Minggu, 26 Mei 2013

Lima Hal dari Wanita yang Menakutkan Pria

Pria bagaikan kuda liar. Mereka mudah ketakutan. Ada banyak hal yang wanita lakukan yang dapat membuat pria panik dan membutuhkan pertolongan. Katy Taylot, pakar hubungan Match.com mengungkapkan lima hal yang bisa menakuti kekasih Anda:

1. Uji coba
Wanita sering bilang, pria takut terhadap komitmen. Faktanya, mereka tidak takut komitmen kok. Yang mereka takutkan adalah komitmen yang terlalu cepat. Yang dapat Anda lakukan adalah menetapkan batas waktu Anda sendiri lalu meninggalkannya secara diam-diam jika memang sudah waktunya.

Saat Anda bertemu dengan pria baru, jangan pernah membuat kesalahan dengan membuatnya merasa seakan-akan Anda telah memiliki pacar untuk menghibur Anda lalu kemudian dia dapat langsung menjadi kekasih Anda. Jangan mulai memanggil, “Halo” dan “Selamat malam” setiap hari, atau langsung mengundangnya dalam semua rencana Anda. Hal tersebut tidak akan dapat menggodanya. Pria ingin merasa telah mendapatkan Anda dengan usaha kerasnya.

2. Ketidakpastian
Tiga bulan pertama sebuah hubungan adalah masa yang mudah dan menyenangkan serta membahagiakan. Ini bukan waktunya Anda mengeluhkan hal remeh-temeh kepada dia serta selalu menangis. Kita semua berada dalam ketidakpastian, namun kekasih Anda bukanlah tempat mencari kenyamanan serta jaminan dalam tahap awal hubungan.

Untuk memahami ini, Anda harus menyadari bahwa pria dan wanita memiliki ikatan yang berbeda. Pria hanya mengungkapkan permasalahan mereka satu sama lain saat mereka mencari solusi, sedangkan wanita melakukannya sebagai cara untuk mengakrabkan suasana. Jika Anda mengungkapkan semua rahasia yang Anda tidak sukai mengenai diri Anda terhadap pria baru tersebut, maka dia akan akan berasumsi bahwa Anda ingin agar dia memperbaiki segalanya.

Dia akan mulai merasa, “Wow, gadis ini punya banyak betul masalah. Saya tidak dapat bertahan dengan semua ini. Saya juga memiliki masalah saya sendiri.”

3. Menjadi terlalu baik
“Apa pun yang kamu suka!”

“Saya tidak keberatan menyaksikan film apa saja!”

“Saya akan memiliki apa yang kamu punya!”

Saat seorang wanita benar-benar menyukai seorang pria, dia terkadang berhenti mengungkapkan pendapatnya dan mulai berbaur ke dalam kehidupan pria tersebut sebisa mungkin agar mendapat perhatian (hal tersebut sering terjadi setelah bercinta).

Jadilah wanita yang apa adanya, wanita pemikir yang mandiri yang membuat sang pria benar-benar jatuh cinta. Jangan mengganti program drama TV dengan program olahraga kesukaan sang pria, mengenakan baju yang disukai pria dan melupakan semua hobi Anda. Itu sangat tidak menarik.

Tetaplah pada pendirian Anda. Jika dia mengejek karena menyaksikan “Come Dine With Reality Tattooed Brides” setiap pekan, abaikan dan saksikan saja program tersebut. Karena sebenarnya dia juga ingin berkencan dengan orang yang seimbang dengannya.

4. Coba buat dia cemburu
Ada kalanya, Anda merasa bahwa kekasih Anda tidak lagi tertarik. Anda mungkin merasa tergoda untuk membuatnya agak sedikit cemburu. Haruskan Anda melakukannya? Berhati-hatilah.

Kenyataannya adalah, jika seorang pria menyukai Anda, dia akan secara otomatis merasa bahwa Anda selalu dikejar-dikejar oleh pria lainnya. Dia merasa bahwa Anda sangat cantik sehingga saat Anda naik bus, banyak “serigala kelaparan” yang ingin memangsa Anda.

Jadi jika Anda membuat dia cemburu terlalu sering, dia akan berpikir, “Apa sih maunya dia sebenarnya?” Lebih baik bersenang-senanglah dengan sahabat wanita Anda. Teruslah berlatih di pusat kebugaran. Berliburlah sesekali tanpa pasangan Anda. Ambilah kesempatan untuk bertemu orang baru. Tempatkanlah diri Anda yang membuat dirinya khawatir bahwa Anda akan bertemu dengan seseorang yang lebih baik darinya, dan akan menjaga kelakuannya sebaik mungkin saat berada di dekat Anda.

5. Reaksi berlebihan
Para pria tentu saja menyukai wanita yang kuat dan bersemangat. Namun menurut pria, seorang wanita yang kuat bukanlah wanita yang berteriak kepadanya setiap kali matanya melirik wanita lain, marah-marah ketika pria pulang malam atau menceramahi sang pria karena telah mengecewakan.

Tanda kekuatan yang sebenarnya adalah sikap tenang, jangan biarkan dia tahu bahwa Anda menyukainya. Dia akan jauh lebih khawatir kehilangan Anda jika Anda dengan tenang dan dengan singkat mengungkapkan kepadanya hal yang salah dan mengatakan bahwa Anda akan kembali kepadanya lagi saat dia telah menyelesaikan masalahnya (lalu meninggalkan dia sendiri).

Ini jauh lebih baik dibandingkan bila Anda berteriak dan mengancam serta menangis namun masih tetap berada di sisinya. Jika Anda tetap bereaksi secara emosional, dia akan memandang Anda sebagai orang yang tidak dapat diatur dan lemah serta membuatnya dapat mengancam diri Anda.

