Cerpen: Qizink La AzivaKawah Jongring Saloka kembali menyemburkan asap hitamnya, bahkan lebih besar dari semburannya yang pertama. Asap hitam menutupi pandanganku, badai pun datang menerjang!* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Hari mulai senja ketika kami sampai di daerah Kalimati. Perlahan matahari beringsut ke pembaringannya, kemudian langit pun berubah menjadi warna merah jingga.
"Kita istirahat di sini saja," ucap Ozy yang ditunjuk sebagai ketua kelompok pendakian.
"Cari tempat yang asyik, Zy!" usul Kimung.
"Oke, kita dirikan tenda di sekitar Sumber Mani saja, agar kita tidak repot mengambil air," ucapku menyarankan. Ozy dan Kimung mengangguk menyetujui saranku.
Setelah menemui tempat yang cocok di sekitar Sumber Mani, kami segera mendirikan tenda. Dalam sekejap tenda pun berdiri. Kimung langsung rebahan melepas lelah, Ozy memeriksa perlengkapan pendakian, aku menyiapkan makanan. Kalimati adalah tempat istirahat terakhir bagi para pendaki sebelum melanjutkan perjalanannya menuju puncak Gunung Semeru. Daerah ini dikelilingi hutan alam dan bukit-bukit rendah.
"Cuaca kayaknya bagus nih, Kuh," ucapku Ozy sambil duduk di sampingku. Lalu menyeruput kopi hangat yang baru saja aku sajikan.
"Semoga saja, Zy. Tapi alam selalu memiliki misteri yang sulit kita tebak," ucapku pelan.
Ozy tersenyum mendengar penuturanku, mulutnya asyik mengunyah coklat kesukaannya. Malam terus beranjak, bulan penuh. Cuaca dingin mulai menyelimuti sekitar Kalimati.
"Zy, gue mau jalan dulu!"
"Kemana, Kuh? tanyanya.
"Taman Edelweis," sahutku.
"Hati-hati, Kuh!" Ozy memperingatkan. "Jangan lama-lama di sana. Kamu kudu istirahat. Jam satu kita mulai mendaki," lanjut Ozy.
"Oke deh."
"Eh, tunggu Kuh!" teriak Ozy ketika aku mulai berjalan.
"Ada apa,Zy?" tanyaku.
"Jangan merusak lingkungan! Awas kalau lo sampai memetik bunga-bunga Edelweis itu!" ujar Ozy kembali mengingatkan.
Aku tersenyum, lalu menganggukan kepala. Tentu saja hal itu tidak akan kulakukan. Sebagai pencinta alam, memetik bunga Edelweis yang merupakan bunga langka itu termasuk merusak lingkungan, dan hal itu tentu sebuah larangan bagi pecinta alam. Kulanjutkan langkahku menuju taman Edelweis. Tak butuh banyak waktu untuk sampai ke tempat itu, hanya sekitar lima menit perjalanan dari tendaku.
Taman Edelweis merupakan hamparan lahan seluas kurang lebih 20 hektar yang dipenuhi oleh bunga-bunga Edelweis Putih
(Anaphalis javanica). Kurasakan kedamaian ketika aku sampai di tangah-tengah Taman Edelweis. Tangkai Edelweis yang lincah menari ditiup angin, membuatku semakin terpesona akan keindahan semesta. Dalam hati kusebutkan nama Tuhanku, sebagai rasa kekagumanku pada ciptaan-Nya.
Tiba-tiba angin berhembus sangat kencang, wangi bunga memenuhi rongga penciumanku.
"Hai....," satu suara sangat lembut menyentuh gendang telingaku. Aku terkejut satu sosok perempuan telah berdiri di sampingku. Aku tak tahu sejak kapan perempuan itu ada di smpingku!.
"Maaf, mungkin aku mengejutkanmu," ujarnnya.
"Siapa kamu?" tanyaku.
"Diana," sahutnya singkat.
"Kukuh," ucapku sambil mengulurkan telapak tanganku. Diana menyambut uluran tanganku. Tangan terasa dingin saat kugenggam. Kupandangi wajah Diana, rambutnya yang panjang bergerai tertiup angin. Matanya begitu bening dan tajam memandang. Ah... kau bagai bidadari di taman surgawi! Gumamku dalam hati.
"Kuh, kamu mau naik ke atas?" ucap Diana menanyakan rencanaku. Aku mengangguk. Diana memetik setangkai Edelweis Putih yag ada di dekatnya. Aku merasa bersalah karena terlambat mencegah Diana memetik Edelweis itu.
"Aku tahu kamu tak suka dengan perbuatanku ini," ucap Diana seakan mengetahui perasaanku. "Tapi kuharap kau mau menerima bunga ini sebagai kenang-kenangan atas perkenalan kita ini," lanjut Diana.
