Rabu, 24 Juli 2013

Barter Nyawa di Lereng Gunung Sumbing

Barter Nyawa di Lereng Gunung Sumbing Oleh: Esparti

Tak tahan dengan kemiskinannya, Lukman menukar nyawanya sendiri dengan sejumlah uang. Potongan tubuhnya diperjualbelikan dipasar setan. Sedangkan ruhnya menjadi budak iblis sepanjang masa.

Maria masih ingat persis saat Lukman suaminya pagi itu pulang dengan langkah gontai. Ia berucap lemah dengan bibir sedikit pucat.

"Maria, mungkin ini uang terakhir yang bisa aku berikan kepadamu. Kau gunakan seperlunya agar cukup untuk keperluan sekolah Rani anak kita. Dan jika ada sisanya, bisa kau manfaatkan untuk modal berdagang," tutr Lukman sambil menyodorkan bungkusan kantong hitam, yang ternyata berisi lembaran uang kertas.

Maria tampak bingung, bahkan tak tau harus bilang apa. Ia terbengong dengan sikap suaminya yang pergi selama tiga hari, dan tiba-tiba pulang dengan membawa sekantong penuh uang kertas.

"Uang dari mana semua ini Mas? Apa yang telah kau lakukan selama tiga hari kepergianmu?" tanya wanita beranak satu sembari mengernyitkan dahinya.

"Hidup adalah pilihan Maria. Walau pilihan itu terasa pahit bagi kita, tapi inilah takdir yang harus kita jalani." Kenang Maria menirukan ucapan suaminya dua tahun silam.

Lukman merasa telah gagal hidupnya setelah merantau beberapa tahun di daerah Cikupa, Tangerang tanpa membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Lalu ia pulang ke kota kelahirannya Kebumen. Dengan pertimbangan biaya hidup yang lebih rendah, sehinga berharap bisa sejahtera. Tapi rupanya dugaan itu meleset, kenyataan ini tak didapatinya pula di desanya. Walau segala upaya telah dilakukan Lukman agar bisa hidup layak, tapi usaha itu tetap saja gagal, tak membuahkan hasil yang berarti. Hingga ahrnya ia tergiur oleh bisikan manis iblis yang bersemayam dalam jiwanya.

"Dalam keterpurukan ekonomi, Mas Lukman benar-benar stres. Sering ia mengeluhkan keadaan itu, dan aku sendiri tak bisa berbuat banyak, kecuali hanya menyabaran hati untuk mengarungi kehidupan yang pahit ini." Lanjut Maria dalam perbincangan dengan misteri.

mungkin ungkapan "orang miskin dilarang sakit" itu ada benarnya. Jangankan sakit, sehat saja susah mencari rezeki yang halal. Sehingga haram pun ia terjang dengan berbagai cara. Pemikiran inilah yang terus bermain dibenak Lukman. Hingga akhirnya pada suatu malam, ia mendatangi rumah Baskoro adiknya, dengan maksud meminta untuk menemaninya pergi ke suatu daerah di lereng Gunung Sumbing. Menurutnya di tempat itu ada seseorang yang bisa merubah hidupnya menjadi makmur, terkabul segala kebutuhannya, dengan jalan menukar nyawa kepada dhanyang penghuni disana.

"Di tempat itulah dulu temanku bisa merubah nasibnya dengan spontan Bas. Sekarang dia menjadi orang yang kara-raya di kampungnya," bisik Lukman berusaha meyakinkan adiknya dengan suara pelan, agar tak didengar orang lain.

"Tapi Mas... aku tak berani. Apa tidak ada jalan lain? Hal itu bukan hanya dosa besar, dan resikonya suatu saat kita sendiri yang harus menanggungnya, baik kepada dhanyang tersebut, maupun di hadapan Tuhan." Ucap Baskoro yang begitu terkejut dengan keputusan kakaknya. Lukman hanya menggeleng pelan.

"Aku ingin kaya, Bas, bukan hanya sekadar mimpi jadi orang kaya. Dan semua akan aku mulai sekarang. Aku yakin, diriku bisa menjadi orang yang terpandang dan disegani di kampung ini. Kau tau Bas, aku sudah capek miskin. Aku sudah bosan dihina dan diremehkan masyarakat. Keberadaanku di tengah mereka seolah tak dianggap." Tuturnya sedikit mengeras dengan pandangan kosong.

"Yah...... itulah nasib kita Mas. Tapi untuk menempuh jalan sesat, aku tak bisa. Bahkan sama sekali tak terbersit dalam benakku. Kalau bisa kau eling dan sadar Mas!"

"Sudahlah Bas! Kalau kau tak berani, biarlah aku sendiri yang pergi ke tempat itu. Niatku sudah bulat, semua sudah aku pertimbangkan. Dan memang rasanya hanya jalan ini yang bisa merubah hidupku. Kalau kau tak mau menemaniku, biarlah aku berangkat sendiri besok pagi."

Kemudian ia berlalu, pergi meninggalkan Baskoro yang masih terbengong. Ajakan Lukman ditolaknya dengan halus, bahkan Baskoro telah berusaha keras untuk menghalangi niatnya. Tapi sayang, rupanya iblis telah bercokol dengan kuat di hatinya. Sehingga pagi itu Lukman tetap pergi meninggalkan Maria. Kepergiannya yang tanpa pamit membuat wanita setengah baya itu mengkhawatirkan dirinya.

"Setelah tga hari lamanya, tiba-tiba dipagi buta ia pulang dengan menenteng bungkusan tas plastik hitam. Dan begitu kubuka, ternyata berisi lembaran uang kertas penuh. Sontak aku terkejut, berbagai penafsiran sempat aku tanyakan, tapi ia tak menjawab sama sekali. Dirinya hanya tersenyum yang rasanya cukup pahit bagiku." Cerita Maria di hadapan Misteri.

Maih menurutnya pula, setelah dua tahun berlalu baru dirinya tau kalau ternyata kepergian Lukman saat itu menuju lereng Gunung Sumbing untuk menemui seorang dukun yang bernama Wak Diran. Semua ia ketahui dari pengakuan Baskoro. Menurutnya, Wak Diran bisa menghubungkan seseorang yang ingin menukarkan nyawanya dengan penghuni disana, asalkan orang tersebut dengan niat mantap. Dan ini terbukti pada diri Lukman.

"Aku tak menyangka suamiku akan berbuat senekat ini. Kalau saat itu tau, aku tak akan mau menerima uang dari hasil penjualan nyawanya di sana. Dan yang paling menyedihkan, Mas Lukman belum sempat menikmati hasil jerih payahnya ia keburu dijemput oleh dhanyang lereng gunung itu. Jika kuingat semua, perih rasanya hati ini." Kenang wanita yang kini menekuni usaha katring di desanya. Dan semua itu tak lepas dari modal pemberian suaminya untuk yang terakhir kalinya. Di hadapan Misteri Maria menuturkan, betapa hancur hatinya saat dengan mata kepala sendiri melihat Lukman suaminya meregang nyawa.

Sehabs makan malam bersama, tiba-tiba ia tersengal, lalu batuk dan kemudian langsung muntah darah. Mas Lukman jatuh tak sadarkan diri. Kami tak sempat membawanya ke rumah sakit, karena kejadiannya begitu cepat. Bahkan saat tetangga berdatangan dengan maksud memberikan pertolongan, ia sudah tak bernyawa."

Lebih lanjut Maria menuturkan, kematian suaminya yang tragis ini tak lepas dari ulah dhanyang gunung itu yang menukar nyawanya dengan sejumlah uang. Begitu juga keyakinan Baskoro adiknya, beruntung ia berhasil menolak ajakannya saat itu. Rupanya begitu cepat kesempatan hidup yang diberikan oleh iblis tersebut. Bahkan beredar kabar pula, manusia yang mati karena barter nyawa di tempat itu, jasadnya (raganya) akan diperjual belikan layaknya daging potongan di pasar setan yang ada di sana.

Kabar mengenai hal itu rasanya sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat di lereng Gunung Sumbing. Sedangkan nyawa mereka yang telah ditukarnya akan menjadi budak para penghuni di sana. Dari keterangan Baskoro yang disampaikan kepada Misteri, sebenarnya saat itu kakaknya masih hidup. Hanya saja waktu kesepakatan dalam penukaran nyawa telah habis, sehingga dengan paksa ia akan diambilnya saat itu juga.

"Dhanyang di sana ta mau peduli orang tersebut sedang dimana atau sedang melakukan apa. Yang pasti saat waktunya tiba, mereka beranggapan karena serangan jantung. Atau jatuh dari kendaraan tanpa sebab yang diakhiri dengan kematian. Hal ini perlu diwaspadai dengan ulah penghuni tempat itu.

"Yang pasti jasad dari orang yang menjadi korbannya dengan cepat akan ditukar dengan pohon pisang (gedebong) untuk mengelabuhi keluarga dan masyaraat. Sedang raga aslinya akan diperjual-belikan kembali di pasar alam pedhanyangan. Kemungkinan hal ini yang terjadi pula dengan kakakku." Tandas Baskoro dengan sesekali mengenang sosok kakaknya yang menurutnya cukup pendiam. Saat ditanyai mengenai proses ritualnya, laki-laki yang merupakan adik ipar Maria mengungkapkan, kalau sebenarnya hal itu tergantung dari banyak sedikitnya harta atau uang yang diminta.

Jadi semakin banyak permintaan, semakin cepat pula nyawanya ditarik untuk dijadikan penghuni alam sana. Seprti yang pernah aku dengar, teman Mas Lukman yang tinggal di daerah Brebes. Saat itu ia meminta sebuah rumah, mobil sewrta motor. Alhasil, gaib di sana memenuhinya dengan syarat, umur mereka tinggal setahun. Dan beberapa bulan kemudian terbukti, ia memiliki segala sesuatu yang diinginkannya. Akan tetapi baru menikmati kemewahan sesaat, waktu yang dijanjikan habis. Tibalah saatnya ia menyahur hutang atas janji yang telah disepakati. Sehingga tepat setahun kepulangannya dari gunung itu, teman Mas Lukman meninggal dengan mngenaskan.

"Pernah ada seseorang yang diberi kesempatan waktu hanya enam bulan untuk menikmati hartanya, ini dikarenakan banyaknya kekayaan yang dimintanya, sehingga penghuni di sana hanya memberinya waktu begitu singkat." Sambungnya mengingat cerita Mas Lukman saat itu atas nasib yang menimpa para sahabatnya, yang mungkin telah menginspirasikan dirinya pula, sehingga ia mengambil jalan yang serupa.

Mungkin penuturan Baskoro benar, bermacam cara bia dilakukan iblis tempat itu untuk menjemput nyawa seseorang yang telah menjadi targetnya, hanya saja berbeda jalan dan cara. Ada yang jatuh pada saat sedang jalan, dan mereka menyangka kalau ia terkena strooke. Terkadang pula dengan cara kecelakaan di jalan, dan hal ini paling sering terjadi. Bahkan ada yang hanya sakit sehari langung meninggal dunia.

Tapi ang jelas semuanya mati secara mendadak. Dan pastinya, nyawa orang yang telah dijual di tempat itu tak pernah lewat dari apa yang sudah diepakati bersama. Mungkin bagi sebagian orang menjual nyawanya disana merupakan hal yang praktis dan bisa mengurangi beban dosa, karena tak perlu menggunakan tumbal orang lain, apalagi nyawa keluraganya. Ia lebih baik mengorbankan diri sendiri demi kebahagiaan keluarganya.

Tapi bagaimana pun juga, ia tetap dosa besar di sisi Tuhan. Bahkan ia akan mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh dari iblis penghuni gunung tersebut. Rupanya diri manusia tak berarti bagi setan dan sebangsanya. Begitu pula bagi kehidupan kita sendiri. Terbukti nyawa satu-satunya diperjual-belikan kepada makhluk halus layaknya barang dagangan. Bahkan kabarnya, dagingnya pun akan menjadi tontonan dan bahan belanjaan yang banyak diminati bangsa setan di pasarnya.

Seolah menjadi mimpi buruk yang tak pernah terduga bagi Maria. Seorang Lukman yang dikenal pendiam, tiba-tiba menjalin persekutuan dan rela menjual nyawanya sendiri untuk mengatasi enderitaan yang terus membelitnya. Mungkin Lukman orang yang selalu berharap mulia untuk membahagiakan keluarganya. hanya dirinya lupa, kalau sedang hidup disebuah negara yang sulit lapangan kerja, serta rendahnya moralitas akibat terpuruknya keimanan kepada Allah SWT. (*)

Sumber: Misteri Edisi 562 Tahun 2013

Misteri Tangisan Wanita di Air Terjun Tegan Kiri

Kabupaten Bungo memiliki objek wisata alam yang sangat menarik untuk dikunjungi. Satu di antaranya adalah Air Terjun Tegan Kiri, yang terdapat di Dusun Rantau Pandan, Kecamatan Rantau Pandan. Air terjun yang kini menjadi sumber air warga Rantau Pandan ternyata memiliki cerita tersendiri.

Untuk bisa melihat keindahan Air Terjun Tegan Kiri, harus menempuh perjalanan darat dengan jarak kurang lebih 30 km dari ibu kota Kabupaten Bungo, Muara Bungo, Jambi. Pengunjung bisa menggunakan sepeda motor maupun mobil karena infratruktur jalan menuju ke sana sudah meski tak begitu mulus.

