Jumat, 26 Juni 2015

Berjalan di Atas Kaca

Berjalan di Atas KacaOleh: N Marewo

“Ceritakan padaku tentang keajaiban?” remaja usia dua belas tahun itu berkata dengan nada memohon pada pamannya di suatu siang yang gerah. Di emperan depan sang paman bersandar di dinding dan mengeluarkan wsebatang rokok dari dalam bungkusnya. Bekas pelaut itu menghela napas. Wajahnya mendadak serius. Dinyalakannya rokok sambil mengepulkan asap seakan lupa dengan siapa ia bersama, lalu bercerita:

Kepala rasanya begitu berat. Sepanjang hari matahari tak henti-hentinya memanggang. Leher menjuntai, bersandar pada jeriken tempat tangan terikat. Bola mata perih akibat ditepuk air laut. Angin kencang menerpa tak tahu ampun. Harapan terulur seperti benang laying-layang dilepas. Cuaca sangat buruk. Arus menyeret sementara gelombang menghantam setinggi pohon. Antara sadar dan terjaga kulihat diri dalam sebuah sampan. Semacam sampan yang biasa kita pakai memancing ikan. Tampaknya seperti di bawah kolong jembatan. Cahaya lampu kelap-kelip. Sepertinya aku memasuki kota yang belum pernah kukenal. Tetapi aku menepi saja.

Malam itu hari keempat. Kubuka mata yang berat. “Maha Suci Allah. . . ,” kataku dalam hati.mungkin mimpi. Tapi sepertinya bukan. Kulihat di mana-mana bintang beredar bagai kelap-kelip lampu yang kulihat di kolong jembatan itu. Di mana-mana air. Lautan luas. Kupandang samudera, seakan-akan apa yang terjadi benar-benar peristiwa sungguhan,

Bagas, Arlan, dan Parno terkulai tak berdaya. Kepala dan leher kami lemas seperti belut pingsan. Belum ada tanda-tanda akan terlihat perahu, atau kapal yang membantu. Hidup telah ditakdirkan. Maut kita bawa ke mana-mana. Bila ditakdirkan mati maka kuterima. Di mana hendak berlari? Bagaimana menghindari ajal? Ke mana minta perlindungan dalam samudera seluas itu jika tak berserah diri kepada-Nya? Dimana pula kita tak berserah diri? Kami akhirnya berempat. Sore yang murung perahu yang kami tumpangi tak tertolong. Badan perahu tenggelam seperti bekas kaleng minuman terinjak sepatu.

Suasana sangat histeris. Lautan tak berjarak dari langit. Para penumpang berhamburan menyelamatkan diri bagai abu tertiup dari asbak. Empat jeriken dan seutas tali sepertinya sedang menanti saat seluruh isi kapal tercebur ke laut. Kami melompat menuju jeriken-jeriken lalu mengikat tangan masing-masing pada tiap jeriken yang mendekati kami. Kami mengikrarkan janji – akan tetap bersama dalam keadaan bagaimana pun. Hidup atau mati tetap bersama. Kami tak hendak berpisah. Meski mati ingin jasad kami dalam keadaan terapung.

Teringat pesan ayah agar mengisap jempol bila mendapat musibah di lautan. Kulakukan dari hari ke hari. Kuisap jempol untuk menahan diri dari haus dan lapar. Anehnya, meski sangat lapar aku sedikit terbantu. Meski sangat haus agaknya bisa bertahan. Kita memang tak boleh takabur. Hidup tak cuma di lidah dan di perut. Kusuapi jiwa dengan apa yang dapat membantu bertahan. Namun sampai kapan terseret arus? Adakah diriku akan mati dengan cara itu? Apakah hidupku berakhir pada jeriken? Aku rela menerima segalanya bils ditakdirkan. Siapa sanggup menolak?

Parno membangunkanku dan kawan-kawan yang lain.

“Lihat!” katanya. Matanya berbinar. “Lampu-lampu,” tangannya menunjuk gelombang yang membukit.

“Lampu-lampu?” tanyaku.

“Kita sudah sampai,” katanya, tersenyum senang. “Sampai ke mana?” Bagas menanyakan.

