Rabu, 21 Mei 2014

Tenggelam dalam Kubangan Wadal

Tenggelam dalam Kubangan Wadal

Oleh: Dawam

Truk yang dikemudikan Hadiono menabrak pembatas jalan, tak jauh dari keramat Jimbe. Sekujur tubuhnya remuk hingga untuk mengambil jasadnya dari bagian depan truk perlu waktu yang lama.

____________________________________________________________



Truk kupacu dengan lumayan kencang manakala hujan turun sangat deras. Sepanjang jalan raya Tulungagung--Trenggalek penuh dengan genangan air karena gelontor hujan dari langit. Malam nanti barang yang kubawa dalam truk harus tiba di Malang, praktis aku harus berpacu dengan waktu yang demikian mepet.

Kalau bisa, sebelum jam sembilan malam nanti barang harus diterima oleh Pak Handoko," ujar Pak Rahmat, bosku, memaparkan kehendak hatinya.

"Akan kuusahakan, Pak."

"Sungguh. Kamu pacu kendaraanmu dengan cepat."

"Ya, Pak."

Jawaban demikian musti kusorongkan pada majikan berambut botak itu, kalau aku tidak ingin kena marahnya. Pengusaha yang temperamental ini memang sering tak bisa kompromi dengan orang lain, apalagi bawahan kelas teri asin mirip aku ini. Semua kemauannya harus dituruti. Apakah di tengah jalan kendaraan kuhela dengan santai, itu urusan nanti saja. Yang penting hanya jawaban ya... ya... ya.. saja yang paling disukai Pak Pak Rahmat, setiap kali dia punya keinginan.

Demi menghargai bos, walau pada dasarnya mengemudi kendaraan dalam suasana hujan dan jalan beraspal lumayan licin mengandung resiko tinggi, truk kupacu juga dengan kecepatan di atas rata-rata. Senja yang temaram, membuat pandangan mata tidak bisa maksimal mengarah pandangan depan. Pada sebuah pertigaan dekat perbatasan Trenggalek--Tulungagung, kendaraan kurem dengan mendadak.

"Busyet," aku menggerutu sambil detak jantung berdegup amat kencang.

"Kamu punya mata untuk melihat nggak?!" Sambnungku dengan mata melotot.

Di depan ban trukku berdiri mematung seorang perempuan dengan sekujur tubuh basah kuyup. Kusorongkan berbagai macam pertanyaan, tak begitu banyak keterangan kudapat tentang identitasnya. Untuk menghindari masalah lebih jauh, wanita umur kurang lebih tiga puluh tahun ini kuminta masuk pada bagian sopir berdampingan denganku.

Sesampainya di rumah orang tuaku, Desa Tanjungsari, Boyolangu, Tulungagung baru kuketahui siapa wanita yang hampir mendatangkan petaka bagiku itu. Dia bernama Ana, warga Kiping, Gondang, masih satu wilayah kabupaten denganku. Ana mengalami goncangan jiwa lantaran Misnan, suaminya, serong dengan wanita lain, sementara dia sendiri demikian cinta pada suaminya ini.

Beberapa hari lamanya Ana hidup seadanya dengan keluargaku. Makan dan minum juga teramat 'apa adanya', mengingat penopang utama keluargaku adalah diriku yang hanya seorang sopir suruhan majikan. Syukurlah, Ana juga tak menolak apa saja yang kami suguhkan padanya.

Kurang lebih satu bulan, Ana pamit mau pulang. Dia kuantar dengan sepeda motor bututku, sementara Narti, istriku, menemani juga dengan sepeda motor milik Kang Rahmat, kakak nomor duaku.

Lima bulan berikutnya, aku diundang supaya datang ke rumah keluarga Ana, karena setelah diceraikan secara resmi oleh suaminya, Ana menikah dengan Gunawan, lak-laki dari Plosokandang, Kedungwaru, yang hanya terpaut ratusan meter dari tempat tinggalku.