Aku seperti kerbau dicucuk hidungnya, menerima pemberian Diana. Aku kembali sendiri di taman edelweis. Diana pergi bersamaan dengan malam yang semakin larut.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Lepas tengah malam. Setelah membongkar dan merapikan tenda, setelah mempersiapkan semua perlengkapan mendaki. Aku, Kimung, dan Ozy memulai pendakian ke puncak Gunung Semeru, gunung tertinggi di Pulau Jawa. Satu setengah jam kemudian aku sampai di lereng Gunung Semeru. Jalan Menuju Surga, demikianlah para pendaki menyebut jalan setapak di lereng Semeru ini.
Malam yang mulai gelap. Gunung Semeru bagaikan raksasa hitam menjulang tinggi ke angkasa. Kami mulai hati-hati menapaki jalansetapak yang berpsir.
"Kuh, Mung, hati-hati melangkah! Jangan sampai tergelincir!" ujar Ozy yang berada di depanku memecah keheningan malam. Dengan bantuan lampu senter, perlahan kami menapaki jalur pendakian. Angin berhembus makin kencang, aku mulai kedinginan. Tapi semangatku untuk sampai ke puncak Semeru memupus rasa gigil di tubuhku.
Menjelang pagi, kami sampai di puncak Semeru. Rasa lelah pun sirna, berganti dengan haru bahagia dan bangga, berhasil sampai ke puncak Semeru setelah berjuang melawan alam dan emosi jiwa. Panorama tampak bagitu indah untuk dinikmati dari puncak Semeru. Puncak-puncak gunung di Jawa Timur, garis-garis pantai, lampu-lampu kota yang belum padam, juga saat fajar mulai terbit dari ufuk timur. Aku bersujud, dan mulutku tak henti memuji Kebesaran Tuhan!
Ozy menancapkan bendera kelompok pecinta alam kami. Setelah itu kami bergantian mengabadikan kebahagiaan ini dengan berfoto. Namun tiba-tiba, kawah Jonggring Saloka menyemburkan asap hitamnya, asap itu mulai tebal membumbung tinggi hingga ke angkasa. Kasawan Semeru terselimuti asap hitam bercampur debu. Kami panik, berlari berusaha menyelamatkan diri. Begitu pun dengan para pendaki yang kutemui, lari tunggang-langgang.
Di tengah jalan, samar-samar aku melihat sosok perempuan yang sedang berdiri mematung di bibir kawah Jonggring Saloka, sosok Diana. "Diana....." teriakku sangat kencang, tapi Diana tetap tak bergeming. Segera aku berlari menuju Diana. Aku tak menghiraukan saat Ozy berusaha mencegahku berlari menuju kawah Jonggring Saloka, menyusul Diana.
Kawah Jonggring Saloka kembali menyemburkan asap hitamnya, bahkan lebih besar dari semburan yang pertama. Asap hitam menutupi pandanganku, badai pun datang menerjang! "Aaaaaggghhh...." pekikku saat kurasakan tubuhku meluncur ke bawah.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aku membuka mata. Cahaya matahari menyengat kulit mukaku. Beberapa orang berdiri berkerumun di sekelilingku. Ozy menatapku dengan wajah cemas. "Ada apa, Zy?"
"Semalam kamu terjebak asap hitam di puncak Semeru, lalu tergelincir. Untung saja kamu cuma pingsan, Kuh."
"Aku mendesah. Mataku memandangi satu-persatu orang yang berdiri di sekelilingku. Tapi aku tak melihat Diana di antara mereka. "Diana.... ada yang melihat Diana?"
"Diana!" celetuk seorang petugas posko yang sedari tadi berdiri didekatku. Ozy menatapku dengan tatapan keheranan.
"Kamu kenal Diana?" tanyaku penasaran pada petugas posko. Lelaki bertopi rimba itu mengangguk pelan. Tangannya menyerahkan selembar kertas foto padaku, aku menerimanya. Kulihat sosok Diana pada kertas foto tersebut.
"Gimana keadaan Diana sekarang?" tanyaku tak sabar.
Petugas posko itu menarik napas berat. "Diana telah lama meninggal dunia!" ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Apa?" sentakku tak percaya.
"Setahun yang lalu. Diana, kekasihku memaksaku untuk mengajaknya ke puncak Semeru. Aku tak sanggup untuk menolak keinginannya. Saat itu aku merasa khawatir. DAn kekhawatiranku terbukti. Diana mengalami kecelakaan saat kami di puncak Semeru. Tubuhnya hancur tertimpa batu vulkanik yang disemburkan kawah Jonggring Saloka!" cerita petugas posko.
Aku mendesah, masih juga tak percaya. Apalagi di saku celanaku masih ada setangkai edelweis putih pemberian Diana!