Tetaplah fokus pada tujuan-tujuan di dalam hidup Anda selain kekasih Anda. Bekerja, berolahraga dan temuilah sahabat Anda. Lakukanlah hal tersebut bahkan saat Anda ingin bersama dengannya setiap saat, khususnya saat Anda ingin berada dengannya sepanjang hari. Berikan dia ruang dan kebebasan secara alami dengan menjadikan diri Anda bahagia menjadi diri sendiri entah saat dia sedang berada di dekat Anda atau tidak.

Sumber: Yahoo She

Kembang Bernyanyi

Cerpen: Dadang Ari Murtono

Percayakah kau bila di dunia ini ada kembang yang ketika kuncup berwarna merah, semerah darah, dan perlahan-lahan, seiring dengan membukanya kuncup itu menuju sekuntum kembang yang mekar sempurna, warna merah itu luntur. Luntur dengan cara menetes. Serupa airmata yang menetes. Dan bersamaan dengan tetesan itu, akan kau dengar suara nyanyian yang menyayat. Nyanyian yang kadang lebih mirip suara tangisan. Itlah sebabnya, kemnbang yang ketika telah sempurna mekar berwarna putih itu, dinamakan kembang bernyanyi. Kembang yang akan segera layu dan luruh setelah warna putihnya memucat serupa wajah orang mati, lima menit seusai warna merahnya benar-benar tak ada.

Riwayat tentang kembang bernyanyi itu adalah sebuah riwayat tentang cinta yang tidak beruntung. Cerita tentang seorang pemuda yang menimpan cinta kepada seorang gadis. Gadis yang bagi si pemuda--seperti lazimnya orang yang jatuh cinta--adalah gadis paling cantik yang pernah ia lihat. Si pemuda merasa, dengan kecantikan si gadis, semua lelaki akan menyukai si gadis.

Bertahun-tahun si gadis menunggu Bertahun-tahun ia tetap terbangun di pagi hari dan mendapati sebuah kertas bertuliskan puisi dengan tulisan "ai" di akhir puisi di depan pintu rumahnya.

Secarik kertas dengan puisi-puisi cinta yang ditujukan kepada si gadis tetap didapati si gadis. Dan itu benar-benar mengherankan. "Bagaimana cara si pengirim puisi ini menaruh kertas ini tanpa sepengetahuanku? Padahal aku telah semalam berjaga mengintip dari balik jendela ini," itulah pertanyaan si gadis yang tidak pernah mampu ia jawab.

Sungguh, si gadis begitu berbahagia dan merasa teramat beruntung dicintai oleh seorang malaikat. Dan ia yakin, malaikat yang ia tunggu itu, yang mencintainya itu, suatu saat akan muncul menemuinya.

"Aku akan menunggu. Hanya dengannya aku akan menikah. Dan hidup bahagia selama-lamanya," gadis itu bersumpah.

Bertahun-tahun si gadis menunggu. Dan malaikatnya tidak juga muncul. Usianya merangkak semakin tua. Dan orantuanya mulai resah.

"Apalagi yang kau tunggu?"

"Aku menunggu malaikat yang mengirimku puisi-puisi ini. Hanyan dengannya aku akan menikah," demikian si gadis menjawab. Dan hal itu semakin membuat orang tuanya resah.

Orangtuanya memang paham benar perihal kertas-kertas bertuliskan puisi yang tiap pagi didapati putri mereka di depan pintu rumah. Dan hal itu juga membuat mereka penasaran. Seperti putri mereka, mereka juga berulang berusaha mengintip semalaman dari jendela untuk memergoki siapa gerangan pengirim puisi-puisi itu. Namun nasib mereka tidak berbeda dengan nasib putri mereka: usaha mereka tidak membuahkan hasil!

"Anak kita bakal jadi kembang bibir orang-orang. Apa yang lebih menyakitkan dari orangtua seorang gadis selain mendengar olok orang-orang bahwa anak mereka telah jadi perawan tua? Gadis yang tak laku?" demikian bapak dan ibu si gadis gelisah.

Si pemuda yang yang merasa begitu patah hati, dalam rangka untuk melupakan sakit hatinya itu, konon, dalam suatu pagi bergerimis, pergi meninggalkan kota kecamatan kecil tersebut. Pergi berjalan sambil menunduk. Gerimis membuat jalanan sepi dan tidak ada orang yang berpapasan dengannya sehingga tidak pula ada yang tahu kalau sepanjang jalan, ia tak henti-hentinya menangis. Menangis sambil menggumamkan puisi-puisi cinta cinta yang pernah ia kirimkan ke gadis. Dan selain puisi-puisi itu, ia gumamkan pula kalimat: ai... ai... cinta... cinta... aiku... aiku... cintaku... cintaku...

Si pemuda tak menoleh ke belakang. Dan tak pernah kembali ke kota kecamatan kecil itu. Tidak ada yang tahu engan pasti riwayat si pemuda kemudian.

Ada yang mengatakan bahwa pemuda itu mati lima hari kemudian dalam perjalanannya karena selama berjalan, ia tidak mau makan dan minum. Namun ada juga yang mengisahkan si pemuda di kemudian hari menjadi penyair cinta besar di kota besar yang selama sisa umurnya hidup sendirian dan menerbitkan serial puisi-puisi dengan judul Aiku. Dan karena buku itu tidak pernah ditemukan, maka cerita itu juga tidak dapat dijamin kebenarannya.

Ya. Si gadis yang dijodohkan paksa itu tiba-tiba jatuh sakit. Sakit yang misterius. Sakit yang tidak bisa dijelaskan apa sakitnya. Dokter dan tabib paling handal telah didatangkan dan tetap tak ada yang bisa menjelaskan apa sakit si gadis dan bagaimana cara mengobati penyakit itu. Si gadis hanya bisa terlentang di ranjangnya. Terlentang terpejam serupa orang yang tengah tidur. Sepanjang hari seperti itu. Dan mulut si gadis, terdengar gumam: ai... ai... ai...

