, aku sengaja mengubah wujud mennjadi keris."

Astaghfirullahaladziim. Seketika aku langsung melihat ke lantai tampak sebilah keris hitam berwarna kusam, tanpa gagang dan sarung. "Nyi Gendawari. Engkau tidak perlu berbuat seperti ini terhadapku. Sebab hanya kepada Allah kita wajib mengabdi," ujarku di antara kebingunganku.

"Tidak apa-apa Ki. Aku sudah berjanji dan ikhlas melakukannya. Karena seperti yang diberitahu kepadaku bahwa Ki mempunyai jiwa yang tulus dan ikhlas, maka, aku pun juga tulus melakukannya," Sahut Gendawari memotonng perkataanku.

Aku terharu mendengar perkataannya. Aku pun hanya bisa terdiam tidak berusaha membalas ucapannya. Karena kupikir percuma juga membantahnya, ya, semua kuserahkan hanya kepada Allah semata.

Hingga kini, keris yang merupakan penjelmaan Gendawari itu masih aku simpan di tempat tersembunyi. Aku tidak ingin keris itu jatuh ke tangan orang yang nantinya dapat menyusahkan atau malah memperbudak orang.

Demikianlah, sekelumit penngalaman mengobati putri penguasa gaib Bukit Zamzaya. Meski tidak pernah mengetahui di mana letaknya, tapi aku merasa bersyukur pernah mengobati makhluk Tuhan dari alam lain. Semoga kisah ini ada manfaatnya.

SUMBER : Misteri Edisi 452, Tahun 2008

Dua Wanita Meninggalkan Aku

Dua Wanita Meninggalkan Aku

Rani tidak salah. Yang salah adalah aku karena telah menduakannya. Aku tahu sejatinya cintaku telah tertambat dengan Ria, wanita yang aku kenal selama empat tahun, tapi aku malah membagi cintaku dengan wanita lain. Akhirnya aku harus kehilangan dua wanita yang kusayangi itu. Kini hanya penyesalan yang tiada habisnya. Sekilas Kisah Jodoh tadi dituturkan Saudara Anton yang tiga bulan lalu harus kehilangan dua wanita yang dicintainya, hal itu dikarenakan Anton ketahuan berselingkuh.



Sekarang aku bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi. Dipercaya memegang sebuah jabatan, aku pun punya penghasilan cukup untuk jika kelak sudah berumah tangga.

Sebenarnya aku sudah mendapatkan wanita itu, tapi aku tak pandai bersyukur dan mengkhianati cinta tulus itu. Aku juga sudah menyakiti perasaan Reni dan begitu mencintaiku.

Aku tahu kebodohan yang terbesar adalah mudah sekali untuk jatuh cinta. Selama ini aku seringkali iseng menggoda wanita, tapi tidak pernah mau serius karena aku sudah punya Ria. Ria pun sudah kuikat dengan pertunangan. Aku termasuk tipe lelaki playboy. Sebenarnya sifat itu merugikan diri sendiri karena setiap kali dekat dengan wanita aku selalu saja melimpahi mereka dengan materi. Karena itulah banyak wanita yang suka padaku. Hingga akhirnya aku tak bisa main-main lagi.

Aku berkenalan dengan wanita asal Kota Kembang, Bandung. Namanya Reni. Dari awal perkenalan saja aku sudah langsung jatuh hati padanya. Selain cantik, Reni juga tipe wanita penyayang. Itulah yang membuat aku jadi tergila-gila padanya dan lupa kalau aku sudah memiliki Ria, yang sudah menjadi kekasihku hampir empat tahun.

Kekuatan cintaku mulai goyah aku ingin memiliki Reni. Berbagai tipu muslihat aku lakukan untuk menutupinya dari Ria. Aku sungguh-sungguh mencintai Reni, tapi aku juga tidak bisa melepaskan Ria, akhirnya kujalanin cinta segitiga. Baik Reni dan Ria tidak tahu kalau sudah diduakan.

