Sabtu, 28 Februari 2015

Cisadane Ketika Dua Naga Melepas Rindu



Akibat lebar tubuhnya sama dengan Sungai Cisadane, maka, jika ia tak kunjung pulang, air sungai pun akan meluap dan menibulkan banjir besar. . . . .

______________________________

Warta berkisah, ribuan tahun lalu, hidup dua naga yang merupakan titisan dewa anata (ular) dan dipecaya sebagai penunggu Sungai Cisadane. Sebagaimana layaknya keluarga, daam berbagai hal, terutama kesaktian, satu sama lain seolah tak ada yang mau mengalah. Sang adik yang bernama Gede, diharapkan sebagai penguasa Gunung Gede – sementara, sang kakak yang bernama Naga adalah calon penguasa laut utara Jawa Barat, tepatnya di kawasan Teluk Naga.

Keduanya akan mendapat tugas khusus menjaga aliran sepanjang Sungai Cisadane. Gede mengatur sumber mata air, sedang Naga sebagai pengatur pertemuan air di muara – dan mencegah air lautagar tidak masuk ke daratan. Sebelum melaksanakan tugasnya, dewa anata keduanya untuk bertapadi kaki Gunung Gede selama 100 tahun.

Ketika pertapaan berjalan 100 tahun, keduanya ingin keluar dari goa untuk sekedar berjemur dan menikmati hangatnya sinar matahari. Dan sebelum kembali masuk goa, Naga ingin mengetahui kesaktian yang telah dimiliki adiknya.

“Adik tunjukkan kesaktianmu,” pinta sang kakak.

Alam seolah ingin menjadi saksi. Konon, tiba-tiba, langit cerah di atas Gunung Gede berubah menjadi gelap gulita disertai dengan petir yang menyambar tiada henti.

Betapa tidak, magma di dalam perut Gunung Gede langsung meningkat aktivitasnya ketika sang adik baru menarik napas.

“Hentikan. . . hentikan. . . ,” demikian pinta sang kakak. Ia tak dapat membayangkan, berapa banyak jatuhnya korban akibat luncuran lahar panas yang keluar dari kepundan Gunung Gede bakal membumihanguskan segala apa yang diterjangnya.

Kini, giliran sang kakak yang memperlhatkan kesaktiannya. Dan tak berapa waktu kemudian, terdengar teriakan Gede yang memperingatkan kakaknya.”Hentikan. . . hentikan. . . .”

Sang adik melihat betapa kehancuran di sepanjang Sungai Cisadane bakal terjadi karena sumber mata air di kaki Gunung Gede, tiba-tiba mengeluarkan air beribu kali lipat dari biasanya.

Sebagaimana sang kakak, ia juga tak sampai hati jika harus melihat begitu banyak padi yang menguning bakal membusuk akibat terjangan banjir, bellum lagi ternak, rumah maupun penduduk yang tinggal di sekitar aliran sungai bakal hanyut. Setelah menyadari keunggulan masing-masing, sejak itu, keduanya berjanji tidak akan menggunakan ilmunya dengan secara sembarangan.

Waktu terus berlalu, tanpa terasa, seribu tahun sudah Naga dan Gede menjalankan tapa bratanya dengan tekun dan khusyuk. Boleh dikata, dengan menguasai ilmu yang mumpuni, maka, mereka memang pantas menjaga daerah yang dipercayakan kepadanya. Walau begitu, kadang Gede merasa iri kepada sang kakak, yang ia yakini lebih mumpuni dari dirinya.

Keesokan harinya, saat keduanya keluar dari goa masing-masing untuk segera menjalankan dharma hidup sebagaimana yang dititahkan dewata, sang adik pun bertanya. “Kenapa hari ini kakak tampak murung?”

“Sebenarnya hari ini sudah saatnya aku pergi, tetapi, ada sesuatu yang harus aku lakukan,” jawab sang kakak tetap dengan wajah murung.

“Pergi kemana? Aku ikut. . . ,”demikian potong si adik cepat.

“Tidak, engkau harus tetap di sini,” ujar sang kakak sambil mengingatkan pesan dewa anata bahwa sang adik calon penunggu Gunung Gede, sedang dirinya harus berangkat ke muara Cisanade.

“Kakak aku tak pernah bisa berjauhan darimu,” rengek si adik yang selama ini banyak dibimbing dan diarahkan oleh kakaknya.

Naga pun kembali mengingatkan dan meyakinkan bahwa keduanya harus menunaikan tugas dewata untuk menjaga sungai dan lautan.