“Sudah buta kau?” ia membentak, “Apakah kalian tidak melihat pulau sebasar itu?” “Tdak, Kawan,” jawabku. “Mana mata kalian? Sialan! Kita sudah dekat, sudah sampai. Itu pulau. Pohon-pohon. Kapal-kapal. Gunung. Tunggu apa lagi. Ayo kita berenang.”

“Berenang?” tanya Arlan, heran. “Berenang ke pulau itu, monyet.” Bukan pulau, Parno. Kita di tengah samudera. Lihat gelombang yang menggunung itu,” bantah Arlan.

“Sudah gila kalian. Kalian bilang gelombang itu pulau,” ia terheran-heran. “Biar aku sendiri yang pergi.”

“Ke mana?” tanyaku.

“Kenapa tanya?” ia terburu-buru hendak melepas tali dari jeriken.

“Tak ada pulau!” kata Bagas mengingatkan.

“Diam, bangsat! Nanti kau kubunuh!” katanya mengancam.

Kami terdiam, tak lagi berkata-kata. Hanya mata kami saling memandang – melihat saja apa yang ia lakukan. “Jangan ada yang menahanku,” katanya seraya mengeluarkan belati. “Siapa-siapa yang menahanku akan kubunuh.” Lalu ia memotong tali yang menyatukan tangannya dengan jeriken. Dikasihkannya aku belati sebelum ia berenang. Tampak seonggak tubuh terhadang ombak melawan arus. Kilauan cahaya dari deburan air hilang bersamaan dengan lumatnya teriakan histeris.



Malam bergeser. Hari berlalu. Kapal atau perahu yang diharapkan untuk memberi bantuan seakan cuma khayalan. Memang, pernah kusaksikan ada orang-orang menjaring ikan di malam buta. Kurasa mereka penghuni laut dan tak menggubris kami. Untuk bertahan aku masih mengisap jempol tangan dan kaki – mencoba tegar dalam kepasrahan. Subuh sebelumnya aku bermimpi mengunyah pisang bakar dan meneguk secangkir kopi. Mimpi-mimpi aneh.

Laut sarat keanehan. Kadang-kadang terlihat kota penuh lampu. Sering hidung kami mencium aroma ayam dan bebek panggang. Terkadang terdengar orang-orang mengobrol, dengusan ternak, suara kokok ayam, dan kicauan burung.

Bagas semakin payah. Aku juga. Arlan sama. Tapi Bagas gelisah sekali. “Aku mau sendirian,” katanya suatu pagi. “Kenapa berubah pikiran? Kita sudah berikrar hidup atau mati tetap bersama,” Arlan menanggapi.

“Ah!” Suaranya mendesis.

“Kau sendiri lihat bagaimana nasib Parno,” kataku memperigatkan.

“Memang. Tapi kalian punya rencana buruk terhadapku,” sahutnya dan membuang muka.

“Rencana apa?” Arlan bertanya.

“Kalian kira aku tidak tahu itikad busuk kalian. Jangan berpura-pura,” lanjutnya.

“Berpura-pura apa?” tanyaku.

“Kalian pikir aku tidak tahu? Diam-diam kalian bersekongkol mau memakanku, kan?”

“Wah Bagas. . . ,” kata Arlan. “Ingat, Kawan. . . .

“Ingat apa?”

“Ingat Tuhan!”

Bagas tak menggubris. Aku menggeleng. “Jangan lupa,” kataku, “hidup dan mati ditentukan oleh-Nya. Kita tak akan pernah bisa berlari. Dalam kapal emas yang penuh intan dan berlian pun tidak. Kalau ditakdirkan mati, ya mati.”

“Lepaskan!” teriaknya, “Kalian penjahat. Kok tega-teganya mau memakan daging teman sendiri.”

“Bagaimana mungkin kami berpikir memakanmu?!” kata Arlan.

“Percayalah,” kataku, berusaha meyakinkan, “Kita sudah berjanji sehidup semati.”

“Lepaskan aku,” tangannya mendorong tubuhku, “Aku tidak percaya pada kalian.”

“Mau ke mana?” tanyaku.

“Lepaskan. Biarkan aku sendirian. Aku akan berenang.”