Aspal di badan jalan telah banyak yang terkelupas. Namun para pengunjung tidak akan kecewa setelah sampai di air terjun yang kini juga dijadikan sumber air yang masuk kerumah warga Rantua Pandan, itu. Air terjun yang memiliki tinggi lebih kurang 10 meter, terlihat sepi dan tidak ada pengunjung lain yang ingin menikmati indahnya pesona alam ini.

Di pintu masuk objek wisata tersebut terlihat palang penutup dan terdapat penjaga tiket masuk. Pengunjung harus membayar tiket Rp 10 ribu per orang. Lalu setelah sampai di dalam, kita juga akan diminta untuk membayar uang parkir kendaraan sebesar Rp 5.000.

Air terjun tersebut menurut masyarakat setempat, pertama kali ditemukan oleh suku anak dalam (SAD) ini, yang kini menjaganya. Mereka terdiri dua keluarga, yakni penjaga pintu masuk dan penjaga parkir. Untuk mencapai air terjun tersebut, pengunjung harus menuruni tangga beton terlebih dahulu.

Ada cerita mistis tentang air terjun itu. Berdasarkan cerita dari masyarakat, terdengar suara tangis dari seorang gadis di sana saat turun hujan disertai panas.

“Memang betul, di sini sering terdengar suara gadis menanggis jika ada hujan panas,” kata Darna (49) yang telah dua tahun menjaga air terjun tersebut.

Katanya, meski sering terdengar suara gadis menangis, mereka tidak pernah digangu oleh apapun termasuk dari sumber suara tersebut. “Kami sering mendegarnya. Hanya suaranya saja,” akunya.

Darna menceritakan, sewaktu dirinya masih kecil, air terjun tersebut pertama kali ditemukan oleh orang Kubu (SAD). Mereka kemudian memberitahukannya ke penduduk dusun.

Menurut Darna, di lokasi air terjun tersebut juga pernah tumbuh bunga bangkai. “Dulu pernah ada dua orang anak gadis meninggal saat memegang bunga bangkai. Makanya setelah itu sering terdengar suara gadis menanggis,” jelasnya.

.Ia mengatakan, saat ini pengunjung yang datang kelokasi tersebut tidak begitu ramai. Pengunjung ramai hanya saat Lebaran. “Sekarang pengunjungnya sepi, makanya tidak ada orang yang berjualan,” ujarnya. (dbs)

Palembang Post, Jumat, 28 Juni 2013

Senin, 22 Juli 2013

Islamic Wallpapers (part 2)

Islamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers
Islamic WallpapersIslamic Wallpapers

Minggu, 14 Juli 2013

Surau di Pinggir Sungai

Surau di Pinggir Sungai

Parade Cerpen Ramadhan 1443 H



Cerpen: Bangga Surya Nagara

Seorang bocah tujuh tahunberjalan menunduk sambil memegang erat gamis Ibunya. Berjalan menatap tanah yang dipijaknya. Sesekali ia melirik melihat anak-anak yang sibuk bermain di halaman surau. Ibunya membelai kepala bocah itu, seakan paham tentang perasaan anaknya saat itu. Si bocah semakin takut saat masuk ke surau yang lantainya sudah bolong termakan usia. Dari jauh seorang pria berusia sekitar duapuluh lima sampai tigapuluh tahun tersenyum dan segera menyongsong kedatangan ibu dan sibocah yang masih ketakutan.

Assalamu'alaikum Uni..." ujar pria tadi sambil merapatkan tangan ke dadanya.

"Wa'alaikumsalam Ustadz...," balas si Ibu.

"Jadi ini Fajar yang akan mengaji di sini?" ujar Ustadz muda itu sambil tersenyum ke arah Fajar.

"Iya Ustadz, tolong dibantu ya Ustadz. Sudah seringkali pndah tempat mengaji, tapi juga belum juga lancar. Kadang Fajar ini malas mengaji Ustadz." Si Ibu menceritakan kebiasaan buruk anaknya pada Ustadz muda itu.

"Iya Bu... Insya Allah saya bantu," jawabnya.

Mulai sore itu, Fajar resmi menjadi salah satu murid Ustadz Rajab, guru mengaji di surau pinggir sungai, begitu masyarakat menyebut nama surau itu. Posisinya yang persis di pinggir sungai membuat surau itu lebih terkenal sebagai surau pingir sungai. Sudah sejak lima tahun lalu surau itu kembali ramai oleh suara anak-anak mengaji, suara murid-murid yang sedang menghafalkan surat-surat pendek, dan bacaan shalat. Terkadang juga terdengar suara Ustadz Rajab yang menceritakan kisah-kisah kepahlawanan sahabat Nabi. Ba'da Ashar surau pinggir sungai menjadi tempat berumpulnya anak-anak untuk belajar mengaji.

Dulu suarau itu tidak ada yang mengurus dan terbangkalai. Hanya menjadi tempat beristirahat para petani yang baru pulang dari ladang. Tak heran banyak ditemukan ular dan tikus di surau itu. Namun sejak Ustadz Rajab yang lulusan pesantren pulang kampung, surau itu berubah menjadi tempat yang hidup karena suara kecil anak-anak yang belajar kalam Allah. Ustadz Rajab sangat mencintai surau itu seolah surau itu adalah rumah baginya.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Sudah seminggu Fajar belajar di suaru pinggir sungai ta[i belum juga ada perkembangan. Bacaan Al-Qur'annya masih terbata-bata. Hingga suatu sore Ustadz Rajab memanggilnya.

"Fajar, mulai hari ini kamu pulang agak belakangan dari tean-temanmu. Saya sudah bicara dengan orangtuamu. Setiap hari kita belajar tambahan satu jam, untuk memantapkan bacaanmu."

"Iya Ustadz." Fajar mengiyakan dengan hati agak dongkol karena jika ada pelajaran tambahan berarti waktunya untuk bermain sepulang mengaji akan tersita. Fajar mengerutu di dalam hati.

Selepas murid yang lain pulang, Fajar sudah duduk di depan Ustadz Rajab. Di hadapannya sudah ada Al-Qur'an yang tulisannya beasr-besar. Ustadz Rajab memegang rotan kecil yang panjangnya sekitar tiga jengkal orang dewasa. Fajar membayangkan rotan itu mendarat di tangannya.

"Mulai baca," perintah Ustadz Rajab.

Fajar mulai membaca dengan gugup dan terbata-bata. Setiap kesalahan yang dilakukannya akan mendapatkan hadiah sebuah rotan dari Ustadz Rajab, tapi itu membuatnya bertekad untuk tidak melakukan kesalahan. Satu kesalahan, satu pukulan rotan. Kalau dua kesalahan, berarti dua pukulan rotan.

Seminggu berjalan tapi bacaan Fajar belum juga menunjukkan perkembangan. Ustadz Rajab mula kebingungan dengan anak didknya yang satu ini. Mencari metode yang pas untuk mengajarkan Al-Qur'an padanya.

"Fajar, kenapa bacaan Al-Qur'anmu belum juga berubah? Masih terbata-bata. Apa kamu tidak malu dengan temanmu yang lain yang usianya lebih muda? Mereka sudah bisa membaca dengan fasih. Kasihan ibumu yang sangat ingin kamu bisa membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar. Harusnya kamu berusaha lebih giat Fajar."

Kata-kata Ustadz Rajab sore itu membuat airmata Fajar jatuh. Mungkin karena takut, mungkin juga karena ia menyadari kesalahannya yang selalu belajar dengan hati dongkol dan tidak ikhlas. Sore itu ia bertekad, dalam satu minggu ke depan ia harus bisa dan lancar membaca Al-Qur'an.

Suara gemericik air sungai di samping surau menjadi saksi bisu keinginan seorang bocah yang ngin bisa mengaji dengan baik. Matahari mlai bergerak turun ke peraduan mengiringi langkah Fajar pulang ke rumanya dengan tekad minggu depan Ustadz Rajab akan tersenyum bangga padanya.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Libur cuti tahun in sudah semakin dekat, tak terasa datangnya bulan ini menghadirkan kerinduan dihati Fajar. Kerinduan untuk datang mengunjungi surau pinggir sungai tempat a belajar mengaji dulu. Surau tempat ia menghafal bacaan shalat setiap sore sebelum pulang. Surau yang mempunyai kenangan mendalam dihatinya. Entah kapan ia bisa mengunjungi surau itu lagi, menengok Ustadz Rajab yang sangat ia kagumi.

"Apa kabar Fajar? sudah kerja ya? emoga sukses dan selalu dalam lindungan-Nya. Dari Ustadz Rajab." Begitu pesan singkat yang diterima Fajar sore itu sepulang ia bekerja. Fajar tersentak, lalu membaca ulang pesan singkat yang masu ke ponselnya. "Apa benar ini Ustadz Rajab guru mengajiku dulu?" batin Fajar. Tanpa menunggu lama Fajar langsung menghubungi si pengirim pesan singkat tadi, Ustadz Rajab.

Lamunannya melayang ke limabelas tahun lalu. Suara gemericik air Sungai Batang Kapur yang mengalir persis di samping surau tempatnya mengaji terbayang jelas. Suara kodok yang bersahutan di sore hari ditingkahi hafalan bacaan shalat anak-anak dengan suara-suara keras memenuhi kepala Fajar. Kerinduannya semakin membuncah ntuk mengunjungi suarau itu. Surau yang tidak hanya mengajarkan mengaji tetapi juga mengajarkan tentang akhlak, dan sopan santun.
br />Cerita-cerita heroik sahabat Nabi yang diceritakan setiap subuh minggu oleh Ustadz Rajab adalah metode pendidikan dengan contoh yang diajarkan Ustadz Rajab kepada murid-muridnya. Dulu Fajar sangat menyukai saat Ustadz Rajab menceritakan kisah Umar bin Khattab, kisah sahabat yang iblis pun tak berani bila bertemu dengannya di jalan. Fajar juga menyukai kisah Ali bin Abi Thalib yang ikhlas menggantikan posisi Rasulullah di tempat tidurnya ketika kaum kafir ingin membunuhnya. Ah, kisah-kisah ini sungguh menjadi pembelajaran secara tidak langsung dari Ustadz Rajab di surau pinggir sungai. Kisah-kisah teladan yang akan selalu membekas di hati Fajar.

"Apa kabar surau itu sekarang?" Fajar bergumam dalam hati.

"Masihkah ramai oleh celoteh anak-anak?"

Obrolan dengan Ustadz Rajab via telepon menyratkan kekecewaan, itu tergambar jelas dari suara Ustadz Rajab yang sangat lemah saat Fajar menanyakan kondisi surau itu sekarang. Apalagi saat Fajar menanyakan bagaimana murd-muridnya sekarang. Ustadz Rajab hanya menawab. "Nanti kalau ada waktu luang, mapirlah ke sni. Sama-sama kita lihat surau kita dulu."

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Kegembiraan terpancar di wajah Fajar siang itu. Permohonan untuk cuti dikabulkan pimpinannya. Berarti tak lama lagi ia bisa pulang kampung. Menemani Ibu, Ayah, dan keluarganya yang lain. Fajar juga tak sabar ingin mengunjungi surau pinggir sungai, menikmati suara gemericik airnya di sore hari sambil memperhatikan Ustadz Rajab mengajari murid-muridnya membaca dan memahami Al-Qur'an. Tak sabar juga juga ia ingin hadir pada Subuh minggu untuk mendengarkan lagi cerita-cerita dari mulut Ustadz Rajab. Rasanya hari-hari ingin segera dipercepat.

Pesawat yang membawa Fajar akhirnya tiba di Bandara Internasional Minangkabau. Segera Fajar memesan tiket bus menuju kampung halamannya, sekitar tiga jam dari Kota Padang. Di sepanjang jalan alam mempersembahkan panoramanya yang indah dengan sawah-sawah hijau membentang di kaki gunung Merapi dan Singgalang. Tak rela Fajar memejamkan matanya, tak ingin ia melewatkan keindahan alam ini.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Sepi, sunyi, hanya gemerick air yang terdengar. Sesekali terdengar ejaan hurf hijaiyah tapi bukan dari mulut anak-anak kecil. Bukan dari mulut-mulut mungil yang bersemangat membaca Al-Qur'an dengan bersemangat dan suara lantang. Ejaan-ejaan yang terdengar dari orang-orang dewasa yang baru belajar mengaji ketka hendak menikah. Bukan dari anak-anak yang belajar mengaji karena semangat.

Fajar tertegun dengan apa yang dilihatnya. Sekarang suarau ini memang megah, lantainya terbuat dari keramik mengkilat, tiang-tiangnya pun kokoh dan permanen. Sebuah mimbar bagus dari kayu jati berdiri dengan gagahnya, tapi surau ini sepi. Hanya ada lima orang dewasa yang sedang belajar mengaji, terbata, mengeja. Tidak ditemukan lagi anak-anak yang dengan suara lantang menyebutkan huruf hijaiyah seperti dulu.

"Inilah surau kita dulu Fajar," ujar Ustadz Rajab.

Dulu Sungai Batang Kapur menjadi saksi bisu anak-anak yang bertekad kuat belajar mengaji dengan sungguh-sungguh. Sekarang, sungai itu tetap bisu dengan sepi yang melanda surau yang berdiri gagah di pinggirnya. Bangunan gagah namun sepi (*)

Citra Budaya



Sumatera Ekspres, Minggu, 14 Juli 2013


Terhipnotis Cinta yang Ditolak

Terhipnotis Cinta yang DitolakOleh: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mengunjungi sahabatku Lestari yang telah belasan tahun tak bertemu. Keinginan itu tak bisa kutahan. Rumah Lestari berada di pinggiran Kota Jakarta, sudah masuk wilayah Kodya Bekasi. Melihat kedatanganku ia menyambut gembira. Begitupun keluarganya, membuatku terkesan. Mereka tetap akrab dan ramah, meski aku tak bawa buah tangan

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


"Sudah lama tak ketemu. Rasanya kangen sekali," ucap mereka sembari menyalamiku.

