Jumat, 28 Desember 2012

Hening di Ujung Senja

Hening di Ujung Senja
Cerpen: Wilson Nadeak

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua?

”Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu.

Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. ”Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. ”Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. ”Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. ”Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.”Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. ”Kalau begitu, kau si Tunggul?”

”Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.

Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. ”Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. ”Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. ”Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”

”Akan kupikirkan,” kataku. ”Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.

Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, ”Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.

Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, ”Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.”

”Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.

Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan.

Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus kehidupan.

Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.

Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota ”Y”.

Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke tempat istirah.

Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.

Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk.

Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.

Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.

Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.

Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya.

Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali bersama orang tua.

Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.

Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan: Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing.

Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika penguburannya.

Ibu Maria meninggal mendadak.

Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat....

Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku?

Aku tepekur.

Hening di ujung senja.

Kompas | Editor : Jodhi Yudono | Senin, 16 Juli 2012 | 20:40 WIB

Kabut Neraka

Kabut Neraka
Cerpen: Danarto

Tubuh-tubuh dilumatkan, rumah-rumah dikunyah-kunyah. Pasar-pasar dihancurkan, masjid yang indah diledakkan. Apa saja yang tegak di atas tanah harus dilumatkan dari penciuman bumi, dari arang kehidupan, demi wajah dan kemenangan. Permusuhan antara Sunni lawan Syiah semakin membara ketika tiba-tiba di Baghdad, Irak, muncul kabut hitam pekat yang besar sekali, diam tak bergerak, mengambang di udara. Golongan Sunni menganggap kabut hitam itu rekayasa Syiah untuk mengacaukan situasi, sedang golongan Syiah menuduh Sunni menciptakan kabut hitam untuk menggagalkan upaya perdamaian.

Sementara itu tentara-tentara Amerika menyebut kabut hitam raksasa itu sebagai “Kabut Neraka.” Mereka, serdadu-serdadu Amerika, menjadikan Kabut Neraka sebagai hiburan. Hiburan baru yang mengasyikkan. Mereka berjingkrak-jingkrak sambil mengacung-acungkan lembaran uang, mendendangkan lagu-lagu rock favoritnya sambil berteriak-teriak, “Poverty is their kitchens. Held hostage by oil-for-food,” serta menembak-nembakkan senapan ke arah kabut uring-uringan.

Dalam situasi kesetanan yang penuh tanda tanya, miris, keheranan, juga ketegangan karena pernah seorang tentara Amerika memasuki kabut itu dan tak pernah keluar lagi. Dalam keadaan ketakutan dan penasaran, tentara yang lain berlari kencang menerobos ke dalam kabut itu.... ditelan.... juga tak pernah keluar lagi.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Tentara-tentara yang lain dengan humpee yang dikebut menerabas ke dalam kabut itu. Lagi-lagi kendaraan roda empat dengan empat orang tentara penumpangnya tak pernah nongol kembali untuk selama-lamanya. Hanya dalam waktu beberapa hari, Kabut Neraka, nama yang sexy, yang diberikan tentara paling muda dari Ohio, Long John Potomosth namanya, yang suka membanyol, menjadi gelanggang taruhan yang spektakuler. Para prajurit bertaruh dengan uang untuk siapa saja yang berani memasuki kabut itu dan keluar kembali dengan selamat. Sudah sebelas orang tentara menghambur ke dalamnya dan lenyap. Sebuah arena pertempuran baru yang sangat menantang, yang sangat mengasyikkan, dan sangat menakutkan. Akhirnya hari-hari peperangan yang sebenarnya sudah tidak menarik lagi. Bom-bom bunuh diri menjadi berita yang dilupakan.

Wartawan-wartawan dari dalam dan luar negeri tumplek-blek di kawasan kabut itu. Mereka membangun tenda-tenda mengelilingi kabut itu. Para jurnalis dengan bersemangat melaporkannya ke surat kabar, majalah, dan kantor-kantor berita yang menugasinya. Termasuk berita-berita tentang kegilaan tentara-tentara Amerika yang kesetanan bagai kena sihir kabut itu.

Rupanya tentara-tentara Amerika malah berjumpalitan dibilang kesurupan oleh kabut itu, bahkan ada yang minta dituliskan dengan kata-kata yang lebih kejam lagi.

Para redaktur akhirnya menuduh para wartawannya tidak lebih waras. Sejumlah ulama Sunni dan Syiah dari berbagai negeri berdatangan menyaksikan betapa kabut itu mengerikan bagai dikirim dari neraka jahanam. Para ulama menyatakan bahwa kabut itu merupakan akumulasi penderitaan rakyat Irak yang lebih menyedihkan dari peperangan maupun pembantaian. Betapa kabut itu memiliki kekuatan yang besar untuk menggagalkan upaya-upaya perdamaian. Lalu kedua golongan ulama mengirim rekomendasi kepada PBB agar menaruh perhatian yang lebih besar lagi kepada keselamatan dan kesejahteraan rakyat Irak. Juga negara-negara Barat diminta dengan sungguh-sungguh menyelamatkan Irak supaya tidak menjadi negara gagal.