“Kau lihat sendiri gelombang itu. Ke mana hendak menghindar? Ini samudera, sobat. Tak bisa dilawan dengan nafsu. Alam tak tertaklukan.

“Lepaskan aku. . . kalian membawa sial.”

“Kau sadar nggak apa yanh kau ucapkan?” tanya Arlan.

“Sadar apa? lepaskan aku.”

“Pikirkanlah. . .”

“Tolong. . . . bantu aku,” pintanya menghiba.

“Tolong. Tolong aku. . .”

“Sulit kami lakukan,” kataku menanggapi.

“Terus terang, aku sangat tersiksa bersama kalian. Tolong. . . lepaskan aku.”

“Kalau itu maumu,” hatiku sedih tercabik-cabik. Aku tak tega memotong tali yang menyatukan jeriken dan tangannya. Tapi ia terus menghiba. Ajaib. Setelah dilepas tubuh Bagas terangkat ke udara. Seperti manusia terbang dalam film-film horror; naik beberapa meter di atas permukaan air. Mata kami takjub beberapa saat. Kakinya tidak menyentuh air seperti seorang yang dapat terbang. Tak lama berselang tubuhnya berputar makin cepat seperti gasing. Beberapa saat kemudian tubuh yang berputar merendah lalu naik beberapa meter sebelum akhirnya tercebur ke dalam air. Semacam jangkar yang dibuang, atau beton yang terlempar ke laut – tak kelihatan lagi. Hening. . . .



“Di serambi ini,” lelaki itu menepuk bahu bocah yang duduk di sampingnya, “Kita berada dalam lautan itu, Nak, dalam keadaan tangan terikat. Batang leher lunglai, bersandar pada jeriken. Tiap saat menunggu panggilan. Hidup seperti dedaunan yang bertuliskan nama-nama. Bukan soal kapan daun gugur sebab mati bisa kapan saja. Bagaimana mengisi hidup dan memahami wajah yang terpantul di kaca. Tiap saat bisa saja manusia berubah haluan seperti halnya Arlan yang berpikiran mengunyah dagingku. Bila pernah bertanya siapa yang menyimpan rasa pada buah-buahan. Bila memikirkan siapa memasukkan aroma pada benda-benda. . . .”

“Mau kopi, Paman?” tanya bocah itu.

Pamannya tak menggubris.

“Bukan samudera. Juga bukan daratan dan udara,” ujarnya. “Semua itu hanya ruang. Tetap saja kita akan menjadi mayat seperti tiga temanku. Kita tidak pernah tahu bagaimana meninggal, bukan menata kematian. Kita dalam perjalan memilih lorong untuk terus melangkah di atas cermin tak berkesudahan memantulkan segala yang dirajut dengan tangan, kaki, hati, dan pikiran.”

“Ibu sudah membuatkan kopi. . . .”

Ia mengenang aroma sate dan wangi kopi yang pernah dirasainya dalam mimpi. (*)

Hikayat Kota Orang-Orang Putus Asa

Hikayat Kota Orang-Orang Putus Asa Oleh: Ilham Q Moehiddin



Berjalanlah ke selatan, akan kau temui sebuah kota, di mana orang-orang putus asa tinggal. Kota vyang memiliki telaga kecil dengan kilauan di permukaannya. Telaga yang menghisap harapan. Konon, tak ada ikan di dalamnya.

Telaga yang hanya memantulkan cahaya merah rembulan, dan tepiannya ditumbuhi lumut putih yang bertangkai sebesar lidi kelapa dengan bola-bola berlendir pada ujungnya. Orang-orang putus asa di kota itu menamai telaga kecil mereka: Telaga Dosa.

Konon, orang-orang putus asa terjun ke telaga itu, lalu mati karam ke dasarnya. Kematian telah mengubah suasana di sekeliling telaga itu menjadi suram. “Jangan coba-coba kau ungkit kisah ini. Orang di sana tak suka. Pamali!” kecam para Apua (tetua adat).

