Senin, 08 Oktober 2012

Kehidupan Rumah Rakit Zaman Kesultanan



Khusus Warga Pendatang, Bermasalah Rumah Dihanyutkan, Rumah rakit, mungkin bisa dikatakan sebagai rumah tertua di kota Palembang. Diperkirakan, rumah yang mengapung di pinggiran sungai Musi ini telah ada pada zaman Sriwijaya. Saat ini, rumah rakit ini diakui sebagai penunjang pariwisata. Hanya saja, melirik ke belakang pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam, rumah rakit ternyata khusus diperuntukan bagi warga pendatang, terutama Warga Negara Asing (WNA). Apa sebab?

Bicara peradaban Palembang tak dapat dipisahkan dengan sungai Musi. Sungai ini merupakan kehidupan vital wong kito sejak berabad-abad lalu. Nah, salah satu peradaban tertua yang sudah ada sejak zaman Sriwijaya adalah rumah rakit.

Dikatakan rumah rakit, karena pondasinya terbuat dari bambu. Bahan utama membuat rakit. Bahan bambu inilah yang membuat rumah rakit bisa mengapung. Naik serta turun, tergantung pasang surut sungai.

“Bahan lain bisa dikatakan murah meriah. Menunjukan budaya lokal zaman dulu,” ungkap Kms Aripanji SPd MSi, Sekretaris Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Sumsel kepada Sumeks Minggu, dibincangi Rabu (26/10) lalu.

Maksudnya, dengan rumah rakit ini, masyarakat yang hendak mendirikan rumah tidak perlu melakukan penimbunan seperti sekarang ini. Yang dapat menggangu ekosistem dan menimbulkan banjir karena berkurangnya daerah resapan air. Keuntungan lain, tentu saja pemiliknya bisa memindahkan rumah ke daerah lain dengan cara dihanyutkan.

Nah, rumah rakit sendiri disusun dari batangan bambu, dipasang lantai papan dengan penyangga tiang pendek. Sehingga, meski berada diatas sungai, lantai rumah tidak kemasukan air. Rumah ini pun bisa disebut “anti banjir”.

Barulah di sudut atas di pasang tiang penyangga untuk menyusun dinding rumah serta menegakan atap. Atap rumah rakit sendiri sejak zaman dulu menggunakan nipah. Saat ini banyak digunakan seng atau seng berbentuk genteng yang bahannya ringan. Agar tidak hanyut ke hilir atau hulu, ditancapkan tiang di tiap sudut rumah. Lalu tiang diikat ke sudut rumah.

Aturan Bernuansa Politik
Masalah rumah rakit diyakini Aripanji telah ada sejak zaman Sriwijaya, abad 7 hingga 14. Termasuk pada masa Kerajaan Palembang, 14 hingga 17 serta pada masa Kesultanan Darussalam abad 17 hingga 19.

Hanya saja, masalah rumah lebih dikenal pada masa Kesultanan. Ini tak lepas dari kebijakan dibuat pada masa itu. Kebijakan tersebut dikatakan Aripanji sebagai kebijakan atau aturan bernuansa politis.

Yakni, menempatkan para pendatang khususnya Warga Negara Asing (WNA) untuk tinggal di rumah rakit. Seperti warga China serta Belanda. Sedangkan penduduk pribumi saat itu tinggal didaratan. Atau pinggiran sungai dengan tiang rumah sudah menyentuh daratan.
“Berbeda dengan orang Arab. Pada masa Kesultanan mereka dimuliakan. Banyak dijadikan guru, menantu atau panglima perang. Ini juga karena ada kesamaan qaidah (agama Islam, red),” ungkap Ari.

Didiskrimanasinya para pendatang pada masa Kesultanan lanjut Ari karena adanya kecurigaan. Seperti bangsa Belanda yang sudah sejak lama terkenal hendak menjajah Indonesia.

“Kalau orang China itu dicurigai karena kedekatannya sama Belanda. Tapi itu kan karena masalah perdagangan saja, “ ujarnya cepat.

Dengan tinggalnya para pendatang serta WNA ini diatas rumah sakit, secara otomatis, Kesultanan dapat secara mudah melakukan pengontrolan. Mereka bermasalah, tali pengikat rumah rakit tinggal dipotong, rumah itu pun bakal hanyut.

Hanya saja, Belanda dapat melakukan pendekatan dengan Kesultanan hingga dapat mendirikan sebuah loji (kantor dagang,red) di sungai Aur. “Kemudian, mereka juga menepi dan tinggal di darat,” jelasnya.

Sejak Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang, keadaan berubah. Usai kemerdekaan hingga kini, jumlah rumah rakit dipastikan berkurang. Rumah rakit pun tak lagi kesannya tempat orang diasing atau terpinggirkan. Yang tak banyak berubah, rumah rakit banyak digunakan sebagai tempat berdagang. Yang dulunya banyak dilakukan orang-orang China. (wwn)

Written by: samuji Selasa, 01 November 2011 11:57 | Sumeks Minggu

Melihat Palembang dari Naskah Kuno

Melihat Palembang dari Naskah KunoHANIFA (38), seorang warga asli Palembang, sulit membayangkan bagaimana kisah pewayangan yang selama ini dianggapnya hanya "milik" masyarakat Pulau Jawa. Kisah pewayangan ternyata pernah berkembang di Palembang yang menjadi ibukota Sumatera Selatan itu. Pewayangan di Palembang bukan sekedar ada, tetapi berkembang. Namun cerita pewayangan itu mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan budaya.

