Senin, 21 Januari 2013

Firasat

"Tetapi tak bisa dijelaskan sebab akibatnya antara jatuhnya foto dengan kecelakaan yang akan menimpa orang dalam foto tersebut!"

Prang..! Tiba-tiba saja foto anakku yang tergantung di dinding ruang tamu jatuh. Sontak, seisi rumah kaget. “Foto Mas Budi jatuh!” seru si bungsu.

Istriku yang sedang menyapu, bergegas lari ke depan meninggalkan sapunya begitu saja. Entah berapa kali ia menyapu dalam sehari. Akhir-akhir ini rumah memang selalu berdebu, akibat kemarau dan tiupan angin yang cukup kencang.

Kebetulan juga rumahku menghadap selatan yang berarti melawan arah angin. Jadilah, tiap kali angin bertiup, tiap kali pula ribuan bulir debu masuk rumah. Hujan debu menderas menyusup ke tiap sudut.

“Ya Allah!” terdengar istriku setengah berteriak. “Ada kejadian apa ini?”Nada suara istriku terdengar sangat khawatir. “Mudah-mudahan nggak terjadi apa-apa!” Seperti berdialog dengan dirinya sendiri, istriku melanjutkan kata-katanya.

Tampak ia berusaha menenangkan diri, meskipun usahanya sering tidak membuahkan hasil. Ia memang mudah panik, cepat khawatir dan percaya pada hal-hal yang berbau takhayul.

Aku yang sedang duduk menikmati sore sambil membaca novel ‘9 Matahari’ beteman secangkir kopi hitam, terpaksa berhenti sejenak. Kulihat bingkai fotonya masih utuh, hanya kacanya yang pecah menjadi beberapa bagian. “Sudahlah, kau bereskan saja kacanya. Bungkus pakai kertas yang agak tebal agar tak melukai tukang sampah nantinya!“ Aku kembali duduk dan melanjutkan lagi membaca halaman yang tertunda. “Bingkai dan fotonya kau simpan saja dulu, nanti tinggal mengganti kacanya!”

“Kemana tadi Budi pergi, ya?” tanya istriku sambil membereskan pecahan kaca. Tak jelas kepada siapa dia bertanya. “Kamis sore kan jadwalnya main futsal!” Aku mencoba menjawab tanya istriku, tanpa mengalihkan perhatian dari halaman buku yang kian menarik saja.

“Itu aku tahu, tapi maksudku, dengan siapa dia?”

“Tadi Mas Budi pergi sama Ardi naik motor!” Si Bungsu ikut manjawab, hanya saja ia tak menyebutkan kemana kakaknya pergi, mungkin yang ia tahu hanya Ardi ke rumah dan pergi lagi dengan Budi.

“Apa? Sama Ardi? Ardi, anak yang suka ngebut itu? Yang bunyi knalpot motornya seperti helikopter rusak?” Istriku tampak makin khawatir. Ardi memang suka ngebut kalau bawa motor. Mungkin pengaruh suara knalpotnya yang sangat keras hingga memicu adrenalin untuk mamacu motornya dengan kencang. Tipe anak SMA sekarang. “Coba kau susul saja dia sekarang! Aku nggak mau terjadi apa-apa sama Budi!” “Ah, terjadi apa-apa gimana?Budi kan cuma main futsal, sudah biasa. Nggak usah terlalu khawatir!”

“Tapi, itu Pa…..itu fotonya jatuh! Kacanya pecah!” “Memang kalau fotonya jatuh kenapa? Apa hubungannya?”

“Itu petanda, Pak. Pertanda agar kita hati-hati dan siap untuk mencegah sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!”

Aku sangat yakin kalau foto itu jatuh akibat tiupan angin yang cukup kencang dari luar. Karena paku tempat mencantelkan bingkai terlalu kecil, maka bisa dipastikan tiap kali angin bertiup, tiap kali pula foto bergoyang dan akhirnya jatuh. Tapi penjelasan ini tak bisa diterima istriku. Ia yakin kalau angin yang masuk tak cukup kuat untuk menjatuhkan bingkai foto, dan mengapa tidak dari dulu-dulu foto itu jatuh, katanya.

