Rabu, 20 Maret 2013

Litle Angel Wallpaper


Angel Valentine

Crying Angel

Angel and Butterfly

Angel of Love

Angel Playing

Cute Baby 1

Cute Baby Shower

Cute Baby and Flower
Cute Baby Wallpaper 1
Cute Baby Wallpaper

Cute Baby With Laptop and Listen Music

Flower Fairy

Funny Baby With Computer

Funny Baby With Laptop
Funny Baby 1
Happy Angel
Picture of Babies
Shocked Angel

Funny Baby

Sweet Smile

The Little Queen

Cute Baby

Senin, 18 Maret 2013

Fantasy Girl Wallpaper


Fantasy Girl Wallpaper 05

Fantasy Girl Wallpaper 02

Fantasy Girl Wallpaper 08

Fantasy Girl Wallpaper 09

Fantasy Girl Wallpaper 06

Fantasy Girl Wallpaper 04

Fantasy Girl Wallpaper 01

Fantasy Girl Wallpaper

Fantasy Girl Wallpaper 07

Fantasy Girl Wallpaper 11

Fantasy Girl Wallpaper 10

Fantasy Girl Wallpaper 12

Fantasy Girl Wallpaper 11

Fantasy Girl Wallpaper 12

Fantasy Girl Wallpaper 03

Girl and Blue Sea

Minggu, 17 Maret 2013

Mantra Memasuki Daerah Angker

Mantra Memasuki Daerah Angker Oleh: Ade A.

Mulut Bima tampak berkomat-kamit, akhirnya, dengan perasaan masih diliputi ketakutan yang teramat sangat, kami pun berhasil keluar dari suasana yang demikian mencekam....

* * * * * * * * * * * * * * *

Seperti biasa, mejelang liburan sekolah, maka para pencinta alam di sekolahku pun mulai bersiap-siap untuk menjalankan program kerja yang memang sudah disusun jauh-jauh hari sebelumnya dan sudah menjadi persetujuan dari Kepala Sekolah dan Guru BP. Ketika kami mengajukan proposal untuk anggaran, Guru BP berkata pada kami.

"Jangan terlalu jauh tujuannya, saya rasa sekitar Jawa Barat saja lebih baik. Tujuannya agar anggota-anggota mudah yang ikut dalam program ini tidak kelelahan."

"Maksud Bapak?" tanya Ade yang merupakan Ketua Umum Pecinta Alam di sekolah itu.

"Coba saja kamu bayangkan, mereka baru belajar menggunakan kompas, membaca peta, langsung diajak ke lapangan, kalau terlalu jauh bahaya, mereka belum berpengalaman," jawabnya dengan lembut.

Pak Pram, demikian Guru BP kami itu biasa dipanggil, adalah memang sosok kebapakan, lembut, pandai dan cerdik, serta dekat dengan semua siswa. Inilah yang membuat kenapa beliau lebih akrab dipanggil dengan sapaan Guru BP Abadi.

Ade menganggukkan kepala, tersenyum dan kembali meminta pendapat Pak Pram. "Jadi enaknya ke gunung apa Pak?"

"Kenapa tidak Gunung Ciremai saja. Tidak terlalu jauh dan kalian tidak akan terlalu lelah di jalan," sahutnya mantap.

Ade terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala lagi tanda mengerti. Dan tak lama kemudian terdengar suara Ade. "Baik Pak, saya akan segera merubah proposal ini. Bapak bisa tunggu?"

"Baik.... saya tunggu sebelum makan siang di ruangan saya," jawab Pak Pram sambil berlalu.

Ade langsung menghubungi beberapa temannya lewat SMS untuk segera berkumpul di sekretariat. Hampir bersamaan, Bima, Komeng, dan Lukas demikian sapaan akrab mereka langsung datang ke sekretariat. "Ada apa sih?" tanya ketiganya bersamaan.

"Biasa, Pak Pram minta kita jangan jauh-jauh. Kasian katanya sama anak-anak baru," jawab Ade singkat.

"Wow.... jadi proposalnya harus dirobah dong," sambung Bima.

"Yoi," jawab Ade sambil menyerahkan proposal di tangannya kepada Lukas.

"Nah... dia ini memang jagonya kalo urusan rubah merubah," sahut Komeng sambil menepuk bahu Lukas.

Yang ditepuk hanya tersenyum dan langsung menyalakan komputer. "Oke.... menurut Pak Pram yang dirubah apanya? Cuma nanya tempat tujuan doing kan?"

"Yoi... sama dananya juga disesuaikan," jawab Ade. Dan dia sudah tidak perlu lagi mengawasi kerja Lukas, karena Lukas memang ahli dalam soal hitung-menghitung pengeluaran.

Tidak lama kemudian, terdengar suaara Lukas. "Meng... Komeng, tuh dah gua prin, lu tinggal kumpulin ma jilid aja."

Komeng pun mendekati printer sambil berkata. "Beres bos."

Tak berapa lama kemudian, setelah membubuhkan tanda tangan dan stempel di proposal yang baru, Ade kembali ke ruangan Pak Pram. Dia sengaja meninggalkan proposal tersebut dimeja Pak Pram untuk dipelajari dan disetujui sebelum akhirnya sampai di tangan Kepala Sekolah.

Dan saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Semua sudah berkumpul di sekolah untuk pelepasan sekaligus mendengarkan pesan-pesan yang bakal disampaikan Kepala Sekolah.

Tetapi apa lacur, sekali ini, Pak Pram tidak bisa mendampingi mereka. Ia harus menjaga anaknya yang mendadak terkena DBD di rumah sakit. Lewat SMS Pak Pram hanya berpesan. "Saya hanya pesan, jaga baik-baik nama sekolah kita, dan ingat satu sama lain harus selalu saling menjaga dan mengingatkan."

Hal senada pun disampaikan oleh Kepala Sekolah. Singkat kata, begitu tiba di kaki Gunung Ceremai, Ade meminta kepada semuanya untuk beristirahat barang semalam di rumah penduduk. Maklum, waktu telah menunjukkan pukul 16.00 dan cuaca juga sangat tidak bersahabat.

Esoknya, sekitar pukul 08.00, setelah sarapan pagi, mereka pun segera memulai pendakian. Sekali ini, entah kenapa, Ade, Bima, Komeng dan Lukas merasa berdebar-debar. Betapa tidak, sejak tadi, mereka tidak pernah bertemu dengan seorang pun. "Ufh... Ya Allah, lindungilah perjalanan kami ini," hanya itu kalimat yang terlontar dari mulut Ade.

Diam-diam ketiga sahabatnya juga menjeritkan doa yang sama. Bima yang sejak tadi diam, mendadak berteriak mengingatkan. "Semuanya berhenti dan berdoa, kok rasanya, dari tadi kita cuma bolak-balik saja ke tempat ini lagi-ke tempat ini lagi!"

"Masa sih?" sahut Lukas dengan penuh selidik. Sementara keempat seniornya agak kebingungan, para anggota muda pun hanya bisa salnig bersitatap. Semua bungkam tak ada yang berani berucap. Sementara, hari pun mulai berangkat senja. Ade langsung memutuskan agar semua rombongan beristirahat untuk menenangkan pikiran dan berdoa lebih khusyuk.

Ade melambaikan tangan ke arah tiga temannya. Dan setelah dekat, Ade pun berbisik dengan suara bergetar. "Rasa-rasanya kita gak bakal sampai ke puncak."

"Jangan pesimis," sahut ketiganya.

"Sadar gak sih lu.... ini kan daerah Kuburan Kuda," sambung Ade cepat.

"Hah," kata Lukas, "kalau begitu, mumpung masih rada terang, kita minta saja mereka turun semua dengan perlahan-lahan," sambungnya lagi.

