Senin, 06 Mei 2013

Buku Harian Seorang Sahabat

Cerpen: Ferry Hardono

Sesungguhnya hatiku bimbang. Baca… jangan… baca… jangan…. Aku tahu bahwa aku tak boleh membaca buku harian orang lain. Walaupun itu milik sahabatku sendiri. Tapi kupikir… tak apa-apa kalau buku itu kubaca. Toh selama ini tak ada rahasia di antara kami berdua. Dedi selalu menceritakan semua rahasianya kepadaku, dan begitu pula sebaliknya denganku. Paling-paling isi buku itu semua hal yang sudah kuketahui. Kecuali… sikap aneh Dedi yang aku rasakan selama hari belakangan ini. Jadi….

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Hari ini aku bersemangat sekali pergi ke sekolah. Bukan karena pelajaran-pelajarannya sudah tak membosankan lagi. Bukan. Tapi aku ingin cepat-cepat bertemu Dedi, sahabatku, untuk memberitahu dia bahwa sejak malam Minggu kemarin Dessy sudah resmi menjadi pacar tercinta Aji Wisana. Alias sudah resmi menjadi pacarku.

Setibaku di sekolah, aku segara ke kelas sahabatku itu. Tapi sedikitpun tak nampak batang hidungnya. “Rin, Dedi mana?” tanyaku pada Rini, teman sekelasnya, yang sedang berdiri di pintu kelas.

“Hari ini dia tidak sekolah,” jawab Rini.

“Kok kamu tahu?”

“Kemarin malam dia menelponku. Ngasih tahu kalau hari ini dia nggak masuk. Sekalian mau pinjam catatanan matematika hari ini.”

“Kenapa dia? Sakit?”

“Nggak tahu. Dia nggak bilang kenapa. Mungkin juga dia sakit. Soalnya, waktu menelponku itu, ngomongnya kelihatan lesu sekali. Nggak bercanda-canda seperti biasanya.”

Aku hanya manggut-manggut mendengar pemberitahuan ini. Setelah bilang terima kasih, aku beranjak pergi ke kelasku.

Sambil berjalan, aku jadi terus memikirkan Dedi yang kurasa bersikap aneh, bagiku, sejak beberapa hari yang lalu. Lebih-lebih di hari Sabtu dan Minggu kemarin. Dia selalu tak ada setiap kali kutelepon. Tapi ternyata dia menelepon Rini. Kenapa dia tidak meneleponku? Padahal, biasanya, dia selalu menelepon dan mengajakk jika mau bolos sekolah. Tapi kali ini, dia sama sekali tidak meneleponku. Aneh. Ada apa dengan dia, ya? Lebih baik, sepulang sekolah nanti, aku ke rumahnya saja. Siapa tahu dia benar-benar sakit. Siapa tahu….

“Selamat siang, Mbak Tika. Dedi ada?” Mbak Tika, kakak Dedi yang membuka pintu, tersenyum ketika melihatku.

“Oh, Aji. Baru pulang sekolah?”

“Iya, Mbak. Kenapa hari ini Dedi nggak sekolah, Mbak? Sakit?”

“nggak. Nggak tahu kenapa. Tadi pagi dia bilang kepalanya agak pusing. Tapi sekitar jam sebelas tadi, dia malah pergi. Pakai mobil. Nggak tahu kemana. Mungkin sebentar lagi dia pulang. Mau ditunggu?”

Aku mengangguk.

“Kalau gitu, tunggu di kamarnya aja. Terus kalo kamu lapar, mau makan, minta saja sama Bik Nah di dapur. Kamu pasti belum makan siang ‘kan?”

“Waduh, jadi merepotkan nih, Mbak.”

“Nggak apa-apa. Sekalian kamu bantu jaga rumah sampai Dedi pulang. Soalnya sebentar lagi Mbak mau berangkat kuliah. Jadi rumah kosong.

“Tante dan Budi mana, Mbak?”

“Mama sedang menjemput Budi di sekolahnya. Tapi, nggak tahu kenapa sampai sekarang belum pulang juga. Mungkin mereka belanja dulu. Sudah, ya? Mbak pergi dulu.”

Aku menganggukkan kepala. Dan setelah Mbak Tika pergi, aku beranjak ke kamar Dedi. Sesampainya di sana, aku duduk dimeja belajarnya. Wah, makin banyak saja koleksi novel sahabatku ini. Kuambil beberapa novel yang seingatku, belum pernah aku baca, dari rak meja. Namun perhatianku segera beralih ke sebuah buku bersampul biru tebal dibalik tumpukan novel-novel yang kuambil tadi. Dan ketika buku itu kuambil dan kubuka… ternyata buku harian Dedi.

Aku tersenyum dalam hati. Selama ini aku tak tahu, dan tak menyangka, kalau orang secuek sahabatku itu punya buku harian.