"Aduh, maaf ya, bu, saya nggak bawa apa-apa. Tadi niatnya mau mampir ke pasar. Eh angkotnya nerus saja. Jadi lupa deh," jelasku sedikit basa-basi. "Lagian si Neng nggak mau main ke sini. Sombong, deh," goda ibu sahabatku.

"Jangan didoain sombong dong bu, entar saya sombong beneran," sahutku diiringi derai tawa. Tapi mataku tak dapat ditipu. Aku melihat ada garis kesedihan terpancar di wajah polos mereka. Wajah yang berubah layu, seakan menyimpan suatu duka. Aku mencoba mencari tahu akar kesedihan mereka.

"Kenapa anak-anak tdak diajak neng?" Tanya ibunya. aku tersenyum lalu kuhirup teh di atas meja. "Maaf bu, saya haus sekali."

"Neng Lastri sekarang anaknya berapa?" tanya si ibu. "Dua bu. Yang pertama perempuan dan yang edua laki-laki," jawabku singkat. "Syukurlah sudah sepasang."

"Maaf ya, bu. Buan maksud saya ingin tahu. Kalau saya lihat dari raut waja ibu sekeluarga sepertinya sedang ada masalah. Barangkali saja saya bisa bantu?" ucapku. Lestari, sahabatku, beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke kamar. Aku merasa tidak enak. Sedangkan ibunya kulihat meremas-remas ujung kebayanya. Aku menarik napas panjang. Ada rasa sesal atas pertanyaanku yang kulontarkan tadi.

"Maaf bu. Bukan maksud............"

"Nggak apa-apa kok neng. Neng sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Selama ini kepedihan yang ibu rasakan seakan-akan sudah mau meledak. Saking nggak kuatnya melihat penderitaan si Lestari!"

"Penderitaan Lestari? Apa maksud ibu?" tanyaku. Aku emain tidak mengerti. Kupegang tangan kurus itu. Kulihat bibirnya gemetar. Kugenggam erat tangannya. Kutepuk-tepuk telapanya dengan lembut.

"Sudahlah, bu, lupakan pertanyaan saya tadi. Minum.....?" Kusodorkan segelas air putih. Setelah minum, ia kelihatan ebih tenang. Aku berusaha meredam keingintahuanku. Kulangkahkan kaki ke kandang ayam yang isinya telah kosong.

"Ayamnya telah lama dijual Bapak. Habis mati melulu," sela Lestari yang tba-tba sudah berada di sampingku. Di tangannya tergenggam sesuatu. "Nggh, sayang ya! Las........., sebenarnya aku bercerita padamu, tapi aku malu. Aku takut kamu tidak mempercayainya." Kupandangi wajah Lestari. Begitu beratkah bebannya sampai-sampai ia kikuk untuk menceritakan padaku?

"Kalau begitu, nggak usah saja! Paling-paling aku cuma mendengarkan saja kan? Lalu kamu pikir setelah tahu aku akan tertawa ngakak. Begitu kan......?" Gantian Lestari yang menatap ke arahku, lalu berpaling seakan ia berusaha bicara tapi tak kuasa. "Apa itu?" Aku menunjuk sesuatu yang digenggamnya. Lestari membuka telapak tangannya.

"Seperti Isim ya? Dari mana? Punya kamu?" Ia mengangguk. Kuraih Isim tersebut. Kubuka isinya. Sederetan tulisan Arab yang tak kumengerti maknanya. "Aku diberi ini oleh Mas Joko."

"Mas Joko! Siapa dia?" tanyaku.

"Suamiku." Aku terperangah.

"Jadi kamu telah menikah? Kapan?"

Lestari menarik tanganku. Dibimbingnya aku memasuki rumahnya. Setiba di dalam kamarnya, kudapati photo seorang laki-laki tampan berpakaian ABRI.

"Oh...... ini Mas Joko!" Lestari mengangguk. Kuturunkan bingkai photo itu. Kuusap debu yang menutupi sebagian pinggirnya.

"Aku malas membersihkannya. Malah kadang ingin kubuang sajja...."

"Kenapa?" tanyaku lagi. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur.

"Aku merasa sudah tak berarti lagi baginya," ucapnya lirih.

"Kalian bercerai?" Ia menggeleng. Kulihat tatapan matanya kosong. Lalu menyusul setetes air mata jatuh di pipinya. Kuambil tissue dari saku celana dan kuberikan padanya. Ia menghapus air matanya. Aku kembalikan photo pada tempatnya. Aku duduk di samping Lestari. "Sebenarnya ada apa? Aku jadi penasaran!"

"Karena kamu temanku, akan kuceritakan apa yang telah menimpaku."

"Tiga tahun lalu aku bertemu Mas Joko. Waktu ia sedang mengikuti program ABRI Masuk Desa. Desaku mendapat giliran. Mereka memperbaiki jalan dengan sirtu (pasir dan batu). Dari ujung desa hingga ke desa lainnya. Waktu itu kelompokku dapat giliran menjamu mereka. Akulah yang disuruh Pak Kades mengantarkan makanan. Melihat kedatanganku, mereka yang tengah bekerja seakan tersentak, berhenti. Tanpa komando mereka memandangiku. Aku malu. Aku grogi dipandangi belasan pasang mata lelaki."

"Habis kamu cantik sih. Kalau aku jadi laki-laki, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama," godaku. Ia tersipu, lalu melanjutkan ceritanya. "Melihat tatapan mereka, aku buru-buru meletakkan makanan lalu cepat balik. Akibat buru-buru ujung sandalku terjepit sebongkah batu. Hampir aku jatuh kalau tanganku tidak diraih seseorang. Tanpa melihat yang menolongku, aku terus saja berlari pulang.

Setelah itu setiap giliran kelompokku, aku menolak ikut mengantarkan makanan. Ketidakhadiranku ternyata membuat seseorang mendatangiku. Dialah Mas Joko, yang berpangkat Sersan Satu. Awalnya aku terkejut, tapi melihat sikapnya yang santun dan harmonis, aku jadi menyukainya. Keluargaku juga ikut akrab. Aku tak kuasa menolak cintanya. Bahkan komandannya sendiri datang ke orang tuaku untuk melamarkan. Melihat keberuntunganku, banyak temanku jadi iri dan sirik.

Sebelum aku resmi jadi istrinya, dibawanya aku ke Jakarta untuk menemui pamannya yang mengasuhnya sejak kecil. Orang tua Mas Joko telah lama meninggal. Ia anak tunggal.

Cintaku semakin tumbuh. Meski punya banyak kesempatan menjamah tubuhku, apalagi bakal jadi istri, tapi sikap Mas Joko tetap sopan. Katanya nanti saat malam pertama. Ia hanya mengecup keningku.

Lestari terdiam. Nada bicaranya yang tadi bersemangat mengendor dan raut wajahnya muram. "Ada apa Les, kok berhenti.........?" Dipandanginya wajahku.

"Kamu kenal kan sama si Faruk?" tanyanya. "Faruk! Faruk yang mana?" Aku berusaha mengorek isi kepalaku untuk mengingat wajah Faruk.

"Faruk yang dulu mengambil sandalmu yang hanyut di sungai? tebakku. Lestari mengangguk.

"Lalu kenapa dengan dia? Apa hubunganya denganmu? tanyaku. Ia melanjutkan ceritanya.

"Faruk, ternyata diam-diam mencintaiku. Mendengar aku dilamar orang, ia mengamuk. Dengan membawa parang ditebasnya seluruh pohon pepaya dan pisang milik orang tuanya. Dengan berteria-teriak ia acungkan parangnya, menantang siapapun yang mencegah amuknya. Penduduk ketakutan. Berita Faruk mengamuk sambil menyebut-nyebut namaku ceoat tersebar. Aku dan keluargaku jadi ketakutan, apalagi setelah tahu Faruk sedang menuju rumahku.

Mas Joko berusaha menenangku. Pak Kades sendiri tak kuasa mencegah. Kami semua tahu Faruk, walau masih muda, ia suka mempelari ilmu hitam. Ia sering tidur di kuburan atau duduk-duduk di bawah pohon waru di tepi kali. Padahal waru itu terkenal angker. Kalau diperingatkan pasti marah. Bahkan tak segan-segan mengancam dan melukai orang yang menegurnya. Ia merasa jadi jagoan. Apapun yang diinginkan harus dimiliki.

Setiba di rumah ia berteriak-teriak memanggilku dan menantang duel dengan Mas Joko, tapi tak diladeni. Merasa diremehkan ia nekad menerobos masuk rumahku. Warga kampung yang hanya bisa berkerumun. Mereka takut jadi korban keganasan Faruk yang terus mengayun-ayunkan goloknya. Teman Mas Joko yang berusaha melerai banyak yang kena sabetan. Mereka mundur setelah jatuh korban.

Melihat Faruk semakin brutal, Mas Joko terpaksa menembaknya untuk melumpuhkannya. Hebatnya semua peluru mental setelah mengenai tubuhnya. Tahu dirinya kebal, ia tertawa terbahak-bahak, mengejek Mas Joko agar terus menembaknya. Tiba-tiba sebuah peluru mengenai tepat di mulutnya yang tertawa lebar. Darah segar muncrat, matanya mendelik, parangnya terlempar dan darah segar membasahi tubuhnya. Sebelum mati ia sempat menyumpahi diriku bahwa suatu hari ia akan merenggut kegadisanku dan membuatku menderita.

Setelah menyumpahi sambil tangannya menunjuk-nunjuk diriku, roh Faruk terlepas dengan mengeluarkan suara mirip babi disembelih. Tak berselang lama tubuhnya seperti hangus terbakar. Aku ketakutan. Mas Joko merengkuh tubuhku dan dipeluknya.

Setelah kejadian itu pikiranku kacau. Kami sekeluarga berusaha tidak tidur. Berjaga kalau sumpah Faruk benar-benar terjadi. Teman Mas Joko juga begadang di rumah. Keluarga Faruk tidak dendam pada kami, karena sadar anaknya memang biang kerok. Bikin susah semua orang termasuk orang tuanya sendiri.

Kecemasan keluargaku beralasan. Sumpah itu bisa benar-benar terjadi.

"Maksudmu, dia benar-benar memperawanimu?" Mendengar pertanyaanku, Lestari terisak.

Setelah Faruk mati, Mas Joko menyerahkan diri pada komandannya. Tapi ia minta syarat sebelum disdangkan diijinkan dulu menikahku. Keinginannya dipenuhi. Seminggu setelah kasusnya selesai Mas Joko menemuiku. Ia siap menerimaku apa adanya. Kebesaran jiwanya membuatku dapat bertahan hingga sekarang.

Seumur hidup aku tak dapat melupakannya. Aku menjadi malas mengurus diriku sendiri. Melihat perubahan diriku, kedua orang tuaku ikut tersiksa. Kalau bukan karena Mas Joko, sudah lama aku ingin mati. Aku terharu melepas kepergiannya.

Lestari mengusap air mata. Ia pandangi aku yang ganti ketakutan. Sebenarnya aku hanya terkejut di zaman teknologi canggih masih ada makhluk halus memperkosa. Mudah-mudahan Allah SWT menjaga setiap langkahku dan memeliharaku dari fitnah dunia.

"Las.... Lastri!" Aku terkejut ketika Lestari menepuk lenganku. Jantungku terasa mau copot. Aku seperti terhipnotis ceritanya.

"Ya Alla, bikin jantung orang mau lepas saja!"

"Ngelamun ya?" tanyanya.

"Ceritamu bikin aku deg-degan." Tak lama kemudian terdengar suara adzan Ashar dari surau. "Alhamdulillah, masih ketemu Ashar," ucapku. Aku beranjak dari dudukku. Pinggangku terasa sakit bersandar di antara bilik rumah yang berplester semen.

"Les, pohon waru yang mana sih?" tanyaku penasaran ketika kami sedang mengambil wudhu.

"Tadi kamu lewat mana? tanyanya.

"Lewat situ," sahutku sembari menunjuk ke depan. "Pokoknya ada waru dekat kali itu. Ya..... itu tempatnya," jelasnya.

"Ah! Jadi yang kulewati tadi tadi dong.....!" Lestari tak menyahut. Aku melotot. Selepas shalat Ashar aku berpamitan.

"Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini saja. Hati-hati ya!" Aku mengangguk. Kurangkul Lestari.

"Sabar ya, semua merupakan kehendak Allah SWT. Aku akan selalu berdoa untukmu. (*)

Sumber: Misteri Edisi 561 Tahun 2013

Kamis, 11 Juli 2013

Santet Kelelawar Nyaris Membuatku Lumpuh

Santet Kelelawar Nyaris Membuatku LumpuhOleh: Usep M

Aku tidak tahu dari mana kelelawar itu datang. Namun akibat yang ditimbulkan sungguh membuatku teriksa. Bahkan aku nyaris lumpuh dan kehilangan segala-galanya.

• • • • • • • • • • • • • • •


Aku ingat betul, bulan itu adalah awal bulan suci Ramadhan waktu, awal bagi umat Islam di seluruh dunia untuk melakukan puasa dan menahan hawa nafsu, amarah, juga menahan rasa lapar dan dahaga selama satu bulan penuh. Di mana kebetulan juga malam itu jatuh pada malam Jumat Kliwon.