"Oke....," kata Komeng dan Bima sambil berjalan ke para anggota muda yang sedang duduk-duduk dengan santai. "Segera persiapkan bawaan kalian semua dan kita akan turun. Jangan banyak tanya dulu, konsentrasi penuh pada jalan di depan dan tetap hati-hati," ujar Bima.

"Baik Kak," jawab mereka serempak sambil dengan cepat mempersiapkan ranselnya mansing-masing. Tak lama kemudian, rombongan itu pun terlihat sudah menuruni punggung Gunung Ceremai. Setelah dirasa cukup dan mendapat tempat yang landai, Bima meminta mereka untuk kembali beristirahat dan mempersiapkan makan malam. Usai itu, praktis tak ada kegiatan apapun selain berbaring di dalam kantung tidurnya masing-masing sambil menatap bintang gemintang. Kecuali Bima, Komeng dan Lukas, mereka bertiga telah terbuai dalam mimpinya masing-masing.

Malam terus merangkak. Ketika rembulan tersaput awan, mendadak dari kejauhan terdengar suara ringkik kuda. Semuanya serentak saja langsung terbangun sambil saling pandang....

Bima yang memang sejak tadi diam langsung saja berdiri. Mulutnya tampak berkomat-kamit seolah membaca sesuatu. Dan tak lama kemudian, terdengar suaranya. "Semua berkumpul dan merunduk. Kita makhluk Allah yang paling sempurna, jangan sampai tergoda atau terjebak dengan godaan setan!"

Dalam hitungan detik, tiba-tiba, di sekeliling mereka terdengar kata-kata yang bergaung hingga sulit ditangkap dengan telinga serta derap dan ringkik kuda. Semua terdiam sambil berdoa dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Suasana mencekam di tengah-tengah keingaran itu berlangsung cukup lama. Vita dan Nunung, dua anggota muda wanita tampak telah tak sadarkan diri. Komeng dan Lukas dengan cepat menghampiri mereka sambil membalurkan minyak kayu putih. Ade terus saja menatap anggota-anggota muda lainnya yang terlihat wajahnya sudah memutih pucat, sepucat kapas.

Untuk kedua kalinya Bima berdiri. Alih-alih berkurang, suara gumaman, derap dan ringkik kuda bahkan semakin menjadi-jadi kedengarannya. Kesabaran Bima pun seperti habis dibuatnya, ia langsung saja mengeluarkan ajian untuk melewati daerah yang angker dan wingit warisan dari buyut leluhurnya. "Bukan salahku jika aku membaca ajian ini, tetapi karena engkau tak mau dan tak bisa lagi dibuat untuk mengerti." gumamnya.

Dan benar saja, setelah Bima usai merapalkan ajiannya yang ditandai dengan menjejakkan kaki kanannya tiga kali ke bumi, mendadak, rembulan kembali bersinar dan suara-suara itu pun lambat-laun terdengar menjauh, untuk kemudian hilang sama sekali. Semua yang menyaksikan gerak-gerik Bima dan mendengar suara-suara yang tadi membuat mereka ketakutan, akhirnya dapat menarik napas lega sambil tak lupa melakukan sujud syukur. Walau begitu, perasaan was-was pun masih saja menyelimuti hati masing-masing. Ketika Komeng yang penasaran dan menanyakan apa yang dibaca Bima barusan, Bima pun menjawab. "Itu cuma mantra kuno yang berbunyi seperti ini; Kun kanikun ingsun kun, kowe kama salah, aja aganggu gawe, aku ratuning kun."

"Boleh aku mengamalkannya Bim?" tanya Komeng penasaran dan berharap Bima mau membolehkan dia menguasai amalan yang dimaksud.

"Boleh-boleh saja, hanya dengan melakukan puasa mutih selama tiga hari tiga malam yang dimulai pada Selasa Kliwon. Kemudian dalam keadaan darurat dan mendesak, baca amalan itu sambil menahan napas, dan hembuskan bersamaan dengan menjejakkan kaki kanan ke bumi sebanyak tiga kali," sahut Bima.

"Terima kasih kawan," sahut Komeng dengan wajah gembira seolah mendapat kado istimewa dari sahabatnya itu. Bima pun hanya tersenyum dan segera kembali berkumpul dengan rombongan yang lainnya. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013

Jumat, 15 Maret 2013

Pesugihan Siluman Ulat Jedung

Oleh: Budiono Dayak

Ulat itu mengisap payudara Heni kiri-kanan bergantian. Sambil merintih kesakitan, Heni berulang-ulang menyusui sambil kanannya mengelus punggung ulat jadung ini ke arah atas dan bawah. Tapi bukan putih susu yang keluar dari payudaranya, melainkan darah segar.....

* * * * * * * * * * * * * * *


Temu kangen! Ana kaget menerima undangan ini, sudah ia banyangkan betapa serunya nanti. Ia bisa bertemu dengan teman-teman lamanya, mengenang masa ketika masih di bangku SMA dulu. Ya, tak terasa sudah mereka tinggalkan bangku sekolah itu 11 tahun yang lalu.

Pada saat temu kangen nanti mereka akan bisa menumpahkan segala rasa kangen, curhat dan berbincang tentang kehidupan masing-masing masa lalu dan masa sekarang. Kegirangan Ana itu tentu saja ada alasan sendiri, kegirangannya dipicu atas kesepiannya yang sudah enam tahun belakangan ini menjanda.

Yah, karena suaminya Firdaus sudah meninggalkannya dan hidup dengan wanita lain yang menjadi istrinya sekarang. Namun itu bagi Ana jalan yang terbaik, karena wanita seperti Ana tak mau dimadu. Di Kota Madiun yang terkenal dengan makanan khas bremnya ini, ia hidup bertiga dengan Eka dan Dwi, anak hasil perkawinannya dengan Firdaus.

"Hallo Hen, kamu sudah menerima undangan temu kangen?" Sapa Ana kepada sahabatnya semasa SMA dulu via telepon kepada Heni, sejenak setelah suara telepon itu diangkat.

"Sudah, aku sudah terima undangannya kok An....," sahut Heni di seberang sana.

"Begini Hen, gimana jika hari Sabtu nanti aku menginap saja di rumahmu, jadi hari Minggu siangnnya kita bisa berangkat sama-sama ke acara temu kangen itu."

"Oke, tak tunggu."

"Tapi aku nggak mengganggu keluargamu kan?"

"Nggak.... aku belum laku kok An, tenang saja."

Pembicaraan tidak Ana lanjutkan, segera saja ia tutup telepon setelah saling say hello. Meski di sisi hatinya bertanya-tanya dan merasa heran sendiri! Mosok sih Heni belum menikah?Heni itu kan termasuk kategori perempuan cantik di sekolahnya dulu, ia berperawakan semampai, kulitnya pun kuning langsat, ramah perangainya, murah senyum dan enak diajak bicara. Bahkan ketika masih sekolah dulu ia termasuk kembang kelas III IPA 1, maka tidak heran kalau banyak cowok yang naksir dan ingin menjadikannya pacar. Tapi pertanyaan itu, hanya ia simpan dalam benaknya, karena ia takut kalau Heni tersinggung.

Sabtu sore, mobil yang Ana kendarai melaju cepat menuju rumah Heni di kota brem. Yah, di kota yang memiliki makanan khas itu; dulu ia pernah menuntut ilmu di bangku sekolah. Ketika mobilnya sudah mulai berhenti di depan rumah berpagar besi, tinggi dan bercat coklat, Ana sempat terhenyak! Rumah orang tua Heni itu kini tampak menjadi besar dan megah. Halaman depannya lebar, asri, karena di sana-sini banyak ditumbuhi bunga-bunga yang sedang berkembang. Rumah itu tidak seperti 11 tahun lalu, sempit, malah terkesan kumuh dan hanya berdinding kotangan (separuh kayu dan tembok batu bata).