Beberapa bulan hidup berumah tangga dengan Gunawan, seorang anak lahir dari rahim Ana. Bayi laki-laki ini pada hari-hari berikutnya diberi nama Wasis. Seperti nama yang disandangnya, bocah berkulit sedikit legam ini memang memiliki kecerdasan lumayan, lincah, periang serta gampang diiajak bersanda-gurau, walau anak itu sendiri masih baru mengenal orang yang berada di hadapannya.

Rupanya Ana memang seakan wanita yang terlahir dengan kegagalan demi kegagalan perkawinan terbeban dipundaknya. Terbukti, mengarah pada hitungan tahun ke tiga pernikahannya dengan Gunawan, pahitnya pil perceraian untuk kesekian kalinya musti tertelan tenggorokan Ana.

Kurang jelas bagaimana ceritanya, dua tahun berikutnya Ana diambil istri oleh Hadiono, lelaki yang usianya lebih mudah darinya. Saat Ana dinikahi Hadiono inilah barangkali awal petaka yang menimpa dirinya, dalam rentetan waktu yang merangkak ke depan. Ceritanya, Ana diberi sebuah keris kecil oleh Bu Minah (bukan nama asli), mertuanya.

"Keris ini sangat sangat baik untuk berdagang, An. Mungkin sangat cocok dengan pekerjaan suamimu yang suatu ketika nanti menggantikan posisi oorang tuanya sebagai pedagang besar," ujar Bu Minah pada suatu senja diwarnai gerimis pada Ana.

Mertua wanitanya wanti-wanti pada Ana agar menyimpan baik-baik keris yang katanya bertuah tersebut. Ana tak banyak bertanya lebih jauh tentang keris keramat tadi. Keris itu lantas dia taruh pada lemari kayu, berbaur dengan tumpukan pakaian miliknya.

Ana sendiri sudah tidak begitu memikirkan tentang keris itu sendiri, hingga suatu hari dia mendapatkan kiriman ayam ingkung dari mertuanya. Sang mertua bilang bahwa ayam ini harus dinikmati bersama suaminya, sebagai rasa syukur kemajuan usaha yang dialami Pak Gondo (bukan nama asli), mertua laki-lakinya.

Ayam ingkung itu dbawa Ana ke rumah orang tuanya di Kiping. Kurang paham apa sebabnya, wanita yang melahirkan dirinya ini melarang Ana untuk tdak memakannya.

"Memang ada apa kok tidak boleh disantap, Mbok?" Tanya Ana tak mengerti tentang makna yang terkandung di balik larangan tersebut.

"Sementara tidak bisa kujelaskan, An. Ikuti perintah Simbokmu untuk tidak memakan ayam panggang tadi. Itu saja," pesan Simbok dengan wajah sungguh-sungguh.

Demi menghormati orangtua wanitanya, walau masih tetap membawa perasaan dongkol, Ana manggut-manggut saja menerima permintaan itu.

Tak lama setelah itu, Hadiono datang. Tanpa bertanya dari mana datangnya, lelaki itu langsung menyikat ayam ingkung yang tersaji di atas meja, lantaran di dekat ayam itu teronggok sebakul kecil nasi yang masih mengepulkan asap. Ana yang kala itu sedang berada di belakang rumah tak tahu sama sekali apa yang dilakukan oleh suaminya tersebut.

Sore harinya Hadiono pamit pada Ana untuk mengunjungi orangtuanya di Ngunut. Bagaimana kisah lengkapnya, Ana tak tahu. Datang kabar yang cukup mengejutkan dari mertuanya di Ngunut bahwa Hadiono mengalami kecelakaan tragis di perbatasan Blitar--Tulungagung. Truk yang dikemudikannya menabrak pembatas jalan, tak jauh dari tmpat keramat Jimbe. Sekujur tubuh Hadiono remuk hingga untuk mengambil jasadnya di bagian depan truk perlu waktu yang sangat lama.