Awalnya tak ada kesulitan sama sekali, tapi lama kelamaan mulai kesulitan untuk berbohong kepada mereka berdua. Dan tak terasa hubungan terlarang bersama Reni hampir memasuki satu tahun, dan itu juga yang mengakhiri kisah cinta di antara kami berdua.

Hubunganku dengan Reni diketahui Ria. Ria melabrak Reni di tempat kerjanya. Aku merasa iba dengan Reni, karena dipermalukan Ria di depan teman-temannya. Aku pun khilaf lalu menampar Ria, agar tidak berteriak-teriak lagi memaki Reni.

Usai kejadian itu aku berusaha mendekati Ria dan memberikan pengertian, tetapi Ria merasa terhina terutama keluarga besarnya. Ria memutuskan pentungan kami. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, apalagi mereka juga melaporkan aku ke pihak berwajib karena tindakan kasar yang telah aku lakukan.

Sedangkan Reni saat itu juga tak mau lagi menerima telpon ataupun bertemu. Hanya ingin minta maaf saja, Reni tak mau. Reni juga minta aku untuk menjauhi dirinya, kalau tidak dia akan melaporkan aku ke pihak berwajib. Dua orang wanita yang kuharapkan bisa menjadi pendamping tak bisa ku miliki satu pun juga. Kini yang ada hanya penyesalan terdalam dari lubuk hati. Jika waktu masih bisa diulang aku ingin kembali memperbaiki hubunganku dengan Ria dan ingin menjadi pria yang setia. (*)

Sumatera Ekspres, Minggu, 1 November 2009

Rabu, 21 November 2012

Cinta Merdeka

Cinta Merdeka
Cerpen: Maspril Aries

Kata-kata perintah yang berwibawa dari Kapten Pandji tadi siang masih bergaung di telinga. Gemanya bermain-main dalam gendang telingaku bersama hembusan angin malam yang dingin. Di depanku Sersan Musa melangkah sambil membungkukan badan mendekati dinding tinggi yang catnya sudah luntur dan berlumut

* * * * * * * * * * * * * * *



Perintah Kapten Pandji tadi siang bermain di batok kepalaku. "Sersan Tanto, kamu bersama Sersan Musa mendapat tugas menghantam markas Benteng Tangsi itu dari arah belakang!"

"Siap Komandan," jawab kami bersamaan.

"Merdeka!" teriak semua anggota pasukan.

Dinding Benteng Tangsi itu sekarang ada di depanku. Dinding itu tingginya dua meter dengan kawat berduri di atasnya.

Operasi penyerbuan dimulai. Musa naik ke atas pundakku Dengan tang yang sudah disiapkan. Musa memotong kawat berduri pelindung Benteng Tangsi. Dengan tali yang kami bawa, aku merayap dinding, naik menyusul Musa yang sudah lebih dulu berada dibalik dinding, di dalam Benteng Tangsi. Sekarang kami sudah berada di dalam Benteng Tangsi.

Malam semakin tinggi, sunyi dan mencekam. Dari pos penjagaan depan terdengar serdadu Belanda yang bernyanyi dengan irama tak menentu. Di tempat lain, suara janngkrik malam ikut meningkahi. Kami terus mendekat markas dengan mengendap-endap.

Kulihat jam tangan di remang cahaya bulan, tinggal dua menit lagi. "Siap," bisikku kepada Musa dengan mengacungkan dua jari tangan kanan.

"Merdeka!" bisik Musa dengan tangan kanan terkepal ke atas.

"Merdeka!" balasku.

Taarrr.... taarrrrt.... taarrrrr..... suara senapan para Pejuang Republik mulai menyalak memecahkan kehingan malam dan menghentikan nyanyian tak merdu para tentara Belanda. Kemudian suara tembakan mulai saling bersahutan dari beberapa sudut.

