Minggu, 17 Maret 2013

Mantra Memasuki Daerah Angker

Mantra Memasuki Daerah Angker Oleh: Ade A.

Mulut Bima tampak berkomat-kamit, akhirnya, dengan perasaan masih diliputi ketakutan yang teramat sangat, kami pun berhasil keluar dari suasana yang demikian mencekam....

* * * * * * * * * * * * * * *

Seperti biasa, mejelang liburan sekolah, maka para pencinta alam di sekolahku pun mulai bersiap-siap untuk menjalankan program kerja yang memang sudah disusun jauh-jauh hari sebelumnya dan sudah menjadi persetujuan dari Kepala Sekolah dan Guru BP. Ketika kami mengajukan proposal untuk anggaran, Guru BP berkata pada kami.

"Jangan terlalu jauh tujuannya, saya rasa sekitar Jawa Barat saja lebih baik. Tujuannya agar anggota-anggota mudah yang ikut dalam program ini tidak kelelahan."

"Maksud Bapak?" tanya Ade yang merupakan Ketua Umum Pecinta Alam di sekolah itu.

"Coba saja kamu bayangkan, mereka baru belajar menggunakan kompas, membaca peta, langsung diajak ke lapangan, kalau terlalu jauh bahaya, mereka belum berpengalaman," jawabnya dengan lembut.

Pak Pram, demikian Guru BP kami itu biasa dipanggil, adalah memang sosok kebapakan, lembut, pandai dan cerdik, serta dekat dengan semua siswa. Inilah yang membuat kenapa beliau lebih akrab dipanggil dengan sapaan Guru BP Abadi.

Ade menganggukkan kepala, tersenyum dan kembali meminta pendapat Pak Pram. "Jadi enaknya ke gunung apa Pak?"

"Kenapa tidak Gunung Ciremai saja. Tidak terlalu jauh dan kalian tidak akan terlalu lelah di jalan," sahutnya mantap.

Ade terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala lagi tanda mengerti. Dan tak lama kemudian terdengar suara Ade. "Baik Pak, saya akan segera merubah proposal ini. Bapak bisa tunggu?"

"Baik.... saya tunggu sebelum makan siang di ruangan saya," jawab Pak Pram sambil berlalu.

Ade langsung menghubungi beberapa temannya lewat SMS untuk segera berkumpul di sekretariat. Hampir bersamaan, Bima, Komeng, dan Lukas demikian sapaan akrab mereka langsung datang ke sekretariat. "Ada apa sih?" tanya ketiganya bersamaan.

"Biasa, Pak Pram minta kita jangan jauh-jauh. Kasian katanya sama anak-anak baru," jawab Ade singkat.

"Wow.... jadi proposalnya harus dirobah dong," sambung Bima.

"Yoi," jawab Ade sambil menyerahkan proposal di tangannya kepada Lukas.

"Nah... dia ini memang jagonya kalo urusan rubah merubah," sahut Komeng sambil menepuk bahu Lukas.

Yang ditepuk hanya tersenyum dan langsung menyalakan komputer. "Oke.... menurut Pak Pram yang dirubah apanya? Cuma nanya tempat tujuan doing kan?"

"Yoi... sama dananya juga disesuaikan," jawab Ade. Dan dia sudah tidak perlu lagi mengawasi kerja Lukas, karena Lukas memang ahli dalam soal hitung-menghitung pengeluaran.

Tidak lama kemudian, terdengar suaara Lukas. "Meng... Komeng, tuh dah gua prin, lu tinggal kumpulin ma jilid aja."

Komeng pun mendekati printer sambil berkata. "Beres bos."

Tak berapa lama kemudian, setelah membubuhkan tanda tangan dan stempel di proposal yang baru, Ade kembali ke ruangan Pak Pram. Dia sengaja meninggalkan proposal tersebut dimeja Pak Pram untuk dipelajari dan disetujui sebelum akhirnya sampai di tangan Kepala Sekolah.

Dan saat yang dinanti-nantikan pun tiba. Semua sudah berkumpul di sekolah untuk pelepasan sekaligus mendengarkan pesan-pesan yang bakal disampaikan Kepala Sekolah.

Tetapi apa lacur, sekali ini, Pak Pram tidak bisa mendampingi mereka. Ia harus menjaga anaknya yang mendadak terkena DBD di rumah sakit. Lewat SMS Pak Pram hanya berpesan. "Saya hanya pesan, jaga baik-baik nama sekolah kita, dan ingat satu sama lain harus selalu saling menjaga dan mengingatkan."

Hal senada pun disampaikan oleh Kepala Sekolah. Singkat kata, begitu tiba di kaki Gunung Ceremai, Ade meminta kepada semuanya untuk beristirahat barang semalam di rumah penduduk. Maklum, waktu telah menunjukkan pukul 16.00 dan cuaca juga sangat tidak bersahabat.

Esoknya, sekitar pukul 08.00, setelah sarapan pagi, mereka pun segera memulai pendakian. Sekali ini, entah kenapa, Ade, Bima, Komeng dan Lukas merasa berdebar-debar. Betapa tidak, sejak tadi, mereka tidak pernah bertemu dengan seorang pun. "Ufh... Ya Allah, lindungilah perjalanan kami ini," hanya itu kalimat yang terlontar dari mulut Ade.

