Cerpen: Sunaryono Basuki Ks
Tiba-tiba golok berdarah sudah berada di tanganku. Aku tidak tahu dari mana datangnya, namun orang-orang menunjuk ke arahku dan mulai bergerak setelah terdengar teriakan: "Itu jambretnya! Tangkap!" Gelombang orang-orang yang merangsek ke arahku. Tanpa kuinginkan, tangan kananku yang memegang golok terangkat ke atas.
Darah makin melumuri tanganku, sesaat rombongan orng yang tadinya merengsek maju terhenti, namun seseorang berteriak: "Jangan takut! Ayo maju bersama. Ambil tongkat besi! Ambil!" Mereka mulai mencari-cari di tong sampah, di got, di halaman toko, apa saja yang bisa yang bisa mereka pakai sebagai senjata. Tapi lelaki yang tadi berteriak malah sudah memegang pedang panjang. Dari mana dia mendapatkannya? Aku tak sempat berpikir panjang sebab mereka sudah mulai merangsek maju dan mulai mencapai tubuhku, dan memukuliku dengan tongkat dengan apa saja yang bisa dipakai memukul, dan tangan kiriku meraba kepalaku yang bersimbah darah, dan kemudian aku tidak tahu apa aku pingsan atau mati.
Kulihat tubuhku terjatuh di tanah, mereka tetap memukuliku bertubi-tubi, walau aku tidak melawan. Kemudian, kukira aku berbisik: "Apa salahku? Aku tidak berbuat apa-apa." Jangankan bisik, andaikata aku mampu berteriak pun pasti mereka tidak mampu dan tidak mau mendengarku. Yang penting mungkin bagi mereka melampiaskan rasa kesal mereka pada tubuhku, pada diriku yang memegang golok berdarah.
Tapi, bukankah aku tidak tahu dari mana golok berdarah itu berada di tanganku? Tiba-tiba dan begitu saja. Pasti mereka jengkel, hampir setiap hari terjadi penodongan, penusukan, pemerkosaan, dan semuanya menjadikan masyarakat resah kehilangan rasa aman. Polisi tidak mampu mengatasi hal ini, selalu kecolongan aksi-aksi para penjahat itu. Tetapi, aku bukan penjahat. Hanya saja aku tidak punya pekerjaan tetap.
Kalau ada kesempatan, aku memulung sampah-sampah kardus yang dapat kujual pada pengumpul. Namun aku tak punya niat atau keberanian buat membunuh orang dengan golok berdarah yang tiba-tiba berada di tanganku. Sekarang entah tubuhku terbaring di jalan atau ngambang di awang-awang. Aku tidak yakin. Apakah aku berada di rumah sakit, tetapi siapa yang peduli membawa tubuhku ke rumah sakit? Ataukah aku berada di kamar jenazah dan mati sebagai Mr X sebab aku memang tidak punya KTP.
Aku lihat seorang lelaki yang baru meakukan penusukan dengan cepat mengalihkan itu ke tangan seorang lelaki berpakaian kumuh yang sedang mengorek-ngorek tong sampah mencari sisa-sisa yang masih dia bisa dikais. Peristiwa itu berlangsung cepat, aku hampir tak mampu mengawasinya andaikata aku tidak berada di depan jendela lantai dua bangunan itu. Dengan jelas aku lihat lelaki yang menusuk seorang perempuan tua dengan golok, entah apa yang dia kehendakinya.
Ya, baru jelas, dia menjabret kalung perempuan yang berteriak itu yang segera dibungkam dengan sabetan golok yang membuatnya berlumuran darah. Kulihat perempuan itu rebah ke tanah, namun lelaki yang mengais tong sampah itu tiba-tiba memegang golok berdarah di tangannya, dan menjadi sasaran amuk massa. Aku ingin meneriakkan ari atas sini bahwa dia tidak bersalah, dan bahwa lelaki yang berteriak rampok itulah pelaku yang sesungguhnya. Namun, andaikata aku berteriak pun akan sia-sia dan tak akan mampu menahan gelombang amarah massa. Apalagi kalau pelaku sesungguhnya marah danmenuduhku sebagi komplotan pembunuh.