Cukup lama Naga mengingatkan Gede, adiknya, bahwa mereka harus berpisah. Hingga akhirnya, dengan perasaan berat, Naga pun berangkat meninggalkan adiknya. Sementara, sambil memeluk Gunung Gede, si adik pun menangis beberapa hari.

Menurut tutur yang berkembang di kalangan orang-orang tua, saat Naga hendak meninggalkan Gunung Gede, untuk mempermudah dan mempercepat tubuhnya yang selebar sungai itu meluncur ke arah laut, maka ia terlebih dahulu meluapkan Sungai Cisadane. Konon, saat itu, merupakan banjir untuk yang pertama kalinya.

Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, Gede merasa rindu yang teramat sangat pada kakaknya. Semula ia mencoba menahannya. Tetapi apa daya, semakin ditahan, wajah sang kakak makin tampak jelas menari-nari dipelupuk matanya. Akhirnya, karena tak kuasa menahannya, ia pun memohon izin kepada dewa Anata untuk sekedar bisa bertemu dengan sang kakak walau hanya sesaat.

“Oh... dewa, aku sangat merindukan kakakku,” teriaknya sambil tak tahu apa yang harus dilakukan.

Ketika perasaan ini dijeritkan, hujan lebat pun turun selama beberapa hari mengguyur Gunung Gede, bahkan, di beberapa tempat, tebing pun longsor. . . .

Melihat bakal terjadi kerusakan di mayapada, dewa Anata turun dan berkata. “Pergilah, namun, perjalanan harus dilakukan pada malam hari, dan sudah kembali ke tempat ketika ayam mulai berkokok.”

Gede sontak setuju, ketika akan berangkat, mendadak hatinya kembali resah. Maklum, kemampuan untuk memperbesar dan memperkecil mata air hanya dimiliki sang kakak. Tapi Gede nekat, ia pun berangkat dengan menyusuri Sungai Cisadane.

“Kakak aku datang. . . ,” demikian kata Gede dengan gembira.

“Adik. . . ,” kata Naga juga dengan penuh kasih dan kerinduan.

Keduanya langsung saling melepaskan kerinduan di sebuah teluk di pantai itu. Tiba-tiba seseorang yang memiliki “daya luwih”, tanpa sengaja memergoki keduanya. Dan kejadian inilah yang menjadi cikal bakal daerah yang akhirnya disebut dengan Teluk Naga, yang sekarang termasuk dalam Kabupaten Tangerang – yakni suatu teluk yang mempertemukan dua ekor naga. Naga dan Gede.

Belum lagi hilang kerinduan keduanya, suara ayam jantan yang berkokok menandakan pagi tiba pun terdengar. Tetapi, Gede seolah tak mau mendengarnya. Ia enggan berpisah dengan kakaknya. Alih-alih sang kakak, dewata yang mengingatkannya pun tak digubris.

“Gede . . . kembalilah, waktumu sudah habis,” demikian dewata mengingatkan.

“Tidak . . . aku masih rindu,” jerit Gede.

“Kembali....!” perintah dewata semakin keras.

“Tidak. . . ,” jawab Gede tak kalah sengit.

Perdebatan yang beberapa saat itu, ternyata berakibat sangat buruk. Ketika itu, akibat Gede tak jua mau kembali, maka, sepanjang aliran Sungai Cisadane terkena banjir yang maha heba. Sawah, ternak, harta, bahkan nyawa hilang akibat banjir bandang. Betapa tidak, Gede tak menyadari bandannya yang panjang dan lebarnya sama dengan sungai itu, menutupi jalan air dari hulu menuju ke muara.

Menurut keyakinan masyarakat, banjir terhebat terjadi di suatu tempat yang belakangan termasuk dalam wilayah Tangerang Selatan. Hal itu terjadi karena ukuran perut Gede, tepat berada di tikungan sungai yang di bilangan Desa Lengkong, Tangerang Selatan. Namun, banyak yang meyakini, asal-usul Desa Lengkong bermula dari tikungan sungai tersebut yang tersumbat oleh bagian perut Gede yang paling besar.

Sehingga jangan heran, sampai dengan tulisan ini diturunkan, kebanyakan penduduk meyakini menyakini bahwa daerah Serpong. Kedemangan, Lengkong, dan Kranggan adalah bagian dari Sungai Cisadane, ketimbang daeraah yang lainnya. Dari berbagai sumber terpilih (*)

Perjanjian Gaib dengan Siluman Gunung Arjuna

Perjanjian Gaib dengan Siluman Gunung Arjuna

Orang yang memuja siluman Naga Pertala akan diikat perjanjian gaib, ia harus merelakan tumbal setiap tahunnya. Korban siluman Naga Pertala penguasa Gunung Arjuna itu tubuhnya akan kering dan menghitam.

