Oleh: Adminaba
Tsabit Al Banani adalah orang yang biasa melakukan ziarah kubur setiap malam Jumat. Di sana ia bermunajat dan taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah hingga Subuh tiba.
Suatu ketika, Tsabit tertidur saat bermunajat, lalu bermimpi. Di dalam mimpinya ia melihat semua penghuni kubur keluar dari kubur mereka dengan mengenakan pakaian indah. Wajah mereka juga berseri-seri. Kemudian setiap orang dari mereka mendapat hidangan makanan bermacam-macam. Namun di antara mereka ada juga seorang pemuda yang tampak bersedih. Wajahnya pucat, rambutnya kumal, pakaiannya jelek, kepalanya tertunduk, serta berlinangan air mata. Ia juga tidak mendapat hidangan seperti penghuni kubur lain.
Setelah itu para penghuni kubur kembali ke dalam kuburnya masing-masing dengan bahagia dan puas, kecuali pemuda itu. Ketika pemuda itu juga hendak kembali ke dalam kuburnya namun dengan penuh kesedihan, duka cita serta putus asa. Tsabit pun berkata kepadanya, "wahai anak muda, siapakah engkau? Mengapa mereka mendapat hidangan serta kembali ke kubur masing-masing dengan kegembiraan dan kebahagiaan, sedang engkau tidak mendapat hidangan, bahkan engkau kembali dengan kesedihan, duka cita, dan putus-asa?"
"Wahai Imam orang-orang mukmin, aku ini seorang pendatang yang terasing dan tak seorang pun mengingatku, mendoakan, maupun melakukan amal kebaikan karena aku. Sementara mereka (para penghuni kubur yang lain) mempunyai anak cucu, kerabat serta keluarga yang senantiasa mengingatnya dan mendoakannya, beramal baik dan bersedekah karenanya. Sehingga setiap malam Jumat selalu datang pada mereka pahala kebaikan dan sedekah dari anak cucu, kerabat serta keluarga mereka. Sebenarnya aku ini orang yang hendak berhaji bersama ibuku. Tapi ketika kami sampai di kota ini, ketetapan Allah (maut) berlaku untukku. Maka ibuku menguburkanku di tempat ini, kemudian ibu menikah dengan seorang laki-laki sehingga lupa padaku dan tak pernah mengingatku, mendoakanku, maupun mengirimkan pahala sedekah untukku. Sungguh, sepanjang waktu aku berada dalam keputusasaan dan dan kesedihan."
Tsabit berkata, "wahai anak muda, katakan padaku di mana ibumu tinggal saat ini? Aku akan memberitahunya tentang dirimu dan keadaanmu."
Pemuda itu menjawab, "wahai imam orang-orang mukmin, sesungguhnya ibuku tinggal di desa sana, rumahnya begini dan begini. Katakan padanya semua tentang diriku. Seandainya ia tidak memberi sedekah padamu maka katakan, sesungguhnya di dalam kantongmu terdapat seratus keping uang perak warisan suami pertamamu. Sedangkan yang berhak memiliki uang itu adalah anakmu yang sudah meninggal dan terasing. Maka sedekahkanlah kepadaku apa yang seharusnya menjadi haknya."
Ketika terbangun dari tidur, Tsabit segera pergi mencari ibu si pemuda yang ditemuinya dalam mimpi itu. Setelah bertemu ibu pemuda itu, Tsabit mengatakan tentang semua yang dialami anaknya, juga mengatakan tentang seratus keping uang perak yang menjadi hak anaknya, yang kini ia simpan.
Mendengar semua yang dikatakan Tsabit, perempuan itu jatuh pingsan karena sedih dan sesal yang amat dalam. Ketika siuman, perempuan itu segera menyerahkan seratus keping uang perak sembari berkata, "aku pasarahkan padamu sedekah seratus keping ini demi anakku yang terasing."
Maka Tsabit pun menerima uang itu, kemudian menyedekahkan semuanya demi si pemuda yang ia temui di dalam mimpinya. Seperti biasa, malam Jumat berikutnya, Tsabit melakukan ziarah kubur lagi. Ia kembali ketiduran saat munajat, hingga bermimpi seperti kemarin. Hanya saja pemuda yang kemarin ia temui dalam mimpi itu kini mengenakan pakaian bagus dan wajahnya berbinar-binar. Ia tampak bahagia. Pemuda itu berkata pada, "wahai Imam orang-orang mukmin, semoga Allah membelas-kasihanimu sebagaimana engkau telah membelas-kasihani aku."
Dari hikayat tersebut, nampak bahwasannya orang yang sudah meninggal merasakan kesedihan bilamana keluarganya yang masih hidup melakukan kejelekan atau tak beramal kebaikan. Sebaliknya jika keluarganya melakukan amal-amal kebaikan, maka orang yang sudah meninggal akan merasakan kebahagiaan, karena mendapat bagian dari pahala mereka, tanpa sedikit pun terkurangi hitungan pahala milik mereka.