Tidak ada yang tahu apa arti gumam itu. Gumam yang bila didengar berulang-ulang menjadi mirip nyanyian. Nyanyian yang begitu menyayat hati.

Dan menurut si empunya cerita, si gadis tidak bangun lagi. Tubuhnya pelan-pelan berubah menjadi tanah. Serupa mayat yang berubah menjadi tanah. Dan dari tanah itu yang berasal dari tubuh si gadis, menyembullah kuncup-kuncup tumbuhan. Tumbuhan kembang. Kembang yang kini disebut orang sebagai kembang bernyanyi.

Kembang yang ketika kuncupnya berwarna merah. Serupa merahnya gairah semangat remaja yang meruap-ruap. Dan seiring mekarnya kuncup itu, warna merah itu menetes. Menetes serupa darah. Menetes sambil mengeluarkan nyanyian yang menyayat seperti tangisan. Nyanyian yang berbunyi: ai... ai... ai...

Dan bagi penduduk asli daerah yang dulu bernama Ngudi Lor itu, bila ada yang bertanya kenapa kembang itu hanya sebentar mekar, mereka akan menjawab: gadis itu juga mekar sebentar ebelum kemudian mati terlalu dini. Mati karena cinta yang aneh. Dan bila ada yang bertanya kenapa kembang itu hanya bisa tumbuh di sana, maka mereka akan menjawab: karena di sanalah tubuh si gadis berubah menjadi tanah.

Tentu saja kau bisa meragukan cerita ini. Toh, sampai sekarang, para ahli masih melakukan penelitian tentang kembang itu. Mreka tengah berusaha mengklarifikasikan kembang itu, merembugkan nama ilmiahnya, dan berusaha mencari cara membudidayakan kembang itu di tempat lain (*)


Sabtu, 25 Mei 2013

Berikanlah Ketulusan Hatimu

Berikanlah Ketulusan Hatimu

Oleh : Adminaba

Kisah di bawah ini adalah kisah yang di dapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana. Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Pelajaran tentang Hati dan perasaan.

Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya.Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling."

Setangkai Edelweis Putih

Cerpen: Qizink La Aziva

Kawah Jongring Saloka kembali menyemburkan asap hitamnya, bahkan lebih besar dari semburannya yang pertama. Asap hitam menutupi pandanganku, badai pun datang menerjang!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Hari mulai senja ketika kami sampai di daerah Kalimati. Perlahan matahari beringsut ke pembaringannya, kemudian langit pun berubah menjadi warna merah jingga.

"Kita istirahat di sini saja," ucap Ozy yang ditunjuk sebagai ketua kelompok pendakian.

"Cari tempat yang asyik, Zy!" usul Kimung.

"Oke, kita dirikan tenda di sekitar Sumber Mani saja, agar kita tidak repot mengambil air," ucapku menyarankan. Ozy dan Kimung mengangguk menyetujui saranku.

Setelah menemui tempat yang cocok di sekitar Sumber Mani, kami segera mendirikan tenda. Dalam sekejap tenda pun berdiri. Kimung langsung rebahan melepas lelah, Ozy memeriksa perlengkapan pendakian, aku menyiapkan makanan. Kalimati adalah tempat istirahat terakhir bagi para pendaki sebelum melanjutkan perjalanannya menuju puncak Gunung Semeru. Daerah ini dikelilingi hutan alam dan bukit-bukit rendah.

"Cuaca kayaknya bagus nih, Kuh," ucapku Ozy sambil duduk di sampingku. Lalu menyeruput kopi hangat yang baru saja aku sajikan.

"Semoga saja, Zy. Tapi alam selalu memiliki misteri yang sulit kita tebak," ucapku pelan.

Ozy tersenyum mendengar penuturanku, mulutnya asyik mengunyah coklat kesukaannya. Malam terus beranjak, bulan penuh. Cuaca dingin mulai menyelimuti sekitar Kalimati.

"Zy, gue mau jalan dulu!"

"Kemana, Kuh? tanyanya.

"Taman Edelweis," sahutku.

"Hati-hati, Kuh!" Ozy memperingatkan. "Jangan lama-lama di sana. Kamu kudu istirahat. Jam satu kita mulai mendaki," lanjut Ozy.

"Oke deh."

"Eh, tunggu Kuh!" teriak Ozy ketika aku mulai berjalan.

"Ada apa,Zy?" tanyaku.

"Jangan merusak lingkungan! Awas kalau lo sampai memetik bunga-bunga Edelweis itu!" ujar Ozy kembali mengingatkan.

Aku tersenyum, lalu menganggukan kepala. Tentu saja hal itu tidak akan kulakukan. Sebagai pencinta alam, memetik bunga Edelweis yang merupakan bunga langka itu termasuk merusak lingkungan, dan hal itu tentu sebuah larangan bagi pecinta alam. Kulanjutkan langkahku menuju taman Edelweis. Tak butuh banyak waktu untuk sampai ke tempat itu, hanya sekitar lima menit perjalanan dari tendaku.

Taman Edelweis merupakan hamparan lahan seluas kurang lebih 20 hektar yang dipenuhi oleh bunga-bunga Edelweis Putih (Anaphalis javanica). Kurasakan kedamaian ketika aku sampai di tangah-tengah Taman Edelweis. Tangkai Edelweis yang lincah menari ditiup angin, membuatku semakin terpesona akan keindahan semesta. Dalam hati kusebutkan nama Tuhanku, sebagai rasa kekagumanku pada ciptaan-Nya.

Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, wangi bunga memenuhi rongga penciumanku.

"Hai....," satu suara sangat lembut menyentuh gendang telingaku. Aku terkejut satu sosok perempuan telah berdiri di sampingku. Aku tak tahu sejak kapan perempuan itu ada di smpingku!.

"Maaf, mungkin aku mengejutkanmu," ujarnnya.

"Siapa kamu?" tanyaku.

"Diana," sahutnya singkat.