Larangan itu harus dipatuhi semua orang dari luar kota itu. Tetapi, larangan itu mencungkil keingin-tahuanku. Pada satu-satunya penujum di sini, kutanyai ia tentang kisah para pendahulu dan telaga itu. Bukan cerita yang kudapat darinya, justru diberinya aku amarah. Penujum tua itu melotot, menghumbalangkan panic ramuannya, lalu buru-buru mengubur tubuhnya di bawah selimut bulu Beruang. Diusirnya aku saat itu juga.


Ikutilah jejak ular pasir di gurun itu, kau akan tiba di kota yang ditinggali orang-orang putus asa. Orang-orang putus asa dari segala penjuru negeri datang ke kota itu untuk membuang diri. Melunta-luntakan hidup mereka yang mereka kira telah habis harapan itu.

“Sudah aku katakan jangan kau ungkit-ungkit kisah para pendahulu. Kelakuanmu itu sangat terlarang!” begitu jengkelnya Apua saat mengetahui perbuatanku.

Penasaranku telah menyusahkannya. Tetapi, siapa pun yang dilarang dengan kalimat macam itu, maka bohong besar jika ia tak terpancing keingin-tahuannya. Apua menceritakan suatu peristiwa; tentang kumpulan kecil orang datang ke kota itu, lalu dengan dalih reformasi mereka mencoba-coba mengubah kalimat keramat yang dipahatnya di tugu pembatas kota. Seketika mereka dihujat karena mereka menistakan para pendahulu, dituduh telah berbuat amoral dengan memberikan harapan pada orang lain. Satu-satunya moral yng diterima di kota ini hanyalah keputus-asaan.

Sekumpulan kecil orang itu dimahkamahkan, lalu diarak ketepian Telaga Dosa. Kemudian, seseorang dari mereka dijadikan contoh buat semua orang yang hadir di situ. Ia dianiaya hingga kepayahan, sebelum dilemparkan ke tengah telaga. Ia karam mati di situ. Mayatnya dikuburkan di luar tapal batas kota.

Hukuman yang paling menakutkan bagi penduduk kota itu bukanlah di tenggelamkan, tetapi dikuburkan di luar kota. Hukuman itu adalah pembantaian atas marwah mereka sebagai orang-orang putus asa.


Aku mengikuti sebentuk awan kelabu yang berarak ke selatan, sehingga sampailah aku di depan gerbang kota orang-orang putus asa. Kota orang-orang yang menerima kekalahan, sekaligus tak memberi apa pun melebihi keputus-asaan mereka sendiri.

Seperti apa yang mereka sampaikan pada setiap orang yang datang ke sini, padaku pun mereka sampaikan larangan yang sama; jangan sekali pun menanyakan perihal telaga di tengah kota ini dan kenapa pendahulu memilih kekal di dasarnya. –Itu bukan untuk didiskusikan. Pamali!

Tetapi, seringnya larangan itu diulang-ulang membuat kesabaranku terkikis. Keingin-tahuan mendorongku datang pada satu-satunya orang yang memiliki jawaban. Ya. Si Penujum tua itu. Namun ia seketika melotot, menendang panci ramuan hingga humbalang, mengubur tubuhnya di bawah selimut bulu Beruang seraya mengoceh tak putus-putus. “Pamali, pamali, pamali—“

“Informasi itu penting untuk cerita yang sedang aku tulis,” ujarku memohon.

“Memangnya kau siapa hendak menulis sesuatu yang kami larang?” Si Penujum tua berteriak dari bawah selimutnya. “Cukuplah bagimu apa yang terpahat di tugu batu di depan kota ini.”

“Baiklah, jika Tuan tak mau,” aku menenangkannya, “tapi katakanlah pada siapa aku bisa mendapatkan keterangan tentang itu?”

Seketika si Penujum tua keluar dari tumpukan bulu Beruang. Seperti baru saja tergigit seekor Semut Api Amazon, matanya merah karena terbakar amarah. “Pergilah! Jangan sampai aku mengadukanmu pada para pengawas kota. Akan aku lupakan bahwa kau pernah ke sini dan melontarkan kekotoran dari mulutmu. Pergilah!”

