Sabtu, 04 Mei 2013

Sosok Misterius di Ruang Tamu

Cerpen: Rian Wiguna

Aku tersentak kaget. Apa aku tak salah dengar? Siapa yang sedang menyanyi malam-malam begini? Kutepuk-tepuk telingaku, namun suara itu masih saja terdengar. Malah kini nyanyiannya makin menyayat hati, membuat merinding seluruh bulu romaku!

---------------------------------------



Kuhirup udara dalam-dalam, mengisi paru-paruku dengan sejuknya udara pegunungan yang masih bebas polusi. Ah, segarnya! Rasanya tak menyesal aku menolak ajakan Papa berlibur ke luar negeri, dan memilih diam di villa sunyi ini , villa milik Papa yang baru dibelinya setahun yang lalu.

Jujur saja, sebenarnya tujuanku menyepi di villa ini karena aku ingin melupakan sosok Alvin. Luka di dadaku rasanya masih belum sembuh semenjak ditingglkan cowo itu. Untunglah Zara, sohib kentalku, bersedia menemaniku. Dan berangkatlah kami berdua dengan diantar Pak Deden, sopir pribadi Papa. Pak Deden setelah itu langsung kusuruh pulang. Toh, di villa ini ada Mang Usup dan Bik Ijah, sepasag suami istri yang ditugaskan Papa untuk mengurus villa.mKulepasan pandangan, memandang barisan bukit yang seolah membentuk jajarn permadani yang begitu elok. Nun jauh di sana, terlihat sebuah gunung yang berbentuk laksana putri yang sedang tidur. Indah sekali.

“Eh, pagi-pagi kok udah ngelamun! Lnget si Alvin ya?” sapa Zara. Ada dua cangkir susu di tangannya. “Mlnum susu dulu, ya?”tolong jangan sebut lagi nama teriutuk itu selama kita di sini,” cetusku kesal.

“Iya deh Non! Gitu aja ngambek!”

“Tumben udah bangun,” sindirku. Sekarang baru setengah tujuh. Biasanya Zara baru nongol pada pukul Sembilan. Rupanya, setelah dua hari berada di villa, ia jadi ketularan ikut bangun bwngun pagi sepertiku.

“Aku tidak bias tidur, Jes,” keluhnya.

“Kenapa?” Jangna bilang kau kepanasan di udara sedingin ini.”

“Bukan gara-gara itu. Tapi…” Zara menggantungkan ucapannya, membuatku penasaran. Baru saja ia hendak membuka mulut, Bik Ijah dating membawa singkong rebus.

“Singkongnya dimakan ya, Non. Mumpung masih panas,” Bik Ijah menaruh sepiring besar singkong rebus ke atas meja.

“Makasih, Bi,” ucapku sambil memcomot sebuah singkong yang kelihatan amat menggoda. “Hmm, enak sekali , Bik. Empuk banget. Beli di mana, Bik?” tanyaku.

“Tanam sendiri, Non. Di kebun belakang,” jawabnya. “Eh, Non Zara kok bengong? Cobain dong, Non!”

Zara mengambil sebuah singkong dengan lesu.

“Kenapa, sih?” tanyaku pada Zara setelah Bik Ijah pergi. Ia kelihatan masih terbengong-bengong. “Eh, serius nih, kamu enggak bias tidur?”

Zara beringsut mendekatiku, lalu berbisik perlahan, “Aku takut, Jes.” Aku memandangnya tak mengerti.

“Semalam, aku dengar suara-suara aneh dari ruang tamu,” bisiknya lagi.

“Ah, gitu aja dipikirin. Paling-paling suara Mang Usup atau Bik Ijah,” tukasku.

Zara menggeleng. “Suara seorang gadis, dia nyanyi lagu Unchained Melody.”

“Ah, kau jangan mengada-ada! Mungkin Cuma imajinasimu doing!”“Suer! Aku engga lagi ngimpi! Aku jelas sekali mendengar suaranya!”

Aku terdiam. Terus terang, aku meragukan keterangan Zara. Sudah lama Mang Usup dan Bik Ijah tinggal di villa ini, tapi mereka tidak pernah mengeluh apa-apa.

“Trus, tadi kran air di kamar mandi juga aneh. Kran itu sudah aku matikan, tapi begitu aku pergi untuk menaruh handuk, tahu-tahu krannya bias nyala lagi!”

“Maksudmu? Kutatap matanya. Zara mengangguk. “Kurasa villa ini ada hantnya,” lagi-lagi ia mengatakan dengan berbisik. “Kita pulang aja yuk, Jes?”

“Jangan konyol Za! Dengusku. “Planning kita kan sepuluh hari, masak baru dua hari udah pulang! Udah, ah! Aku mau mandi!” Kuseret langkah ke dalam, meninggalkan Zara yang masih berupaya membuka mulut.