"Kukuh," ucapku sambil mengulurkan telapak tanganku. Diana menyambut uluran tanganku. Tangan terasa dingin saat kugenggam. Kupandangi wajah Diana, rambutnya yang panjang bergerai tertiup angin. Matanya begitu bening dan tajam memandang. Ah... kau bagai bidadari di taman surgawi! Gumamku dalam hati.

"Kuh, kamu mau naik ke atas?" ucap Diana menanyakan rencanaku. Aku mengangguk. Diana memetik setangkai Edelweis Putih yag ada di dekatnya. Aku merasa bersalah karena terlambat mencegah Diana memetik Edelweis itu.

"Aku tahu kamu tak suka dengan perbuatanku ini," ucap Diana seakan mengetahui perasaanku. "Tapi kuharap kau mau menerima bunga ini sebagai kenang-kenangan atas perkenalan kita ini," lanjut Diana.

Aku seperti kerbau dicucuk hidungnya, menerima pemberian Diana. Aku kembali sendiri di taman edelweis. Diana pergi bersamaan dengan malam yang semakin larut.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Lepas tengah malam. Setelah membongkar dan merapikan tenda, setelah mempersiapkan semua perlengkapan mendaki. Aku, Kimung, dan Ozy memulai pendakian ke puncak Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Satu setengah jam kemudian aku sampai di lereng Gunung Semeru. Jalan Menuju Surga, demikianlah para pendaki menyebut jalan setapak di lereng Semeru ini.

Malam yang mulai gelap. Gunung Semeru bagaikan raksasa hitam menjulang tinggi ke angkasa. Kami mulai hati-hati menapaki jalansetapak yang berpsir.

"Kuh, Mung, hati-hati melangkah! Jangan sampai tergelincir!" ujar Ozy yang berada di depanku memecah keheningan malam. Dengan bantuan lampu senter, perlahan kami menapaki jalur pendakian. Angin berhembus makin kencang, aku mulai kedinginan. Tapi semangatku untuk sampai ke puncak Semeru memupus rasa gigil di tubuhku.

Menjelang pagi, kami sampai di puncak Semeru. Rasa lelah pun sirna, berganti dengan haru bahagia dan bangga, berhasil sampai ke puncak Semeru setelah berjuang melawan alam dan emosi jiwa. Panorama tampak bagitu indah untuk dinikmati dari puncak Semeru. Puncak-puncak gunung di Jawa Timur, garis-garis pantai, lampu-lampu kota yang belum padam, juga saat fajar mulai terbit dari ufuk timur. Aku bersujud, dan mulutku tak henti memuji Kebesaran Tuhan!

Ozy menancapkan bendera kelompok pecinta alam kami. Setelah itu kami bergantian mengabadikan kebahagiaan ini dengan berfoto. Namun tiba-tiba, kawah Jonggring Saloka menyemburkan asap hitamnya, asap itu mulai tebal membumbung tinggi hingga ke angkasa. Kasawan Semeru terselimuti asap hitam bercampur debu. Kami panik, berlari berusaha menyelamatkan diri. Begitu pun dengan para pendaki yang kutemui, lari tunggang-langgang.

Di tengah jalan, samar-samar aku melihat sosok perempuan yang sedang berdiri mematung di bibir kawah Jonggring Saloka, sosok Diana. "Diana....." teriakku sangat kencang, tapi Diana tetap tak bergeming. Segera aku berlari menuju Diana. Aku tak menghiraukan saat Ozy berusaha mencegahku berlari menuju kawah Jonggring Saloka, menyusul Diana.

Kawah Jonggring Saloka kembali menyemburkan asap hitamnya, bahkan lebih besar dari semburan yang pertama. Asap hitam menutupi pandanganku, badai pun datang menerjang! "Aaaaaggghhh...." pekikku saat kurasakan tubuhku meluncur ke bawah.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Aku membuka mata. Cahaya matahari menyengat kulit mukaku. Beberapa orang berdiri berkerumun di sekelilingku. Ozy menatapku dengan wajah cemas. "Ada apa, Zy?"

"Semalam kamu terjebak asap hitam di puncak Semeru, lalu tergelincir. Untung saja kamu cuma pingsan, Kuh."

"Aku mendesah. Mataku memandangi satu-persatu orang yang berdiri di sekelilingku. Tapi aku tak melihat Diana di antara mereka. "Diana.... ada yang melihat Diana?"

"Diana!" celetuk seorang petugas posko yang sedari tadi berdiri didekatku. Ozy menatapku dengan tatapan keheranan.

"Kamu kenal Diana?" tanyaku penasaran pada petugas posko. Lelaki bertopi rimba itu mengangguk pelan. Tangannya menyerahkan selembar kertas foto padaku, aku menerimanya. Kulihat sosok Diana pada kertas foto tersebut.

"Gimana keadaan Diana sekarang?" tanyaku tak sabar.

Petugas posko itu menarik napas berat. "Diana telah lama meninggal dunia!" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Apa?" sentakku tak percaya.

"Setahun yang lalu. Diana, kekasihku memaksaku untuk mengajaknya ke puncak Semeru. Aku tak sanggup untuk menolak keinginannya. Saat itu aku merasa khawatir. DAn kekhawatiranku terbukti. Diana mengalami kecelakaan saat kami di puncak Semeru. Tubuhnya hancur tertimpa batu vulkanik yang disemburkan kawah Jonggring Saloka!" cerita petugas posko.

Aku mendesah, masih juga tak percaya. Apalagi di saku celanaku masih ada setangkai edelweis putih pemberian Diana!

Selasa, 21 Mei 2013

Tiga Malam Aku Mencarimu

Cerpen: Gegge Mappangewa

Dua Malam yang Lalu....
Kutelusuri Makasar di aantara gelapnya malam. Berjalan sendiri, meski aku tak lain hanyalah seorang pendatang baru di kota ini. Kota yag terkadang orang menilainya sebagai kota yang rawan tindakan kriminalitas. Aku tak ingin penilaian orang terhadap kota ini menjadi penghalang bagiku untuk mencarimu. Yah, aku mencarimu Kak Ewa. Mencarimu di antara harapan yang sungguh aku tak tahu sebesar apa.