Untuk menepis keheranan Ana itu, ia segera meneleponnya, mengabarkan bahwa ia sudah berada di depan pintu pagar rumahnya. Mereka berkomunikasi via telepon genggam. Tak lama kemudian terdengar langkah penghuni rumah mendekati pintu pagar. Ana kembali terhenyak, saat melihat wanita yang bertubuh kurus membuka pagar besi.

Dialah Heni, temannya yang cantik itu. Tapi mengapa kini kurus sekali? Tapi ia tidak mau membuat penhuni rumah bingung melihat sikapnya, maka ia pun segera melepaskan semua tanda tanya yang bergelayut di kepalanya, agar suasana tidak canggung.

"Wah... kamu sekarang kok kurus sekali, Hen!" bisik Ana pelan di dekat telinganya, karena hatinya tidak bisa menahan keingin tahuannya saat tubuh temannya itu ia peluk erat-erat.

"Hem..." hanya itu suara yang terdengar keluar dari bibir Heni.

Pertanyaan Ana itu pun juga kembali dia abaikan. Sekali lagi Ana harus mawas diri, ia tidak mau masuk terlalu jauh ke kehidupan temannya itu, mungkin Heni tidak mau ia tahu tentang kehidupannya, dan ia tidak mau merusak suasana pertemuan ini. Mereka pun hanya berbincang-bincang tentang masa lalu, dan saling bertukar kabar teman-teman mereka sepanjang yang mereka tahu saja. Sambil makan cemilan dan minuman ringan, nonton tayangan televisi di ruang tengah. Situasi mengenang itu sempat sejenak dapat menhilangakan bayangan keheranan dan pertanyaan-pertanyaan Ana yang belum terjawab.

"Yok kita keluar saja An, kita makan soto ayam, langganan kita dulu. Setuju? Ajak Heni.

"Oke.... sip."

Tanpa harus menunggu waktu lama, malam itu Ana menikmati kenangan di kota kelahirannya ini. Mereka berputar-putar dan berbincang, bahkan sesekali cekikikan berdua jika ingat peristiwa masa lalu yang lucu-lucu dan cinta monyet yang lugu. Setelah mereka makan soto ayam yang pernah menjadi langganan mereka berdua waktu remaja dulu. Mereka pun saling bertukar kabar Haryanto, Hartanto, Setyoko, Herman dan sederet pria lain yang dulu pernah menjadi idola para wanita di sekolahnya. Nostalgia!

Sampai tak terasa, malam pun sudah hampir larut. Ana dan Heni sudah berbaring satu ranjang di kamar depan rumah Heni, setelah pulang dari menikmati malam di jalanan kota masa remajanya itu. Di antara bincang-bincang mereka berdua di pembaringan yang berkasur empuk itu, pertanyaan Ana tentang kesendirian Heni kembali menghantui dan mengganggu pikirannya. Memang semula ia ragu kembali menanyakannya, namun wisik mengusik di relung kalbunya seolah tidak lagi mampu ia bendung.

"Kenapa kamu tidak menikah, Hen?"

"Aku sudah tidak lagi punya rasa percaya pada pri An."

"Patah hati nih."

"Ya, perasaanku sudah mati."

"Aku dulu pernah berpacaran dengan Dika, dia salah seorang pemuda dari trah ningrat di sini," lanjutnya sebelum sempat Ana memberikan pertanyaan.

"Lalu?" kata Ana sebelum diselanya lagi.

"Selama pacaran itu, aku begitu yakin, bahwa dia adalah calon suamiku, aku pun sangat mencintainya. Sehingga apapun yang ia mau dariku aku serahkan, termasuk jiwa, raga yang sebenarnya harus dijaga sebagai perempuan lajang pun aku persilakan diambilnya. Keperwananku dilumatnya! Selanjutnya, bukan hanya sekali saja, tetapi seringkali tubuhku dinikmatinya dengan nafsu birahinya yang meledak-ledak."

"Sampai kamu hamil?"

"Tidak!"

"Terus?"

"Lalu aku pun mendesak Dika, minta pertanggungjawabanya dan kepastian dari ujung hubungan kami."

"Apa katanya?" tanya Ana yang penasaran mendengar ceritanya itu, sempat bersungut-sungut. Harga dirinya sebagai perempuan mulai terusik, seolah ia tidak kuat lagi menahan inti dari klimat kisahnya.

"Orang tuanya menolak hubungan kami."

"Apa alasannya?!" Kata Ana yang ikut hanyut, dan nyaris marah. Ia tidak mampu menunggu.

"Karena aku bukanlah trah darah biru, hanya wong cilik dan rakyat jelata," ujar Heni sambil mendekap tubuh Ana erat-erat. Air matanya tak mampu terbendung lagi, membasahi dada Ana.

"Bajingan!" Umpat Ana, tidak terima atas penghinaan ini.

"Anehnya, Dika seperti kerbau dicocok hidungnya, dia hanya diam seribu bahasa. Hanya mampu sendika dawuh, bahkan prung .... meninggalkan aku."

"Kurng ajarnya dia!"

"Hal ini berangsur-ansur membuat kedua orang tuaku jatuh sakit dan menghembuskan napasnya yang terakhir secara bergantian."

Untung Ana segera eling. Tidak larut dalam suasana duka dan penhinaan kaumnya. Ia peluk erat-erat tubuh Heni. Mereka pun lama terdiam dan ia pun tidur, meski hanya tidur ayam, tidak pulas. Sebab masih saja terngiang kisah Heni yang membuat ia larut dan ikut merasa terhina, sebagai kaum hawa. Malam pun sudah semakin tua, sunyi dan semilirnya angin mulai berhembus, membelai tubuhnya dari lubang angin kamar itu. Membuat Ana kedinginan dan terhenyak sejenak terjaga. Sementara Heni sudah tidak ada di sisinya.

Tiba-tiba kesunyian malam itu, menjembak Ana dalam suasana yang menakutkan, bahkan bulu kuduknya ikut-ikutan berdiri. Rasa takut itu pun semakin menggila ia rasakan, dan menjadikan tubuh merinding, seolah ada keganjilan di rumah ini . Suasana terasa semakin sunyi, sepi seperti suasana tengah malam di kuburan. Gawat, wingit dan angker seolah berpacu dalam benak, pikiran dan jiwa Ana. Di luar hanya terdengar rintik hujan yang jatuh dan luruh di atas genting. Maklum memang saatnya sedang musim penghujan. Tiba-tiba pula suara rintihan mengaduh seorang wanita terdengar sayup-sayup menggelitik telinga kanannya.

Sura rintihan seperti mengaduh yang keluar dari mulut perempuan itu, begitu Ana kenal. Suara Heni! Jelas, membuat ia penasaran dan terus menggoncang pikirannya, dan ia mencoba menepis rasa ketakutannya sendiri, tapi ia justru lebih mengkhawatirkan dan takut jika Heni kenapa-kenapa.

Dengan sisi keberaniannya, Ana melangkah pelan bahkan sangat pelan sekali. Dengan hati-hati, ia dekati datangnya sumber rintihan tadi. Di kamar belakang itu datangnya suara rintihan bak isak tangis yang ia curigai tersebut. Tepat di depan kamar itu, kedua kakinya yang semula berjingkat-jingkat ia hentikan. Rasa penasaran yang terus bergejolak membuat dirinya berani untuk mengintip kejadian yang ada di dalam kamar itu.

Begitu mata kiri Ana tertempel di lubang kunci kamar itu. Gelap! Maka ia menambah belalakan matanya lebar-lebar, sehingga ia mampu menembus pandangan yang semula gelap menjadi remang-remang, karena ruangan dalam kamar itu hanya diterangi sebuah lilin dan beberapa dupa wangi yang tertancap di semacam vas bunga yang terbuat dari kuningan.

Kaget! Ya, ia terperanjat, ketika bola matanya mengarah ke bawah, hingga melihat di sebelah salah satu sudut ruangan itu. Di karpet warna merah maron itu tubuh Heni terbaring telanjang dada sambil memeluk suatu benda sebesar guling, berwarna hijau kekuning-kuningan, bersungut panjang.