Setelah hari itu, kuperhatikan Zara jadi tidak berani sendirian. Ia kerap kali mengekorku kemana pun aku melangkah. Aku jadi geli sendiri melihat tingkahnya. Tapi kurasa itu lebih baik, daripada ia memaksaku pulang.

Pagi itu, hari kelima kami berada di villa, aku dan Zara tengah berada di dapur membantu Bik Ijah memasak. “Sayurannya segar sekali, Bik. Apa ini hasil dari kebun belakang juga? “ tanyaku sambil memotong kangkung untuk ditumis.

“Ya, Non. Asal Non berdua jangan bosan aja, tiap hari makan sayuran.”

“Nggak apa-apa, Bik. Hitung-hitung, jadi vegetarian,” sahut Zara.

“Vegetarian apaan sih, Non?” Tanya Bik Ijah, membuat kami tersenyum.

“Orang yang tidak makan makhluk hidup, Bik. Cuma makan sayur-sayuran aja,” terang Zara.

Bik Ijah mengangguk-angguk. Kemudian tanyanya. “Apa Non berdua betah tingal di sini?”“Betah dong, Bik. Emangnya kenapa?” tanyaku.

“Em, apa Non berdua tidak diganggu, eh maksud Bibik…”

Aku dan Zara berpandangan, mencoba menerka arah pembicaraan Bik Ijah.

“Diganggu siapa, Bik?” Zara menghentikan kegiatannya memotong bawang.

Bik Ijah ragu-ragu sejenak. “Terus terang, Non. Kalau tengah malam, di sini suka terdengar suara orang menyanyi.”

“Yang nyanyi itu, suara seorang gadis, Bik?” slidik Zara.

Bik Ijah mengangguk. “Non ssudah mendengarnya?”

Zara melirikku. Diam-diam, kurasakan bulu kudukku meremang. Ah, tiba-tiba aku mnyesal mendengar cerita Bik Ijah. Seharusnya hari ini aku tidak usah membantnya di dapur, tidak uah mendengar cerita menyeramkan itu.

Aku tidak tahu, mungkin karena tersugesti cerita itu, mala mini aku benar-benar tidak bias tidur. Kulirik Zara yang terlelap di sebelahku. Heran juga aku melihatnya bias begitu terlelap. Mungkin ia kelelahan sehabis berkebun seharian.

“Teng Teng Teng!” terdengar jam dinding di ruang tamu bedentang dua belas kali. Sudah pukul dua belas! Duh, kenapa aku blum bias tidur juga?

“Oh, my love…. my darling…. I’ve hungered for your touch….” Tiba-tiba terdengar suara nyanyian. Aku tersentak. Apa aku tidak salah dengar? Siapa yang sedang nyanyi malam-malam begini? Kutepuk-tepuk telingaku, namun suar itu masih saja terdengar. Malah kini nyanyiannya makin menyayat hati, mebuat merinding seluruh bulu romaku!

Ingin rasanya aku membangunkan Zara, tapi bibirku serasa kelu. Sama sekali tidak tidak ada suara yang bias aku ucapkan.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Paginya, Zara terbelalak mendengar mendengar ceritaku btentang kejadian semalam. “Udah, deh. Mending kita pulang, Jes.

Aku menggeleng. “Kita harus berbuat ssuatu, Za”

“Berbuat apa? Kau mau ngajakin dia berantem?” omelnya.

“Kurasa, hantu itu sengaja mengganggu kita, karena dia ingin kita membantunya berbuat sesuatu,” ujarku tanpa menghiraukan omelannya. “Tak ada jalan lain, mala mini kita harus menemuinya!”

“Apa, kau mau menemuinya?” Kali ini Zara benar-benar melotot.

Aku mengangguk mantap.

“Terserah! Yang jelas, aku enggak mau ikut campur dalam ide gilamu itu! Nanti malam, jam sembilan aku udah mau tidur!” tandasnya.

Zara memang berkata begitu, tapi buktinya sekarang, saat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, ia masih terjaga di sampingku. Kalau aku jadi dia, mungkin aku pun enggak akan bias tidur dalam situasi seperti ini.

Kulirik Zara sekali lagi yang sedang pura-pura membaca majalah. Diam-diam seonggok keraguan menyelinap dadaku. Harusah kutemui hantu di ruang tamu itu? Atau, kuikuti saja saran Zara untuk pulang secepatnya? Ah, tidak! Feelingku mengatakan, kalau aku hau menemui makhluk itu . kalau mendengar suara nyanyiannya , aku yakin dia adalah seorang gadis seumurku, bukan sosok makhluk yang mengerikan.