Terkadang aku membangun harapan itu sebiru dan setinggi langit, namun aku sering terjaga jika harapan itu hanyalah mimpi. Bukankah kepergianmu meninggalkan Magelang, karena aku yang lebih memilih berlari ke pelukan Shei saat aku berada di persimpangan hati antara kau dan Shei. "Kak Ewa, jangan pinta aku memilih! Mundurlah dari kehidupanku demi kebahagiaanku dengan Shei!" Kamu membisu saat itu. Menatapku pun tidak!

"Wa, aku tahu kau terluka. Tapi bagaimana pun Shei begitu banyak membantuku. Membantu kehidupan aku dan adik-adikku sejak papaku meninggal."

Aku ingin sekali mendengar suaramu saat itu. Tapi sedikit pun bibir merahmu tak bergerak. Hanya sebuah langkah balik kanan dariku dan berlalu tanpa pernah menoleh sekali pun. Tapi di hatiku, kamu tidak pernah pergi. Kamu selalu ada di setiap keberadaanku. Di mana pun! Setelah kematian Papa, tiba-tiba saja Shei menyusul dan sungguh aku menjadi takut untuk memiliki seseorang. Selalu saja harus berakhir dengan duka hati. Itu yang membuatku datang mencari di sini. Mencoba mengais kembali serpihan hatimu yang pernah aku retakan. Mungkinkah?

"Losari, Daeng!" ucapku pada seorang tukang becak. Dan dengan negoisasi harga yang sudah pas aku naik dan dibawanya pergi. Dari tenda ke tenda aku mencarimu. Mencari wajah polosmu di antara para musisi jalanan. Tapi kau tetap tak ada. Padahal, seseorang pernah cerita jika kamu hampir tiap malam mengamen di sepanjang Losari. Lalu kemana lagi aku harus mencarimu?

"Kamu cari Ewa? Dulu dia sering ngamen di sini," tutur seorang pengamen yang sedikit membuatku menemui titik terang.

Aku mengangguk. Aku sedikit takut melihat penampilan cowok gondrong ini.

"Kamu siapa?"

"Aku adiknya Ewa," bohongku tanpa sedikit kegugupan.

"Nama?" tanyanya.

"Namaku Tiara!." Kulihat dia tersentak. Dia menatapku tajam. Dan kali ini aku gugup. Tatapannya seolah ingin menerkamku.

"Ewa telah mati!" ucapnya santai dan aku bisa membaca jika itu adalah sebuah kebohongan. Tapi kemudian dia beranjak pergi tanpa memperdulikan aku yang mengejarnya dengan seribu tanyan.

Kemarin Malam....
Losari kembali menjadi target pencarianku. Paling tidak, cowok gondrong itu akan kumintai keterangan. Aku tak peduli, apa yang harus aku dengar darinya tentangmu. Tapi hingga Losari sepi karena malam semakin beranjak, cowok gondrong itu tetap tak ada. Langkah gontaiku kuayun pulang. Menelusuri ptrotoar pantai Losari sambil mencari taksi yang akan membawaku pulang.

"Hei!"

Tiba-tiba cowok gondrong itu datang menghadang langkahku dan menyapaku dengan ramah.

"Kamu mau ketemu Ewa?"

Sebelum aku menjawab, cowok itu telah menyekap mulutku dan membawaku ke dalam mobilnya. Aku meronta ingin teriak, tapi setelah masuk di mobil, sebuah tissue yang berbau obat bius telah dia sekapkan ke hidungku. Hingga kemudian, aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Semua telah gelap!

Malam Ini....
Aku berada di kamar ini dari kemarin malam. Cowok gondrong itu telah membiusku dan mengurungku di sini. Aku baru terjaga setelah pagi. Itu pun dengan pintu kamar yang terkunci. Hingga malam ini. Hanya sebuah perlengkapan mandi yang belum pernah terpakai, kini tersimpan di sudut tempat tidurku. Juga mie instant dan roti tawar serta aneka soft drink yang tersimpan di lemari es.

Sudah jam tujuh malam. Sampai kapan aku harus terkurung di sini. Dan aku tiba-tiba menemukan akal untuk mencungkil pintu saat mataku tertuju pada sebuh obeng. Peluh bercucuran menemaniku mencungkil pintu kamar. Namun saat pintu berhasil terbuka. Sebuah deruh mesin mobil yang masuk pekarangan rumah terdengar olehku. Cepat aku menyelinap di antara ruang tamu, lalu bersembunyi di belakang kursi.

Napasku tersengal. Dari celah bawah kursi jelas sekali aku kulihat ada enam pasang kaki yang memasuki rumah. Satu di antaranya bahhkan memiliih duduk di kursi yang kupakai bersembunyi di belakangnya.

"Kamu tunggu aja di situ dulu!" ucap salah seorang di antara mereka lalu berjalan ke arah kamar tempatku disekap. Dadaku semakin berdebar tak karuan. Bagaimana mungkin aku bisa lari jika seseorang malah duduk di dekat tempat persembunyianku. Dan hanya selang beberapa menit, kembali aku terpikir untuk meraih keramik di sampingku lalu memukulkan dari belakang ke kepala orang yang kini duduk di kursi tempatku bersembunyi.

"Cewek itu melarikan diri," ucap seseorang dari dalam dan terdengar panik. Dan gerakanku untuk menyentuh keramik dan memukulkannya, terhenti. Meski sesaat kemudian, dari belakang, keramik itu kupukulka juga ke kepala orang yang duduk santai di ruang tamu.