Sesaat hatiku bimbang. Baca… jangan… baca… jangan…. Aku tahu bahwa aku tidak boleh membaca buku harian orang lain. Walaupun itu milik sahabatku sendiri. Tapi kupikir… tak apa-apa kalau buku itu kubaca. Toh selama ini tak ada rahasia di antara kami berdua. Dedi selalu menceritakan semua rahasianya kepadaku, dan begitu pula sebaliknya denganku. Paling-paling isi buku itu semua hal yang sudah aku ketahui. Kecuali… sikap aneh Dedi yang kurasakan selama hari belakangan ini. Jadi….

Minggu, 8 Desember 1991:
“Mila ulang tahun. Gue pergi ke pestanya sama-sama Aji, Makki, Branco, Taufik, Joko dan….”

Aku membaca catatan selanjutnya.

Kamis, 19 Desember 1991:
“Hari ini Mama ulang tahun. Gue nggak ngasih apa-apa. Cuma ucapan selamat aja. Yang penting khan….”

Ulang tahun mulu, gerutuku dalam hati. Kubaca catatan-catatan Dedi di halaman-halaman selanjutnya. Dan ternyata perkiraanku tadi memang benar. Hampir semua yang Dedi dalam buku hariannya itu sudah aku ketahui. Payah. Namun kubalik halaman berikutnya, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Yaitu… nama Dessy.

Selasa, 7 Januari 1992:
“Ada anak baru di kelas gue. Pindahan dari SMA Bandung. Namanya Dessy Riana. Cantik juga, lho. Dan, menurut gosip yang beredar diantara teman-teman gue, dia nggak punya cowok. Gue mau melihat reaksi Aji kalo udah melihat Dess. Pasti dia bakal ‘shock’ berat… ha… ha… ha….”

Rabu, 8 Januari 1992:
“Ternyata dugaan gue kemarin memang benar. Aji sama sekali nggak berkedip waktu melihat Dessy. Dia benar-benar terkesima. Kayaknya dia suka sama Dessy, tuh. Tapi tahu sendiri dong, Aji khan playboy (he… he… ). Paling-paling dua atau tiga hari lagi dia udah suka sama cewek lain. So, don’t worry be hap….”

Sialan!, umpatku dalam hati sambil tersenyum.

Minggu, 12 Januari 1992:
“Dua hari yang lalu, gue kenalkan Aji sama Dessy (itupun setelah dia memaksa gue dengan segala cara, mulai dari mengancam, memohon, menyembah, sampai mentraktir)….”

Dipaksa mentraktir, betulku.

“… tapi sejak saat itu, mereka berdua jadi akrab, bahkan melebihi keakraban gue dengan Dessy. Gue jadi menyesal memperkenalkan mereka berdua (he… he… ).”

Biar mampus, batinku. Kenapa mau….

Kamis, 16 Januari 1992:
“Aji semakin akrab dengan Dessy. Sahabat gue itu jadi kian sering ke kelas gue. Tapi bukan niat ketemu gue, melainkan Dessy! Ternyata gue salah duga. Kali ini dia nggak main-main. Dia benar-benar suka sama Dessy. Gila! Gila! Gila!”

Lho, kok gila? Hebat dong, protesku dalam hati.

Selasa, 21 Januari 1992:
“Sekarang, dimana ada Dessy, pasti di sana ada Aji. Kemana-mana mereka selalu berdua-duaan. Jujur, gue jadi sedih. Bukan karena gue jadi nggak bisa main lagi, seperti dulu, dengan sahabat gue itu. Toh, gue masih bisa main dengan teman-teman lainnya. Tapi karena sikap Dessy, yang gue rasakan jauh berubah terhadap gue, sekarang ini. Dia udah nggak seperti dulu, sewaktu belum akrab dengan Aji. Sepertinya, dia berusaha menarik jarak diantara kita berdua. Sepertinya, dia nggak mau kalo kita berdua lebih akrab lagi bukan hanya sebagai teman atau sahabat biasa. Padahal… gue suka dia. Jujur, gue sayang dia dan ingin dia jadi cewek gue. Tapi Aji….”

Aku kaget. Rasanya aku tak percaya dengan apa yang baru saja kubaca. Dedi suka Dessy? Kenapa dia tidak… tidak…

Kamis, 23 Januari 1992:
“Setiap bertemu gue, Aji selalu membicarakan tentang Dessy. Tentang acara-acara kencan mereka, tentang respon-respon positif Dessy terhadapnya, tentang… pokoknya semua tentang mereka berdua, yang terdengar selalu menyenangkan. Sebagai sahabat yang baik, gue selalu berusaha menanggapi semua omongan Aji itu. Padahal sebenarnya… hati gue sakit. Asli sakit!”