Belakangan diketahui, walau lewat bisk-bisik, tentang kematian mengenaskan Hadiono itu disebabkan kena akibat buruk dari ayam ingkung yang disantapnya. Dari sebuah sumber diyakini bahwa yang hendak dijadikan wadal, tumbal untuk makhluk gaib lantaran pesugihan, adalah Ana sendiri. Dikarenakan Ana dipaksa Simboknya untuk tidak memakannya dan ganti Hadiono melahapnya, jadilah senjata makan tuan. Bukan Ana yang mati tapi Hadiono sendiri yang dimakan makhluk halus peliharaan seseorang.

Lewat seorang teman yang sedikit banyak tahu tentang dunia supranatural dipetik kabar bahwa keris kecil pemberian mertuanya tempo hari adalah keris yang di dalamnya bersemayam makhluk alam astral yang bisa membuat pemegangnya sangat mudah dikendalikan oleh makhluk gaib tadi. Ini dikandung maksud, cepat atau lambat, orang itu akhirnya akan mengalami nasib sama dengan Hadiono. Setidaknya, bila tubuh orang itu kuat maka hanya onyeng (pikirannya kacau) serta mengarah pada gila permanen. Sedangkan bia tak kuat berdampingan dengan khodam keris, orang itu akan meninggal dunia, tak beda dengan yang dialami Hadiono beberapa waktu silam.

Tentang diri Ana sendiri memang semakin hari kelihatan semakin aneh tingkah lakunya. Kadang bicara sendiri, kadang menangis histeris, sekali tempo malah mengamuk dengan kekuatan melebihi tenaga tiga orang dalam keadaan normal. Aku yang berusaha untuk meredam amukannya bersama Dani, Agus, Lukman, dan Manaf malah jadi bulan-bulanan kemarahan Ana. Kekuatan fisik kami berlima masih kalah dibanding Ana. Dia yang secara kasat mata ringkih, nyatanya memiliki tenaga yang minta ampun kuatnya.

Untuk membuang gaib yang bersarang pada tubuh Ana, beberapa orang pintar pernah kami mintai tolong, namun hingga kini tak ada hasil maksimalnya. Ana sembuh sesaat, dua tiga hari berikutnya kambuh lagi. Berbuat, bertingkah laku mirip orang tak waras.

Pernah oleh Mas Turkan, kawanku yang juru sembuh akibat pengaruh gaib. Ana dimandiikan pada sebuah sumur tua dengan ritual tertentu, pada suatu tengah malam. Mulai ujung rambut hingga pangkal kaki diguyur air, sambil dimanterai berulangkali. Di samping itu, dua kali dimandikan dimandikan pada aliran sungai di pinggir sawah sebelah rumah, dengan tubuh terasa membeku karena dinginnya air, toh seminggu kemudian Ana kumat lagi.

"Nampaknya makhluk gaib yang ngendon di tubuh Ana terlalu kuat untuk kita tundukkan. Musti kita temukan orang yang bisa menundukkan kekuatan gaibdi dalam keris tersebut," aku Mas Turkan, mengamini penuturan Mbah Ngadimin, orang sepuh yang juga ikut membantu menghalau pengaruh gaib dalam tubuh Ana.

Apa yang dialami Ana ini musti kutulis di majalah ini, dengan harapan barangkali ada pembaca yang bisa ikut membuka tabir misteri yang sungguh terasa sangat pelik ini.

Sebagai seorang tetangga sekaligus sahabat, rasanya kurang pas kalau aku hanya tinggal diam di sini saja. Walau sebenarnya berbagai macam upaya telah melelahkan kami semua, membikin tubuh kurus, pikiran terombang-ambing antara realita dan mimpi buruk tiada bertepi. (*)

Misteri Edisi 581, Tahun 2014