“Kita berdoa saja, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa.” Aku mengalah.

“Tapi perasanku nggak enak, Pak. Seorang ibu punya perasaan lebih halus dibandingkan seorang bapak! Perasaan perempuan lebih peka, kalau laki-laki kebanyakan nggak punya perasaan!” “Cobalah kau hubungi dulu lewat HP-nya!”

Seperti baru saja tersadar, istriku langsung menyambar HP dan segera saja jari-jarinya sangat lincah memencet tombol keypad. Saat HP telah menempel di telinga, barulah ia sadar jika pulsanya telah habis. Ia pun segera saja menyambar HP-ku. Entah kebetulan atau apa, ternyata pulsaku juga habis, tak cukup untuk melakukan penggilan.

“Ya Allah, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dengan anakku! Kok, bisa HP dua-duanya nggak ada pulsanya. Semoga saja ini bukan pertanda buruk!” Istriku seperti menghibur diri, meskipun kelihatan makin panik.

“Sudahlah, nggak usah panik! Coba sms aja barangkali masih bisa!”

Sms-pun akhirnya terkirim. Tapi Budi tak kunjung membalasnya. Ditunggu semenit, dua menit, hingga seperempat jam tak ada jawaban juga. Tentu saja hal ini membuat istriku makin cemas.

“Kok, belum dibalas juga ya? Biasanya anak itu selalu cepat menjawab sms!”

“Mungkin saja dia sedang main, jadi nggak mungkin jawab sms! Atau bisa juga pulsanya habis sperti kita!”

“Jangan ngaco! Perasaanku makin nggak enak saja!”

Untung saja aku telah terbiasa dengan kecerewetan istriku, dengan keluhan-keluhannya yang kadang berlebihan hingga aku tetap tenang saja. Makin kutenggelamkan diriku dalam lembar-lembar halaman novel yang kiankuat menarikku ke dalam lingkaran kisahnya.

Tapi seperti peribahasa, batu yang keras sekali pun jika terus-menerus ditetesi air akan berlubang juga. Keluhan istriku tentang kekhawatiran nasib Budi telah mampu menarik mataku dari halaman- halaman novel, mampu mencabut hatiku dari kisah-kisah dramatis yang tersaji, mampu membagi pikiranku beralih keluar dari rangkaian peristiwa yang makin memikat.

“Cobalah kau susul saja Budi, agar pulangnya tak diboncengkan Ardi yang suka ngebut! Aku sangat khawatir, Pak! Nih, lihat keringat dingin keluar dan dadaku juga deg-degan!” Istriku berkata sambil memamerkan leher jenjangnya yang berhias bintik-bintik keringat.

Tentu saja aku enggan menuruti kemauannya, karena aku tahu pasti Budi sudah tidak suka lagi aku jemput dari tempatnya main. Entah itu main di rumah teman, main futsal, atau pulang ekskul di sekolah. Dia baru mau aku boncengkan kalau dari ruimah memang sudah bersamaku. Gara-garanya ia pernah diolok-olok teman-temannya sebagai anak kecil yang kalau main masih disuruh pulang. Lebih tragis lagi dianggap sebagai anak ayam yang kalau sore nggak masuk kandang akan dicari pemiliknya, karena dianggap nggak tahu jalan pulang. Oleh karenanya, aku tidak ingin Budi mendapat olok-olok lagi dari teman-temannya.

Aku maklum. Bahkan senang karena itu berarti ia tak lagi membebaniku. Anak sebesar dia memang sudah saatnya untuk belajar bertanggung jawab tehadap dirinya sendiri. Tidak bergantung pada orang lain. Meskipun akhirnya aku sendiri pusing dengan permintaannya untuk dibelikan motor.

“Cepatlah, Pak! Biasanya setengah jam lagi dia pulang! Kau harus sampai sebelum mereka selesai. Aku takut. Sekarang lalu lintas lagi ramai. Apalagi harus lewat jalur pantura dengan bus dan truk besar!”