Tubuhnya beruas-ruas dan matanya hitam melotot, persis ulat jedung (ulat yang biasa menggerogoti daun pepaya). Ulat ini sedang netek serta mengisap payudara Heni kiri-kanan bergantian. Meski sambil merintih kesakitan, Heni berulang-ulang menyusui. Tangan kanannya mengelus punggung ulat jedung ini ke arah atas dan bawah. Tapi bukan warna putih susu yang keluar dari payudaranya, tetapi darah segar.

Inikah wujud siluman ulat jedung yang dikenal pemberi pesugihan bagi orang yang pikirannya kalut dan hatinya cupet, sehingga jalan sesat dilaluinya. Guna mendapatkan kekayaan yang berlimpah dengan jalan pintas maka seolah membuat dogma yang teryakini. Orang akan bergelimang harta, naik derajat dan pangkatnya di masyarakat.

Inikah pelampiasan rasa sakit hati atas cercaan dan hinaan yang di terima Heni dari keluarga nigrat Dika? sehingga ia rela mengorbankan jiwa dan raganya di atas gelimang dosa, kendati tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat, kendati masih kentara garis-garis kecantikannya. Ana hanya mampu tertegun keheranan, tubuhnya terpaku di depan pintu kamar itu, menyesali langkah yang diambil teman sekelasnya ini. Tak ada yang bisa dilakukan Ana selain hanya menyimpan rahasia ini rapat-rapat. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013

Kamis, 14 Maret 2013

Pemuda Misterius Dalam Mimpiku

Oleh: Zenita M

Dia datang berturut-turut dalam mimpiku. Dia adalah makhluk gaib yang menuntunku menuju pintu rezeki

* * * * * * * * * * * * * * *


Aku sempat berpikir, Tuhan tidak adil memperlakukan hidupku. Mengapa aku yang banting tulang memeras keringat tapi malah sengsara. Tak ada harta yang bisa aku nikmati, malah hutang di sana-sini. Tak ada kekasih atau suami yang bisa aku jadikan tempat berkeluh kesah. Aku sendiri menanggung beban hidup yang semakin berat. Menafkahi dua orang anak serta ayah dan ibu yang telah udzur adalah takdir buruk sepanjang hidupku.

Sementara ada orang yang leha-leha, kerja santai tapi bisa hidup senang bergelimang harta. Mengapa Tuhan memberikan takdir buruk dalam kehidupanku. Apakah tak cukup doa-doa yang kupanjatkan pada-Nya setiap hari. Ataukah Tuhan memang tak mau mendengarkan doaku. Atau masih ada cobaan Tuhan yang belum aku jalani.

Sempat pula aku berpikir untuk melupakan Tuhan. Kerja mencari uang adalah solusi paling realitis ketimbang doa yang tak terkabulkan. Tapi hati kecilku berontak, imanku yang tinggal setitik itu mengingatkanku untuk tetap bersama Tuhan. Tapi mengapa Tuhan memberikan takdir seburuk ini. Apa salah dan dosaku.

Jika Tuhan memperlihatkan kesalahanku mungkin aku bisa memperbaiki diri. Diujung kegamanganku, aku mencoba mencurahkan isi hatiku pada Rani, teman lamaku. Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Karena aku sibuk dengan pekerjaan dan majikanku hanya memberiku libur 2 hari dalam sebulan. Ya, Maharani atau Rani itu adalah teman baikku di Hongkong. Wanita asal Kota Malang ini dulu selalu bersamaku berbagi suka dan duka.

Kini aku dipertemukan kembali dengannya di sebuah taman di Kowloon. Hongkong. Aku berkeluh kesah mencurahkan isi hatiku pada Rani. Aku selalu merasa nyaman bersamanya karena dia adalah pendengar setia dan selalu bisa membesarkan hatiku agar aku tetap tabah. Tak satu masalah pun aku simpan dalam hati, semuanya aku ceritakan pada Rani agar aku bisa sedikit bernapas lega. Setelah panjang lebar aku menceritakan semua masalahku, Rani lalu menyarankan agar aku menggunakan sebuah pirantik mistik untuk menyelesaikan masalah itu. Menurutnya piranti ini sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Piranti ini dibuat untuk membuka pintu rezeki seseorang. Piranti ini mengandung kekuatan gaib berupa khodam yang bisa menuntun seseorang menuju rezekinya.

Awalnya aku terkejut juga kawan lamaku ini menyarankan hal seperti ini. Tapi setelah dijelaskan kalau dia sekarang menjadi asisten Mas Eka, saya baru paham. Ternyata banyak perubahan yang tidak aku ketahui selama kami berpisah dengannya. Rani sekarang nammpak lebih fresh dari yang dulu, lebih care dengan kehidupan yang lebih mapan tentunya.

Seminggu kemudian, aku diberinya tiga buah piranti untuk aku gunakan. Di antara piranti mistik itu ada yang harus aku gunakan untuk mandi ruwat, ada yang harus aku simpan dalam dompet atau tas dan ada yang bisa aku gunakan sebagai liontin. Dijelskan Rani, tiga buah piranti itu memiliki kekuatan mistik berlainan dan kegunaan yang lain pula.

Piranti yang aku gunakan mandi adalah untuk membersihkan diri dari aura yang buruk, agar aura tubuhku nampak lebih baik, cemerlang dan orang yang memandangku bisa tertarik. Sebab aku akui dulu aku sempat menjadi orang yang brutal. Bahkan aku sempat mengugurkan kandungan. Ini semua aku akui ini pasti akan mempengaruhi kehidupanku dan rezekiku yang menjadi seret. Kemudian piranti yang aku simpan dalam dompet adalah untuk menarik rezeki dari berbagai penjuru. Termasuk majikanku yang cerewet dan pelit. Karena harus diakui hampir seluruh TKI akan mengharapkan rezeki yang berlimpah dari majikannya masing-masing. Selain itu tentu saja ada rezeki dari yang lain.

Sedangkan liontin itu digunakan untuk menrik simpati dan kharisma dari orang-orang yang ada disekitarku. Liontin itu mempunyai kekuatan khodam agar orang-orang yang memandangku tertarik dan welas asih padaku. Bagi orang-orang yang berani melakukannya, liontin dan ajimat yang disimpan dalam dompet itu juga bisa digunakan untuk pengeretan, mengeruk uang dari kaum lelaki atau pasangan sejenis. Dengan ritual kecil saja di rumah majikanku, barang-barang gaib itu bisa langsung aku gunakan dan memiliki kekuatan khadam.

Tapi Rani mengingatkan biasanya kekuatan khodam itu kerap mewujud di sekitar kita dalam bentuk penampakan atau pendengaran kita yang aneh-aneh.

Apa yang dikatakan Rani itu memang terbukti. Beberapa hari setelah aku menggunakan piranti itu aku kedatangan seorang lelaki dengan perawakan tegap. Ia menggunakan pakaian serba putih dan jubah yang juga putih. Lelaki misterius itu hadir dalam mimpiku berturut-turut selama tiga malam. Ia hanya tersenyum memandangku tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Setelah itu ia berjalan dan menghilang dikejauha.

Tapi kabar baiknya, setelah menggunakan piranti itu hidupku perlahan berubah menjadi lebih baik. Aku merasa lebih nyaman dan tenang menjalani hidup di negeri orang. Majikanku menjadi lebih baik dan perhatian padaku. Jika aku disuruh ke pasar selalu ada uang lebih yang bisa aku gunakan untuk keperluan sendiri. Aku juga suka diminta bantuan oleh orang-orang Hongkong yang satu apartemen dan mereka tentu saja memberi uang yang lebih padaku.