Duaaaaaarrrr......

Duaaaaarrrrr..... dua ledakan granat tangan aku dan Musa lemparkan meledak bersamaan menghantam salah satu bangunan yang ada di Benteng Tangsi. Ledakan itu memunculkan percikan apik dan disusul suara tembakan senjata api yang ditujukan ke arah tempat kami bersembunyi. Kami berlindung dan membalas tembakan itu.

Sudah hampir satu jam pertempuran terjadi. Pasukan Belanda yang berada di Benteng Tangsi hampir dapat dikalahkan. Mereka berusaha bertahan, tembakan balasan dari bangun yang ada di dalam benteng hanya terdengar sesekali saja. Sudah dua jam, namum markas Benteng Tangsi belum bisa dikuasai.

Dari arah utara terdengar suara mesin kendaraan berat mendekati Benteng Tangsi. Sebuah panser mendahului iring-iringan kendaraan pasukan Belanda datang.

Daaarrrr...... daaaarrrrrr...... dua ledakan terdengar dari arah depan Benteng Tangsi.

Kemudian terdengar teriakkan Kapten Pandji, "Mundur!!"

"Mundur!!" diikuti teriakan yang lain.

Aku dan Musa beringsut mundur dari empat kami bersembunyi sambil terus menembakan senjata ke arah markas. Musa membopongku melewati dinding Benteng Tangsi tempat kami masuk tadi. Musa menyusul dengan tali yang kujulurkan ke bawah. Kami melompat ke bawah.

Kami berlari terus menembus kegelapan malam. Musa berlari di depanku. Suara ledakan mortir terus diarahkan kepada Pejuang yang masuk ke kebun-kebun penduduk. Dari belakang kami suara senapan mesin terus terdengar. Dengan jatuh bangun kami berusaha menjauhi Benteng Tangsi.

"Aduh!" pekikku asetelah berada jauh dari markas tentara Belanda itu. Aku terjatuh, pahakku terasa perih, , kuraba paha kiriku, ada aliran hangat mengalir di situ. Aku tertembak. Aku berusaha bangkit tapi rasa perih dipahaku semakin menusuk. Aku tersungkur kembali. Aku terus berusaha bangkit dan terus merayap di gelap malam menyeruak rimbunnya semak belukar.

Aku harus menjauhi markas penjajah jahanam itu. Aku tidak ingin tertangkap. Aku paksakan berdiri dan melangkah dengan tertatih-tatih. Di kejauhan suara tembakan semakin berkurang. Bajuku sudah basah oleh keringat. Aku menoleh ke belakang, markas Benteng Tangsi itu sudah hilang tertelan gelap malam. "Aduh," aku meringis menahan rasa perih. Mataku nanar, di sekitarku terlihat semakin gelap dan hitam.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Ketika kubuka mataku, aku sudah berada dalam sebuah ruangan. Badanku terbaring di atas dipan bambu beralaskan tikar. Sinar matahari masuk menerobos dari celah dinding bambu ruangan itu. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan sepi. Di mana aku sekarang? Aku berusaha bangkit. "Aduh," desisku menyeringai kesakitan. Aku terbaring lagi. Kupejamkan mataku menahan rasa sakit yang belum juga hilang.

Dari balik dinding bambu yang dianyam ke dengar suara langkah mendekat. Mataku arahkan ke pintu> Seorang perawat melangkah masuk dan mendekat ke arahku. "Jangan bergerak dulu, luka bung baru saya obati," katanya lembut.

"Terima kasih," jawabku.

"Tapi kalau boleh saya tahu, sekarang saya dimana?"

Dia tak langsung menjawab. "Sebentar," katanya terus berlalu meninggalkanku. Kemudian kembali lagi dengan membawa sebutir tablet dan berdiri di sebelah tempatku berbaring.

"Minum dulu obat ini," katanya lembut dengan nada memerintah sambil menyodorkan sebutir tablet.