Istriku kelihatan makin gusar, “Apa kau lebih peduli dengan novel sialan itu daripada nasib anak kita sendiri!”

Kata-kata istriku makin ngawur saja. Bolehlah ia tak suka membaca novel. Bolehlah ia tak suka membaca buku, tapi aku sama sekali tak suka dituduh tak peduli dengan keselamatan anakku. Apalagi ini hanya gara-gara firasat konyol yang tak bisa dijelaskan dengan nalar sehat! Memang semua kejadian ada rangkaian sebabnya, seperti hujan yang didahului mendung, gunung meletus ditandai dengan turunnya binatang ke bawah.

Tetapi tak bisa dijelaskan sebab akibatnya antara jatuhnya foto dengan kecelakaan yang akan menimpa orang dalam foto tersebut! Hal seperti itu hanya ada dalam sinetron, mungkin gara-gara sering nonton sinetron maka istriku seperti tak lagi bisa membedakan dunia nyata dan dunia rekaan di layar kaca. Kalau biasanya penulis naskah mengangkat kisah nyata ke dalam sinetron, maka istriku membuat yang sebaliknya menjadikan kisah sinetron menjadi skenario kehidupan nyata.

“Cepatlah, Pak kau susul dia! Perasaanku makin nggak enak. Sms juga belum dibalas sampai sekarang!” “Tenang Bu, nggak perlu gugup! Semua yang dikerjakan dengan terburu-buru hasilnya akan jelek!”

“Ini cepat Pak, bukan terburu-buru! Cepat berarti tidak lamban, kalau kita selalu lamban, kita akan ketinggalan terus, nggak akan kebagian apa-apa!”

Dengan sedikit niat untuk memperlambat tempo, aku mengulur waktu keberangkatan menjemput Budi dengan terlebih dulu membeli pulsa tak jauh dari rumah. Biar istriku bisa menelepon dan perasaannya bisa lebih tenang. Siapa tahu setelah itu aku bisa terbebas dari tugas menjemput Budi dari tempatnya bermain futsal. Hingga aku pun bisa terbebas dari rasa bersalah membuat Budi malu di hadapan teman-temannya.

Meskipun aku tak yakin setelah istriku bisa menelpon, aku akan tebebas dari tugas menjemput Budi. Sebab kekhawatiran istriku tidak hanya pada nasib Budi sekarang, tetapi yang utama adalah keselamatan Budi dalam perjalanan pulang nanti.

Begitulah, saat istriku mulai menghubungi Budi lewat telepon, aku berdoa dalam hati agar anakku ngomong sama ibunya kalau ia tak mau dijemput. Atau dia sudah dalam perjalanan pulang sehingga aku tak perlu lagi menjemputnya. Kini giliranku yang cemas. Bukan cemas karena foto Budi yang jatuh, tetapi mencemaskan isi obrolan lewat HP nanti.

“Nggak nyambung, Pak! Cobalah dengan HP-mu!”

Selesai kutekan nomor Budi, tak lama kemudian terdengar suara seorang wanita dari seberang sana, “ Nomor yang Anda tuju…..”

Sekarang aku tak tahu perasaan apa yang ada dalam hatiku.

Istriku makin panik.Padahal biasanya nomor-nomor kami sangat mudah dihubungi satu sama lain karena satu operator. Kebetulan yang aneh.

Berulang kali kami coba, tetap sama hasilnya. Kami seperti berlomba, seperti berharap menang undian, nomor siapa yang akan menjadi pemenang. Namun perlombaan usai tanpa pemenang. Kami terdiam sesaat. Diam sama-sama sebagai pecundang.

Selanjutnya mudah diduga, istriku langsung memintaku , oh, bukan meminta tapi lebih tepatnya menyuruhku segera berangkat menyusul Budi. Inilah salah satu kesulitan punya istri yang nggak bisa naik motor. Tidak bisa pergi sendiri. Kemana-mana selalu minta diantar. Tidak bisa gantian menjemput anak.Dan saat ini aku tak punya pilihan lain kecuali aku sendiri yang menjemput Budi. Tak bisa aku limpahkan ke istri.