Dari luar tempat kerjaku. Aku juga bisa mendapatkan uang dari berbagai sektor. Teman-teman menjadi baik, tetangga dai orang di sekitarku menjadi perhatian padaku. Bahkan beberapa orang lelaki yang asli orang Hongkong pun kerap melirikku. Salah seorang diantara mereka malah terang-terangan mengatakan cinta padaku. Ya Thuan, aku telah salah sangka. Aku ingin bertaubat dan menjalani hidup ini lebih baik. Aku ingni pulang ke Indonesia setelah aku mengumpulkan cukup uang. Aku ingin membuka usaha sendiri di kampung dan berniat untuk tidak lagi kembaali ke Hongkong.

Bersyukur aku kembali bertemu dengan Rani yang memberi jalan terbaik dalam hidupku. Semoga apa yang aku alami ini bisa menjadi cermin untuk kita semua. Bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013

Senin, 11 Maret 2013

Diselamatkan Kapal Hantu

Oleh: Henny Nawani

Dari perusahaan Yunani itu, kami tersentak, di sana diberikan jawaban bahwa kapal Black Ship itu sudah tenggelam 40 tahun lalu di Bermuda Treangle, segitiga Bermuda dan menjadi kapal hantu, berkeliling dunia untuk menyelamatkan kapal-kapal yang terancam karam

* * * * * * * * * * * * * * *

Langit cerah, laut biru. Pelayaran sore itu sungguh menyenangkan. Kami sekeluarga harus pergi ke Pulau Gilitrawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kami berlayar menggunakan kapal yach pribadi, Juwita Marine, mesin 500 PK double angine, berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, untuk menikmati malam tahun baru di Pulau Gilitrawangan.

Di pulau kecil itu kami punya villa, namanya Bungalow Putih, semua ornament bercat putih, serba putih dengan bunga-bunga yang berunsur warna putih. Panitia setempat sudah mempersiapkan pesta, undangan 1400 orang sudah disebar, dari Surabaya, Bali, Mataram dan Sumbawa Besar. Semua datang dengan kapal pribadi, ada yach, ada yang membawa perahu layar bermesin. Bahkan ada pula yang datang dengan jetvoil.

Lima artis top dari Jakarta sudah diberi perskot, tiga artis perempuan satu artis pria dan satu MC.

"Kita harus menyenangkan semua teman-teman, keluarga dan semua relasi bisnis kita, maka itu, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk membuat suatu pesta besar setiap malam penutupan tahun dan malam pembukaan tahun," ujar suamiku.

Sopir kapal, kapten laut Wahyu Abdurahman begitu optimis sore itu. Udara baik, angin sedang dan gelombang laut cukup tenang. Dengan kecepatan 80 knot mil laut per jam, maka diperkirakan akan sampai ke Pulau Gilitrawangan tengah malam, sekitar pukul 23.40 Waktu Indinesia Tengah. Maka pada tanggal 31 Desember 2010 pagi, kami sudah biasa bersiap untuk pesta di malam harinya, menyiapkan makanan, minuman dan jejamuan untuk para tamu undangan.

Kapal terus berlayar dalam ketenangan dan keteduhan senja dan kenyamanan udara laut sore itu . Kami berjalan melewati Selat Madura, setelah masuk Selat Bali lalu menuju Selat Selong, Nusa Tenggara Barat. Di tengah laut Selong, tiba-tiba angin kencang datang. Angin keras dan deras itu di luar perkiraan dan tidak masuk dalam hitungan Wahyu Abdurahman sebagai pelaut berpengalaman.

"Maaf Pak, ini angin dan di luar perhitungan ramalan geofisika dan radar awan yang ada. Angin ini aneh dan tidak liar, tidak pernah terjadi sebelum ini. Sebab angin ini berputar, seperti angin puting beliung atau badai tornado Amerika," ungkap Wahyu Abdurahman, driver kapal pengalaman yang penah mangkal di Miami, Amerika Serikat sebagai pekerja kapal yacth di negeri Paman Sam. Semakin lama angin semakin ganas, liar dan menakutkan. Langit tiba-tiba berpetir dan berguntur keras lalu menyambar kapal kami. Tiga kali ledakan petir menghantam buritan kapal dan kapal kami terpecah lalu bocor. Aku segera mengumpulkan anakku dan kami berempat berpelukan di dekat cockpit, tempat dimana Wahyu Abdurahman terus mengendalikan kapal itu dengan wajah dan ekspresi yang sangat panik.

Karnetnya pun, Maman, ikut panik dan berulangkali menimba air yang masuk tapi air terus menerus menyerbu dinding kapal dan masuk ruang bawah. Mas Hermanto segera menelpon ke kapal-kapal temannya untuk bantuan, tapi karena petir, sinyal tiba-tiba menghilang, daerah laut itu menjadi daerah blackspot, daerah yang tidak bersinyal sama sekali. Radio komunikasi pun, cb channel full energies, tiba-tiba macet dan tidak dapat digunakan.

Pada saat gawat begitu, tiba-tiba sebuah kapal besar terlihat oleh mata kami. Kapal bercat serba hitam itu berjarak hanya beberapa meter saja dari kami, dan kami memberi sinyal SOS, meminta pertolongan bantuan penyelamatan dari kapal itu. "Kapal itu hanya berjarak 400 meter dari kita, kapal itu mendekat dan mereka siap membantu kita. Segera ambil barang-barang penting yang berharga dan naiklah ke kapal itu," perintah Mas Hermanto kepada Maman, karnet kapal dan kepadaku juga.

Kapal hitam itu memberi lampu dan berhenti di dekat kami. Lalu anak buah kapal menurunkan tali dan menarik kapal kami mendekat keburitan kapal mereka. Kami sekeluarga naik kapal, begitu juga dengan Wahyu Abdurahman dan Maman si awak kapal kami, semua naik ke kapal Black Ship untuk menyelamatkan diri.

Tidak begitu lama kami naik di kapal hitam itu, kapal kami pun tenggelam. Juwita Marine telah tenggelam, dan sejarah kapal itu mencatat, bahwa Juwita pernah ada dan kini terkubur di dasar laut Selong yang mengerikan, laut berpetir, berguntur dan berangin putingbeliung.

Kapal yang kami tumpangi mengarah ke Padang Bay, Semara Pura, pelabuhan penyeberangan di ujung Bali bagian timur. Kapten kapal memberi bantuan dengan ikhlas kepada kami dan menyelamatkan kami dari kematian. "Bila tidak ada kapal Black Ship ini, matilah kita semua dalam tragedi tenggelamnya Juwita Marine," kata Mas Hermanto, kepada Wahyu dan Maman, awak kapalnya, yang manggut-manggut sambil menangis.

Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Kapten Kapal Black Ship, Mister Idral Zaron, 56 tahun, yang berasal dari Tebinggrinting, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, yang secara sukarela dan ikhlas membantu kami. Pada saat suamiku memberikan sejumlah uang tanda rerima kasih. Kapten Idral Zaron menolak dan dia tidak bersedia menerima uang tanda terima kasih itu.

"Saya menolong kalian dengan ikhlas, berdasarkan sumpah kelautan saya, untuk itu, bukan uang tujuan saya, tapi kasih sayang sesama sesuai perintah Allah SWT," desisnya, sambil menjabat tangan suamiku, dan tersenyum ramah.

"Berikan saja uang itu kepada anak yatim piatu dan orang jompo, Pak! Mereka lebih membutuhkannya, bukan saya," katanya, meminta agar suamiku berimfaq untuk orang-orang miskin dan papah.

Setelah menurunkan kami di dermaga Padang Bay, kapal Black Ship meneruskan pelayarannya menuju Cilacap, Jawa Tengah, untuk mengangkut minyak lalu pergi ke Yunani, Eropa Barat.