Dan cowok yang tadi duduk sendiri di kursi itu tersungkur ke lantai. Dan itu kugunakan sebagai kesempatan untuk berlari. Aku berlari dan terus berlari di antara gelapnya malam. Meski aku tak tahu aku berada di mana. Hanya lalu lalang kendaraan yang terkadang membuatku bingung harus lari ke mana. Dan sayang, satu dari kendaraan yang lalu lalang itu menghempaskan tubuhku ke trotoar. Mengantarku ke dalam pekannya malam.

Tapi sebelum pekat itu sempurna. Antara sadar dan tidak, cowok gondrong kemarin malam yang ternyata mengejarku dari belakang, kini memapah tubuhku entah ke mana. Aku tak tahu lagi! Aku seperti terbius di antara rasa sakit di bagian tulang punggungku, akibat tertabrak mobil tadi.

"Tiara!"

Seolah dalam mimpi. Ada suara yang memanggil namaku. Dan aku tahu sekali jika itu adalah suaramu, Ewa! Mungkinkah kamu datang untuk menyelamatkanku? Atau kamu akan datang untuk menjemputku untuk menemaniku ke alam abadi, jika memang kamu telah meninggal.

"Tiara, aku Ewa!"

Kubuka mataku perlahan. Dan kudapatkan diriku dalam ruangan yang serba putih. Dari jam yang tergantung di dinding, kulihat jarumnya menunjukkan ke angka dua.

"Jam dua malam?" desisku.

"Ya, beberapa jam yang lalu kamu tertabrak mobil."

"Lalu kenapa dengan kepalamu?" tanyaku melihat kepalanya terbalut perban.

"Bukankah kamu yang memukulku tadi dengan keramik?" ucapnya dengan sebuah senyum manis.

Kutatap mata yang selama ini hilang dariku. Mata Ewa! Masihkah mungkin untuk kumiliki.

"Siapa yang membawaku ke sini?"

"Arbi," jawab Ewa sambil menggenggam tanganku.

"Siapa dia? Cowok gondrong itu?" kurasakan kebencian menyelinap ke balik dadaku yang sesak oleh rasa rindu untuk memeluk Ewa.

"Dia temanku saat ngamen dulu. Tapi menjadi seteruku kemudian karena seseorang pemilik cafe lebih memilih aku untuk main band di cafenya. Dia menculikmu dan meminta tebusan dariku."

"Kamu memberika tebusan itu?"

"Apa pun kuberikan demi kamu, Tiara. Kuharap jangan pernah pergi dariku lagi."

Malam ini pencarianku berakhir, dan sungguh aku tak pernah lagi mau mencarimu. Aku akan selalu mengikuti langkahmu. Kemana pun! (*)

Dialog Setengah Hati

Cerpen: Y Ratih Indreswari

“Terbayang wajah polos mereka, memaksanya bangkit dari keputusan bodoh itu. Namun, sepertinya gadis itu sudah terlanjur cinta pada dunia kematian. Sekarang ia bimbang mencari apa yang bisa menghantarkannya.”

Entah sudah berapa lama kata yang kusodorkan di paragraph akhir dalam cerpen ini. Secangkir minuman sereal hingga mendingin tak tersentuh oleh jemariku. Mungkin jika penguasa malam bisa berbicara. Setidaknya, mereka berusaha menakut-nakutiku dengan segala utusannya menyingkirkanku ebagai pesaing barunya. Namun, hanya seekor burung hantu di sekitar kamar indekos yang bersiul pelan berusaha menidurkanku, tapi gagal. Kini ku menemukanmu, di ujung patah hati, lelah hati menunggu cinta yang selamatkan hidupku…. Aku menikmati lagu itu, “Seventeen” benar-benar idolaku. Setelah beberapa detik aku tersadar ternyata nada dering ponselku sendiri. Aku bisa menebak seseorang yang biasa meneleponku.

Ketika malam telah mencapai pertengahannya, hanya Ibu satu-satunya orang yang selalu meneleponku.

“Halo, sayang, Terry sudah tidur belum? Ibu sedang menonton acara bagus. Terry sedang apa? Ibu mau cerita,” ujar ibuku bersemangat, tepatnya selalu bersemangat.

“Tidak, Bu. Aku sedang menulis untuk bahan besok bu. Mengapa Ibu belum tidur? Sudah larut mama,” sahutku pura-pura memberi nasehat.

“Oh begini, Ter. Hari ini ibu lelah sekali. Bagaimana tidak, hari ini banyak sekali kegiatan, belum pekerjaan di rumah yang harus diselesaikan. Kamu tahu kan bahwa tidak ada yang membantu Ibu. Bagaimana keadaan hari ini? Pulang kerja jam berapa? Telat makan tidak?” Tanya Ibu dengan penuh perhatian yang tampak bagiku hanya pertanyaan yang kurang penting.

“Tadi pulang kerja jam 18.00 WIB. Hari ini tidak terlalu padat. Ibu hari ini banyak kegiatan ya? Tidur saja, Bu,” ujarku berharap percakapan ini usai.

“Sebentar lagi. Ibu masih menonton, sinetronnya belum selesai,” ujar Ibu santai sambil mengunyah sesuatu. Lanjutnya, “Ter, tadi ada kejadian lucu. Terry mau dengar tidak? Begini, sewaktu Ibu mau pulang ada…….,”

“Bu, besok aja kita lanjutnya ya bu. Aku mau menyelesaikan tugas, Bu. Maaf ya, Bu. Selamat malam. Miss you!” ujarku mengakhiri percakapan dengan kesabaran level akhir.