_____________________________________________

Di sebelah utara Kota Batu, Malang, terdapat sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Arjuna. Di saat Sang Bagakara terbangun, ia seakan menopang dagunya di puncak Gunung Arjuna yang tampak gagah menjulang tinggi dengan megahnya. Sesekali puncak gunung itu mengeluarkan asap.



Dahulu saking tingginya, puncak Gunung Arjuna ini diibaratkan menyentuh langit. Namun sekarang ketinggiannya hanya mencapai 3.339 meter di atas permukaan laut. Konon salah satu puncak Gunung Arjuna ini dipotong oleh Kiai Semar dan Kiai Togog, dan dilempar ke sebelah tenggara Kota Batu, yang kemudian diberi nama Gunung Wukir.

Ketika Misteri ke Imogiri, kebetulan di tempat itu ada priyayi luhur, Panembahan Agung Tejowulan. Tak lupa menghaturkan sungkem-bhakti, sambil menikmati wedang uwuh. Panembahan Agung Tejowulan bercerita, bahwa disamping makam Sultan Agung Hanyokrokusumo itu ada batu yang agak dhekok (cekung) karena saking seringnya dicium para penziarah. Disela batu cekung lantai makam itu, tanahnya sangat harum. Konon, tanah harum itulah yang dilempar Sunan Kalijogo dari Tanah Suci Arab.

Beberapa sahabat yang pernah menunaikan Ibadah Haji bilang, bau harum tanah makam Sultan Agung aromanya sama dengan bau harum batu Hajar Aswat. Entah karena kebetulan, atau legenda tentang Sultan Agung yang melempar segenggam tanah dari Tanah Suci, itu benar-benar terjadi, yang mungkin ada makna yang “tersirat” maupun yang “tersurat”.

“Yang harumnya hampir sama dengan tanah makan Sultan Agung Hanyokrokusumo di Tanah Jawa, ada di puncak Gunung Arjuno itu, bila dibakar seperti harum kemenyan wangi,” jelas Panembahan Agung Tejowulan kala di Imogiri.

“Tak mudah untuk menemukan Tanah Arum di bukit Arjuna itu, orang-orang yang berhati bersih akan dituntun untuk menemukannya,” lanjut Panembahan.

Beliau juga bahkan membawa contoh Tanah Arum dari puncak Gunung Arjuno, berwarna putih, dan aromanya memang harum, benar seperti apa yang dikatakan Panembahan Agung Tejowulan. Merasa tertarik dengan cerita beliau, Misteri mencoba menelusuri legenda dan mitos yang hidup di Gunung Arjuna tersebut.

Konon, penguasa gaib Gunung Arjuna ini berupa siluman ular raksasa mengenakan mahkota (jamang) dan dikepalanya ada tanduk sepasang yang cukup panjang. Meski Gunung Arjuna merupakan introspeksi diri bagi orng-orang yang sudah tinggi ilmunya, jika lolos ujian dia akan menjadi “Ratu Lelananging jagad” (baca: pemimpin yang ambeg adil paramarta), namun bagi mereka yang gagal dengan godaan yang dilakukan penguasa gaib Gunung Arjuna ini, ia akan menjadi budak iblis selamanya.

Orang yang datang ke Gunung Arjuna jika hatinya tidak bersih, namun dia memiliki kesaktian atau kewaskitaan batin yang tinggi, dirinya akan dijumpai oleh siluman naga pertala (naga bumi) yang dijanjikan kekayaan dan kekuasaan yang luar biasa. Benar apa kata sahabat, bahwa mencari pesugihan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, yang artinya tidak setiap orang yang datang ppasti berhasil berkolaborasi dengan setan. Setan itu sangat jeli dan licik. Dia tidak mau rugi, memberikan harta benda dan kuasa yang banyak, kalau orang yang mencari itu juga tidak memiliki prospek. Dijamin pasti gagal.

Orang yang kemudian memuja siluman naga pertala ini akan diikat dengan perjanjian gaib, biasanya dia harus merelakaan tumbal setiap tahunnya. Bagi mereka tak akan sulit mencari tumbal, cukup karyawan atau anak buahnya dijadikan korban gaib. Umumnya korban siluman naga pertala penguasa Gunung Arjuna ini tubuhnya akan kering dan menghitam. Sehabis setor tumbal, para penyupang ini usahanya akan melejit dan atau yang terjun ke dunia politik posisinya akan naik dengan luar biasa.