Seperti hari-hari biasanya, pada setiap pukul 02.30 WIB kebiasaanku adalah bangun dari tidurku untuk melaksanakan shalat malam, sunnah tahajjud juga shalat hajat. malam-malam yang tak pernah aku lewatkan untuk selalu berkomunikasi dengan Gusti Allah melalui shalat malam. Malam itu sebelum aku terbangun dari tidurku yang sangat lelap, aku bermimpi didatangi sesosok makhluk seperti seekor kelelawar besar dari atap kamarku.

Aku tidak tahu dari mana kelelawar itu datang, yang kulihat sepertinya makhluk itu akan menyerang tubuhku yang dalam keadaan sedang berbaring di tempat tdurku. Seketika aku tersentak dan terbangun, setelah aku sadari bahwa ternyata yang baru saja aku alami tadi hanyalah mimpi belaka, aku pun segera saja beranjak dari pembaringanku, melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Sesampainya aku di kamar mandi aku mengalami kejadian yang sangat aneh. Secara tak terduga tiba-tiba saja tangan kananku bergerak dengan sendirinya dan secara reflek ingin memukul wajahku sendiri. Dengan reflek pula aku segera menahan ayunan tangan kananku yang mengarah ke wajahku sendiri dengan tangan kiriku.

Aku segera keluar dari kamar mandi. Sesaat aku tak dapat berkata dan berpkir apa-apa, aku hanya diam tertegun dan dan ucapan Istighfar terus kulantunkan tanpa henti, sambil tak lupa juga aku memohon dalam hati kepada Allah SWT, agar aku dilepaskan dari kejadian aneh yang kurasakan saat itu.

Apa salah dan dosak, pikirku. Kubatalkan niat shalat tahajjud dan hajatku malam itu, karena terus terang aku saat itu jadi merasa benar-benar takut dan terguncang dengan kejadian yang baru saja kualami dan tidak masuk akal pikiranku. Bagaimana mungkin salah satu anggota tubuhku ingin menyakiti anggota tubuhku yang lain, sungguh sangat musykil hal itu dilakukan oleh orang yang dalam kesadaran penuh, tidak gila.

Kejadian terus berlanjut, bukan tanganku yang ingin memukul wajahku, tetapi, dimana keesokan harinya tubuhku tiba-tiba saja terasa sangat lemas, nyaris seperti tak bertulang. Namun demikian ku coba paksakan diriku untuk tetap bekerja pada hari itu. Aku tetap berjalan untuk bekerja ke kantor seperti kegiatan rutin setiap harinya.

Namun setibanya d kantor, kurasakan seluruh tubuhku semakin bertambah lemas saja dan seolah tiada daya sama sekali. Atasanku yang mengetahui dan melihat keadaanku saat itu, memberi saran kepadaku untuk segera memeriksakan diri ke dokter. Dia memberi ijin padaku untuk pulang saja guna berobat ke dokter, dab beristirahat beberapa hari sampai kondisiku sudah memungkinkan untuk kembali ke kantor dan bekerja seperti biasanya.

Tanpa buang waktu dan banyak pikir lagi, aku pun langsung kembali pulang ke rumah untuk kemudian pergi ke dokter praktek guna memeriksakan kondisiku yang semakin terasa lemas. Akhirnya hasil dari pemerksaan dokter itu, aku memang diharuskan istirahat total selama beberapa hari. Beruntung pimpananku di kantor sudah memberi ijin, jadi aku tidak perlu repot-repot lagi mendatangi kantor hanya sekedar untuk meminta ijin atasanku.

Aku pun mengambil kesepatan itu untuk pulang ke rumah orang tuaku agar dapat beristirahat dengan total sesuai yang dianjurkan dokter yang meemeriksaku. Setibanya di rumah orang tuaku, aku disambut dengan tidak kemengertian orang tuaku, kenapa aku kembali ke rumah mereka. Setelah kujelaskan semua keadaanku, dan mereka mengerti, aku langsung beranjak ke kamar tidur, dan langsung aku rebahkan tubuhku yang terasa lemas hingga aku tertidur.

Entah berapa lama aku tertidur, sampai beberapa waktu kemudian tiba-tiba saja aku terbangun, kejadian malam di rumahku terjadi kembali di rumah orang tuaku. jiwaku semakin terguncang, istriku yang kuberitahu keadaanku yang berada di rumah orang tuaku segera datang menjemputku, untuk kembali pulang ke rumah. Tapi kami sempatkan juga untuk mampir mengunjungi rumah orang tua istriku. Sore harinya aku pulang dengan berjalan kaki bersama istriku dan ditemani oleh adik iparku.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba di ujubg kakiku terasa seperti ada sesuatu yang masuk, entah itu apa, tak sempat aku lihat. Benda itu seperti berjalan terus menjalar sampai ke ujung kepalaku. Sampai akhirnya kurasakan mulutku tertarik ke kanan, mataku terbuka lebar dan tubuhku kejang-kejang.

Istri an adik iparku yang melihat semua itu haya bisa menangis, mereka tak tega melihat kondisi badanku seperti itu. Aku masih bisa mendengar biskan adik ipar di telingaku agar aku tetap membaca istighfar. Sedangkan istrku segera mencari kendaraan taksi, untuk membawaku ke Rumah Sakit Pelabuhan Cirebon.

Sesampainya di rumah sakit itu, aku langsung dimasukan ke UGD dan dengan cepat ditangani oleh seorang dokter perempuan. Saat itu telingaku masih mendengar suara tangisan istri dan adik iparku, dokter yang menanganiku membisikkan kalimat di telingaku untuk tetap mengucapkan istighfar. Alhamdulillah keajaiban terjadi, seketika itu mulutku kembali seperti semula, dokter yang menanganiku sangat senang dan tiada hentinya mengucapkan Alhamdulillah.

Namun selang beberapa saat aku kembali kejang, seperti sesuatu yang terus masuk ke dalam tubuhku terus saja berjalan, suntikan pun diberikan dokter. Terasa obat di tanganku mengalir, sepertinya suntikan itu adalah obat untuk meringankan kejang, lalu aku dibawa ke ruang perawatan.

Setiba di penbaringan kurasakan kepalaku terasa berat seperti terdapat batu yang besar menindih kepalaku, tangan kanan dan kaki kananku terasa lemas seperti tidak dapat digerakan. Keesokan harinya pengobatan dilanjutkan, aku dibawa ke ruang scan untuk dilihat apa penyebab sakit di kepalaku.

Saat itu aku ditangani oleh seorang dokter ahli saraf, hasil dari scan didapat, ternyata di kepalaku terdapat darah menggumpal yang menutupi otakku, sehingga otakku tak dapat berfungsi sepenuhnya. Teman-teman, saudara-saudaraku, semuanya hanya bisa melihatku dengan rasa iba dan sembunyi-sembunyi menangis melihat penderitaan yang ku alami.

Selama 11 hari aku merasakan sakit, tiba-tiba tingkah lakuku pun sepertnya menjadi aneh. Bicaraku sering ngelantur ketika ibuku menanyakan nomor telepon kantorku, aku lupa. Anehnya lagi pada setiap orang yang datang, ibuku selalu bertanya kepadaku "Siapakah ini yang bersama ibu, kamu masih kenal kan?" Aku tidak bisa langsung mengingatnya dan mengenali orang yang bersama ibuku itu. Aku selalu tidak bisa dengan cepat menjawab pertanyaan itu. Memori di otakku sepertinya telah sangat lambat bekerja. Dokter ahi saraf pun akhirnya menyarankan kepadaku untuk melakukan scan kembali.

Dari hasil scan ke-2 aku disarankan dokter untk operasi, karena pembuluh darah yang menggumpal dan menutupi otakku harus dibuang, keluargaku pun segera mengadakan musyawarah mengambil keputusan tentang operasi yang ddsarankan dokter. Dari hasil musyawarah, ternyata keluargaku menolak dilakukan operasi atas dirkiu, karena walaupun berhasil dalam operasi, tetap saja akan ada efek samping dari hasil operasi itu, yaitu aku bsa saja lumpuh. Apalagi dokter pun tidak bisa bertanggung jawab penuh atas hasil operasi hidup atau matku.

Tiba-tiba aku teringat akan uwakku di Desa Cikeleng, Kabupaten Kuningan. Aku minta kepada ibuku agar uwakku didatangkan ke rumah sakit, ibuku pun segera mengabulkan permintaanku dengan menelpon uwakku untuk dapat segera datang ke rumah sakit menemaniku. Tidak memakan waktu sampai sehari, hari itu juga uwakku datang dan melihat diriku.

Melihat kondisiku, uwakku lalu menyarankan agar aku segera dibawa pulang saja, karena menurutnya kondisi penyakit yang kuderita bukanlah penyakit medis, tetapi penyakit non medis. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan dengan peralatan dokter secanggih apapun. Tapi saat itu kelargaku tidak begitu saja percaya dengan ucapan uwakku, dan mereka tidak mengijinkannya. Mereka mash tetap bertahan dengan penyembuhan dari dokter rumah sakit itu. Maka uwakku pulang kembali ke Cikeleng.

Malam berikutnya di rumah sakit, aku bermimpi bertemu dengan seorang kuncen, kuncen itu adalah kuncen Nabi Musa AS, beliau meminta kepadaku agar aku menemui Nabi Musa , aku berkata kepada kuncen bahwa aku tidak bisa berjalan, kuncen itu naik ke atas untuk memberitahukan kepada Nabi Musa.

Nabi Musa turun dari atas, beliau berkata kepadaku "Wahai kaumku ikutlah denganku."

"Aku menjawab, "Wahai Nabi aku tak bisa berjalan, tubuhku gemuk. Bagaimana aku bisa mencapai e atas sana?" Kemudian Nabi Musa mengangkatku seolah aku ini tidak mempunyai beban berat, lalu aku dibawanya ke atas. Di sana aku diperlihatkan sebuah mushala yang sangat indah, di sana kulihat ada empat orang yang sedang berdzikir dengan memakai sorban putih. Aku pun bertanya kepada Nabi "Wahai Nabi apa yang dlakukan orang-orang itu?"

Nabi lalu menjawab "Itulah kaumku yang kin menempati mushala ini. Apabila kamu mau, akan kujadikan kau kaumku juga." Aku membalas, "Wahai Nabi, jangan kau ambil diriku dulu, karena diriku belum sepenuhnya membahagiakan orang tuaku dan istri, di mana anakku juga masih berusia 9 bulan, masih sangat butuh kasih sayang seorang ayah. Aku mohon kepadamu ya Nabi."

"Baiklah kalau itu maumu hanya satu yang kuminta darimu, bisakah kau mempertahankan ibadahmu, agar engkau tidak terjerumus menjadi orang-orang yang tersesat. Kalau engkau masih bisa mempertahankan semua itu, kau akan tetap menjadi kaumku," kata Nabi.
,br ?"Insya Allah ya Nabi, aku akan mencoba mempertahankan ibadahku ini," jawabku. Lalu aku dibawanya berkeliling mushala. Betapa megahnya mushala ini. Tetapi aneh, mengapa di pojok mushala masih ada kayun yang keropos. Aku pun bertanya kepada Nabi.

"Ya Nabi mengapa mushala yang begitu megahnya, masih ada kayu yang keropos?"

"Itulah satu tugasmu untuk di dunia." jawab Nabi.

Aku kemudian dibawa kembali ke bawah, dan aku diturunkan, dan sekitak itu aku terbangun dari tidur lelapku.Anehnya aku merasa kondisi badanku saat itu terasa lebih fit. Lalu aku meminta kepada keluargaku untuk memintakan ijin agar aku bisa segera pulang. Keesokan harinya dari pihak keluargaku pun menghadap ke dokter yang selama ini menanganiku.

Tetapi dokter yang menanganiku, tidak mengizinkanku pulang karena mengingat kondisi fisikku, selain belum benar-benar pulih. Dokter spesialis saraf juga tidak mau bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu keadaku, jika aku melaksanakan kehendak untuk pulang ke rumah. Ditambah lagi karena mata sebelah kananku pun tidak bisa melihat, tapi aku dan keluargaku meyaknkan dokter, bahwa Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa pada diriku, karena aku begitu yakin kalau uwakku dapat membantu untuk proses penyembuhan selanjutnya.

Sebelumnya aku memang telah disarankan oleh uwakku untuk dirawat di rumahnya. Setelah memperoleh ijin doter dan aku bisa pulang, aku dan keluarga pun segera berangkat e rumah uwakku di Cikeleng. Di rumah uwaku akupun mulai menjalani pengobatan lanjutan, dimana pada setiap malam, setiap pukul 01.00 WIB aku dibawa oleh uwaku ke makam buyut, makam keramat di Desa Cikeleng. Lokasi makamnya di tengah-tengah hutan, aku di sana berdzikir dengan uwaku dari pukul 01.00-03.00 WIB.

9 hari kemudian, malam itu malam Jumat Kliwon, aku disuruh untuk beristirahat oleh uwaku dari kegiatan melaksanakan dzikir dari pukul 01.00-03.00 WIB. Malam itu, tepatnya pukul 23.00 WIB, aku mendengar suara kroncongan kuda yang sedang berlari memutari rumah uwaku. Aku penasaran dengan suara itu, lalu beranjak ke tepi jendela, kulihat dari balik gorden jendela yang kusingkap, tapi tak tampak apapun di luar sana.