Aku menerimanya. "Tolong beritahu dulu, di mana aku sekarang?"

"Minum saja dulu, nanti saya ceritakan." Dia membantuku menelan obat yang diberikannya tadi.

Kemudian dia mulai ceritanya. "Pasukan tadi pagi menemukan bung tergeletak di semak-semak di pinggir sungai. Bung sudah sejak semalaman pingsan. Luka bung cukup banyak mengeluarkan darah. Sekarang bung dirawat di rumah sakit Sektor Selatan."

"Saya ucapkan terima kasih atas perawatan......, maksud saya siapa nama nona?" kataku. "Nama saya Hartanto dan teman-teman memanggil saya Tanto."

"Nama saya Kartini," jawabnya lembut.

"Lebih baik bung Tanto istirahat saja dulu." Kartini terus melangkah keluar ruangan. Memang aku merasa lelah, rasa kantuk menggantung di mataku. Aku tertidur sampai kemudian aku dikagetkan suara langkah sepatu yang berlari dan diikuti dengan teriakan. Kartini berlari masuk, di pundaknya memanggul senjata api.

"Ada apa?" tanyaku.

"Mereka datang," jawabnya singkat.

"Mereka siapa?"

"Penjajah biadab itu."

"Pasukan yang lain mana?" tanyaku.

Kartini tidak menjawab pertanyaanku. Ia terus menguak dinding banbu yang sengaja dijadikan jendela untuk mengintai. Gerakannya cepat dan sigap, menunjukkan bahwa ia terlatih baik. "Anak-anak dan perempuan sudah diungsikan ke hutan dan yang lain menghadang di lereng bukit sebelah Barat. Sudah sejak siang tadi mereka bersiap menghadang kedatangan Belanda-Belanda itu," katanya tanpa menoleh kearahku.

"Dari mana mereka tahu kalau Belanda akan datang menyerang, dari mana mereka tahu tampat ini?" tanyaku.

"Satu atau dua hari setelah penyerangan pada setiap markas Belanda di mana pun, pasti akan datang serangan balasan untuk menghancurkan markas Pejuang Republik. Mereka pikir setelah melakukan penyerangan para pejuang pasti akan bersenang-senang. Mereka mendapat informasi tentang tempat ini dari mata-mata, bangsa kita sendiri yang tega mengkhianati bangsa dan saudara-saudaranya."

"Sebagai cara balas dendam mereka," kataku sambil berusaha bangkit. Dia tak menjawabnya, tapi mengisyaratkan ke arahku agar tetap berbaring.

"Bagi setiap pejuang, bukan memikirkan suatu balas dendam atau bukan. Bagi mereka menyambut kedatangan tentara Belanda dengan butir-butir peluru panasadalah suatu yang biasa." Mata Kartini terus memandang keluar.

Dia menyindirku, pikirku. Namun sebagai pejuang sejati, pribadi yang dimiliki pejuang bukanlah figur manusia yang mudah tersinggung atau emosional. Pejuang sejati harus siap menerima kritik, bahkan sindiran dan caci maki. Aku berusaha menentramkan gejolak di dalam dada. Suara senapan mesin dari kejauhan terdengar mulai menyalak bersahutan. Kartini berdiri tegap memandang keluar dengan laras senapannya yang siap memuntahkan butir-butir timah panas.

Semakin lama suara tembakan terdengar semakin dekat. Tiba-tiba sebutir peluru panas menembus dinding bambu tempat kami berlindung, bau asap mesiu mulai menyengat hidung. Kartini cepat menarik picu senjatanya, butir-butir peluru panas menghambur dari ujung laras senapannya. Daaarrrrr..... sebuah ledekan menggelagar dekat rumah tempat kami berlindung dan bongkahan tanah terlempar ke atas atap. Di luar pertempuran semakin seru, suara tembakan semakin gencar. Sesekali terdengar teriakan, "Merdeka!" dari para pejuang yang mulai terdesak.