Aku tidak habis pikir, percakapan ini nyaris terjadi setiap malam. Tepatnya di antara kesibukan pekerjaanku dan waktu tidur, Ibu selalu menelepon. Percakapan yang terkesan membuang waktu dan kurasa berlandaskan keterpaksaan. Ini terjadi sejak lima tahun lalu, saat itu aku memutuskan untuk menempuh sekolah tinggi swasta di luar daerah. Ini berarti, aku berdomisili terpisah dari orangtua. Namun setelah menyelesaikan pendidikan diploma tiga, aku memutuskan untuk menjadi pekerja di kota ini, tepatnya sebagai seorang jurnalis pemula pada surat kabar lokal. Ibu adalah seorang pendidik taman kanak-kanak dan PAUD. Pekerjaan yang dilakoninya selama belasan tahun itu menuntut ibu untuk selalu energik, bersemangat, bergembira bahkan bagiku bsedikit kekanak-kanakan. Hidup sendiri dan jauh dari orang tua sepertinya telah menjadi gaya hidup yang kupilih. Gaya hidup yang semakin membuat aku lebih ahli dan profesional dalam menggeluti pekerjaan ini

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

“Seperti kebimbangan lebih bernilai ketimbang kematian itu sendiri. Akhirnya gadis itu membuat pilihan tepat yang dihasilkan dari kesadaran akan kebodohannya yang tak bernilai.”

Hari ini aku memutuskan untuk mengubah baris kedua di paragraf akhir cerpen, berharap kepuasan menulis ini terpenuhi secara total. Aku mencintai pekerjaan ini dan aku memiliki impian besar di dalamnya. Aku ingin membahagiakan kkeluarga dan hidupku sendiri apa pun itu caranya. Namun ituu semua butuh waktu, termasuk waktu yang aku butuhkan setiap malam untuk menulis tanpa gangguna. Kini ku menemukanmu, di ujung waktu ku patah hati, lelah hati menunggu cinta yang selamatkan hidupku. Ponselku bordering lagi. Aku menarik napas dalam. “Astaga, Ibu lagi. Aku butuh waktu untuk bekerja,” komentarku sambil menggerutu. Meskipun gelisah, aku membiarkan ponsel itu bordering. Aku tidak ingin diganggu dengan percakapan-percakapan biasa. Ponselku tidak bordering lagi. Aku kembali bekerja.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

“Suasana berjalan normal dan biasa.. gadis itu tertawa sepanjang waktu, baginya warna kelabu berevolusi menjadi jingga, merah, biru, dan nila. Warna-warna yang disukainya sekarang, seperti kehidupan yang disukainya sekarang.”

Beberpa hari ini aku merasa letih. Cerpen itu berhasil diselesaikan sebelum waktunya tetapi aku berjanji untuk memperbaikinya lagi. Tepatnya sedikit perbaikan pada awal permasalahannya. Artinya, aku harus bekerja keras malam ini. Saatnya bekerja. Kini aku menemukanmu, di ujung waktu ku patah hati, lelah hati menungu cinta yang selamatkan hidupku…. Ponselku bordering. Aku memutuskan untuk mengangkatnya

“Halo, Bu. Apa kabar, Bu? Maaf ya kemarin aku tertidur, Bu,” ungkapku.

“Ya, tidak apa-apa. Oh iya, ada kejadian lucu, Ther! Pagi tadi, ketika Ibu datang ke sekolah ternyata salah seorang teman ibu memakai baju batik. Padahhal seharusnya hari ini kita memakai baju dinas. Sudah datang telat salah pakai baju pula!... hahaha…,” gerai tawa ibu terdengar renyah.

“Oh, ya? Lucu juga. Lain waktu dia pasti akan lebih berhati-hati ya, bu,” sahutku yakin sambil bersabar. Ibu memang kekanak-kanakan keluhku.

“Masih ada lagi, Ther. Masih ingat tidak dengan tetangga paling depan? Nah, ketika Ibu lewat, dia memanggil Ibu. Tahu tidak? Ternyata dia menanyakan resep masakan yang sering Ibu masak. Ibu dengan senang hati menjelaskan. Bahkan Ibu mau….”

“Bu,” ujarku memotong cerita. “Aku bosan, Bu. Aku butuh waktu sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ini. Bisakah Ibu bercerita hal-hal penting saja? Setiap hari aku hanya mendengarkan cerita-cerita yang tidak begitu penting,” sahutku jujur dan tegas, lanjutku. “Bu, aku butuh waktu. Aku memiliki tugas di sini. Aku memiliki….”

Tidak ada jawaban, rupanya Ibuku terdiam.

“Ther, Ibu kesepian…. Ibu bingung mau bercerita dengan siapa. Kita tidak menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Ibu kesepian. Ibu takut kita tidak diberikan kesempatan untuk bertemu lagi. Ibu membutuhkan kamu. Ibu kesepian. Kamu sekarang jauh dari Ibu. Tolong maafkan Ibu Nak,” ujar ibu terdengar sedih.

Telepon terputus dan aku merenung. Ternyata selama ini satu-satunya perasaan yang dialami Ibu hanya kesepian. Aku terdiam, merasa seperti diberi terang sekali tamparan. Aku tertidur, namun tentu dengan segenap perasaan bersalah. Mudah-mudahan besok semua kembali normal seperti paragraf akhir cerpen tadi.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Kini ku menemukanmu, di ujung waktu ku patah hati, lelah hat menunggu cinta yang selamatkan hidupku…. “Halo, Bu. Apa kabar Bu hari ini?” tanyaku, kali ini tanpa terpaksa.

“Halo, Nak. Ini Ayah, Nak. Besok kamu kerja tidak?”

“Ada ap,a Yah? Ada apa?” ujarku panik.

“Kamu bisa pulang pagi ini? Tapi seandainya tidak bisa tidak masalah. Ayah mengerti kesibukan dan kewajibanmu di sana, Nak.”

“Ada apa, Yah? Mengapa aku harus pulang? Apa yang terjadi?” kkalimat ini menunjukkan dengan terang bahwa hanya dalam kondisi terdesak aku baru harus pulang ke kampung halaman. Ayahku menjawaab, “Tidak apa-apa. Pulanglah. Lakukanlah yag terbaik.