Oh, tidak. Aku tidak mau membahayakan diriku sendiri dengan menerima ancaman golok sewaktu-waktu. Siapa yang bisa memastikan bahwa pelaku penjambretan itu hanya seorang diri saja? Aku yakin mereka tidak pernah beroperasi sendirian. Pasti, paling tidak bertiga atau berempat. Klau kelihatnya pelaku hanya seorang, maka yang lain berjaga-jaga, sewaktu-waktu bisa menghujamkan golok atau pisaunya ke perut orangg yang membahayakan nasib mereka sebagi kelompok. Bahkan polisi pun bisa jadi korban penusukan. Mungkin itu sebabnya petugas polisi tidak sembarangan bertindak.
Dia selalu awas dan mengawasi situasi, siapa tahu di antara kerumunan massa ada yang membawa sajam, dan kemudian menerkamnya dari belakang. Aku terpaku bagai patung kayu di depan jendela, tak bisa menggerakkan lidahku untuk meneriakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan itu. Aku hanya bisa menyaksikan ketidakbenaran dan ketidakadilan dari jendela rumah bertingkat dua itu tanpa berbuat apa, bagaikan saksi situasi yang menimpa negeriku. Berbagai peristiwa hanya bisa disaksikan tanpa bisa meluruskannya. Ya, sekarang ini siapa yang mampu meluruskan jalannya sejarah, atau apakah memang sejarah punya puya jalan yang harus diluruskan? Aku benar-benar tidak tahu dan tidak mampu.
Aku berada di keramaian kota yang sudah biasa kujalani, dan aku juga sudah biasa waspada, memperhatikan orang-orang di sekelilingku yang gelagatnya mencurigakan. Sebagaimana biasa aku pergi ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari buat keluargaku. Aku bukanlah orang kaya. Suamiku hanyalah hanyalah seorang PNS kecil dari departemen yang mustahil melakukan korupsi, apalagi sampai menggelapkan pajak. Namun, aku bersyukur telah diberi kehidupan walaupun secara sederhana.
Karena suami dan anak-anakku belajar dan diajari hidup jujur, maka sering pula aku beranggapan bahwa semua orang seperti kami, yang hidup dengan bersyukur dan berjalan pada jalur yang benar. Namun, hari ini mungkin hari sialku, atau muungkin sudah berupakan buah dari hasil perbuatanku, atau perbuatan orang tua ku, atau perbuatan leluhurku yang harus kupetik. Orang Bali percaya pada hukum karmaa pala hukum buah perbuatan. Dan, walaupun aku bukan orang Bali, aku juga percaya pada hukum ini. Bukanlah esensi agama mengajari manusia berbuat baik? Benih yang ditebar tidak akan tumbuh sebagai tanaman yang berbeda. Menebar benih padi akan menuai padi. Biji salak akan menumbuhkan tanaman salak yang kulitnya bersisik namun buahnya masam manis.
Entah dari mana, tiba-tiba sebuah tangan terjulur dan menjabret kalungku. Kudengar bisik keras: "Jangan berteriak! Namun mulutku terbuka, dan sebelum sepatah kata keluar, sebilah golok menyambar leherku. Darah muncrat, namun aku masih mengenali lelaki yang menyambarkan golok itu. Lalu, orang-orang memburu seorang lelaki yang tangannya memegang golok berdarah dan menghajarnya. Aku ingin meneriakkan bahwa bukan dia yang menjabret kalungku, namun aku tak berdaya, dan kemudian aku mungkin jatuh pingsan. Kasihan lelaki malang itu, yang juga sedang menanggung buah perbuatannya. Aku tak berdaya.
Aku sedang berpatroli dengan sepeda motor HD sebagi petugas polisilalu lintas. Kulihat orang bergerombol menghajar seseorang, dan aku segera menelpon petugas lain untuk datang membantu. Walaupun aku bukan polisi anti huru-hara, sebagai polisi pelindung rakyat aku turun dari sepeda motorku dan meniup peluit untuk menarik perhatian massa yang mengamuk. Namun, nampaknya mereka tak peduli. Kulihat seorang lelaki sudah terkapar di jalan aspal. Tangannya memegang golok berdarah. Jalanan macrt. Kemudian juga, seorang perempuan tergeletak di jalanan. Mungkin dialah korban dari golok berdarah itu.