Rabu, 29 Januari 1992:
“Sudah beberapa hari terakhir ini gue selalu menghindari Aji. Soalnya tiap kali ketemu, dia selalu membicarakan Dessy. Dan tiap kali pula perasaan perasaan jadi tambah sakit. Mungkin Aji merasa kalo gue menghindar dari dia, ya? Tapi gue rasa cuma itu jalan terbaik bagi gue untuk ngaak sampai merusak kebahagiaan sahabat gue itu.”

Minggu, 2 Februari 1992:
“Nanti malam, aji mau bilang terus terang kalo dia suka sama Dessy. Setiap bertemu gue, dia selalu membahas rncana itu. Gue berusaha untk mendengarkan dan menanggapinya. Sekedar untuk menyenangkan hatinya.”

Senin, 3 Februari 1992:
“Kemarin malam, dua kali Aji menelepon gue. Sekitar jam sebelas dan duabelas malam. Pasti dia mau menyampaikan berita tentang keberhasilan dia mendapatkan Dessy sebagai ceweknya. Karena itu gue jadi males buat nerima teleponnya itu. Gue suruh aja Bik Nah supaya bilang kalo gue belum pulang dari jalan-jalan dengan teman-teman basket gue. Dan hari ini, sudah tiga kali dia menelepon. Yang terakhir jam sembilan malam. Tapi gue masih merasa belum siap untuk berbicara dengannya, dan mendengar berita gembira buat dia itu. Gue tahu sikap gue ini salah. Mungkin dua atau tiga hari lagi, gue baru bisa. Dan pada saat itu….”

Aku buka halaman berikutnya.

“…. Gue nggak akan menipu Aji dan diri, serta perasaan gue lebih lama lagi dengan bersikap seakan-akan gue ikut senang dia jadi cowoknya Dessy. Gue akan berterus terang kepada sahabat gue itu tentang perasaan gue yang sebenarnya terhadap Dessy, dan gue akan meminta dia untuk melupakan persahabatan kita berdua selama ini. Kita hanya akan jadi sekedar temen biasa aja. Seperti halnya gue dengan Taufik, Joko, Makki, Branco, atau teman-teman gue lainnya. Memang kelihatnya gue egois, ya? Tapi tolonglah untuk mencoba mengerti gimana, sulitnya posisi gue sekarang ini. Gue nggak bisa tetap bersahabat dengan seseorang yang gue lihat setiap saat, setiap hari dan setiap waktu bermesraan dengan cewek yang juga gue benar-benar suka dihadapan gue….”

Aku menghela napas. Kenapa jadi begini, Di? Kenapa…. Kututup harian Dedi, dan kutaruh kembali ke tempat semula dengan hati-hati agar sahabatku itu tak curiga bahwa aku telah membacanya.

Jadi, itu sebabnya sikap Dedi terhadapku menjadi terasa aneh belakangan ini. Kenapa dia tak pernah mau membicarakan hal ini sejak dulu, saat aku aku mulai suka Dessy? Disaat segalanya masih belum terlambat untuk diubah? Andai saja dulu dia mau berterus terang kepadaku tentang hal ini, mungkin kita berdua bisa mencari pemecahan dari masalah ini.

Misalnya… kita berdua bisa perjanjian bahwa tak satupun diantara kita berdua yang akan jadi pacar Dessy. Aku yakin akan bisa mematuhi perjanjian semacam itu. Walaupun awalnya, mungkin, terasa berat bagiku. Tapi itu dulu. Sudah tak mungkin bagiku untuk membuat perjanjian semacam itu sekarang. Karena Dessy sudah menjadi pacarku. Dan aku benar-benar sayang padanya.

Tak akan mungkin bagiku untuk memutuskan hubungan kami sekarang dengan begitu saja. Aku yakin aku tak akan bisa, dan tak akan mau, melakukannya. Tapi bagaimana persahabatanku dengan Dedi yang sudah terjalin sejak kami di SD? Persahabatan yang tak akan mungkin, tak akan bisa dan tak akan mau juga kuputuskan dengan begitu saja?

Kepalaku tiba-tiba terasa pening. Oh Tuhan, tolonglah aku. Pilihanku hanya ada dua. Pacar atau sahabat. Dan aku tak tahu harus memilih yang mana. Karena aku tak mau kehilangan salah satu dari mereka berdua. Karena keduanya sangat berarti bagiku.

Aku tak tahu apa yang akan kukatakan jika bertemu Dedi nanti. Aku tak mau membohonginya, tapi aku juga merasa berat untuk mengatakan yang sebenarnya. Tiba-tiba aku merasakan kehadiran sosok lain dalam kamar Dedi. Dan saat aku menengok ke arah pintu…. “Ngapain loe bengong aja di kamar gue? Gue punya novel baru, tuh. Ceritanya tentang persahabatan yang putus karena kehadiran seorang cewek….”

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

IWAN LEMABANG

http://iwanlemabang.blogspot.com

www.facebook.com/iwan.lemabang

www.facebook.com/lemabang.2008