Modifikasi itu misalnya, membuat tokoh-tokoh punakawan naik pangkat menjadi golongan bangsawa. Gareng misalnya, disebut sebagai Ki Agus Gareng, Ki Agus merupakan salah satu sebutan kebangsawanan pada masa Kesultanan Pelembang Darussalam. Selain pewayangan, cerita-cerita rakyat yang sebelumnya banyak berkembang di Pulau Jawa, juga dikisahkan di Palembang dengan modifikasi budaya setempat, misalnya kisah Raden Ing Kertapati atau Ande-Ande Lumut.

Cerita-cerita yang ditemukan dalam penelitian Yayasan Naskah Nusantara bekerjasama dengan Tokyo University of Foraign Studies, Agustus tahun lalu, itu menunjukan keterkaitan Palembang dengan kerajaan-kerajaan di Jawa. Kisah-kisah itu ditulis dalam naskah yang berasal dari abad ke-19, dengan tulisan Arab Melayu.

Sejarah Kesultanan Palembang bermula dari kemelut politik yang terjadi di Kesultanan Demak sesudah kematian Tranggana, raja Demak setelah Raden Fatah, serta pemindahan pusat Kesultanan di Pajang oleh Prabu Adiwijaya. Kelompok bangsawan yang dikalahkan dalam perseteruan itu, antara lain adalah Ki Gede Ing Suro bersama para pengikutnya menyingkir dan mendirikan pusat kekuasaan baru di Palembang. Kesultanan Palembang ini didirikan pada abad ke-16.

Budayawan Sumatera Selatan, Djohan Hanafiah menegaskan, para bangsawan Jawa yang berkeraton di Palembang pada akhirnya beradaptasi dengan budaya Melayu yang sudah tumbuh di daerah ini. Palembang juga merupakan kawasan kosmopolitan, dengan percampuran budaya berbagai bangsa yang datang seiring arus perdagangan. Karakter kosmopolitan ini tentu tak lepas dari latar sejarah Palembang pada masa Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan bahari ini berpengaruh luas di nusantara mulai abad VII hingga XI Masehi pergaulan antar bangsa dan akulturasi budaya membentuk karakter daerah ini.

Bertepatan dengan 16 Juni lalu, hari jadi Ke 1320 tahun Palembang dirayakan. Hari jadi itu ditetapkan pemerintah kota, berdasarkan prasasti kedukan Bukit yang menandai berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini berangka 682 Masehi, tetapi kelahiran Palembang dihitung lebih muda. Artinya, sejarah ibukota Sumatera Selatan ini lebih panjang dari perjalanan Kota Baghdad di Iran yang didirikan pada tahun 762, lebih tua dari Kyoto Jepang yang didirikan tahun 794, apalagi yang dibandingkan dengan Jakarta yang berdiri tahun 1527. Namun, rasa memiliki sejarah panjang, tidak mudah dilihat dalam tata nilai sekarang ini.

Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam yang jauh lebih muda dari masa Sriwijaya, meninggalkan jejak tak terputus dengan keberadaan Palembang masa kini. Namun, apresiasi masyarakat terhadap sejarah dan warisan budaya Kesultanan ini terkesan memprihatinkan. Naskah yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam misalnya, antara lain ditemukan disimpan saja dalam rak dikamar mandi.

Karya penulis dengan bahasa dan gaya penulisan tertentu mewakili suatu masa, Substansi yang dipaparkan menyuguhkan wacana yang berkembang pada masa itu. Oleh karena itu, penemuan naskah berperan penting dalam kegiatan apresiasi kebudayaan kesejarahan. penelitian awal yang digelar Yayasan Naskah Nusantara bekerjasama dengan University of Foraign Studies di Palembang, Agustus lalu. Menemukan bukti produktivitas sastra Melayu di daerah ini pada masa Kesultanan. "Dari penelitian awal, sudah terlihat bahwa kegiatan penulisan naskah di Palembang pada masa lalu ternyata sangat aktif dan menonjol," ujar Dr. Achadiati Ikram, pakar filologi Universitas Indonesia (UI), yang bergabung dalam tim peneliti tersebut.

Selama sepekan pendataan, tim peneliti ini mencatat sekitar 230 naskah ditemukan pada 15 warga kota Palembang. Naskah-naskah tersebut berasal dari abad ke-18 dan ke-19. "Kami yakin masih banyak sekali yang tersebar dikalangan masyarakat dan belum tersentuh," ujar Dr. Titik Pudjiastuti, Staf Pengajar Program Pascasarjana UI, yang bergabung dalam timini

Kini, temuan dalam penelitian itu sedang disusun menjadi katalog yang akan dilengkapi deskripsi naskah. Diskripsi diperoleh dari pembacaan masing-masing cetakan naskah yang di potret. "Katalog ini akan diterbitkan oleh Tokyo University of Foreign Studies," jelas Titik.