Namun jangan silap, orang yang mengadakan perjanjian gaib dengan siluman Gunung Arjuna ini biasanya juga akan menerima nasib yang sama dengan orang-orang yang ditumballkannya. Para tumbal itu akan bebas, jika orang yang menumbalkan itu sudah mati.

Legenda Gunung Arjuna dikaitkan dengan perjalanan Radyan Dananjaya, ia salah satu dari Ksatria Pandawa, putra Prabu Pandu Dewanata dan ibunya Ratu Kunti Talibrata. Wajahhnya yang sangat rupawan dan kegemarannya bertapa, yang waktu mudanya sangat ingin jadi Lelananging Jagad.

Suatu hari dia bertapa di sebuah gunung, tubuh Radyan Dananjaya tiba-tiba bersinar dan mengeluarkan kekuatan yang dahsyat. Hasil tapanya ini mengakibatkan gunung tempat bersemedinya itu menjulang tinggi hingga dikisahhkan menyentuh langit. Hal ini membuat khayangan jonggring salaka geger, dan arcapada gema bumi, akibat ulah tapa bratanya Radyan Dananjaya.

Perjanjian Gaib dengan Siluman Gunung Arjuna Sebagai sesepuh para dewa, Rsi Kanekaputra diutus sang hyang jagad nata untuk mencari sumber masalah. Dan ditemukan di sebuah puncak gunung ada Radyan Dananjaya, ia di-“gugah” Rsi Kanekaputra agar “wedar” tapa bratanya, tapi tak digubris. Bahkanpara bidadari diutus untuk menggoda Radyan Dananjaya, agar bata tapa bratanya, dengan godaan paling erotispun juga gagal total.

Sampai-sampai Rsi Kanekaputra berkata, “Pantas, kamu diberi nama Dananjaya, yang artinya tak terkalahkan, dengan godaan apapun. Hanya satu yang bisa membatalkan tapa bratamu, yaitu Kakang Ismaya dan Kakang Tejamaya.”

Dihadapan Bhatara Ismaya dan Bhatara Tejamaya, Rsi Kanekaputra menceritakan apa yang terjadi. “Hanya Kakang berdua yang bisa menggugah tapa bratanya momongan-mu. Meski sudah digempur senjata khayangan oleh Senopati Jongring Saloka dan juga diray para bidadari tercantik, dia tetap tak bergeming. Jika tapa bratanya diteruskan, maka arcapeda akanhancur dan khayangan akan binasa. Tolonglah Kakang,” pinta Rsi Konekaputra atau sering disebut Bathara Narada, gelar kedewaannya.

Akhirnya Bathara Ismaya dan Bathara Tejomantri, turun ke arcapeda dengan berganti wadag (raga) menjadi abdi para ksatria; Ki Lurah Semar dan Ki Lurah Togog, sampai di tempat Radyan Dananjaya “teteki”, Semar mencari posisi di kanan, Togog di kiri, dan memotong puncak gunung tersebut, lalu dibuang atau dilemparkan ke arah tenggara. Konon jatuhnya gunung di tenggara itu sekarang dikenal dengan nama Gunung Wukir.

Karena puncak gunung tempat bertapa dipotong, Radyan Dananjaya terjatuh, hingga tersadar dari tapa bratanya. Dan betapa terkejutnya ketika melihat di kanannya telah berdiri Sang Pamomong Ki Lurah Semar, dan sebelah kiri berdiri Ki Lurah Togog.

“Apa yang terjadi Uwa?” tanya Radyan Dananjaya.

“Kami baru melemparkan puncak gunung yang Radyan gunakan untuk bertapa,” jawab Semar kalem.

“Lho, kenapa Uwa lakukan padaku?” tanya lagi.

“Uwa hanya ingin memperingatkan. Masih belum cukupkah kesaktian yang Radyan Dananjaya miliki sekarang ini? Ingatlah Radyan ini Panengah Pandawa, yang juga memiliki nama Arjuno, dijuluki Sang Lelananging Jagad, yang sangat sakti mahambara, disegani kawan dan ditakuti lawan. Belum cukupkah semua itu?” tanya nasehat dengan keras namun bijak.

Radyan Dananjaya hanya diam menunduk, mulai menyadari kesalahannya. Semar melanjutkan wejangnya. “Radyan dijuluki Dananjaya; yang tak terkalahkan. Tapi Radyan ternyata belum bisa mengalahkan kesombongan, keangkuhan dan ambisi, Radyan. Sadarkah dari apa yang kamu lakukan ini telah menimbulkan malapetaka, arcapeda hancur dan jonggring saloka kacau balau.”