Kolom.abatasa.com, Jum'at, 30 November 2012
Tsabit Al Banani adalah orang yang biasa melakukan ziarah kubur setiap malam Jumat. Di sana ia bermunajat dan taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah hingga Subuh tiba.
Suatu ketika, Tsabit tertidur saat bermunajat, lalu bermimpi. Di dalam mimpinya ia melihat semua penghuni kubur keluar dari kubur mereka dengan mengenakan pakaian indah. Wajah mereka juga berseri-seri. Kemudian setiap orang dari mereka mendapat hidangan makanan bermacam-macam. Namun di antara mereka ada juga seorang pemuda yang tampak bersedih. Wajahnya pucat, rambutnya kumal, pakaiannya jelek, kepalanya tertunduk, serta berlinangan air mata. Ia juga tidak mendapat hidangan seperti penghuni kubur lain.
Setelah itu para penghuni kubur kembali ke dalam kuburnya masing-masing dengan bahagia dan puas, kecuali pemuda itu. Ketika pemuda itu juga hendak kembali ke dalam kuburnya namun dengan penuh kesedihan, duka cita serta putus asa. Tsabit pun berkata kepadanya, "wahai anak muda, siapakah engkau? Mengapa mereka mendapat hidangan serta kembali ke kubur masing-masing dengan kegembiraan dan kebahagiaan, sedang engkau tidak mendapat hidangan, bahkan engkau kembali dengan kesedihan, duka cita, dan putus-asa?"
"Wahai Imam orang-orang mukmin, aku ini seorang pendatang yang terasing dan tak seorang pun mengingatku, mendoakan, maupun melakukan amal kebaikan karena aku. Sementara mereka (para penghuni kubur yang lain) mempunyai anak cucu, kerabat serta keluarga yang senantiasa mengingatnya dan mendoakannya, beramal baik dan bersedekah karenanya. Sehingga setiap malam Jumat selalu datang pada mereka pahala kebaikan dan sedekah dari anak cucu, kerabat serta keluarga mereka. Sebenarnya aku ini orang yang hendak berhaji bersama ibuku. Tapi ketika kami sampai di kota ini, ketetapan Allah (maut) berlaku untukku. Maka ibuku menguburkanku di tempat ini, kemudian ibu menikah dengan seorang laki-laki sehingga lupa padaku dan tak pernah mengingatku, mendoakanku, maupun mengirimkan pahala sedekah untukku. Sungguh, sepanjang waktu aku berada dalam keputusasaan dan dan kesedihan."
Tsabit berkata, "wahai anak muda, katakan padaku di mana ibumu tinggal saat ini? Aku akan memberitahunya tentang dirimu dan keadaanmu."
Pemuda itu menjawab, "wahai imam orang-orang mukmin, sesungguhnya ibuku tinggal di desa sana, rumahnya begini dan begini. Katakan padanya semua tentang diriku. Seandainya ia tidak memberi sedekah padamu maka katakan, sesungguhnya di dalam kantongmu terdapat seratus keping uang perak warisan suami pertamamu. Sedangkan yang berhak memiliki uang itu adalah anakmu yang sudah meninggal dan terasing. Maka sedekahkanlah kepadaku apa yang seharusnya menjadi haknya."
Ketika terbangun dari tidur, Tsabit segera pergi mencari ibu si pemuda yang ditemuinya dalam mimpi itu. Setelah bertemu ibu pemuda itu, Tsabit mengatakan tentang semua yang dialami anaknya, juga mengatakan tentang seratus keping uang perak yang menjadi hak anaknya, yang kini ia simpan.
Mendengar semua yang dikatakan Tsabit, perempuan itu jatuh pingsan karena sedih dan sesal yang amat dalam. Ketika siuman, perempuan itu segera menyerahkan seratus keping uang perak sembari berkata, "aku pasarahkan padamu sedekah seratus keping ini demi anakku yang terasing."
Maka Tsabit pun menerima uang itu, kemudian menyedekahkan semuanya demi si pemuda yang ia temui di dalam mimpinya. Seperti biasa, malam Jumat berikutnya, Tsabit melakukan ziarah kubur lagi. Ia kembali ketiduran saat munajat, hingga bermimpi seperti kemarin. Hanya saja pemuda yang kemarin ia temui dalam mimpi itu kini mengenakan pakaian bagus dan wajahnya berbinar-binar. Ia tampak bahagia. Pemuda itu berkata pada, "wahai Imam orang-orang mukmin, semoga Allah membelas-kasihanimu sebagaimana engkau telah membelas-kasihani aku."
Dari hikayat tersebut, nampak bahwasannya orang yang sudah meninggal merasakan kesedihan bilamana keluarganya yang masih hidup melakukan kejelekan atau tak beramal kebaikan. Sebaliknya jika keluarganya melakukan amal-amal kebaikan, maka orang yang sudah meninggal akan merasakan kebahagiaan, karena mendapat bagian dari pahala mereka, tanpa sedikit pun terkurangi hitungan pahala milik mereka.
Kolom.abatasa.com, Jum'at, 30 November 2012