Aku segera mengatur lalu lintas agar tidak macet. Ambulance yang kupanggil segera datang, bunyi sirinenya meraung-raung dan dua orang korban itu segera dianggkat pergi, dikawal petugas polisi yang datang. Entah bagaimmana nasib mereka. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja dan persoalannya dapat diurus secara hukum. Beberapa orang sudah ditanyai sebagai saksi oleh rekan-rekan polisi yang datang. Setelah melapor melalui telepon, aku memacu motorku menuju rumah sakit, memburu ambulance yang meraung lebih dahulu. (*)
Tiba-tiba golok berdarah sudah berada di tanganku. Aku tidak tahu dari mana datangnya, namun orang-orang menunjuk ke arahku dan mulai bergerak setelah terdengar teriakan: "Itu jambretnya! Tangkap!" Gelombang orang-orang yang merangsek ke arahku. Tanpa kuinginkan, tangan kananku yang memegang golok terangkat ke atas.
Darah makin melumuri tanganku, sesaat rombongan orng yang tadinya merengsek maju terhenti, namun seseorang berteriak: "Jangan takut! Ayo maju bersama. Ambil tongkat besi! Ambil!" Mereka mulai mencari-cari di tong sampah, di got, di halaman toko, apa saja yang bisa yang bisa mereka pakai sebagai senjata. Tapi lelaki yang tadi berteriak malah sudah memegang pedang panjang. Dari mana dia mendapatkannya? Aku tak sempat berpikir panjang sebab mereka sudah mulai merangsek maju dan mulai mencapai tubuhku, dan memukuliku dengan tongkat dengan apa saja yang bisa dipakai memukul, dan tangan kiriku meraba kepalaku yang bersimbah darah, dan kemudian aku tidak tahu apa aku pingsan atau mati.
Kulihat tubuhku terjatuh di tanah, mereka tetap memukuliku bertubi-tubi, walau aku tidak melawan. Kemudian, kukira aku berbisik: "Apa salahku? Aku tidak berbuat apa-apa." Jangankan bisik, andaikata aku mampu berteriak pun pasti mereka tidak mampu dan tidak mau mendengarku. Yang penting mungkin bagi mereka melampiaskan rasa kesal mereka pada tubuhku, pada diriku yang memegang golok berdarah.
Tapi, bukankah aku tidak tahu dari mana golok berdarah itu berada di tanganku? Tiba-tiba dan begitu saja. Pasti mereka jengkel, hampir setiap hari terjadi penodongan, penusukan, pemerkosaan, dan semuanya menjadikan masyarakat resah kehilangan rasa aman. Polisi tidak mampu mengatasi hal ini, selalu kecolongan aksi-aksi para penjahat itu. Tetapi, aku bukan penjahat. Hanya saja aku tidak punya pekerjaan tetap.
Kalau ada kesempatan, aku memulung sampah-sampah kardus yang dapat kujual pada pengumpul. Namun aku tak punya niat atau keberanian buat membunuh orang dengan golok berdarah yang tiba-tiba berada di tanganku. Sekarang entah tubuhku terbaring di jalan atau ngambang di awang-awang. Aku tidak yakin. Apakah aku berada di rumah sakit, tetapi siapa yang peduli membawa tubuhku ke rumah sakit? Ataukah aku berada di kamar jenazah dan mati sebagai Mr X sebab aku memang tidak punya KTP.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aku lihat seorang lelaki yang baru meakukan penusukan dengan cepat mengalihkan itu ke tangan seorang lelaki berpakaian kumuh yang sedang mengorek-ngorek tong sampah mencari sisa-sisa yang masih dia bisa dikais. Peristiwa itu berlangsung cepat, aku hampir tak mampu mengawasinya andaikata aku tidak berada di depan jendela lantai dua bangunan itu. Dengan jelas aku lihat lelaki yang menusuk seorang perempuan tua dengan golok, entah apa yang dia kehendakinya.