Ketika komandan menyaksikan pertandingan itu, komandan yang bertanggung jawab atas keselamatan bala tentaranya akhirnya melarang permainan judi dan menutup gelanggang tersebut. Komandan mengisolasi kabut hitam pekat itu dengan memagarinya dengan kawat listrik dan dijaga ketat tiap sisi-sisinya agar tentara-tentara tidak nekat lagi terjun ke dalam Kabut Neraka. Sudah sebanyak 150 batang lebih kendaraan rongsokan, tank, helikopter, jip, panser, mobil, humpee, didorong masuk ke dalamnya dan dicoba dikait kembali dengan pengungkit, namun sia-sia, semuanya lenyap.

Para ulama kedua golongan kemudian menggelar doa bersama memohon dibukakan pintu gerbang pengetahuan tentang benda yang musykil itu. Begitu juga para pakar dari Pentagon dan badan-badan riset nasional tentara koalisi dari berbagai negara turun tangan melakukan investigasi terhadap gejala yang aneh dan menarik itu.

Foto-foto Kabut Neraka kemudian beredar di seluruh dunia dan menjadi topik perbincangan di acara-acara televisi, radio, maupun diskusi-diskusi terbuka oleh para ahli maupun anak-anak muda yang selalu ingin mencari sesuatu yang baru. Berminggu-minggu sampai berbulan-bulan para ulama dan para ahli yang menetap di Baghdad menyelidikinya tetapi tidak mendapatkan jawaban.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Kawasan Kabut Neraka di kemudian hari menjadi kawasan wisata bagi para wisdom (wisatawan domestik) dan wisman (wisatawan mancanegara) yang cukup memiliki keberanian untuk tidak ambil peduli terhadap kancah peperangan yang setiap saat bergolak. Di kemudian hari tidak ada yang bisa dilihat di kawasan itu kecuali pagar yang menjulang tinggi untuk menutup kabut hitam pekat itu. Termasuk anak-anak yang mencoba mengintip-intip yang tentu saja diusir oleh para penjaga karena kawat yang memagari itu dialiri listrik.

Mengingat kawasan itu berbahaya, lalu komandan kawasan itu meneutupnya untuk umum. Namun demikian, tangan-tangan jail yang ingin hiburan, meledakkan pagar kawat listrik yang mengelilingi kabut itu sehingga hancur berantakan dan tampaklah lagi kabut dengan perkasa mengambang di udara.

Para prajurit Amerika bersorak kegirangan sambil menembak-nembakkan senapannya. Acara perjudian pun dimulai lagi dan komandan hanya bisa geleng-geleng kepala. Kenyataannya, suasana menjadi meriah kembali. Kabut Neraka memang menakutkan tapi juga menyenangkan. Dua sisi karakter kabut itu begitu memesona yang tak berbanding oleh keajaiban apa pun yang tergelar di dunia dewasa ini.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Bermula dari anak-anak kecil yang bermain bola terkesiap menatap kabut kental yang tiba-tiba saja muncul di atas kepala mereka. Seorang anak Irak yang punya sahabat seorang tentara Amerika memberi tahu tentang kabut aneh itu. Si tentara Amerika mendatangi dan menatap dengan terbengong-bengong kabut hitam itu. Ia mendekati kabut tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba sebatang tank meloncat menabrak kabut dan ditelan ke dalamnya. Serta-merta tentara itu menghardik anak-anak supaya menjauh dari kabut. Sebatang helikopter yang lain meloncat menabrak kabut dan lenyap pula ke dalamnya. Semua ternganga-nganga. Beberapa anak menangis sambil berlari menjauh.