Bukankah telah jelas – siapa pun yang dilarang dengan kalimat bernama seperti itu, maka ia pasti berbohong jika rasa penasarannya tak terpancing. Aku keluar dari rumah si Penujum tua. Aku hendak menjemput jawaban dari orang-orang putus asa lainnya di kota ini. Aku hampiri mereka satu per satu. Aku singgahi setiap tempat mereka berkumpul.



Mendongaklah – saat kau menda-pati bulan berwarna merah di ujung gurun, maka sinarnya akan menuntunmu ke kota yang dihuni orang-orang putus asa. Kota orang-orang yang membunuh setiap pertanyaan perihal leluhur mereka, tentang keanehan telaga, tentang kedpatuhan yang tak boleh diungkap.

“Tidakkah kau baca pahatan ditugu batu di depan gerbang kota ini?” Seorang Pengawas Kota memuntahkan amarahnya ke wajahku.

Aku kini berada di mahkamah yang disesaki orang-orang putus asa. Aku memprotes mahkamah ini. Tak ada perlunya mereka mendakwaku um\ntuk hal yang tak aku pahami. “Tapi aku tak memahami maksudnya.”

Orang itu mendelik. “Kau tak perlu memahaminya. Kau hanya perlu mematuhinya.”

“Bagaimana aku mematuhi sesuatu yang tak aku pahami?” aku mendebatnya.

“Kau mengganggu keteraturan di kota ini dengan berbagai pertanyaan yang kami larang.” Aku menegakkan punggung. “Jadi? Apa yang nantinya akan kuceritakan tentang kota ini?”

Pengawas Kota itu mengangguk tegas. “Tidak ada. Terima saja keadaan kami. Kau tahu – kau tak patut memaksakan keberatan atas apa yang apa yang telah kami lakukan turun temurun.”

“Aku tak memaksa. Hanya ingijn jawaban.”

“Apa bedanya? Bukankah kau sedang berusaha membuat kami melanggar sesuatu yang kami haramkan?”

Aku terdiam. Wajah si Pengawas Kota tiba-tiba sinis, “—karenanya, kau akan kami hukum!”

“Tunggu!” Aku berdiri, “aku bahkan bukan warga kota ini.”

Tetapi Pengawas Kota tak hirau padaku lagi. Ia menoleh pada empat Pengawas Kota lainnya yang telah menganggukkan kepala mereka padanya.

“Kalian!” Pengawas Kota itu menunjuk dua orang dibelakangku, “bawa orang ini ke telaga!”

“Tunggu dulu—“ Aku menolak perlakuan mereka. Tetapi, orang-orang putus asa itu tak peduli. Mereka menggamit lenganku, memaksaku berjalan menuju telaga. Orang-orang putus asa lainnya mengekori kami seraya mendengungkan kalimat keramat.

Wahai pendahulu kami. Dimuliakan namamu, ditinggikan kisahmu, sucilah yang kalian larang.

Para Pengawas Kota memerintahkan agar aku dicampakkan ke tengah telaga. Tubuhku tercebur, membenam beberapa saat. Tanganku menggapai-gapai di permukaan air, berusaha sekuat tenaga menuju tepian. Tetapi air telaga itu seperti sedang mencarak semua harapanku, menarik tubuhku untuk dikaramkan ke dxasar telaga.

Aku bukan salah satu dari orang-orang putus asa di kota ini. Aku tak ingin mati di dasar telaga. Walau kepayahan, aku berhasil menggapai tepian telaga. Seorang gadis muda berjongkok di atas tubuhku yang sekarat itu. Kata-kata seperti berlompatan dari bibirku.

“Kau tahu – jawaban yang kalian cari ada di dasar telaga ini. Mungkin aku tak akan sempat menuliskannya dalam ceritaku.”

Gadis itu nyaris tak mendengar gumamku. Ia mendekatkan telinganya.

“Jangan dengarkan apa yang mereka ingin agar kau percayai.”

“Ada apa di bawah sana?” Gadis itu mendesak.

“Di bawah sana banyak ikan – banyak sekali.” Suaraku nyaris hilang. “Harapan lebih banyak di dasar telaga ini daripada di atasnya, di kota yang mengepungnya. Kau harus tahu bahwa di bawah sana tak ada jejak Para Pendahulu.” Gadis itu terpana, sebelum cahaya pergi dari bola mataku. (*)