Setelah lima jam menunggu dan tidur di sebuh hotel kecil di Padang Bay, sebuah kapal jetvoil menjemput kami. Begitu kami checkout dari hotel, kami langsung naik ke kapal jetvoil itu dan memasukkan barang-barang yang masih tersisa. Sementara itu, Wahyu dan Maman, minta pamit kembali ke Surabaya, tidak ikut serta ke Pulau Gilitrawangan dengan alasan untuk menenangkan diri dari tragedi laut yang baru saja dihadapi dan sangat mengerikan.

"Kami mau buat pengajian, sujud syukur bersama keluarga besar, dimana kami telah diselamatkan oleh kapal Black Ship dan kapten Idral Zaron yang baik hati. Kami mohon maaf tidak bisa ikut ikutan pesta tahun baru di Pulau Gilitrawangan," kata Wahyu Abdurahman, dengan wajah gundah, sambil menerima ongkos dari suamiku, untuk acara syukuran di Surabaya.

Perjalan laut dengan jetvoil begitu cepat. Maka itu, tapet pukul 20.00 malam, kapal itu sudah sampai di Pulau Gilitrawangan dan kami bisa tetap membuat acara walau musibah baru saja menimpa kami. Semua tamu undangan yang mendengar kabar itu ikut berduka dan mereka ikut bersyukur atas keselamatan keluarga besar kami dari tragedi yang mengerikan di Laut Selong yang ganas tersebut.

Tepat pukul 21.00, acara segera di mulai. Band mulai bermain dan MC segera naik panggung. Semua tamu undangan sudah hadir. Pesta berjalan dengan mulus dan puncak acara sangat membahagiakan kami. Pas tepat pukul 00.00 tengah malam, suara petasan dan kembang api meletus menghiasi udara dan langit pun menjadi ceria. Semua orang keluar dan menikmati malam pergantian tahun dengan bahagia.

Namun tengah malam, saat kami melihat ke tengah laut, dari temaram bulan terang , kami melihat kapal hitam. Black Ship melempar sauh, lempar jangkar di tengah laut seberang bungalow kami. "Ma, itu kapal Black Ship yang menyelamatkan kita. Kapten Idral Zaron pasti ada di dalamnya," kata suamiku.

Kami segera meminta kapal kecil untuk diantarkan mendekati kapal itu. Aku dan Mas Hermanto berlayar mendekati kapal Black Ship dan kapal itu, anehnya, menghilang dalam hitungan detik.

"Kemana kapal tadi, bukankah tadi kapal itu jelas lempar jangkar di sini?" tanya suamiku, tak menuntut jawaban. Aku bingung,, sama dengan suamiku, bingung mempertanyakan, ke mana kapal itu perginya. Kalau pun jalan, bagaimana secepat itu jalannya?

"Jangan-jangan kapal itu, kapal Black Ship, bukan kapal biasa, Ma!" desis suamiku.

"Maksud Papa bukan kapal biasa itu, apa artinya?" tanyaku.

"Mungkin kapal itu kapal hantu, Ma, kapal misterius yang belakangan ini banyak muncul ke permukaan laut," kata suamiku.

Keesokan harinya, tanggal 1 Januari siang, Mas Hermanto menghubungi maskapai usaha laut kapal itu di Yunani lewat telpon. Nama maskapai itu adalah Olatus Rexx Ship Management. Dari perusahaan Yunani itu, kami tersentak, di sana diberikan jawaban bahwa kapal Black Ship itu sudah tenggelam 40 tahun lalu di Bermuda Treangle, segitiga Bermuda dan menjadi kapal hantu, berkeliling dunia untuk menyelamatkan kapal-kapal yang terancam karam.

"Kalian telah diselamatakan oleh kapal hantu Black Ship dan begitulah kapal itu, selalu muncul menbantu kapal-kapal yang terancam karam. Kapal itu tiba-tiba muncul secara gaib dan keberadaannya, selalu tepat waktu untuk mengangkut para korban kecelakaan laut," ungkap Mister Hanadiege Rumola, kepala humas perusahaan yang tetap eksis di dunia kelautan tersebut, memiliki 40 kapal berbendera Yunani dan mengangkut bahan bakar minyak di seluruh dunia. Sebagian kapal mereka, termasuk Black Ship, pernah mengangkut minyak di Indonesia 40 tahun yang lalu, sebelum tenggelam diterkap hantu laut Segitiga Bermuda.

Kami sangat terkesan dengan kapal Black Ship yang ternyata diawaki oleh kapten laut asal Indonesia yang mengaku lulusan sekolah tinggi kelautan Indonesia dan ternyata seorang gaib. Memang, dari Yunani kami dapat kabar, bahwa awak kapal mereka paling banyak berasal dari Indonesia, Filipina, dan Thailand.

"Tenaga kerja asal Indonesia baik-baik dan disiplin tinggi, lagi pula mereka tidak suka demo, tidak banyak protes dan menjadi pekerja paling baik untuk kapal-kapal berbendera Yunani," kata sang kepala humas kepada suamiku. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013

Jumat, 08 Maret 2013

Perbedaan Mimpi dan Astral Projection

Oleh: M. Yusuf

Mimpi hanyalag buah dari tidur manusia yang hanya diapresiasikan gambaran yang sebelumnya terjadi dan akan terjadi dan setelah terjadi dan semua bergantung pada setiap orang yang memimpikannya. Setiap kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan itu semua di luar kuasa mimpi

Mimpi adalah pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, ataupun indera lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat (rapid eye movement/REM sleep). Mimpi juga dapat dikatakan sebagai bunga tidur bagi setiap orang, ada pula mimpi yang dianggap sebagai harapan yang tidak kesampaian, bahkan banyak juga yang beranggapan, bahwa mimpi itu tidak memiliki arti sama sekali.

Tapi ada pula yang menyatakan bahwa mimpi adalah merupakan jalan utama atau jalan emas untuk memasuki dunia batin atau hati nurani kita. Dan mimpi itu adalah wujud dari setiap gambaran yang tidak nyata, mimpi kadang dapat menjadi nyata ketika setelah sadar dan terbangun dari tidur kita atau ketika suatu waktu tidak sengaja atau tidak direncanakan atau pula tiba-tiba bertepatan dengan waktu yang bersamaan dengan mimpi itu sendiri.

Minggu, 03 Maret 2013

Guruku Menghilang ke Alam Ghaib

Oleh: Yudhistira Manaf

Pesugihan yang aku jalani adalah pesugihan Monyet Melet, monyet yag menjulurkan lidah lalu mengeruk uang hasil korupsi dan dana kotor diperbankan. Hasilnya, aku mendapatkan solusi dana, jalan keluar untuk menutupi kekurangan biaya sekolah dan mampu membayar biaya operasi ibu kandungku operasi jantung di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura

* * * * * * * * * * * * * * *



Kesulitan hidup dan kemiskinan membuat aku gelap mata, lalu melarikan diri pada dunia pesugihan. Aku benar-benar membutuhkan uang untuk biaya sekolah empat anak dan biaya berobat ibu kandungku yang terkena penyakit jantung. Suamiku, Rasdi Sungkono, 36 tahun, meninggalkan dalam suatu tragedy kecelakaan lalu lintas. Truk yang disopirinya, jatuh ke dalam jurang di bilangan Kalianda, Lampung Selatan, saat membawa nenas ke Pasar Induk, Jakarta Timur. Kenek bersama suamiku yang terjatuh bersama truknya, langsung meninggal di tempat, tidak sempat di bawa ke rumah sakit.

Pesugihan yang aku jalani adalah pesugihan Monyet Melet, monyet yang menjulurkan lidah lalu mengeruk uang hasil korupsi dan dana kotor dipernakan. Hasilnya, aku mendapatkan solusi dana, jalan keluar untuk menutupi kekurangan biaya sekolah dan mampu membayar biaya operasi ibu kandungku, operasi jantung di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura.