Aku merasa panik seketika mendengar jawaban Ayah. Tidak biasanya Ayah memintaku pulang. Ada sesuatu yang terjadi mungkin berhubungan dengan Adik atau Ibu. Aku harus ke stasiun untk mendapatkan tiket pagi ini. Aku melihat naskah cerpen yang belum diketik, aku menyayangkan kepulangan ini. Aku terpaksa pulang. Suasana dalam kereta api benar-benar panas. Ini membuatku semakin tidak ikhlas untuk pulang ke rumah.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Aku membuka pintu belakang. Aku langsung menyergap Adikku, itulah kata yang lebih tepat. “Di mana ibu? Mengajar ya?” tanyaku penasaran.

“Ibu di kamar, Mbak. Ibu itu sakit, Mbak. Kata dokter Ibu harus banyak istirahat.”

“Oh, berarti tidak terlalu parah. Mengapa aku harus pulang?” gumamku dalam hati.

Meski begitu aku sudah di sini. Tidak ada yang perlu disesali. Aku membuka pintu kamar untuk melihat kondisi Ibu. Suasana kamar membingungkan, sepertinya seluruh keluarga besar di sini mengitari ranjang Ibu. Aku panic. Ibu terbaring tidak bergerak, tidak bersuara dan tidak membuka mata. Ada apa ini, teriak suara batinku. Rambutnya sekarang menipis, tubuhnya terlihat kecil. Seperti bukan Ibu, gumamku.

“Ibumu sakit. Dokter belum memutuskan apa penyakit Ibu karena ini tiba-tiba saja terjadi. Dokter hanya memberi obat antibiotik. Awalnya ibu hanya muntah-muntah saja, lama-kelamaan seperti ini kondisi Ibu. Mandilah dan sarapan, Nak,” ujar Ayah pelan. Aku tidak merespons perintah Ayah. Aku masih berdiri terpaku.



“Sejak kapan Ibu seperti ini? Mengapa aku tidak diberi tahu secepatnya, Yah? Seberapa parah, Yah?” aku mulai panik, dadaku mulai terasa sesak.

“Tidak, Nak. Ayah dan Ibu sangat mengerti kesibukanmu di sana. Tapi sebelum Ibu sakit, dia selalu menyebut nama kamu. Sebenarnya, Ibu tidak siap terpisah dari kamu. Namun, tiap waktu dia berusaha untuk memakluminya. Mengapa kamu jarang menghubungi Ibu? Sekedar menanyakan kabar hari ini, Ayah pikir tidak masalah. Mungkin kerinduan Ibu tidak tertahankan lagi. Tapi ya sudahlah, mungkin memang Ibu memiliki penyakit tertentu,” sahut Ayah dengan kata-kata penyesalan sekaligus terkesan menghakimi.

Rupanya Ayah belum selesai. “Nak, coba dibelai rambut Ibu. Dia bisa mendengar tapi belum bisa bangun dan bergerak. Setiap membuka mata, Ibu muntah-muntah. Coba disapa Ibunya.” Aku mendekati Ibu dan memberanikan diri untuk membelai rambutnya. Aku terlalu takut karena rasa bersalah yang begitu besar. Rambutnya yang telah menipis dan untuk pertama kalinya aku melihat rambutnya mulai memutih.

“Nak, kamu tahu? Sejak kamu kuliah di sana dan memutuskan untuk bekerja di sana itu tidak mengubah porsi Ibu memasak. Selalu kebanyakan, dalam pikiran Ibu kamu masih ada di sini, dan Ibu merasa harus memasaknya. Ayah selalu menegur Ibu karena selalu memasak kebanyakan. Tapi Aya menngerti sekarang bagaimana dia mencintaimu,” ujar Ayahku dengan pelan. Sekarang mukaku memerah, ingin meledak rasanya. Ayah membelai rambutku sembari berkata, “Kami menyayangimu, Nak. Jangan merasa bersalah, sempatkanlah untuk menghubungi Ibu. Ayah tidak bisa menggantikan posisimu selama ini yang selalu mendengarkan Ibu. Ibu memang kekanak-kanakan, tapi Ibu tetap seorang Ibu yang sangat mengasihi anak-anaknya.

Aku mulai menangis. Ayah menambahkan lagi bahwa setiap hari Ibu selalu menyiapkan air putih khusus untukku. Dan selalu mengganti gelas itu setiap sore. Kata Ibu, walaupun anaknya jauh tapi tidak akan merasakan dahagadi sana. Aku terdiam. Selama ini perhatianku hanya terfokus pada menulis dan bekerja. Aku tidak pernah memikirkan Ibu bahkan satu kali sehari. Maafkan aku, Ibu. Aku terisak menangis pelan. Ternyata tidak ada cara lain selain mendengarkanmu. Cepatlah sembuh, Ibu. Setidaknya cepatlah sadar, aku berjanji akan mendengarkan apapun cerita Ibu. Sekarang aku yang kesepian. Aku menangis tertahan karena malu dan menyesal. Kini aku menemukanmu, menemukan terang kasihmu Ibu. Bukan karena perbuatanmu yang besar, melainkan karena cintamu yang besar. Sadarlah, Ibu….

Kini kumenemukanmu di ujung waktu ku patah hati, lelah hati menenggu cinta yang selamatkan hidupku…. Sayangnya itu bukan Ibu. Aku membiarkan nada itu berbunyi berulang kali, berharap Ibu mendengarkannya. Ibu, aku berjanji tidak akan berdialog setengah hati lagi melainkan sepenuh hati seperti kasihmu. (*)

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Kamis, 16 Mei 2013

Desktop Wallpapers (part 6)

Desktop Wallpapers

Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers

Desktop Wallpapers (part 5)

Desktop Wallpapers

Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers

Desktop Wallpapers (part 4)

Desktop Wallpapers

Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers

Desktop Wallpapers (part 3)

Desktop Wallpapers

Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers
Desktop Wallpapers