Tak lama kemudian beberapa orang tua, laki-laki dan perempuan, gadis-gadis, berdatangan ke tempat kabut itu. Seorang ibu menangis meneriakkan, “Allahu Akbar!” lalu terduduk seperti tersihir menatap kabut itu dengan tajam. Ketika terjadi revolusi sosial di Yaman, Mesir, Libya, Tunisia, Siria, kabut itu masih dengan tenang mengambang di udara Irak yang kemudian menarik kedatangan Raja Abdullah dari Yordania dan Presiden Ahmadinejad dari Iran. Lalu disusul kedatangan Alwi Shihab, penasihat Presiden Yudhoyono; dan Muhammad Said Agil Shiradj, ketua umum PB NU; Gus Mus, seorang sufi seniman; Yenny Wahid dari Wahid Institute; Nurul Arifin dari Golkar; Siti Musdah Mulia, seorang sufi perempuan reformis; Ahmad Syafii Maarif yang disanjung sebagai Bapak Bangsa; serta Habib Lutfi, seorang ulama sufi Indonesia yang memiliki pengikut sekian juta; juga sejumlah ulama sufi dari berbagai negeri. (*)

Parade Cerpen Ramadhan

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 15 Juli 2012

Pohon Zakaria

Cerpen: Dadang Ari Murtono

Ia tidak tahu kenapa bapaknya mengikuti Zakaria. Ia masih kecil benar ketika itu. Bapaknya berkata sebelum berangkat. "Nanti kalau bapak sudah pulang, kita main petak umppet lagi." Dan ia menunggu. Apakah bapaknya juga menjanjikan hal yang sama kepada ibunya? Apakah bapaknya juga akan mengajak ibunya bermain petak umpet? Namun sepanjang ingatannya, ibunya tidak pernah suka bermain petak umpet. Ibunya akan selalu memanggilnya untuk pulang dengan berbagai macam alasan.

"Sudah surup, shalat Maghrib dulu!" teriak ibunya ketika ia bersembunyi di balik pohon mangga dan temannya yang kebagian tugas celingukan hampir putus asa terus-terusan gagal menemukan tempat persembunyiannya. Ia mendengus kesal. Ia memasang tampang jengkel sambil keluar dari tempat persembunyiannya. Gara-gara teriakan ibunya, temannya jadi tahu tempat persembunyiannya. Ia ppenyembunyi yang baik. Jarang sekali ia tertangkap ketika bermain petak umpet.

"Tak banyak anak kecil keluar rumah saat Maghrib tiba. Nanti bisa digondol wewe dan disembunyikan di rumpun bambu," tambah ibunya sambil menggandeng paksa tangannya untuk segera pulang.

Bapaknya pergi dn membawa parang dan kampak. Ia ingat benar bagaimana pada hari sebelum keberangkatan bapaknya, bapaknya mengasah baik-baik dua benda kesayangan bapaknya itu. "Dengan ini bapak mencari uang. Dan uang itu untuk kebutuhanmu bersama ibumu," kata bapaknya.

"Bapak pergi dengan siapa?" tanyanya waktu itu. Dan ibunya, sambil menyiapkan nasi kepal berisi abon sapi untuk bekal bapaknya, menjawab dengan senyum. "Tentu saja dengan pergi dengan Zakaria. Tidak ada penebang pohon yang lebih baik dari Zakaria. Zakaria akan memastikan bapakmu dapat banyak kayu tebangan, itu artinya kamu bisa ikut berwisata bulan depan bersama kawan-kawan sekolahmu.

Ia tidak tahu perihal tebang menebang. Ia hanya tahu perihal petak umpet. Perihal mencari tempat yang aman, yang tak bakal bisa ditemukan temannya yang kebagian tugas menjaga. Dan apakah Zakaria tahu perihal petak umpet?

"Kenapa bapak tidak pulang-pulang, bu?" tanyanya sambil menguap. Sudah beberapa hari semenjak kepergian bapaknya? Entalah. "Apakah bapak sedang bermin petak umpet dengan Zakaria?" tanyanya lagi. Ibunya diam saja. Namun jauh kedalaman mata ibunya, ia melihat sebuah telaga. telaga yang sepertinnya kian lama kian penuh airnya. Telaga dengan tepi-tepi yang tak bakal lagi muat menampung air dan siap meluber.

Ia sering berpikir bahwa Zakaria bukanlah orang yang tahu artinya ditunggu. Atau barangkali, memang tidak ada satu pun orang yang menunggu Zakaria di rumahnya. Menunggu untuk bermain petak umpet. Apakah Zakaria orang yang kesepian? Itukah sebabnya, kesepian itu, yang membuat Zakaria mengajak bapaknya pergi menebang pohon ke hutan dan tak membawa bapaknya pulang?

Namun zakaria tidak pulang-pulang. Dengan begitu, bapaknya juga tidak pulang-pulang. Dan ia serta ibunya, juga mesti menunggu lagi. Sudah berapa abad? Bahkan ia sudah tak ingat lagi hal itu. Ia sudah tidak tahu lagi. Sama dengan ketidaktahuannya mengapa bapaknya mesti mengikuti Zakaria pergi. Namun dalam hati ia berjanji. Pada suatu waktu, ketika ia sudah cukup besar dan bearani pergi ke hutan, ia akan menyusul bapaknya ke hutan. Ia juga akan membawa kampak dan parang. Ia juga akan menebang pohon. Pohon-pohon yang tumbuh menghalangi jalan bapaknya untuk pulang.