Pada saat aku panik karena kesulitn uang, aku mendatangi Kaji Maron, 45 tahun, dukun mumpuni yang bermukim yang bermukim di perkebunan karet Banggalajaya, Ogan Komering Ilir. Kaji Maron seorang pemilik ilmu gaib saktimandraguna yang mampu berbahasa hewan, terutama monyet utan yang banyak di sekitar rumahnya, di Banggalajaya, dekat Danau Takarang Sakti, satu kawasan hutan lebat dan perkebunan karet milik keluarga Kaji Maron yang semuanya sudah wafat.

Aku mengenal Kaji Maron sejak aku masih keci, karena dulu kami bertetangga di Desa Talangdukun, sama-sama berkebun duku dan durian Komering. Ketika aku bersekolah ke Kota Palembang, Kaji Maron pindah ke hutan mendalami ilmu Linuwih Ogan Badayah, ilmu sakti mandraguna yang mampu menaklukkan semua hewan di dalam hutan. Baik hewan buas sejenis macan, buaya, beruang maupun monyet-monyet.

Kaji Maron seorang diri di rumahnya yang sederhana. Rumahnya bertiang tinggi , tiga meter dari kayu ulin dan dinding rumahnya dari kayu gerawan, dan atap rumah itu dari daun nipah. Sebagai wanita, aku agak ragu juga untuk datang ke rumah Kaji Maron, apalagi rumahnya itu berada di tengah hutan belantara, jauh dari penduduk lain. Terpencil di pinggir danau yang masih perawan.

Walau Kaji Maron banyak mempunyai ilmu gaib, tapi lelaki asal Talangdukun, Tanjungraja, Ogan Komering Ilir ini, tidak boleh menjadi kaya. Perjanjian gaib dengan penguasa alas, tempatnya bersemadi, adalh hidup cukup akan dan cukup pakaian, tapi tidak boleh mengumpulkan uang yang banyak, walaupun dia mampu untuk itu.

"Kalau mau, aku bisa kaya raya, kekayaanku bisa membeli sebuah pulau di negeri ini, tapi aku dilarang gaib untuk kaya, karena begitulah perjanjian yang aku buat sejak aku mendalami ilmu ini. Bila aku kaya, aku akan terkena banyak penyakit dan aku mati mendadak," desis Kaji Maron kepadaku.

Perjalanan menuju rumah Kaji Maron di dalam hutan ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Setelah berhenti di Tugumulyo dengan bus, aku mesti berjalan kaki sepanjang 34 kilometer ke dalam hutan belentara. Tidak ada jalan menuju rumahnya. Jangankan jalan mobil, jalan untuk sepeda motor pun tidak ada menuju rumahnya.

Aku melangkah menuju rumahnya setelah melewati pohon-pohon berduri dan alang-alang yang tinggi. Kulit tubuhku terluka dan beret-beret kerana ketajaman duri yang aku senggol. Bahkan, kaki kananku keseloa karena kakiku itu tersangkut batu lalu terkilir.

Namun, demi uang dan solusi hidupku, maka aku nekad, bertekad harus bertemu dengan Kaji Maron yang sakti linuwih. Aku harus bertemu lalu berguru dengannya, walaupun apa yang akan terjadi. Untuk itu, empat anakku aku titip kepada ibuku yang sedang sakit, terkapar dengan napas yang ngap-ngapan karena penyakit jantungnya yang sewaktu-waktu kambuh.

Kaji Maron tidak pernah keluaar hutan menuju kampung dan kota. Dia hidup dengan makan ikan hasil tangkapan di danau yang dijaringannya dengan pukat dan jala. Dia makan nasi dari beras yang dia taman lewat persawahan padi tadah hujan yang subur dan berkembang baik. Memasak selalu dengan kayu bakar dan penerangan lampu dengan minyak jarak yang dia buat sendiri dari hasil kebunnya.

Sejak remaja, Kaji Maron tidak tertarik kepada lawan jenis. Dia sangat dingin kepada wanita dan tidak pernah terpikir untuk menikah. Pikirku, bahkan pemikiran banyak warga kami di Desa Talangdukun, Kaji Maron itu adalah seorang pria yang kerkalian khusus. Dia tidak tertarik pada lawan jenis dan tidak tertarik untuk menikah. Oleh karena itulah, aku berani tinggal di rumahnya, hidup bersamanya selama berguru ilmu Linuwih Ogan Mandraguna.

Pertama kali aku tinggal di rumahnya, Kaji Maron bertanya, aku senang pada buah macam apa. Setelah aku jelaskan aku senang durian, rambutan dan duku, Kaji Maron lalu mengeluarkan kepalanya di jendela sambil bersiul keras. Suara siulan ternyata memanggil menyet-monyet yang bersarang di atas pohon beringin di pinggir danau bagian blok barat.

Ratusan monyet itu turun dari pohon dan berlari mendekati rumah Kaji Maron. Ratusan monyet itu duduk tertib menunggu perintah. Dengan bahda primata, Kaji Maron memerintahkan sesuatu, tidak lama kemudian monyet-monyet itu berlari menuju kampung. Dalam waktu kurang dari satu jam, beberapa monyet datang dengan puluhan durian, duku dan rambutan. Buah-buahan itu diserahkan kepada Kaji Maron lalu disuguhkan kepadaku. Durian itu manis sekali, begitu juga dengan rambutan dan duku yang dibawa monyet dari perkebunan rakyat tersebut.

"Kalau manusia mengambil hasil kebun manusia lain, namanya mencuri, tapi kalau monyet yang mengambil hasil kebun orang, namanya meminta, minta diam-diam!" canda Kaji Maron kepadaku.

Setelh mengetahui aku datang untuk belajar ilmu menarik uang dari alam gaib, Kaji Maron menyarankan agar aku belajar dari monyet-monyet yang ditaklukkannya. Katanya, ada ilmu monyet. Raja monyet, tapi monyet gaib, artinya tidak terlihat oleh siapapun saat monyet itu beroperasi.

"Raja monyet itu akan tinggal bersamamu dan bisa kau perintah untuk mendapatkan uang haram, uang tidak bersih dari hasil korupsi pejabat hasil pencurian dan uang-uang kotor lainya. Kau akan melihat jelas monyet itu dan bisa kau gendong di punggungmu, lalu mendekatlah ke bank dan tunggui di depan bank tersebut, lalu dia akan masuk mencuri ke dalam bank, yang duitnya juga tidak terlihat, setelah itu gendong lagi monyet itu pulang dan nikmatilah uang hasil kerja siluman raja monyet itu. Nama pesugihan monyet ini adalah Raja Monyet Melet!" ungkap Kaji Maron, suatu malam, kepadaku.

"Kenapa dinamakan Monyet Melet, karena dalam menjalankan operasinya, lidah monyet itu melet-melet seperti di pinggir mulutnya ada bekas makanan yang kembali ditelan, terus menerus melet hingga tugas pengambilan uangnya selesai," desis Kaji Maron.

Untuk mendapatkan ilmu Monyet Melet ternyata tidak semudah yang aku bayangkan sejak awal. Arkian, aku ternyata diwajibkan melakukan tapa puasa tujuh hari tujuh malam tidak makan, puasa ngableng, patigeni dan tapa menyelam dalam air danau tanpa bernapas tujuh menit, keluar masuk air selama tujuh hari.

Walau tapa-tapa itu berat utuk aku jalani, tapi demi menebus kesulitan hidupku, aku terpaksa juga melakukannya. Aku ingin sukses dan tak ingin gagal lagi seperti masa-masa yang lalu, di mana aku juga pernah gagal melakukan pesugihan ular sanca di Pangandara, Jawa Barat, sementara uang 40 juta rupiah sudah kuhabiskan untuk pesugihan yang menarik uang dolar Amerika tersebut.

Setelah puasa satu minggu tidak makan tidak minum selama tujuh hari, aku melakukan tapa-tapa yang lain, dan yang paling berat adalah tapa air, di mana semua buaya di danau itu mendekati aku dan aku sangat ketakutan. Untunglah, Kaji Maron selalu menemaniku dan aku pun berhasil melewati masa-masa sulit dalam pertapaan ini.