Segera Radyan Dananjaya menyadari kekhilafannya dan segera menubruk kaki Uwa Semar dan Uwa Togog. Dia ksatria, dan tak malu meminta maaf dengan apa yang telah dilakukannya itu jika memang keliru.

“Untuk mengingat-ingat kejadian ini, agar tidak ditiru anak cucu kelak, maka gunung tempatmu bertapa ini tidak aku beri nama Gunung Dananjaya, karena kamu masih dikalahkan oleh ambisi dan kesombonganmu. Sebaiknya kuberi nama Gunung Arjuna, yang telah sadar dari kekeliruannya,” sabda Uwa Semar badranaya.

Dan sejak kejadian itu gunung tersebut dikenal dengan nama Gunung Arjuna. Hingga sekarang puncak Gunung Arjuna masih sering digunakan untuk tirakat para ahli kebatinan, katanya belum tuntas ilmu Wong Jowo bila belum bisa menaklukkan puncak Gunung Arjuna. Padahal ajaran ini menyiratkan bahwa kita belum sempurna nggegulang kawruh kebatinan jika batin kita masih dikuasai oleh kesombongan, keangkuhan, ambisi keserakahan akan keduniawian. Manusia sering lupa diri, lebih-lebih kalau sedang bernasib baik, akan cenderung menjadi sombong dan tinggi hati yang bisa mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Alangkah bijaknya jika kita selalu rendah hati meskipun memiliki keistimewaan tertentu yang dianugerahi Gusti Allah. (*)

Rabu, 25 Februari 2015

Bangun Taman Modern di Gandus


Inilah desain taman Gandus di Kelurahan Karang Anyar yang akan dibangun dengan konsep modern
_____________________________


PALEMBANG --- sebuah taman berkonsep modern di Kecamatan Gandus. Rencana itu diungkap Kepala Dinas Tata Kota Palembang, Isnaini Madani, kemarin. Pembangunan taman ini salah satu persiapan menyambut Asian Games 2018.

“Kami sudah paparkan ke Pemkot dan Pemprov. Rencana ini disabut baik gubernur dan wali kota,” katanya. Taman tersebut akan dibangun di Kelurahan Karang Anyar. Luasnya sekitar 3,25 hektare.

Dari luas lahan itu, 1,7 hektare untuk danau. Lalu 0,8 hektare untuk pulau (taman), 0,12 hektare untuk food court dan plaza, 0,39 hektare untuk parkir, dan 550 meter untuk jogging track.

Di areal taman akan dilengkapi dengan fasilitas umum seperti WC dan area parkir berkapasitas 30 mobil dan 60 epeda motor. “Kalau tidak menggunakan dana APBD, juga bisa ditawarkan kepada pihak ketiga,” ujar Isnaini.

Dinas Tata Kota segera membuat DED (detail engineering design) taman itu untuk mengetahui dana yang dibutuhkan. Selain di Gandus, sudah pula diselesaikan desain taman depan tembok BKB.

“Di sana akan dijadikan taman, tapi tetap bisa untuk upacara,” jelasnya. Khusus di sana material yang mengisi taman tidak permanen karena bisa dipindah sesuai kebutuhan.pengawasannya menggunakan CCTV. (chy/ce4)
Sumatera Ekspres, Rabu, 25 Februari 2015

Cuma Bandar Kecil, Kakek-kakek dibekuk

Cuma Bandar Kecil, Kakek-kakek dibekuk

Dua tersangka kasus judi togel, Apuk dan Athiam, yang diamankan di Mapolda Sumsel, dikerumuni awak media yang mewawancarainya

______________________________

PALEMBANG --- Enam bulan belakangan ini, Wee Tjong Foo alias Apuk (65), aman-aman saja menerima pasangan judi toto gelap (togel) di Jl Bambang Utoyo, depan kompleks Pakri, Kecamatan Ilir Timur (IT) II. Apuk yang rumahnya di seberang rumah dinas Kapolda Sumsel itu, mengutip uang dan nomor pasangan togel dari sejumlah tukang becak dan warga sekitarnya.

Bisnis haram kakek-kakek itu berakhir ketika dia sedang menyetor kepada bandarnya, Warisno alias Athiam (63). Keduanya digerebek aparat Subdit III Ditreskrimum Polda Sumsel, di Jl Letkol Iskandar, dekat restoran Selatan Indah, Sabtu (21/2) sekitar pukul 14.00 WIB. Barang buktinya hanya uang Rp 433 ribu dan beberapa lembar rekapan togel.