Akhirnya untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku pun keluar, ternyata kulihat uwa perempuan ku sedang melakukan semedi, dan uwaku yang laki-laki, seperti sedang melakukan sesuatu. Uwaku terkejut melihatku, aku disarankan untuk masuk kembali. Sepertinya mereka sedang melakukan ritual yang sangat serius. Tepat jam 24.00 WIB pada jam dndingku di kamar, aku mendengar seperti ada orang yang sedang berkelahi, aku hanya mendengarkan saja dari kamarku, tidak berani untuk melihatnya, sampai akhirnya tanpa aku sadari, aku tertidur.

Keesokan harinya jam 10.00 pagi, ketika aku ingin mandi dan aku membuka bajuku, istriku melihat dipundakku seperti ada bekas telapak tangan. Ketika istriku menanyakan kenapa, aku pun tidak tahu dan tidak dapat menjelaskan ada apa sebenarnya pada pundakku.

Lalu aku pun keluar kamar dan menanyakan kepada uwakku. Uwakku hanya diam tidak memberi jawaban, dia hanya meminta aku berbalik membelakanginya, dan dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an dan kemudian ditiupnya bekas telapak tangan yang ada dipundakku. Seketka bekas telapak tangan dipundakku itu hilang dengan sendirinya. Aku meraba keningku, karena terasa seperti ada yang mengganjal, kutarik, ternyata di keningku ada kain kafan, kemudian kuraba pipiku yang seperti ada sesuatu juga, lalu kutarik dan ternyata ada sebuah jarum. Uwakku yang melihat itu semua hanya tersenyum, dan ia berkata bahwa hal itu semua pertanda ada kemajuan dalam pengobatan sakitku, dan uwakku bilang, tidak sia-sia selama 9 hari dia melaksankan ritual.

Kini mata sebelah kananku mulai membaik dan bisa melihat, kakiku pun yang terasa lemas beberapa hari lalu sudah mulai ada kekuatan dan aku sudah bisa berjalan kembali walau kulakukan masih perlahan-lahan. Tak kepalang betapa bahagianya keluargaku melihat kemajuan yang kudapat, maka sre itu pun kami mengadakan syukuran, dengan mengundang tetangga dekat, bersyukur bahwa diriku bisa terlepas dari pengaruh mistik yang entah siapa yang sudah berbuat setega itu padaku.

Kini tinggal sisa-sisa penyakit yang ada pada dirku, aku sudah berangsur pulih seperti sedikala. Lalu aku pun di anjurkan uwakku melakukan kontrol setiap minggu. Pada kesempatan lain aku yang merasa penasaran dengan penyakitku, dan ingin sekedar tahu saja siapakah yang dengan tega berbuat hal itu pada diriku, aku tanyakan hal itu kepada uwakku.

Jawabnya sungguh sangat mengherankan, menurut uwakku, aku terkena serangan santet yang sangat ganas, di mana menurut uwakku lagi semua itu adalah karena perbuatan teman sekantorku yang merasa iri karena aku dekat dengan atasanku. Mengetahui hal itu aku hanya mengucap sykur kepada Gusti Allah, bahwa aku masih dberi kesempatan untk sembuh. Aku pun berjanji dalam hati, bahwa aku tidak akan menaruh dendam pada teman kantorku itu, sesuai yang dsarankan uwakku juga. Dendam adalah perbuatan yang sangat menyakitkan di hati. Semua hanya kepasrahan kepada Gusti Allah. Semoga teman kantorku itu dberi kesadaran Gusti Allah untuk tidak berbuat hal yang sama pada orang lain. (*)

Sumber: Mistri Edisi 561 Tahun 2013

Minggu, 07 Juli 2013

Kamboja di Awal Ramadhan

Parade Cerpen Ramadhan 1443 H



Kamboja di Awal RamadhanCerpen: Dian Eka Sari

"Aku ingin cerai. Ceraikan aku Mas," tegas Dewi kepada Usman suaminya.

"Kalau terus-terusan begini aku tidak sanggup lagi hidup denganmu Mas," Dewi terus berbicara sembari tangannya sibuk memberskan pakaian yang dimasukkannya ke kantong berukuran besar berawna hitam.

"Aku akan pulang kerumah orangtuaku. Zaki akan kubawa. Terserah Mas mau menyusul atau tidak. Aku sudah siap kalau Mas sudah siap dengan perceraian kita," ucap Dewi dengan nada tinggi seolah melampiaskan puncak kekesalannya terus berkata dengan Usman yang tetap duduk di tempat tidur tanpa ekspresi apa pun.

"Aku pergi Mas," Dewi langsung meninggalkan Usman sembari menggendong Zaki yang baru berusia tiga tahun buah hati pernikahannya dengan Usman.

Dengan membanting pintu kamar, Dewi tidak peduli lagi dengan pandangan dari mertuanya yang sedang duduk di depan televisi. Tanpa pamit lagi, Dewi langsung keluar rumah dan menyetop becak yang melintas untuk kembali ke rumah ibunya.

Sementara, Usman masih mematung di tempat tidurnya. Usman tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Usman menyadari, sudah 6 bulan ini ia tidak mampu memberikan nafkah lahir untuk istrinya. Pekerjaannya yang serabutan membuat Usman tidak mampu mencegah kepergian Dewi yang membawa serta Zaki.

Debu-debu berterbangan ditiup angin menjelang musim kemarau. Udara yang panas membuat hati Dewi kian panas. Turun dari becak, ia langsung menerobos masuk ke rumah orang tuanya tanpa mengucap salam.

Setelah menitipkan Zaki kepada ibunya, Dewi langsung masuk ke kamarnya menghempaskan kekesalan di tempat tidurnya. Dewi tidak mampu lagi mencari jalan keluar dari permasalahan yang membelit rumah tangganya. Kekesalan yang disimpannya dirasakan telah mencapai titik didih.

Jika hanya tidak mencari nafkah, masih bisa dimaafkan. Namun dewi merasa kesal dengan ulah suaminya yang setiap hari bergadang tanpa jelas arah tujuan. Apalagi, Dewi pernah memergoki Usman tengah berjudi.

Sudah beberapa kali Dewi mengingatkan Usman. Namun permintaan Dewi seolah hanya angin lalu di telinga Usman. Di benak Dewi, Usman seolah tidak perduli kalau ada buah hati yang harus mereka hidupi.

Semua harta simpanan termasuk mas kawin yang dimiliki Dewi sudah ludes terjual untuk membiayai kehidupan rumah tangga mereka. Terkadang Dewi merasa malu ketika saudara-saudara iparnya berkunjung kemudian memberi bantuan atau sekedar uang jajan untuk Zaki. Demikian dengan saudara kandungnya ketika Dewi sedang menjenguk ibunya. Dewi tidak ingin menjadi orang yang dikasihani.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Tujuh hari menjelang Ramadhan, Usman diingatkan ibunya untuk menjemput Dewi di kediaman orang tuanya. "Seminggu lagi kita puasa. Tidak baik menyambut bulan yang penuh berkah ini, kalian masih belum akur. Cobalah temui Dewi. Bicarakan baik-baik, bujuk dia untuk kembali ke sini. Pikirkan Zaki, jangan pikirkan keegoisan kalian saja," urai ibu kepada Usman di sela-sela makan siang.

"Nanti kalau Dewi tetap tidak mau. Biar ibu yang langsung bicara dengannya," tegas ibu yang melihat roman enggan dimuka Usman ketika mendapat nasihat.

Meski dengan perasaan enggan. Usman pun menuruti nasihat ibunya. Ia memang tak menampik terselip kerinduan kepada Dewi, terutama tingkah lucu Zaki serta celoteh jagoannya itu yang hampir dua pekan tidak bertemu. Dipacunya motor bebek butut kesayangannya, Usman pun ke rumah mertuannya.

Tidak sampai seperempat jam, Usman tiba di kediaman mertuanya. Ibu mertuanya terlihat tengah menjemur kerupuk memanfaatkan cuaca panas menjelang Ramadhan.

"Assalamu'alaikum. Apa kabar BU? Dewi dan Zaki ada?" tanya Usman kepada ibu mertuanya seraya menyalami.

"Ada. Kamu ingin menjemputnya?"

"Iya Bu. Sebentar lagi Ramadhan, aku tak ingin mengawali bulan suci ini dengan hal-hal yang tidak baik."

"Syukurlah kalau begitu. Masuklah. Dewi sekarang ada di kamarnya menemani Zaki bermain. Bicaralah baik-baik. Ibu tidak ingin kalian terus-terusan seperti ini."

"Maafkan Usaman Bu," ucap Usman dengan nada penyesalan seraya masuk menemui Dewi.

Di ruang tamu berukuran 6x4 metr dengan lantai papan, Dewi terlihat asyik menemani Zaki menyusun puzzle bergambar dinosaurus. Ketika mengetahui kedatangan Usman, Zaki yang mulai bosan bermain langsung menghambur ke pelukan ayahnya. "Ayah. Ayah kok baru datang sekarang? Ayah akan menjemput Zaki kan?" berondong Zaki dengan cadelnya di pelukan Usman.

"Iya. Ayah akan menjeput Zaki sama Ibu. Ayo sekarang beres-beresin mainannya, kita segera kembali ke tempat nenek lagi."

Zaki pun langsung mematuhi perintah ayahnya. Sementara Usman mencoba merayu Dewi agar bisa ikut serta dengannya.

"Maafkan Mas, Wi. Selama ini mas belum mampu menjadi suami yang baik. Namun menjelang bulan baik ini Mas berjanji akan memperbaiki semuanya. Tolong berikan kesempatan lagi. Jika nanti memang Mas tidak mampu, Mas akan menuruti semua kemauan Dewi," ujar Usman pelan dengan nada penyesalan.

Melihat ketulusan yang ditunjukkan oleh Usman, Dewi pun tidak membantah. Lagi pula ia tidak mau melihat Zaki kecewa. Segera dibereskannya pakaian untuk kembali ke rumah mertuanya.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Setelah dua malam merenda kembali benang-benang rumah tangganya, Usman membuktikan janjinya. Ia tidak lagi keluar malam serta dari pagi hingga petang Usman pun mencoba mencari nafkah dengan cara berdagang ponsel di kawasan Beringin Janggut dengan bantuan modal dari kakak iparnya. Hanya saja Dewi masih belum membuka hatinya dengan ikhlas atas perubahan itu.

Sore kedua setelah kebersamaan, Usman dengan baju koko putih usai shalat Ashar mengajak Zaki berjalan sore dengan motornya sembari membeli tekwan, makanan kegemaran Zaki di kawasan Pasar 7 Ulu.

Pulang dari jalan-jalan, Zaki terlihat benar-benar bahagia. Dengan pedang mainan yang dibelikan Usman, Zaki dengan bangga memamerkan mainan barunya kepada nenek dan kakeknya yang bersiap ke masjid untuk shalat Maghrib.

Usai shalat Maghrib, Usman duduk di meja makan mengajak Zaki menikmati tekwan yang telah mereka beli. Baru satu suap menelan makanan khas Palembang itu, tiba-tiba Usman merasakan dadanya sesak dan kemudian tersungkur ke lantai. Zaki langsung menjerit memanggil ibunya tatkala melihat ayahnya sudah terkapar di lantai.

Dewi yang tengah menyiapkan makan malam langsung memeluk Usman yang sudah tidak bergerak. Beberapa kali dipanggilnya Usman, tetap tidak ada respons, namun detak jantung Usman masih terdengar. Segera saja Dewi menyetop becak depan rumahnya menuju rumah sakit yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya. Sedangkan Zaki dititipkan Dewi ke tetangga depan rumahnya yang memang telah menganggap Zaki seperti anak mereka sendiri.

Sesampai di rumah sakit, Usman langsung dibawa ke UGD. Melihat tidak ada respons, dokter langsung memasang oksigen serta infus di tangannya. Sekitar 3 menit melakukan tindakan, dokter meminta Dewi menebus obat ke apotik rumah sakit yang jaraknya 500 m dari UGD. Karena memang tidak ada yang menemani segera saja Dewi menebus obatnya.

Betapa terkejutnya Dewi, ketika kembali ke UGD ia tdak bisa lagi bertemu suami. Dokter mengatakan Usman terkena serangan jantung yang menyebabkan dia meninggal.

Seumur hidupnya, perjalanan di ambulance dari rumah sakit ke rumah mertuanya merupakan perjalanan paling jauh. Dewi tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Ia ingin menangis, tapi air mata seolah tak ingin menjadi saksi kesedihan Dewi.

Begitu jasad Usman diturunkan, ibu dan ayah Usman angsung menghabur menangisi kepergian anaknya. Mereka benar-benar tidak percaya bahwa sebelum mereka ke masjid sore tadi adalah saat terakhir kebersamaan bersama puteranya.

Kesedihan begitu terasa pada malam itu. Namun Dewi tak mampu merasakannya. Kesedihan itu tertutup penyesalan mendalam sehingga air mata pun tak mampu a titikkan. Sehingga setiap pelayat yang datang kagum dengan ketegaran Dewi menghadapi musibah yang menimpanya.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Angin musim kemarau berhembus pelan di area pemakaman Kebun Bunga. Banyak pelayat yang mendatangi makam-makam keluarga mereka menjelang Ramadhan. Demikian juga dengan Dewi. Di atas gundukan tanah merah yang masih baru, Dewi bersimpuh di sebelah makam Usman.

"Tuhan mendengarkan doaku Mas. Tuhan mengabukan doaku Mas," lirih Dewi perlahan.