Tiba-tiba, daaaarrrrr...... Kartini terlempar dari tempat berdiri dan terbujur di dekat dipanku. Ledakan mortir menghantam dinding bangunan rumah. Aku berusaha bangkit, luka dipahaku membuat aku terbaring lagi tak bisa banngkit.

"Aduh...............," ku dengar suaranya meringis kesakitan.

"Kartini!" panggilku. Namun tak ada jawaban. "Kartini" panggilku lagi dengan lebih keras. Tak ada sahutan. Aku memiringkan badan ke arah kanan. Tangannya kulihat menggapai-gapai dipan. Cepat kutangkap tangannya. Ada percikan darah dalam genggamanku.

"Mas Tan.... to, Merdeka." katanya terbata-bata.

"Kartini!" ku goncangkan tangannya tapi tak ada sahutan.

Di luar pertempuran semakin dahsyat. Ledakan bersahutan menghancurkan bangunan di Sektor Selatan. Rumah tempat kami berlindung bergetar, miring dan roboh. Atap ilalang bangunan rumah menimpa aku dan Kartini. Tangan kiriku berusaha melindungi Kartini dari kayu yang jatuh. Aku tak berdaya menahan begitu lama. Rasa perih ditubuhkku semakin menusuk dan terus menyiksa. Aku berdoa semoga pertolongan cepat datang.

Pertempuran di luar mulai mereda. Suara salakan senjata api juga mulai mereda dan hujan mortir sudah tidak ada, berganti dengan teriakan "Merdeka."

"Kartini!" teriak sebuah suara terdengar keras.

"Kartini," "Kartini," teriak yang lain.

"Cepat angkat reruntuhan ini, dia terluka!" teriakku. Sebentar saja atap bangunan yang roboh sudah mulai diangkat. Beberapa pejuang mendekat ke arah kami.

"Musa!" teriakku keras ketika ke lihat teman-temanku ada diantara pejuang yang bermarkas di Sektor Selatan.

"Tanto! Kamu berada di sini" Musa memandangku dan mendekat.

"Ya," sahutku singkat.

"Syukur, ternyata kau selamat. Kami menduga kau tertangkap malam itu." Musa menjabat tanganku.

"Kami ke sini berempat. Aku, Kopral Tigor, Kopral Irsan, dan Pak Mantri Mulyo. Kapten Pandji dan teman-teman kembali ke markas."

"Aku tertembak malam itu," ujarku. Mantri Mulyo memeriksa lukaku, dan yang lain mengangkat tubuh Kartini dari puing bangunan yang runtuh.

"Kami kira kau tertangkap Sersan Tanto," kata Tigor dan Irsan yang ikut mendekat.

"Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini," pperintah Kapten Karma, Komandan Pasukan sektor Selatan datang mendekati kami.

"Siap Kapten, kita harus menyingkir!" jawab Sersan Musa mundukung perintah itu. Barisan Pejuang Republik mengungsi, berjalan beriringan ke arah utara. Aku ditandu Kopral Tigor dan Irsan. Setelah satu jam kami berjalan, terdengar dari kejauhan suara mortir dari arah markas Sektor Selatan yang telah kosong. Kapten Karma memerintahkan anak buahnya berhenti di lereng bukit yang berhutan lebat.

Mantri Mulyo kembali memeriksa lukaku. "Bagaimana perawat yang terluka itu," tanyaku pada Mantri Mulyo.

"Lukanya sangat parah dan banyak mengeluarkan darah," jawab Mantri Mulyo.

Aku menghela napas dalam-dalam, ada kekecewaan dalam desah napasku. "Dia yang merawatku. Cintanya pada Kemerdekaan Negeri ini begitu besar. Dia ikut membakar semangatku. Dia perempuan yang lembut tapi pemberani. Dia bukan Kartini biasa, dia Pejuang.