“Aku ngasihke nomor pasangan togel sama Athiam, tahunya digerebek polisi. Yang pasang, tukang becak di dekat rumah,” aku Apuk, kakek emapt cucu.

Tersangka Athiam, juga tidak bisa mengelak lagi. Dia mengaku hanya jadi bandar kecil-kecilan, sementara bandar besar lainnya masih banyak di Palembang.

Omzet per hari pun cuma Rp 500 ribuan, selama setengah tahun buka ini. “Lihat nomor keluar dari internet itulah. Iseng bae aku buka ini, jadi bandar. Kalau pasangan besar, aku jadi kaki dan ngirim ke bandar yang besar lagi,” beber Athiam, warga Lr Karya, RT 04/01, Kelurahan Lorok Pakjo, Kecamatan Ilir Barat (IB) I.

Kemarin, kedua kakek-kakek yang rambutnya sudah dipenuhi uban itu hanya bisa berjalan lamban saat digiring polisi. “Tersangka bersama barang bukti langsung kami amankan. Keduanya dijerat pasal 303 KUHP tentang Perjudian,” kata Kasubdit III Ditreskrimum Polda Sumsel, AKBP FX Winardi Prabowo SIK didmpingi Kanit 5 Kompol Usman Siagian, kemarin. (gti/air/ce5)

Sumatera Ekspres, Rabu, 25 Februari 2015

Sabtu, 21 Februari 2015

Rencana Pemkot Budidaya Ikan Belida


Rencana Pemkot Budidaya Ikan Belida
Potensi sektor perikanan Sumatera Selatan harus terus dilakukan. Salah satunya mengoptimalkan produksi tambak yang tersebar di 17 kabupaten/kota

Ikan belida (notopterus chitala) yang menjadi icon Kota Palembang sudah sulit ditemukan. Terpicu kelangkahan tersebut, Penkot Palembang melalui Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan akan melakukan penangkaran pada tahun depan dengan mencari induk ikan tersebut.

________________________________________

Keberadaan ikan belida banyak dijumpai hanya sebagai ikan hias. Ini karena terbilang jenis ikan langkah. Sebelumnya, ikan tersebut sebagai bahan baku pembuatan pempek, tapi lambat laun makin habis. Kalaupun ada, harganya jauh lebih mahal sehingga tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat.

Ir H Harrey Hadi Ms selaku Kepala Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kota Palembang pada 2016 akan mencari indukan belida dan ikan gabus yang menjadi bahan dasar pembuatan pempek yang ditemukan. “Dicarinya indukan belida dan gabus, sebagai riset pengembangan budidaya ikan belida yang dilakukan dengan asumsi teknologi memija (kembang biak),” ujarnya.

Ia mengatakan, bila program budidaya ikan belida ini berhasil, pihaknya akan melibatkan masyarakat untuk turut serta guna meningkatkan taraf hidup. “Tahap awal melakukan penangkaran induk,” terang Harrey didampingi Kabid Perikanan Ir M Yusuf dan Kasi Bina Usaha Perikanan Rani.

Ikan belida, kata Harrey, bersifat endemik (hanya bisa hidup di habitatnya). Apakah tidak ada teknologi, ia menegaskan, ada, tapi saat ini hanya sebatas eksperimen dengan skala kecil, untuk skala besar sangat sulit. “Bayangkan saja satu induk jantan dan satu induk betina ikan belida, untuk satu kali produksi paling banyak menghasilkan 50 telur yang belum tentu bisa menetas menjadi benih,” terangnya.

Ikan yang hidup di air tawar ini jika diambil dari hasil tangkapan habitatnya paling lama hanya bertahan enam. “Tergantung perlakuan dan penanganan. Hanya, dari tempat tangkapan bisa bertahan enam jam dengan menggunakan oksigen. Jika sudah enam jam oksigen harus diganti,” ulasnya.

Lanjutnya, pada 2014 produksi ikan di Palembang naik 10 persen dari tahun sebelumnya. Untuk budidaya 13.205,47 ton, tangkapan 1.366,04 ton. “Target produksi ikan pada 2014-2018 mencapai 13.227,77 ton untuk seluruh ikan budidaya,” terangnya.

Nah, untuk tangkapan perairan umum jenis ikan gabus yang produksinya mencapai 1.96,24 ton. Sedangkan budidaya terdiri dari kan patin sebesar 6.420,75 ton, lele 3.374 ton, nila 634,07 ton, gurami 765,70 ton.