"Tuhan benar-benar mengijabah doaku Mas. Kita akhirnya bercerai. Tapi bukan dengan cara seperti ini yang aku inginkan Mas. Aku belum siap kehilanganmu Mas. Aku belum sempat meminta maafmu. Bahkan kau tidak izinkan aku menemai saat detik-detk kepergianmu Mas. Mengapa Mas. Aku tidak mau bercerai denganmu Mas," tangis Dewi pun pecah. Tangisan yang diselimuti penyesalan mendalam pecah di kala senja menjelang.

Rona merah di ufuk barat membuat para pelayat berangsur meninggalkan pemakaman. Sedangkan Dewi dengan penyesalan seolah enggan beranjak. Ditemani sekuntum kamboja yang gugur di atas makam Usman di awal malam Ramadhan. (*)

Citra Budaya

Sumatera Ekspres, Minggu, 7 Juli 2013

Sabtu, 06 Juli 2013

Menelaah Harta-Harta Iblis Penggoda Manusia

Menelaah Harta-Harta Iblis Penggoda ManusiaOleh: Sri Suparti

Segudang harta iblis irtu berbentuk batangan, koin emas, barang-barang antik yang nilainya milyaran rupiah dan sebagainya. Tapi pengorbanan untuk harta benda itu tentu saja sangat berat. Bahkan tak sebanding dengan risiko yang akan ditanggung oleh manusia dikemudian hari.

• • • • • • • • • • • • • • •



Berita mengenai uang balik, bank gaib hingga ritual sebuah pesugihan rasanya sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kita. Masyarakat kita meyakini adanya campur tangan bangsa gaib untuk membuktikan apa yang sebelumnya mustahil menjadi sebuah kenyataan. Berita mengenai hal ini tentu saja menjadi berita hangat di masyarakat kita yang kebanyakan dari mereka diterpa kesulitan ekonomi.

Beberapa waktu lalu masyarakat Tuban juga dihebohkan adanya penemuan benda-benda kuno berupa logam mulia (emas), barang antik dari perunggu serta keramik peninggalan masa lalu. Bahkan belakangan ini tersiar kabar di daerah Magelang, tepatnya di area Candi Borobudur, ditemukan uang yang begitu banyak jumlahnya tercecer di sekitar candi. Anehnya uang-uang itu tidak ada yang merasa memiliki, walaupun aparat serta pihak pengelola candi berusaha mensosialisasikan penemuan tersebut.

Beberapa paranormal dan orang pintar meyakini kalau barang serta uang yang banyak bermunculan belakangan ini yang tanpa diketahui asal-muasulnya merupakan milik bangsa gaib (makhluk halus). berbagai dugaan dan perkiraan silih berganti hanya meninggalkan sebuah tanda tanya. Dugaan demi dugaan terus bergulir membuat polemik ini semakin panjang tak berujung.

Mungkin, keberadaan benda-benda itu merupakan pembuktian eksistensi makhluk halus di tengah kehidupan kita. Bahwa alam gaib pun memiliki peradaban yang tak kalah serupa dengan manusia, bahkan cenderung lebih maju dari bangsa manusia. Mereka memiliki penguasa, birokrasi, pengusaha serta rakyat jelata. Ini terbukti adanya logam mulia, alat tukar uang bahkan perbankan atau yang sering disebut dengan bang gaib. Kabarnya, mereka juga memiliki sebuah gudang harta karun, yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga miliknya.

Terlepas dari perdebatan benar atau tidaknya hal ini, beberapa pekan lalu Misteri berusaha melakukan pembuktian adanya kebenaran gudang harta karun yang sering menjadi polemik di tengah kehidupan kita. Kami menuju sebuah tempat yang sering menjadi incaran kauum supranatural. Tempat itu merupakan sebuah goa yang terletak di Pantai Selatan Pacitan. Dari serangkaian fakta dan data yang ditrma Misteri, tempat ini dulunya merupakan petilasan tokoh utama diera kekuasaan Mataram. Kemudian dengan berjalannya waktu, lokasi ini dijadikan tempat wisata religi yang ramai dikunjungi masyaraat dari dari berbagai daerah. Mereka beranggapan kalau di tempat tersebut bisa memperoleh apa yang dibutuhkan, terutama harta benda. Karenaa mereka berkeyakinan bahwa di goa ini merupakan gudangnya harta karun milik bangsa gaib.

Saat tiba di lokasi, kami pun membnarkan adanya hal itu. Ini terbukti setelah mengadakan kontak batin serta penerawangan di area goa.

Perjalanan kami ditemani oleh Pak Sarjono, paranormal setempat. Saat kaki kami mulai menapaki mulut goa, aura mistis dengan santer menyambut kedatangan kami. Ombak Pantai Selatan sayup-sayup masih terdengar jelas di telinga saat kami memasuki goa yang nampak angker itu. Tak ada pemandangan lain di sudut-sudut ruangan dan dinding, kecuali kotoran burung walet yang berserakan memenuhi lantai. Tepat di salah satu sudut ruangan yang cukup luas, Pak Sarjono menghentikan langkahnya.

"Kita tak bisa meneruskan perjalanan menuju ke dalam dengan keadaan seperti ini," potongnya sembari mencolek bahuku. Aku cukup paham dengan maksudnya.

"Kau bisa meraga sukma," sambungnya lagi.

"Aku pernah mempelajarnya, mudah-mudahan masih bisa kugunakan," jawabku seketika. Mungkin dengan cara ini kami bisa melanjutkan perjalanan menuju ke dalam.

"Kalau begitu tak ada masalah. Tolong kau jaga diri kami, kami akan masuk alam lain dengan meninggalkan raga ini. Karena sesuatu yang berfisik tak akan mampu menembus tabir yang menyelimuti tempat ini. Jangan sampai kau bangunkan dengan menyentuh tubuh kami. Jika ada sesuatu yang membahayakan, kau cukukp membisikannya saja pada telinga kita!" pesan Pak Sarjono kepada Tikno, penduduk setempat yang memandu kami menuju lokasi. Kemudian dijawabnya dengan anggukan kepala.

Tak membuang waktu, kami langsung mengadakan ritual kecil. Mengosongkan raga, melihat dan menapaki lokasi dengan sukma tanpa dibebani raga atau fisik sejati. Mungkin bagi Tikno hal ini hanya terdengar aneh, tapi tidak bagi kami berdua. Aku melihat dua sosok terduduk bersebelahan dan di depannya Tikno sedang sedang menatapnya penuh tidak kemengertian. Lalu kami berjalan meninggalkan raga-raga kosong yang kosong itu, melangkah menuju ke dalam goa.

Aku tersentak kaget, sempat mata kami berpandangan dengan Pak Sarjono, saat melihat keadaan di sekitar. ternyata apa yang aku lihat sebelumnya, begitu jauh berbeda. Sebuah struktur goa yang nampak kumuh penuh kotoran walet dengan bau tak sedap, kenyataannya merupakan sebuah gudang yang megah dan indah. Bahkan aku terkejut, ternyata kami sudah berada di salah satu ruangan yang menyerupai tempat tunggu.

Di setiap sudut ruangan nampak berdiri sesosok laki-laki dengan tubuh tinggi, hitam dan besar. Wajah mereka nampak seram dan tak ada keramahan pada dirinya. Beberapa penjaga dengan pandangan sinis menatap tajam, seolah dia mencurigai kedatangan kami.

"Hai....! Apa yang kalian lakukan di sini? Mengapa kau bisa masuk gudang harta kami?" bentak mereka dengan keras.

Jujur aku sedikit takut, padahal entah untuk berapa kalinya au memasuki alam gaib, tapi baru kali ini rasanya diriku merasa gemetar. Akhirnya aku sadari, kalau para gaib penjaga gudang harta bukanlah sosok makhluk halus dari glongan rendah, tapi mereka benar-benar pilihan, ini terbukti dari aura serta wibawanya yang membuat cut nyali kami.

"Maafkan kami, kedatanganku tak ada maksud untuk merampas atau mencuri harta milik kaummu. Kami hanya pengelana yang tersesat di tempat ini."
Mbr />"Banyak bangsamu yang suka mencuri dan merebut paksa harta milik kaum kami. Oleh karenanya aku harus mewaspadaimu, apa lagi kau nampaknya bukan manusia biasa. Terbukti dirmu bisa menembus pagar pembatas alam gaib yang kami buat," lanjutnya. Dengan berbagai alasan, kami berusaha meyakinkan makhluk gaib tersebut, yang nampaknya merupakan pemimpin penjaga gudang harta mereka.

"Percayalah, kami tidak akan mengingkarinya. Kami berjanji tidak akan berbuat macam-macam di daerahmu, apa lagi mencuri harta bendamu," sosok itu terdiam, dan akhirnya mengijinkan kami untuk melihat area gudang megah tersebut dengan pengawalannya.

"Ternyata memang benar, bangunan itu merupakan gudang harta milik bangsanya. Pantas saja penjagaan begitu ketat, ucapku dalam hati. Kami terus melangkah menyusuri jalan di antara sekatan-sekatan ruangan yang menyerupai kantor. Dan menurutnya, di setiap ruangan ada penjaga serta bagian administrasnya.

"Tempat ini merupakan penyimpan harta benda kami. Bagi kaum kami yang kaya, dia suka menitipkan hartanya di tempat ini, agar lebih aman dari pencurian dan jarahan bangsamu. Karena bangsamu suka nekad mengambil paksa atau mencuri harta kaum kami jika lengah. Oleh karena itu, mereka suka jengkel lalu merusak bangsamu dengan berbagai cara," ungkapnya sambil terus berjalan di antara ruangan-ruangan yang dijaga ketat oleh sosok-sosok yang menyeramkan.

"Lalu dari mana kaummu memperoleh harta sebenyak ini?" Tanya kami menyelidik.

"Kaum kami pekerja keras, dia banyak mendapatkannya dari dasar laut, terutama Laut Selatan ini. Di dasar laut banyak harta terpendam yang sudah tak bertuan dari kapal-kapal yang tenggelam beberapa ratus tahun lalu, dan pemiliknya pun telah tiada. Lalu oleh kaumku diambil dan disimpannya di tempat ini. Sebagian lagi menggali dari dasar perut bumi," timpalnya kemudian.

"Apakah dari perut bumi yang mereka dapatkan sudah berupa lempengan logam mulia atau uang yang bernominal sama dengan bangsaku?"

"O, tidak. Semua didapat dari perut bumi, susah dan menunggu hingga puluhan tahun lamanya. Kerena kebanyakan adalah peninggalan penguasa jaman dulu. Kerana suatu sebab, kemudian ia menympannya di dalam perut bumi. Lalu bangsaku menunggu hingga puluhan bahkan ratusan tahun. Jika hal itu lama tak diambil, maka akan dibawa oleh kaumku ke tempat ini agar lebih aman. Oleh karena itu di tempat ini menumpuk harta benda aneka rupa dengan jumlah banyak. Tapi belakangan banyak bangsamu yang mencuri dan memaksa kaumku untuk memberikan harta itu dengan menukar seorang pembantu atau budak," jelasnya lagi.

"Bagaiman caranya bangsaku meminta atau menukar harta dengan kaummu di tempat ini?" Tanya kami penasaran.

"Sebagian bangsamu bisa mengambil paksa harta di sini, dengan jalan mengelabui kaumku dengan imbalan tertentu. Sebagian lagi bangsamu berani menukarnya dengan nyawa kerabat, teman bahkan dirinya sendiri untuk dijadikan budak demi sebuah harta. Hingga kaumku mengambil harta yang dititipkan disini untuk membayarnya."

Mungkin inilah yang dsebut dengan laku pesugihan, batinku. Lalu kepada Misteri, sosok itu menunjuk salah satu ruangan yang cukup besar. "Kalian lihat, di tempat itulah gudang penyimpanan berbagai harta milik kami. Bangsamu banyak yang mengundang dan transaksi dengan kaumku di depan pintu sana."

Dalam perbincangan dengan Misteri ia menuturkan, manusia yang nekad dan tak beriman akan menjual atau menggadaikan nyawa dengan bangsanya di sana. Pada umumnya mereka yang gelap mata dan mengetahui dengan persis kalau di tempat itu merupakan gudang harta bangsa iblis, sehingga dengan mudah ia tergoda untuk mendapatkannya dengan berbagai cara. Berbagai laku ritual dengan persyaratan beraneka ragam mereka gunakan, termasuk mengadakan perjanjian yang berbuntut pengorbanan.

Lebih lanjut sosok tinggi besar yang mendampingi perjalanan kami menuturkan, pada umumnya bangsa manusia ingin hidup enak dengan harta melimpah, tapi tidak mau berusaha dan bekerja keras, tidak seperti kaumnya yang bekerja dengan gigih siang dan malam.

"Karena itu sebagian kaumku yang kaya dan sombong juga sering menggoda dengan harta bendanya kepada manusia, agar mereka iri dan masuk ke dalam perangkapnya, sehingga manusia yang lupa diri itu suatu saat akan menjadi budaknya di alam ini."

Pantas di tempat ini sering dilakukan ritual pencarian berkah, bahkan tak jarang digunakan sebagai laku pencarian kekayaan atau pesugihan. Karena mereka benar-benar telah tergoda dengan harta benda iblis yang memang banyak tersimpan di tempat ini. Banyak hal yang serupa antara kehidupan manusia dengan alam mereka, mungkin yang membedakan hanya soal istilah serta pengertian bahasanya. Sembari melangkah kembali ke ruang depan, kami masih sempat bertanya, untuk apa harta yang melimpah itu baginya.