“Teng teng teng!” Jam dinding berdentang dua belas kali. Dan seperti kejadian beberapa hari lalu, suara nyanyian itu langsung terdengar begitu bunyi jam selesai berdentang.

Aku bangkit dari tempat tidur. Kupejamkan mata sesaat, berdoa memohon perlindungan-Nya. Setelah itu, kulangkahkan kaki perlahan menuju pintu.

“Jes….” Zara berbisik perlahan. Kulihat mukanya sudah seputih kertas. “Aku ikut denganmu….”

Aku mengangguk perlahan. Berdua kami melangkah menuju ruang tamu, tempat suara itu berasal. Jarak dari kamar menuju ruang tamu yang Cuma tiga meter, kurasakan seakan jadi berpuluh-puluh meter. Begitu panjang dan lama! Dan, begitu sampai di ruang tamu…..

Aku dan Zara terpana melihat sosok itu. Sosok seorang gadis yang amat cantik. Ia memakai baj panjang berwarna putih dengan hiasan renda di sekitar lehr. Lama kami saling bertatapan. Seluruh tubuhku terasa lemas. Tapi aku tidak bias mundur lagi. Aku harus kuat, batnku sambil tetap melantunkan doa dalam hati.

“Sii…. siapa… kk…. kau?” tanyaku terbata. Zara di sebelahku sudah makn pucat. Rasanya dia sudah tidak sanggup berkata apapun.

Gadis itu trsenyum. “Terima kasih kalian mau menemuiku. Namaku Nana. Namamu Jesy, ‘kan?”

“Aaa…. apa…. mm… maumu?”

Nana tersenyum. Jangan takut, aku tidak akan menyakiti kalian.”

Aku agak tenang mendengar ucapannya. Kutarik napas dalam-dalam. Tuhan, lindungilah hamba-Mu ini, doaku sekali lagi dalam hati. “Nana…. mengapa kau ada di sini?” tanyaku lembut. “Mengapa…. mengapa kau tidak berada di surga?”

“Aku tidak bias ke surga, karena…. karena tak ada tempat buatku di sana….,” katanya memelas.

“Mengapa tak ada tempat buatmu di surge?” Rasa takutku seketika hilang mendengar ucapannya, berganti dengan rasa kasihan melihatnya begitu tertekan.

“Karena aku mati bunuh diri, Jes. Aku bodoh sekali. Kuakhiri hidupku karena ditinggalkan Tio, pacarku yang amat kusayangi….”

Aku tersekat. Sekilas hadir guratan wajah Alvin, cowok yang mengkhianatiku. Dulu, saat Alvin memutuskanku, akupun mempunyai rencana seperti Nana…. “Tapi biar bagaimana pun, tempatmu bukan lagi di dunia ini, Na,” ucapku hati-hati. “Kumoon janganlah mengganggu kami lagi.”

“Aku tahu. Tapi aku tidak bia keluar dari ruangan ini. Karena…. karena tubuhku tertanam di sini.” Aku terbelalak. “Mm… maksudmu, tubuhmu di kubur di sini?”

Nana mengangguk. “Dulu, sbelum villa ini dibangun, di sini adalah tanah kosong . di sini jasadku dimakamkan.” Nana menatapku nanar. “Tolong aku, Jes. Keluarkan tubuhku dari ruangan ini.

Aku trtegun mendengarkan ceritanya. Perlahan-lahan kuanggukkan kepala meyakinnya.

“Terima kasih, Jes.” Sebuah senyuman terukir di bibirnya. “Aku janji nggak akan mengganggu kalian lagi….” Sampai di sini, kurasakan tubuhku amat dingin. Begitu dingin, sampai merasuk ke dalam tulang rusukku!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

,br />Paginya, bersama-sama dengan Mang Usupdan Bik Ijah, kami membongkar lantai yang berada di ruang tamu. Ternyata benar, di sana tersimpan tulang belulang yang sudah hampir hancur. Kami kemudian menguburkannya di lereng bukit. “Semoga Nana bias tenang ya, Jes.” Ucap Zara setelah kami selesai melakukan pemakaman.

Aku menghela napas. “Bukan hanya itu, kuharap arwahnya diterima di sisi-Nya.”

“Eh, kalau dipikir-pikir, suaranya Nana merdu juga ya? Aku nggak keberatan kok, kalau harus mendengar nyanyiannya sekali lagi,” canda Zara.

Aku tersenyum. “Sudahlah, Za. Jangan ganggu Nana lagi. Biarkan dia beristirahat dengan tenang, oke?”

Zara mengangguk. Perlahan kami berjalan menuruni bukit. Kutatap gumpalan awan yang berarak memayungi puncak gunung. Di balik gumpalan itu seakan tergores bias wajah Nana dengan seulas senyum terukir di bibirnya. Begitu manis!