“Dinas Perikanan untuk meningkatkan produksi ikan di Palembang melakukan pembinaan di setiap kecamatan. Hanya untuk binapolitan (kawasan pengembangan produksi ikan, red) terhadap ikan belida. Hanya, setiap enam jam oksigen haru dig anti,” katanya.

Lihat saja, setiap ikan belida yang dijumpai di pasar pasti sudah mati, kalaupun ada yang hidup pastinya dijadikan ikan hias. “Penangkaran ikan belida saat ini belum ada, sebab jenis ikan ini termasuk ikan yang hidup di perairan umum,” katanya.

Ikan belida, ikan ini memiliki ciri punggung seperti pisau yang meninggi sehingga bagian tampak perut melebar dan pipih. Biasanya ikan ini hidup di sungai yang tenang airnya. Ikan ini juga biasanya memiliki corak bulat-bulat hitam di bagian tubuhnya. “Ikan ini dikenal karena rasanya yang khas,” terangnya. Untuk pengawasan, DP2K melakukan tindakan preventif agar tidakk ada ilegal fishing, penangkapan ikan dengan menggunakan racun atau penyetruman.

Diungkap Harrey, saat ini ada Balai Benih Ikan di Soak Bujang, Gandus. Namun, yang dibudidayakan jenis lele, patin, nila, dan gurami. Untuk pempek atau kemplang berbahan baku ikan belida, diakuinya, sudah sangat jarang ditemui. Karena pertumbuhannya sangat minim, pihaknya tidak punya data produksi ikan belida di Palembang. “Kalau untuk produksi terbesar Palembang adalah iikan patin,” tandasnya.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Ir Permana MMA, mengatakan, saat ini produksi ikan hanya cukup digunakan untuk konumsi lokal. “Ekspor unggulan masih pada sektor pertambangan dan perikanan, batu bara, CPO, karet, kayu, serta gas,” katanya.

Katanya, sektor perikanan untuk ekspor masih mendominasi udang dan kodok yang kebanyakan negara Jepang dan Korea. “Tidak begitu besar untuk ekspornya, Sumsel masih surplus. Artinya, masih besar impor dari ekspor,” terang Permana. Saat ditanya untuk ikan belida yang saat ini cenderung langka ditemukan di pasaran. Dirinya mengaku, belum ada budidaya hingga saat ini. Katanya, ikan belida dulunya makanan para sultan yang banyak berada di pperairan Sumsel. Untuk realisasi ekspor non-migas menurut jenis komoditas Provinsi Sumsel ikan segar pada 2014 sebanyak 582 ton untuk periode Januari hingga Juli 2014. “Tergantung permintaan, tidak setiap saat ekspor,” tukas Permana. (nni/asa/ce1)


Anggota DPRD Kota Palembang M Aidil Adhari, mengatakan, wacana Pemkot Palembang melalui Dinas Perikanan yang bakal membudidayakan indukan ikan belida dan gabus – guna menjaga populasi ikan belida yang saat ini cenderung langka – merupakan program yang dilakukan.

“Kita sambut baik wacana Dinas Perikanan untuk membudidayakan indukan ikan belida, sebab saat ini diakui sudah sulit dijumpai. Kalaupun ada hanya temat-tempat tertentu dan harganya cenderung mahal,” ujar M Aidil Adhari.

Potensi ikan air tawar di Palembang, lanjut M Aidil, sangat bagus jika populasinya tetap dijaga dengan baik. Misalnya, menjaga Sungai Musi tetap baik, terhindar dari limbah industri dan rumah tangga.

“Jangan biarkan Sungai Musi tercemar, pemerintah harus tegas jika ada masyarakat atau industri yang melakukan pencemaran,” ucapnya.

Katanya, rencana budidaya indukan ikan belida jika sudah berjalan harus seriau dijalankan, jangan hanya semangat di awal, tapi kenyataan di tengah jalan hilang begitu saja.

“Semua harus ada keseriusan, jangan hanya semarak di awal, kemudian melempem di tengah jalan,” ucap M Aidil.

“Ancaman kelangkan ikan belida saat ini sangat bagus sekali jika ada program budidaya. Selain sebagai icon Palembang, juga untuk konsumsi juga baik bahkan besar kemungkinan nantinya bisa mendongkrak perekonomian masyarakat di Palembang,” tukasnya. (nni/ce1)
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel, Sri Dewi, mengatakan, permintaan ikan di Sumsel rata-rata ikan air tawar, bukan ikan laut. “Masyarakat tidak perlu khawatir, kami pastikan pasokan ikan aman,” terangnya, belum lama ini.