"Harta atau benda yang berupa logam mulia atau mata uang serta benda antik juga dibutuhkan kaumku. Dalam keseharian mereka membutuhkan barang-barang itu. Bahkan beberapa pemimpin kami, rumahnya berdinding emas den berhiaskan benda antik. Karena itu aku pesan kepadamu dan sampaikan pula dengan yang lain, jangan pernah tergoda dengan harta-harta milik bangsa kami. Karena reskonya akan berat di kemudian hari. Semoga hal ini bsa disadari bangsamu , bahwa kami hidup sejajar hanya menempati ruang serta dimensi yang berbeda. Dan semoga bisa terjalin persahabatan yang baik." Tandasnya menutup perbincangan, karena saat itu kami sudah berada di ruang semula, tempat dimana aku dan Pak Sarjono meninggalkan raga yang dijaga oleh Tikno.

SEketika itu pula, kembali kami memasuki fisik kosong yang cukup lama ditinggalkan. Kami kaget, lelah dan capek menyelimuti tubuh ini. Begitu terkesan rasa menjelajahi alam gaib, dimana kami bisa melihat sendiri dengan jelas harta-harta iblis yang melimpah dan sering menggoda kehidupan manusia itu. Semoga catatan ini bisa membuka mata hati kita terhadap dunia gaib yang memang terkadang tak bisa dilogika dengan akal biasa. (*)

Sumber: Misteri, Edisi 561 Tahun 2013

Jumat, 05 Juli 2013

Efek Bahaya Mengkonsumsi Makanan Pedas

Efek Bahaya Mengkonsumsi Makanan Pedas

Selain menantang, aneka keripik pedas atau ramen yang menyediakan level-level tertentu untuk menunjukkan tingkat kepedasannya juga membuat seseorang merasa bangga jika ia sukses melahap Si Keripik Pedas. ­­Memang, sih, cabai yang menjadi sumber pedas mempunyai banyak manfaat.

Sebut saja kandungan vitamin C yang tinggi, kandungan capsaicin yang dapat membunuh sel kanker, mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, dan mengendalikan pencemaran mikroba pada makanan. Namun, seperti kata pepatah lama, segala yang berlebihan tidak akan menimbulkan kebaikan. Begitu juga ketika Anda memakan terlalu banyak makanan pedas.

Diare
Makanan pedas dapat mempercepat gerakan di usus yang mempermudah terjadinya diare. Ketika makanan pedas sudah sampai di usus besar, efek iritasi dari makanan pedas ini akan langsung terasa. Kemudian tubuh akan mengirim lebih banyak air ke usus untuk meredakan gejala iritasi. Perlu disadari, setiap orang memiliki kepekaan usus yang berbeda sehingga daya tahan terhadap makanan pedas akan berbeda pula. Jika Anda termasuk sensitif pada makanan pedas, sebaiknya batasi konsumsi makanan pedas.

Gastritis
Konsumsi makanan pedas yang terlalu sering dapat menyebabkan permukaan lambung menjadi rapuh dan mudah mengalami luka. Penyakit itu disebut gastritis alias mag, yang terjadi karena adanya peradangan pada lapisan lambung. Pasalnya, lambung yang sering ditimpa makanan pedas mengakibatkan lapisan-lapisannya menipis dan rentan terkena infeksi.

Alergi
Pernah merasa lidah Anda terbagi menjadi pola-pola tertentu yang mengakibatkan makanan jadi terasa hambar? Hal tersebut dipercaya sebagai akibat dari alergi pada lidah. Sama halnya dengan makanan atau minuman yang terlalu panas, makanan pedas pun dapat mengakibatkan beberapa bagian lidah alergi sehingga nafsu makan Anda berkurang karena ketidaknyamanan.

Sensitivitas lidah berkurang
Pengonsumsian makanan pedas yang berlebihan dapat mengurangi sensasi rasa secara permanen sehingga lidah tidak lagi responsif dalam mengecap rasa. Jika Anda merasa semakin lama semakin kuat mengonsumsi makanan pedas, sebaiknya berhati-hati. Bukan berarti Anda semakin terbiasa, bisa jadi sensitivitas indera pengecap berangsur aus. Paling fatal, lidah tidak lagi berfungsi maksimal untuk menentukan porsi makanan pedas yang dapat kita tolerir.

Insomnia
Makanan pedas pun dapat mengganggu pola tidur. Sejatinya, tubuh Anda perlu rileks ketika Anda hendak tidur, terutama pada siklus pertama menuju saat terlelap karena makanan pedas juga dapat meningkatkan temperatur tubuh dan memicu detak jantung lebih cepat. Maka hindari makanan pedas sebelum Anda pergi tidur, ya!

Editor: Soegeng Haryadi
Sumber: Kompas.com
Sriwijaya Post, Minggu, 27 November 2011

Segudang Manfaat Makanan Pedas

Segudang Manfaat Makanan Pedas

Makanan pedas merupakan makanan yang unik. Menusuk lidah dengan sensasi panasnya, namun rasanya tetap disukai oleh banyak orang. Bahkan ada pula yang berprinsip, tidak bisa makan tanpa makanan pedas.

Satu teori yang mungkin menjelaskan hal ini adalah manusia menyukai sensasi. Manusia secara aneh menemukan kenikmatan dari hal-hal yang seharusnya menakutkan dan menyakitkan, seperti menaiki roller coaster atau berlari maraton. Ini adalah pertarungan antara pikiran dan tubuh, dan dimenangkan oleh pikiran.

Di samping itu, di balik sensasi pedas yang menusuk lidah, makanan pedas juga memiliki segudang manfaat kesehatan bagi tubuh. Simaklah 6 manfaat makanan pedas berikut.

1. Menurunkan berat badan
Makanan pedas dapat meningkatkan metabolisme yang berdampak pada penurunan berat badan. Penelitian menunjukkan senyawa utama dalam cabai yang disebut capsaicin memiliki efek termogenik dan membantu tubuh untuk membakar lebih banyak kalori setelah makanan dimakan.

2. Menyehatkan jantung
Penelitian menunjukkan, orang yang terbiasa memakan makanan pedas memiliki jumlah insiden serangan jantung dan stroke yang lebih kecil. Alsannya karena cabai dapat mengurangi efek merusak dari kolesterol "jahat" atau Low Density Lipoprotein (LDL) dan capsaicin memiliki efek antiinflamasi. Inflamasi merupakan faktor risiko dari penyakit jantung.

3. Mencegah kanker
Menurut American Association for Cancer Research, capsaicin memiliki kemampuan untuk membunuh sel kanker dan leukemik. Rempah-rempah tertentu seperti kunyit yang ditemukan dalam bubuk kari dan mustard dapat memperlambat penyebaran kanker dan pertumbuhan tumor. Kombinasi kunyit dengan lada hitam akan membuat efeknya berlipat ganda.

4. Menurunkan tekanan darah
Vitamin A dan C dapat memperkuat dinding otot jantung, dan panas dari lada akan meningkatkan aliran darah ke seluruh tubuh. Sehingga dengan mengonsumsi makanan mengandung lada secara keseluruhan dapat memperbaiki sistem kardiovaskular.

5. Memperbaiki mood
Makanan pedas dapat meningkatkan produksi hormon yang membuat perasaan menjadi bahagia, seperti serotonin. Maka makanan pedas dapat membantu meringankan depresi dan stres.

6. Mencegah Parkinson
Sebuah penelitian baru yang dipublikasi dalam jurnal Annals of Neurology menemukan bahwa mengonsumsi lada dua kali seminggu dapat membantu mengurangi risiko mengembangkan penyakit Parkinson hingga lebih dari sepertiganya. Hal ini berhubungan dengan kandungan nikotin dalam lada yang dapat mencegah kerusakan saraf.

Editor: Soegeng Haryadi
Sumber: Kompas.com
Sriwijaya Post, Sabtu, 11 Mei 2013

Rabu, 03 Juli 2013

Bercumbu dengan Arwah di Atas Sungai Musi

Bercumbu dengan Arwah di Atas Sungai MusiOleh: Siti Henny Nawani

Dengan manja Bulan merebahkan dirinya dipangkuanku. Semilir angin Sungai Musi menebarkan alunan kidung cinta asmara. Desiran puisi cinta mendayu-dayu menambah keindahan malam Jumat Kliwon yang keramat. Bulan membeikan kehangatan ranjang rumah panggungku yang sudah sepuluh tahun ditinggal Yulianti Murtopo, istriku yang terkena serangan penyakit kanker rahim yang ganas. Kuburan Yulianti sudah lama kering dan aku dikiriminya Bulan, gadis cantik, seksi dan anggun, yang ternyata bukan wanita bangsa gaib biasa, tetapi Yulianti Murdopo yang cantik. Arwah almarhumah istrku yang berubah nama menjadi.... Bulan!

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •

Hari setelah sepuluh tahun hidup bersama dengan Yulianti Mirdopo tanpa anak, akhirnya penyakit kanker ganas dirahimnya, terpaksa merenggut nyawanya juga. Kematian Yilianti menorehkan luka yang dalam dibatinku, utuk itu aku bertekad tidak akan menikah lagi, dan aku tetap setia sampai mati kepada istriku yang aku sangat cintai itu.

Setiap minggu, aku ziarah ke makam Yulianti di Tebing Ginting, Ogan Ilir 40 kilometer dari Kota Palembang. Di pemakaman umum itu, aku mengganti kembang, bunga mawar kesukaan Yulianti ketika hidup, mawar warna merah yang sangat wangi, yang kubeli di tukang kembang Kertapati.

Semua keluarga, termasuk keluarga Yulianti Murdopo, Pak Mudopo, mertuaku, menyarankan agar aku menikah lagi, berpacaran dan melupakan Yulianti yang sudah tiada. Tetapin aku tidak bisa, karena cintaku yang berkarat kepada strku itu, maka aku tidak bisa melupakannya. Bahkan, pihak keluargaku menganggap aku sudah gila, mencintai istri yang sudah terkubur dan tiap minggu mendatangi makamnya dan berbicara.

"Yulianti sudah menjadi tulang belulang di tanah perkuburannya, bila kau hendak mengirim Al-Fatihah, tahlil untuknya, tdak harus ke makamnya, cukup kau lakukan di rumah Insya Allah akan sampai dan meringankan kehidupannya di alam baka," desis Haji Marwan Manaf, ayahku, yang bolak balik meminta aku untuk tidak ke makam Yulianti lagi, karena menempuh jarak yang jauh dan berisiko berat.

"Dari hari Jumat hingga Minggu kau mendatangi makam dan menginap di pemakaman, kau sudah tidak normal lagi, kau sudah gila ya?" bentak ayahku, meminta agar aku memberhentikan usaha itu, usaha yang dianggapnya sangat tidak masuk di akal sehat manusia. Berulang kali aku berkata kepada ayah, bahwa aku yang menjalani ini, wilayah pribadiku dan aku tidak berat melakukannya untuk Yulianti Murdopo.

Hubungan percintaan aku dengan Yulianti Murdopo, berlangsung sejak kami duduk di bangku SMA Negeri 1, Jalan Jaksa Agung R. Soeprapto, Bukit Besar, Palembang. Saat itu kami sama-sama satu kelas dan saling jatuh cinta pada pandangan pertama karena kami sama-sama aktif di kesenian.

Kami berada dalam satu kelompok Pop Song, grup musik sekolah yang sering tampil di panggung luar sekolah. Saya bermain gitar sedangkan Yulianti, bersama Rika, Ita dan Hilmie, menyanyi. Sedangkan aku bersama empat teman pria lain, bermain gitar,flute, dan keyboard.

Ketika grup kami diadu dalam festival Pop Song se-SLTA Sumatera Selatan, di luaar dugaan, karena rajinnya kami berlatih, kami keluar sebagai juara satu. Karena kami berjibaku utuk menang, kekentalan kami dalam satu grup, begitu dekat dan tak ayal aku dan Yulianti saling jatuh hati.

Percintaan akami semakin kuat hingga kami sampai d perguruan tinggi Universitas Sriwijaya di Fakultas Hukum. Setalah sarana, Yulianti mendalami ilmu notaris sedangkan aku menjadi pengacara LBH di Palembang. Setelah menjalani beberapa proses pendidikan, di antaranya magang sidang membantu advokat, aku pun akhirnya menjadi lawyer profesional.

Setelah kami sama-sama menghasilkan uang, kami pun mensucikan percintaan kami dengan menikah. Ijab Kabul dilakukan di Masjid Agung Sultam Mahmud Badaruddin dan resepsi dilakukan di Hotel Swarna Dwipa di Talang Semut, Palembang.

Setelah resepsi yang agung itu, kami kembali ke rumah panggung yang aku beli dari pamanku di tepi Sungai Musi daerah 7 Ulu Laut, Palembang Lamo. Rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu onglen, ulin itu, menghadap lalu lintas air sungai yang terbentang luas nan panjang. Aku membeli sebuah skoci, speedboat 80 PK untuk kendaraan air aku dan Yulianti ke mana mau pergi.

Jika kami berlibur hari Sabtu dan Minggu, dengan skoci itu kami berjalan selama 4 jam menyusri 80 mil laut menuju Sungsang, Musi Banyuasin. Kami menghabiskan liburan itu di hotel terapung milik Pak Lurah Sarketing, dan disitu pula kami menikmati hidup dengan kesederhanaan.