Sungguh, ia merasa tak ada lagi orang di dunia yang makan lebih banyak garam dari ia dan ibunya. Suatu kali, ia bertanya kepada ibunya. "Kenapa ibu tidak lagi menggoreng mujair?" Ibunya, dengan tersenyum dan mengelus rambutnya berkata. "Tidak ada lagi kayu bakar yang bisa dijual, nak. Dan bapakmu tidak juga pulang."

Pada waktu itu, ia begitu membenci Zakaria. Kalau saja bapaknya tidak mengikuti Zakaria, bapaknya pasti akan segera pulang membawa tebangan kayu. Kayu yang bisa dijual sebagai kayu bakar.

Sungguh tekadnya sudah semakin bulat. Ia harus pergi ke hutan. Menyusul bapaknya. Dan berkata kepada Zakaria. "Biarkan bapak pulang. Ibu sudah bosan makan garam."

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Zakaria memang bukan seorang pemain petak umpet yang baik. I tidak habis pikir bagaimana masa kecil Zakaria. Barangkali Zakaria memang tidak pernah barmain petak umpet sewaktu kecil. Ah, kasian. Masa Zakaria pastilah bukan masa kecil yang menyenangkan. Zakaria pastilah anak yang kuper. Barangkali Zakaria kecil menghabiskan waktu sepanjang hari untuk membaca buku dan kitab-kitab tua di kamarnya ketika anak-anak sebayanya bermain petak umpet, belajar sembunyi dan berlari.

Barangkali karena itu pula Zakaria tumbuh menjadi lelaki yang tersendiri. Lelaki yang kesepian. Lalu memutuskan mengajak bapaknya ke hutan Zakaria menjengkelkan! Kenapa bapaknya mau mengikuti ajakan lelaki seperti itu? Tidak tahukah bapaknya bahwa ia dan ibunya berabad-abad menunggu? Dan seandainya Zakaria menghabiskan masa seperti ia enghabuskan masa kecil, pasti hal seperti ini tidak akan terjadi. Pasti Zakaria akan membawa bapaknya pulang.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Cerita itu pada akhirnya sampai kepadanya. Entah siapa yang pertama kali mengisahkan. Ia mendengar dari ibunya. "Tiba-tiba, polisi hutan berdatangan ke hutan itu. Menangkap siapa-siapa yang menebang pohon. Menangkap mereka-mereka yang mencari kayu bakar."

"Karena itu, semua pencari kayu bakar mesti ditangkap. Tapi Zakaria orang yang keras hati. Ia mengajak bapakmu. Zakaria bilang peraturan pemerintah itu adalah upaya pembunuh secara perlahan-lahan terhadap orang-orang yang mata pencahariannya mencari kay bakar. SEperti bapakmu. Seperti Zakaria sendiri. Dan itu harus dilawan. Peraturan yang membunuh, tidak boleh dituruti. Penguasa yang lalim dengan mengabaikan nasib rakyatnya, harus dibantah. Maka dia pergi. Bersama bapakmu. Pergi dan tak kembali."

Ah,seandainya Zakaria pernah bermain petak umpet, pasti ia akan menemukan tempat persembunyian yang baik ketika para polisi itu mengejar Zakaria dan bapaknya. Pasti Zakaria tidak akan masuk ke pohon itu. Iti tempat persembunyian yang buruk.Para polisi itu dengan mudah mengetahui keratan di batang pohon yang digunakan Zakaria untuk masuk ke dalam batang pohon itu.

Dan begitulah. Dengan mudah pula, para polisi itu menemukan pohon persembunyian Zakaria. Tentu saja bukan getah yang mengalir dari pohon tersebut. Melainkan darah Zakaria. Zakaria yang tubuhnya terpotong menjadi dua serupa pohon yang tertebang.

Namun tidak ada kabar perihal bapaknya. Apakah bapaknya juga bersembnyi di dalam pohon serupa Zakaria? Bapaknya, walau tidak jago, namun pernah bermain petak umpet. Bapaknya pasti sedang bersembunyi. Sudah berabad-abad bapaknya bersembunyi. Dan kini ia, harus bersiap. Ia harus menjemput bapaknya. Ia sudah lelah menunggu. Ia kasian melihat ibunya bertambah kurus memikirkan nasib bapaknya. Ia akan pergi.

"Berhati-hatilah Yahya," kata ibunya. (*)

Parade Cerpen Ramadhan

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 29 Juli 2012