Setelah dua bulan aku tinggal di dalam hutan bersama Kaji Maron, aku diberi ijazah, lulus dengan nilai sembilan. Seekor monyet gaib, Raja Monyet Melet, diserahkan kepadaku dengan tandatangan darah. Kaji Maron bertandatangan darahnya dan aku pun menandatangani selembar kertas perjanjian dengan tandatangan darahku pula.

Aku keluar rumah malam hari, pukul 23.45 Waktu Indonesia bagian Barat, tanggal 23 Maret 2001. Berdasarkan aturan yang baku di kalangan gaib, saat pergi meninggalkan guru, sangat tabu bila dilakukan siang hari, saat matahri masih mencorong di langit. Untuk itulah, aku diperkenankan pergi saat matahari tidak sedang bersinar dan boleh disinari oleh bulan dan bintang-bintang malam di kaki langit.

Dengan rasa yang sangat sedih, aku mencium tangan guruku dan aku pergi meninggalkannya sendirian di tengah hutan belantara itu. Jalan setapak yang penuh onak dan duri kembali aku jalani, kulangkahi menuju jalan raya, Jalan Lintas Timur menunggu bus untuk pulang ke Jakarta tempat tinggalku di Cidodol, Jakarta Selatan.

Berbeda dengan saat aku pergi ke rumah Kaji Maron, saat pulang aku berjalan begitu enteng. Tubuhku seakan-akan melayang terbang dengan kecepetan tinggi, jarak 34 kilometer bisa aku tempuh hanya dua jam perjalanan. Kecepatan langkahku bagaikan sepeda motor, berlari dengan speed 30 kilometer per-jam.

Begitu sampai di jalan raya, ada bus malam yang kosong dan aku naik bus tigaperempat itu menuju terminal Rajabasa, Bandar Lampung. Sesampainya di terminal aku ganti bus menuju pelabuhan Kalianda, lalu menyeberang dengan kapal Jatra menuju pelabuhan Merak, Banten. Sesampainya di Merak, monyet yang aku gendong memeluk erat leherku dan kakinya mengencang di pinggangku, dengan mulutnya yang melet-melet.

Syahdan, ternyata monyet itu melihat uang haram di sebuah bank di Merak dan langsung minta tugas untuk mengambil uang kotor itu. Monyet itu aku lepas lalu dia masuk ke dalam bank. Monyetku itu tidak dilihat leh seorang pun yang ada di Merak. Hanya aku yang dapat melihatnya. Kalau pun ada yang mampu melihat monyet itu, kata Kaji Maron, adalah orang-orang yang berilmu gaib tinggi, yang setara dengan ilmu yang dikuasai Kaji Maron.

Kaji Maron berpesan, bila ada orang berilmu gaib tinggi yang mampu melihat monyetku, aku harus mendekati orang itu baik-baik dan memintanya untuk diam.

"Mohon maaf, satu guru satu ilmu tidak boleh saling ganggu. Ilmu Anda untuk Anda, ilmuku untuk aku!" nasehat Kaji Maron. Bila tidak baik-baik, akan menjadi bahaya, bencana, dan monyet melet akan hilang kesaktiannya dan aku bisa dibunuh sendiri oleh monyet itu.

"Harus berbaik-baiklah dengan orang yang berilmu gaib yang tinggi, jangan menantang dan menentang. Harus selalu menerndahkan diri dan diam, sangat rahasia dan tidak boleh memberitahu siapapun, kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan ummat," pesan guruku, Kaji Maron.

Setelah beroperasi di pelabuhan, aku mendapatkan uang segar, uang dalam bal-balan serta berjumlah jutaan. Dengan uang itulah aku memberikannya kepada fakir miskin di pelabuhan, tuna netrea terlunta dan anak-anak pengemis dekat pelabuhan. Setelh memberikan uang pecahan ratusan ribu itu, aku segera mencarter mobil sedan menuju Jakarta lewat tol Merak-Jakarta.

Sejak itu Monyet Melet terus aku operasikan dan aku bisa membawa ibuku ke Singapura, operasi jantung, dipasangkan ring dan ibuku, Alhamdulillah, sehat lagi. Semua anakku aku bikinkan paspor dan semua aku bawa ke Singapura.

Setelah ibuku sembuh total, aku membawa ibu dan anak-anakku ke Amerika Serikat, kami tinggal di negeri Paman Sam dan anak-anakku sekolah di Baltimore, dekat Manhattan. Monyet Melet terus beroperasi di Amerika dan kubawa pula di beberapa Negara Eropa seperti Belanda, Jerman, Italia, Spanyol dan Yunani.

Secara rutin ibuku aku masukkan ke rumah sakit dan berobat jalan di Amerika Serikat. Tapi hal yang membuat saya menangis, saat bulan puasa lalu, saat kami sekeluarga pulang kampung, aku pergi ke rumah Kaji Maron membawakan oleh-oleh dari Amerika berbentuk baju, celana, selimut, dan sepatu boat untuk daerah cadas.

Namun sayang, Kaji Maron tidak lagi berada di situ. Rumahnya kosong melompong dan tidak ada lagi tanda-tanda bahwa Kaji Maron masih hidup dan masih tinggal di situ. Padinya mengering dan danau di sekitar rumahnya sudah menjadi tanah. Buaya-buaya dan monyet tidak ada lagi di situ, sementara monyet melet yang aku gendong, melepaskan diri dariku lalu menghilang ke hutan dan tidak kembali hingga sekarang ini. Pesugihan Monyet Meletku berakhir sudah. Monyet gaib ku tidak lagi kembali kepadaku, dia menghilang bersama hilangnya Kaji Maron di dalam rimba belantara lebat itu.

Belakangan baru aku tahu dari mimpiku, saat kedatangan Kaji Maron ketika aku menginap di kampungku, bahwa Kaji Maron menyebut bahwa dirinya sudah meninggalkan dunia.

"Saya sudah mukswa, mukso, menghilang dan masuk ke alam gaib. Saya bukan mati, tapi mukso, kembali ke alam gaib dan tidak bisa terlihat oleh manusia. Jika mati, pasti ada jasadnya, tulang dan bangkainya, tapi aku lenyap begitu saja, menghilang ke alam khusus, alam nirwana gaib dan kita tidak dapat bertemu selamanya, selain di alam mimpi," desis Kaji Maron, dengan wajah bersedih.

Kami kembali ke Amerika dengan hati yang gunda gulana. Kesedihanku terus berlangsung lama, hingga saat ini, sedih akan kehilangan Kaji Maron, teman spiritual yang baik hati dan murah hati memberikan ilmu yang begitu besar untukku menebus kesulitan hidup.

Sebenranya, jujur saja, saya bukan sedih kehilangan Monyet Melet yang telah membuat aku kaya di Amerika, tapi aku sedih dan ternyuh kehilangan sahabat gaibku yang begitu baik, yaitu Kaji Maron yang sakti mandraguna.

"Selamat jalan Kaji Maron, semoga Abang Kaji Maron diterima layak di sisi Allah SWT dan dimasukkan ke dalam surganya yang indah. Amin!" bisikku, kepada ibuku, agar ibu juga mendoakan Kaji Maron yang telah mukswa dan lenyap ditelan alam gaib yang digelutinya selama ini. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013

Sabtu, 02 Maret 2013

Backgorund Wallpapers (Part 4)


Background Wallpaper 40

Background Wallpaper 01

Background Wallpaper 12

Background Wallpapers 17

Background Wallpaper 37
Beautiful Nature HD Wallpaper

Beautiful Vista Leaves

Window 7 Aurora Wallpaper

Background Wallpaper 13
Background Wallpaper 15

Butterfly Wallpaper

Background Wallpaper 10

Background Wallpaper 02

Background Wallpaper 04

Wood Texture