Ia mengatakan, permintaan ikan di Sumsel terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, itu dipicu oleh pertumbuhan jumlah penduduk Sumsel. “Kami optimis bisa mencukupi permintaan karena kami juga harus berusaha meningkatan produksi sendiri seperti pembudidayaan ikan yang benar,” ungkapnya.

Dikatakan, untuk meningkatkan produksi ikan, pihaknya terus berupaya dengan cara mengedukasi para pengelola tambak dalam hal pembudidayaan ikan dan para nelayan cara menangkap ikan yang benar.

“Nelayan terus kita imbau agar tidak menggunakan alat-alat penangkap ikan yang berbahaya. Seperti racun maupun bom. Karena selain menjaga kesehatan konsumen juga untuk menjaga spesies agar tetap ada,” imbuhnya.

Dikatakannya, ada dua jenis ikan yang memenuhi permintaan masyarakat, yakni hasil tangkapan nelayan baik di laut maupun perairan umum seperti sawah, keramba, keramba jaring apung (KJA) maupun pen sistem dan hasil budidaya. “Memang saat ini kita masih tergantung dari nelayan karena pasokan terbesar masih dari hasil tangkapan di perairang Sungsang,” katanya.

Sementara hasil budidaya saat ini belum begitu maksimal karena masih banyak daerah kabupaten/kota yang membuat tambak ikan. “Saat ini baru beberapa kabupaten yang memiliki tambak ikan dalam jumlah besar yakni Pagaralam dan Musi Rawas,” imbuhnya.

Sedangkan untuk kabupaten/kota lain belum memiliki. Nah, lokasi inilah rencananya akan kita sosialisasikan untuk melakukan penambakan ikan. Dikatakan, luas budidaya perikanan di Sumsel hingga akhir 2013 tercatat sebanyak, tambak 29.838 hektare, kolam air deras (KAD) 1.559 unit, kolam air tenang (KAT) 12.955 hektare, sawah 17.609 hektare, keramba 15.407 unit, KJA 1.886 unit dan pen sistem 2.075 unit. “Dari total penangkaran tersebut produksi ikan di Sumsel mencapai 435.001 ton per tahun,” ungkapnya.

Saat ini konsumsi masyarakat Sumsel rata-rata mencapai 35,8 kilogram per harikapita per tahun. Artinya, jika dikalkulasikan dengan total masyarakat Sumsel yang berkisar 8 juta jiwa. Dinas Kelautan dan Perikanan Sumsel harus menyiapkan pasokan ikan berkisar 286 ribu ton per tahun. “Artinya, dengan jumlah budidaya saat ini Sumsel sudah bisa mengekspor ikan ke provinsi lain,” tandasnya. (nni/asa/ce1)


Penggunaan bahan peledak dan bahan kimia berbahaya memang dilarang dalam penggunaannya di dunia perikanan, baik di perairan umum berupa laut maupun sungai dan danau.

Penggunaan bahan peledak berbahaya dapat mengakibatkan rusaknya dan pencemaran bagi lingkungan perairan, sampai dapat merusak renik dan ikan yang masih kecil mupun bibit ikan. Sehingga akan memusnahkan jenis-jenis ikan tertentu. Demikian diungkap Kabid Perikanan Dinas Perikanan Kota Palembang Ir M Yusuf.

Katanya, meski diketahui semua orang bahwa menangkap ikan di laut memang menggunakan bermacam alat tangkap, sehingga hasil tangkapanya juga bervariasi. Apalagi nelayan yang pekerjaan sehari-harinya memang mencari ikan di laut, sehingga wajar jika menggunakan alat tangkap yang cepat dan banyak hasilnya. “Nelayan sekarang sudah semakin pintar seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,” ucapnya.

Penangkapan ikan bersifat merusak (destructive fishing) merupakan bentuk upaya penangkapan ikan yang membawa dampak negatif bagi populasi biota dan ekosistem. Jenis penangkapannya dengan menggunakan racun sianida, potassium, dan racun tumbuhan. Selain itu, menangkap ikan dengan mengunakan bahan peledak (bom), serta menggunakan alat jaring bermata kecil (nonselektif) dan menghancurkan struktur bentuk (pukat dasar dan modifikasinya). “Apapun bentuknya, tangkapan yang bersifat merusak dilarang oleh pemerintah,” tandasnya. (nni/asa/ce1)