Diam-diam ketiga sahabatnya juga menjeritkan doa yang sama. Bima yang sejak tadi diam, mendadak berteriak mengingatkan. "Semuanya berhenti dan berdoa, kok rasanya, dari tadi kita cuma bolak-balik saja ke tempat ini lagi-ke tempat ini lagi!"

"Masa sih?" sahut Lukas dengan penuh selidik. Sementara keempat seniornya agak kebingungan, para anggota muda pun hanya bisa salnig bersitatap. Semua bungkam tak ada yang berani berucap. Sementara, hari pun mulai berangkat senja. Ade langsung memutuskan agar semua rombongan beristirahat untuk menenangkan pikiran dan berdoa lebih khusyuk.

Ade melambaikan tangan ke arah tiga temannya. Dan setelah dekat, Ade pun berbisik dengan suara bergetar. "Rasa-rasanya kita gak bakal sampai ke puncak."

"Jangan pesimis," sahut ketiganya.

"Sadar gak sih lu.... ini kan daerah Kuburan Kuda," sambung Ade cepat.

"Hah," kata Lukas, "kalau begitu, mumpung masih rada terang, kita minta saja mereka turun semua dengan perlahan-lahan," sambungnya lagi.

"Oke....," kata Komeng dan Bima sambil berjalan ke para anggota muda yang sedang duduk-duduk dengan santai. "Segera persiapkan bawaan kalian semua dan kita akan turun. Jangan banyak tanya dulu, konsentrasi penuh pada jalan di depan dan tetap hati-hati," ujar Bima.

"Baik Kak," jawab mereka serempak sambil dengan cepat mempersiapkan ranselnya mansing-masing. Tak lama kemudian, rombongan itu pun terlihat sudah menuruni punggung Gunung Ceremai. Setelah dirasa cukup dan mendapat tempat yang landai, Bima meminta mereka untuk kembali beristirahat dan mempersiapkan makan malam. Usai itu, praktis tak ada kegiatan apapun selain berbaring di dalam kantung tidurnya masing-masing sambil menatap bintang gemintang. Kecuali Bima, Komeng dan Lukas, mereka bertiga telah terbuai dalam mimpinya masing-masing.

Malam terus merangkak. Ketika rembulan tersaput awan, mendadak dari kejauhan terdengar suara ringkik kuda. Semuanya serentak saja langsung terbangun sambil saling pandang....

Bima yang memang sejak tadi diam langsung saja berdiri. Mulutnya tampak berkomat-kamit seolah membaca sesuatu. Dan tak lama kemudian, terdengar suaranya. "Semua berkumpul dan merunduk. Kita makhluk Allah yang paling sempurna, jangan sampai tergoda atau terjebak dengan godaan setan!"

Dalam hitungan detik, tiba-tiba, di sekeliling mereka terdengar kata-kata yang bergaung hingga sulit ditangkap dengan telinga serta derap dan ringkik kuda. Semua terdiam sambil berdoa dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Suasana mencekam di tengah-tengah keingaran itu berlangsung cukup lama. Vita dan Nunung, dua anggota muda wanita tampak telah tak sadarkan diri. Komeng dan Lukas dengan cepat menghampiri mereka sambil membalurkan minyak kayu putih. Ade terus saja menatap anggota-anggota muda lainnya yang terlihat wajahnya sudah memutih pucat, sepucat kapas.

Untuk kedua kalinya Bima berdiri. Alih-alih berkurang, suara gumaman, derap dan ringkik kuda bahkan semakin menjadi-jadi kedengarannya. Kesabaran Bima pun seperti habis dibuatnya, ia langsung saja mengeluarkan ajian untuk melewati daerah yang angker dan wingit warisan dari buyut leluhurnya. "Bukan salahku jika aku membaca ajian ini, tetapi karena engkau tak mau dan tak bisa lagi dibuat untuk mengerti." gumamnya.

Dan benar saja, setelah Bima usai merapalkan ajiannya yang ditandai dengan menjejakkan kaki kanannya tiga kali ke bumi, mendadak, rembulan kembali bersinar dan suara-suara itu pun lambat-laun terdengar menjauh, untuk kemudian hilang sama sekali. Semua yang menyaksikan gerak-gerik Bima dan mendengar suara-suara yang tadi membuat mereka ketakutan, akhirnya dapat menarik napas lega sambil tak lupa melakukan sujud syukur. Walau begitu, perasaan was-was pun masih saja menyelimuti hati masing-masing. Ketika Komeng yang penasaran dan menanyakan apa yang dibaca Bima barusan, Bima pun menjawab. "Itu cuma mantra kuno yang berbunyi seperti ini; Kun kanikun ingsun kun, kowe kama salah, aja aganggu gawe, aku ratuning kun."

"Boleh aku mengamalkannya Bim?" tanya Komeng penasaran dan berharap Bima mau membolehkan dia menguasai amalan yang dimaksud.

"Boleh-boleh saja, hanya dengan melakukan puasa mutih selama tiga hari tiga malam yang dimulai pada Selasa Kliwon. Kemudian dalam keadaan darurat dan mendesak, baca amalan itu sambil menahan napas, dan hembuskan bersamaan dengan menjejakkan kaki kanan ke bumi sebanyak tiga kali," sahut Bima.

"Terima kasih kawan," sahut Komeng dengan wajah gembira seolah mendapat kado istimewa dari sahabatnya itu. Bima pun hanya tersenyum dan segera kembali berkumpul dengan rombongan yang lainnya. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013