"Dia gugur," kata Sersan Musa yang baru datang dan berjongkok di sebelahku.

"Siapa?" tanyaku tak mengerti.

"Perempuan itu."

Aku terdiam. Mataku basah, air mataku menetes. Badanku terasa semakin lemah. Angin yang bertiup menggoyang pucuk pohon kayu di hutan itu, semua lalu terdiam, gesekan daun yang tertiup angin menyenandungkan llagu duka. Kata-kata perpisahan untuk Kartini hanya bisa kuucapkan dalam hati:

"Selamat Jalan Srikandi Bangsaku, cintamu pada Ibu Pertiwi begitu besar semoga ia terwarisi dan tumpah di setiap dada anak negeri ini yang baru saja merdeka dan akan terus merdeka (*)



* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 11 November 2012

Janji Setia Hanya di Bibir

Janji Setia Hanya di Bibir

Janji tinggal janji.” Ungkapan itu cocok untuk kisah cinta yang dialami Weni. Tono, kekasihnya telah berbohong. Janji setia dan akan menikahi Weni, tidak pernah ditepati. Bahkan di depan mata Weni, Tono berduaan dengan wanita lain.



Sejak memutuskan berpisah dengan Tono enam bulan lalu, Weni berusaha betul-betul melupakan Tono. Weni tidak ingin terpuruk dalam kesedihan karena sudah dikhianati. Toh tidak ada gunanya juga aku, berlarut dalam duka.

Mundur kebelakang, sebenarnya aku tidak begitu mudah menerima Tono untuk mengisi relung hati ini. Aku dipertemukan dengan Tono di sebuah acara amal. Tanpa sengaja saling bertegur sapa dan akhirnya dilanjutkan dengan bertukar nomor handphone. Keakraban berlanjut dengan kopi darat. Dari hanya sekedar ingin berteman saja lama kelamaan Tono menyatakan cinta kepadaku. Aku sempat ragu untuk menerima cinta Tono, karena baru putus dari Ferry. Aku tak tahan bersama Ferry yang mempunyai sifat temperamen.

Tono tidak mundur begitu saja. Dengan sabar menunggu jawaban dariku. Tono selalu mengatakan ingin serius menjalin hubungan denganku. Bahkan untuk menunjukkan keseriusannya Tono memberi aku cincin, walaupun tidak bertunangan. Tono juga berusaha meyakinkan akan setia dan mejagaku. Perkataan Tono itu dibuktikannya dengan seringnya Tono mengantar aku pergi ke mana saja. Kasihan, apalagi Tono juga bekerja, aku minta secara halus agar Tono tidak terlalu mengkhawatirkan aku. Tono bisa menerima dan berjanji untuk mencoba jujur satu sama lain karena aku ingin cinta ini berlanjut ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu pernikahan.

Ternyata aku salah besar. Tono berkhianat. Janji yang selalu diucapkan dan diumbarnya tidak terbukti, malah aku harus mengalami rasa sakit karena dikhianati. Entahlah, mungkin Tuhan sangat sayang kepadaku, hingga aku ditunjukkan dengan mataku sendiri kalau pria yang sudah kupercaya dan kuharapkan bisa menjadi pendamping hidupku ternyata hanyalah pria pembohong besar yang bisa membagi cinta kepada siapa saja.

Tak perlu lagi aku mendengarkan penjelasan dari Tono, karena sudah menyaksikan langsung bagaimana Tono dan wanita itu bermesraan di depan umum. Mereka tampak seperti sepasang suami istri, apalagi wanita itu tak sungkan-sungkan untuk menggelayutkan tangannya. Kalau kuingat kejadian itu tambah benci saja aku dengan Tono. Saat ini aku berusaha membuang jauh-jauh kenangan bersama Tono, apalagi Tono sepertinya tak menyesali perbuatannya itu. (*)

Sumatera Ekspres, Minggu, 8 November 2009