Pendataan naskah-naskah kuno di Palembang secara komprehensif belum dilakukan. Katalog pertama yang disusun bukan akan diterbitkan di Indonesia. Hal ini menunjukan, betapa naskah-naskah kuno yang menggambarkan kekayaan intelektual pada masa itu belum banyak diterjemahkan, dimanfaatkan sebagai sumber penggalian sejarah. "Jika mau melihat sejarah, kita mesti pergi ke Belanda. Padahal, itu merupakan secondary sources yang sangat mungkin disusun dengan sudut pandang berbeda. Catatan pada naskah-naskah inilah primary sources yang selama ini justru kita abaikan," tutur doktor filologi ini bernada prihatin.

Kekayaan ragam muatan juga sangat mendukung pengembangan berbagai kajian lain, melalui naskah-naskah kuno di Palembang antara lain merupakan kitab keagamaan, ajaran tasawuf dengan beberapa diantaranya menunjukkan aliran yang berkembang pada masa itu, hingga hikayat dan syair. silsilah, surat-surat, hingga catatan perjalanan juga ditemukan. Titiek mencontohkan, sebuah akte pernikah yang ditemukan misalnya, dapat menampilkan "potret" salah satu perjanjian sosial yang dijalankan pada masa itu, sekaligus menjadi sumber sejarah hukum.

Penulisan naskah dapat dipandang sebagai salah satu penuangan budaya "berkelas" paling tinggi pada masa lalu. Djahan Hanafiah, Sejarawan Sumatera Selatan, menuturkan, penulisan naskah menuntut kemampuan intelektual, kemampuan ekonomi, dan waktu luang. "Pada masa itu, golongan masyarakat dengan intelektualitasi yang cukup, berkemampuan memadai, serta dapat mengalokasi waktuuntuk mengapresiasi tulisan sastra atau keagamaan, umumnya adalah para bangsawan," ujar Djohan.

Budayawan yang menulis sejumlah buku sejarah lokal ini menyakini, Sultan Palembang berperan besar dalam pengembangan budaya penulisan di Sumatera Selatan. Kegiatan penulisan mencapai puncaknya pada masa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II yang diyakini Djohan sebagai pemimpin masa keemasan Kesultanan Palembang.

Mujib Ali, peneliti pada Kantor Asisten Deputi Urusan Arkeologi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang pernah mendalami penulisan naskah kuno di Palembang, menuturkan, Sultan Mahmud Badaruddin II memang memiliki perpustakaan yang di duga terlengkap di Palembang masa itu. Puluhan naskah yang ditemukan Mujib memang ditandai sebagai milik Sultan Mahmud Badaruddin II. Sayangnya berbagai sumber sejarah menyebutkan terjadi pembakaran tempat penyimpanan koleksi naskah pada saat Kesultanan dijatuhkan Belanda pada tahun 1824. Sebagian naskah yang tersisa sempat dibawa oleh Belanda, sebagian lain justru dibakar oleh keluarga Sultan untuk menghindari pertentangan antar bangsawan.

Akan tetapi, peninggalan naskah-naskah yang tersisa hingga saat ini, masih menggambarkan tradisi penulisan yang hidup dalam masyarakat pada masa itu. Mujib menjelaskan, sebelum cetakan batu ditemukan, reproduksi naskah dilakukan dengan menyalin ulang dalam tulisan tangan. "Ditemukan pula penyalinan naskah-naskah yang belum selesai," ujar Mujib yang meneliti naskah-naskah kuno Palembang pada kurun 1996-2001.

Penyalinan naskah yang dianggap manarik dilakukan dengan meminjam dari pemilik terdahulu, dengan kontrak waktu dan tarif tertentu. Bahkan ditemukan indikasi keahlian spesialisasi pada orang-orang tertentu dalam penulisan atau penyalinan naskah. "Ada orang-orang tertentu dengan spesialisasi penulisan silsilah, misalnya. Ada pula standar tertentu yang harus dipenuhi seorang penyalin kitab keagamaan yang berbahasa Arab," jelas Mujib.

Kegiatan "perdagangan" semacam sanggar penulis dengan spesialisasi tertentu, menunjukan kegairahan penulisan di Palembang pada masa Kesultanan. Sementara itu, koleksi naskah juga memberikan prestise tersendiri bagi pemiliknya. Akan tetapi, belum ditemukan manifestasi kegairahanpenulisan seperti itu dalam kegiatan masyarakat masa kini. "Ibaratnya, kegairahan penulisan ini tidak mengalami reinkarnasi dalam kehidupan masyarakat di daerah ini," kata mujib.

Karya yang dituangkan dalam kertas tua terkesan tidak menarik perhatian kalangan luas masyarakat kota ini. Memperdulikan kelestarian situs budaya dijantung kota Palembang pun bukan pekerjaan mudah.

Namun, tidak akan ada bangsa besar. Tanpa belajar dari sejarah.

KOMPAS, Senin, 29 September 2003