Cinta kami semakin kuat. Rasa ketergantungan hidup terhadap Yulianti semakin besar dari hari ke hari. Begitu juga dengan Yulianti, yang semakin jauh semakin ketergantungan kepadaku. Bila aku mendapatkan uang besar dari prfesiku sebagai lawyer dan Yulianti dapat bonus dari pekerjaannya sebagai notaris, kami gunakan pula uang kami bersama itu untuk jalan-jalan ke luar negeri. Kami sudah menginap di Rio Jeneiro Brazil, Pulau Bermuda di Puerto Rico dan kaki gunng Mount Cook di Selandia Baru.

Mungkin, karena tidak punya anak, maka usaha untuk berwisata mancanegara itu lebih mudah ketimbang orang yang punya anak. Yulianti sering memanjakan aku seperti anak kecil, aku dianggapnya sebagai anak yang dielus-elus dan dimanjakannya, setelah bergantian aku yang menadikannya sebagai anak, memanjkannya bahkan sering sekali aku menggendongnya sampai jauh. Untunglah tubuh Yulianti agak langsing, beratnya hanya 52 kg tinggi 166 cm sedangkan aku berberat 88 kg bertinggi 178 cm, maka itu aku sangat kuat menggendongnya sampai ratusan meter di kaki gunung.

Perjalanan kehidupan perkawinan kami penuh semarak. Keluarga Murdopo dan keluargaku, sangat mendukung apa yang kami lakukan, menikmati jerih payah kami sebagai pencari uang dengan keras. Namun begitu, kami menyisihkan sebagian penghasilan kami untuk keluarga Yulianti yang kurang mampu dan keluargaku juga yang kurang mampu.

Karena lama tidak hamil, kami memeriksakan keadaan kesubran kami ke para ahli. Beberapa dokter kami datangi beberapa ahli alternatif kami sambangi, kepingin mendapatkan anak. Namun terakhir, setelah melakukan general check up, termasuk melakukan foto MRI (magnetic resonance imaging) di Jakarta, kami terperanjat dan shock. Arkian, ternyata dalam dinding rahim Yulianti ada kanker, tumor ganas yang positif dan sangat berbahaya. Kanker itu, selain tidak akan membuatnya mampu hamil, tapi juga akan mengancam jiwanya.

Karena penyakit mengerikan itu, maka setiap malam aku sulit tidur. Pada saat Yulianti terlelap, aku memandangi wajahnya dan menangis. Namun, di dalam pandanganku juga, aku menyertakan doa yang khusyuk meminta agar Allah Azza Wajalla menurunkan kasih sayang Nya kepada Yulianti, membebaskan istrku itu dari penyakit berbahaya itu. Aku meminta dengan sangat kepada Allah agar Allah melindungi istriku, mnarik penyakit itu dan menyembuhkannya.

Sayang, doaku ini ternyata belum diijabah oleh Allah, karena setelah dilakukan operasi, operasi itu gagal dan Yulianti menghembuskan napasnya yang terahir. Tubuhku oleng dan aku tidak kuat lagi berdiri. Aku terus menerus mencuim jasad istriku yang malang itu. Yulianti Murdopo yang sangat aku cintai, sangat aku sayangi dan hampir sepenuh jiwaku kugantungkan kepadanya. Namun begitu, pada sisi yang lain, aku menerima keputusan Alla SWT yang buru-buru mengambil nyawa istrku ini setelah sepuluh tahun kami hidup berdua. Sudah menjadi skenario, jalan cerita hidup yang sudah tergaris dan aku harus bisa menerimanya.

Sebenarnya, terkadang aku kepingin mati bersama Yulianti dengan meminum racun atau menembak jantungku sendiri akan aku mati pula bersamanya. Namun, ajaran agamaku, mengharamkan orang mati bunuh diri dan Allah sangat murka, maka au membatalkan niat itu. Aku tidak mau masuk neraka karena sesuatu tindakan yang yang dibenci Allah, Tuhanku Yang Maha Agung.

"Bunuh diri adalah dosa yang tiada ampunan dari Allah. Tanpa ditimbang-timbang, orang yang mati karena bunuh diri, akan dimasukkan ke dalam neraka yang panas," ujar Kiyai Abdullah Rofiq, guru spiritualku di Lubuksakti, Ogan Komering Ilir, pada saat aku mempertanyakan hal itu kepadanya.

Tapi, pikirku, hal dosa itu hanya pendapat kiyai yang belum tentu ada di kitab suci maupun hadits. Yang berhak atas dosa, pahala, neraka dan surga itu hanya Allah. Kenyataan hidup mati itu, termasuk pernik dalam kehidupan, merupakan kekuasaan juga kekuatan Allah SWT dan hanya Dia-lah yang tahu. "Tahu apa manusia soal apa yang ada di keputusan Allah? Tidak ada yang tahu, kecuali Allah Yang Maha Besar," batinku.

Secara logika aku menghitung-hitung, bahwa lahir, hidup dan mati itu wewenang Allah dan hanya Dia-lah yang berkuasa atas manusia, alam raya, jagat semesta, dan dunia arwah.

Bunuh diri, mungkin artinya, sama saja dengan menyangkal keputusan Allah walau cara bunuh diri itu sendiri, bisa dicegat oleh Allah jika Allah mau. Takdir bunuh diri itu sendiri karena Allah, dalam hukum sebab akibat. Akibat menembak jantung, maka jantung terhenti lalu mati. Tetapi, jika Allah tidak tidak memutuskan hal itu, maka jantung yang ditembak, meleset ke daging dan tidak jadi mati. Atau peluru melenceng mengenai kerbau dan kerbaulah yang mati, bukan si penembak.

Namun bgitu, pikirku, dunia ini bukanlah matematika. Tidak bisa dinalar dengan hitung menghitung. Apalagi menyangkut mati, gaib, kelahiran dan penyakit. Allah menurunkan penyakit, memberi penyakit kepada ummatnya, tetapi Allah pula yang mngambil penyakit itu, jika Dia mau. Maka itu, banak dukun berkata, setiap penyakit pasti ada obatnya. Sebab Allah yang menurunkan penyakit, Allah pula yag menurunkan obat. Cuma terkadang keterbatasan manusia, maka manusia tidak tahu mana obat untuk penyakit yang sama-sama diturunkan oleh Allah itu.

Setelah sepuluh tahun Yulianti Murdopo meniggal dan aku rutin ke makamnya setiap minggu, suatu malam Jumat Kliwon yang wingit, aku tertidur di pusara Yulianti. Dalam mimpiku, Yulianti keluar dari kuburnya dan menunjkkan wajah yang cantik, anggun dan mempesona persis semasa kami baru menikah.

Dalam mimpiku itu, Yulianti memakai gaun warna putih sutra dengan gambar mawar merah di bagian krahnya.

"Aku akan hidup lagi dan akan bersamamu di rumah dengan nama Bulan, Bang. Abang rahasiakan hal ini kepada siapapun dan semutpun, tidak boleh tahu, dinding rumah kita pun, tidak boleh tahu. Apalagi keluarga besar kita. Rahasiakan pertemuan ini dan aku akan tetap hidup bersama Abang di Sungai Musi, rumah kita yang damai," kata Yulianti Murdopo, dalam impian itu. Setelah sepuluh tahun wafat, baru itulah aku mimpi didatangi Yulianti dan mimpi itu eperti kenyataan.

"Kesetian Abang kepadaku begitu besar, cinta dan kasih sayang Abang kepadaku begitu agung, walau sudah sepuluh tahun aku terkubur, sehingga gaib memerintahkanku untuk turun lagi ke bumi, maujud untuk mendampingi Abang yang kesepian," bisiknya, merdu, persis suara Yulianti Murdopo semasa hidup.

Ketika aku terbangun, hari sudah menjelang pagi. Aku buru-buru ke teluk, sumur dekat makam untuk mengambil air wudhu dan shalat Subuh d makam Yulianti. Sementara itu, Yulianti raib karena kenyataan itu hanya fatamorgana, mimpi belaka, mimpi yang seakan menjadi kenyataan. Fatamorgana yang seakan-akan nyata di depan mataku.

Setelah hari pagi, aku kembali ke Palembang, meninggalkan pemakaman Tebing Ginting, kuburan Yulianti bersama ribuan kuburan lain. Aku pacu kendaraanku dengan kecepatan tinggi karena aku ingin segera masuk ke rumahku di Sungai Musi, tempat di mana Yulianti menggambarkan ada kembang mawar merah kesukaannya di kamar. Dalam mimpiku, Yulianti berkata tentang bukti kehadirannya di rumah, yaitu kembang mawar merah di ranjang kami, yang speinya ditata oleh Yulianti 10 tahun lalu tanpa aku ganti, kecuali dibersihkan dari debu.

Begitu memarkirkan mobil di perparkiran 7 Ulu Laut, aku berjalan menuju rumah dengan cepat. Setelah membuka kunci pintu, aku buru-buru menghambur ke kamar tidur yang sudah lama tidak aku tempati itu. Aku terus terusan menangis melihat melihat tempat tidur kami berdua itu dan kenangan sprei serta ranjang yang begitu agung bagiku. Ibu dan ayahku marah besar mengetahui sprei itu tidak pernah aku ganti lantaran, kataku, karena demi cinta kepada almarhumah.

"Kamu itu seorang advokat, pengacara tangguh, lawyer yang pintar dan tangkas di persidangan, semua teman seprofesi kamu mengakui kehebatanmu. Akan tetapi sikap hidupmu sesungguhnya, terutama mensiasati kematian istrimu, tidak pernah sama sekali menunjukkan bahwa kamu itu seorang pengacara yang logis, matematis dan rasional. Kamu seorang yang tidak rasional dan cenderung menjadi gila kepada istrimu yang sudah menjadi tulang belulang," teriak ayahku, saat mengetahui sprei milik Yulianti masih terpasang utuh.

Karena kesal, ayahku lalu menarik sprei itu dan melemparkannya ke Sungai Musi. Secara reflek, aku terjun dari jendela ke aliran sungai yang deras untuk mendapatkan kembali sprei Yulianti itu. Untunglah nyawaku selamat dan sprei itu kembali aku dapatkan, aku keringkan dan kupasang lagi di ranjangku.

Sejak itu ayah dan ibuku tidak berani lagi menggangu harta peninggalan Yulianti, barang peninggalan Yulianti istri terkasih. Sebenarnya ada dua pengacara wanita canti yang menaksirku dengan mendekati ibu dan ayahku. Mereka ingin aku pacari bahkan ingin aku nikahi. Keduanya berebut untuk mendapatkan cintaku, namun hatiku hanya untuk Yulianti sampai aku mati.

Pada saat aku membuka pintu kamar, aku benar-benar kaget, tersentak melihat setangkai mawar merah dengan tangkainya yang masih segar bugar berseri. Yang artinya baru saja dipetik dari sebuah taman di daerah Palembang.

Bila Abang masuk kamar dan melihat setangkai mawar merah kesukaanku, itu berarti aku akan datang di malam harinya dan Abang bersiaplah dengan busana tidur dan tubuh yang bersih setelah shalat Isya'," kata Yulianti, di dalam impianku di makam itu. Mawar itu segera aku ambil dan aku cium. Baunya semerbak dan sangat mewangi. Di tangkai kembang itu, aku menemukan tulisan di kertas kecil dan tulisan tangan itu sangat aku kenal betul, adalah goresan jari Yulianti Murdopo.

"Abang, aku Bulan, istrimu Yulianti Murdopo, dan sebutlah namaku Bulan, jangan dengan nama asliku, karena aku sudah menjadi bulan," tulisan Yulanti Murdopo, dengan rapi dan tertata artistik di kertas putih yang wangi.

Malam Jumat Kliwon, 7 Januari 2011, pukul 23.00 menjelang tengah malam, Yulianti Murdopo yang berganti nama Bulan, datang dari pintu depan, terbang di atas Sungai Musi yang damai. Dia masuk di jendela kamar dan mengenakan baju tidur putih bergambar mawar merah di krahn busananya. Sama persis dengan impianku, di makamnya itu. Malam itu kami bercerita banyak hal, persis sebagai mana kami dulu masih bersama dalam pernikahan. Suara, desah napas dan kemanjaannya, tidak ada yang berbeda dengan sepuluh tahun lalu saat dia menjadi istriku.

Bulan datang dan memberikan kebahagiaan Bulan datang dengan desiran nyanyian yang merdu, suara gemuruh gelombang Sungai Musi yang damai. Puisi cinta yang mendayu-dayu, mendatangiku, berbelitkan cinta malam Jumat Kliwon yang wingit.

"Abang, fajar telah menyingsing di timur kota dan aku akan segera pergi ke alamku, dan aku akan datang Jumat Kliwon yang indah di bulan Februari nanti. Selamat tinggal Abang dan berjanjilah akan tetap mencintaiku selamanya, karena aku mencintai Abang walau kita sudah berbeda dunia, di mana aku telah berganti dunia nyata dengan dunia alam tersendiri yang aku sendiri tak tahu namanya," desis Bulan sambil memeluk tubuhku dengan erat.

Lalu aku membalas memeluknya erat. Setelah itu, aku memeluk angin, karena Bulan menjadi angin lalu terbang ke Sungai Musi dan terbang jauh ke alamnya, alam Dilin, dimensi lain yang aku sendiri tidak tahu di mana adanya. Selamat jalan sayang dan jangan lupa datang di bulan depan, malam Jumat Kliwon, 11 Februari 2011 pukul 23.00 Waktu Palembang di mana aku menunggumu untuk bercerita semalam di kamar kita yang romatis. (*)

Sumber: Misteri Edisi 561 Tahun 2013