Dengan sedikit berat hati aku berangkat menjemput Budi, bukan karena aku nurut atau karena takut terjadi apa-apa dengan Budi sebagaimana yang dipercayai istriku. Aku hanya tak ingin lagi mendengar omelannya, gerutuannya, atau keluhannya yang hanya membuat telinga panas.

Kupacu sepeda motor dengan kecepatan sedang, boleh dikata sangat lambat untuk ukuran orang yang dalam keadaan genting. Saat tiba di jalur pantura, mulailah terasa kalau aku benar-benar lambat memacu sepeda motor. Tidak hanya truk dan bus yang berdesing di sebelah kananku, tetapi motor-motor lain pun hanya menyisakan suara bising di telinga saat melintas.

Sampai di tujuan, aku langsung masuk halaman parkir , sambil mengamati motor yang berderet di tempat parkir. Begitu kulihat motor Ardi ada di situ, bukannya aku senang karena Budi belum pulang, tetapi aku malah bingung, tak enak hati. Bagaimana perasaan Budi nanti saat melihat aku disini? Bagaimana aku sendiri harus bersikap? Aku makin senewen, aku sebagai bapaknya kok malah tak bisa jelas bersikap. Apa yang harus aku jelaskan pada Budi kalau dia tanya mengapa aku menjemput? Haruskah kukatakan saja apa adanya tentang kekhawatiran ibunya, tentang ibunya yang menyuruhku menjemput, hingga bisa menghilangkan sedikit rasa bersalahku? Atau kupakai alasan lain, mau kuajak beli sesuatu di toko, misalnya.

Belum sempat aku memutuskan harus bagaimana, belum sempat aku mematikan mesin motor yang ternyata masih menyala, Budi dan teman-temannya keluar bermandikan peluh. Wajah mereka tampak kemerahan , rambutnya masih basah oleh keringat, dan sorot matanya menampakan kegembiraan. Namun kegembiraan Budi seketika berubah, air mukanya menjadi penuh tanda tanya. Pancaran keriaannya berubah menjadi suram. Apalagi setelah terdengar koor teman-temannya…,”Anak babeh, nih….”

Aku sama sekali tak tega mendengar gurauan teman-temannya yang bernada mengolok-olok. Tapi apa boleh buat, semua harus aku dengarkan. Segera Budi kusuruh naik dan motor aku jalankan. Kali ini dengan kecepatan penuh. Ingin rasanya meninggalkan tempat yang sebentar saja telah membuatku merasa bersalah. Kulewatkan semuanya bersama angin yang menderu deras di wajah. Berpapasan dengan angin membuatku merasa lebih nyaman. Aku juga merasa lebih lega karena trnyata kekhawatiran istriku sampai detik ini tak terbukti.

Aku melaju di atas aspal mulus, tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut kami. Kami seperti dua orang asing dalam ruangan yang sama, berdekatan tapi tak tahu harus berkata apa. Aku hanya sibuk mengembara dengan pikiranku sendiri. Aku pun sangat yakin kalau Budi berbuat hal yang sama. Meskipun demikian, kedua tanganku tak salah mengendalikan stang, mungkin karena jalannya sering aku lalui hingga motorku pun seperti punya mata sendiri mengarahkan roda kemana harus berputar.

Hingga tiba di sebuah tikungan, aku kaget ketika ada anak kecil bersepeda agak ke tengah jalan. Untunglah, meskipun motor dalam kecepatan tinggi, aku masih sempat menghindar. Namun, karena terlalu lebar ke kanan, aku tak lagi mampu menghindari sebuah mobil yang melaju tepat ke arah kami.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Aku bertanya-tanya dalam hati. Mengapa aku berbaring di ruang ini? Seperti rumah sakit!

Tegal, Januari 2012

Sumber : Kompas