Ya, baru jelas, dia menjabret kalung perempuan yang berteriak itu yang segera dibungkam dengan sabetan golok yang membuatnya berlumuran darah. Kulihat perempuan itu rebah ke tanah, namun lelaki yang mengais tong sampah itu tiba-tiba memegang golok berdarah di tangannya, dan menjadi sasaran amuk massa. Aku ingin meneriakkan ari atas sini bahwa dia tidak bersalah, dan bahwa lelaki yang berteriak rampok itulah pelaku yang sesungguhnya. Namun, andaikata aku berteriak pun akan sia-sia dan tak akan mampu menahan gelombang amarah massa. Apalagi kalau pelaku sesungguhnya marah danmenuduhku sebagi komplotan pembunuh.
Oh, tidak. Aku tidak mau membahayakan diriku sendiri dengan menerima ancaman golok sewaktu-waktu. Siapa yang bisa memastikan bahwa pelaku penjambretan itu hanya seorang diri saja? Aku yakin mereka tidak pernah beroperasi sendirian. Pasti, paling tidak bertiga atau berempat. Klau kelihatnya pelaku hanya seorang, maka yang lain berjaga-jaga, sewaktu-waktu bisa menghujamkan golok atau pisaunya ke perut orangg yang membahayakan nasib mereka sebagi kelompok. Bahkan polisi pun bisa jadi korban penusukan. Mungkin itu sebabnya petugas polisi tidak sembarangan bertindak.
Dia selalu awas dan mengawasi situasi, siapa tahu di antara kerumunan massa ada yang membawa sajam, dan kemudian menerkamnya dari belakang. Aku terpaku bagai patung kayu di depan jendela, tak bisa menggerakkan lidahku untuk meneriakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan itu. Aku hanya bisa menyaksikan ketidakbenaran dan ketidakadilan dari jendela rumah bertingkat dua itu tanpa berbuat apa, bagaikan saksi situasi yang menimpa negeriku. Berbagai peristiwa hanya bisa disaksikan tanpa bisa meluruskannya. Ya, sekarang ini siapa yang mampu meluruskan jalannya sejarah, atau apakah memang sejarah punya puya jalan yang harus diluruskan? Aku benar-benar tidak tahu dan tidak mampu.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aku berada di keramaian kota yang sudah biasa kujalani, dan aku juga sudah biasa waspada, memperhatikan orang-orang di sekelilingku yang gelagatnya mencurigakan. Sebagaimana biasa aku pergi ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari buat keluargaku. Aku bukanlah orang kaya. Suamiku hanyalah hanyalah seorang PNS kecil dari departemen yang mustahil melakukan korupsi, apalagi sampai menggelapkan pajak. Namun, aku bersyukur telah diberi kehidupan walaupun secara sederhana.
Karena suami dan anak-anakku belajar dan diajari hidup jujur, maka sering pula aku beranggapan bahwa semua orang seperti kami, yang hidup dengan bersyukur dan berjalan pada jalur yang benar. Namun, hari ini mungkin hari sialku, atau muungkin sudah berupakan buah dari hasil perbuatanku, atau perbuatan orang tua ku, atau perbuatan leluhurku yang harus kupetik. Orang Bali percaya pada hukum karmaa pala hukum buah perbuatan. Dan, walaupun aku bukan orang Bali, aku juga percaya pada hukum ini. Bukanlah esensi agama mengajari manusia berbuat baik? Benih yang ditebar tidak akan tumbuh sebagai tanaman yang berbeda. Menebar benih padi akan menuai padi. Biji salak akan menumbuhkan tanaman salak yang kulitnya bersisik namun buahnya masam manis.
Entah dari mana, tiba-tiba sebuah tangan terjulur dan menjabret kalungku. Kudengar bisik keras: "Jangan berteriak! Namun mulutku terbuka, dan sebelum sepatah kata keluar, sebilah golok menyambar leherku. Darah muncrat, namun aku masih mengenali lelaki yang menyambarkan golok itu. Lalu, orang-orang memburu seorang lelaki yang tangannya memegang golok berdarah dan menghajarnya. Aku ingin meneriakkan bahwa bukan dia yang menjabret kalungku, namun aku tak berdaya, dan kemudian aku mungkin jatuh pingsan. Kasihan lelaki malang itu, yang juga sedang menanggung buah perbuatannya. Aku tak berdaya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Aku sedang berpatroli dengan sepeda motor HD sebagi petugas polisilalu lintas. Kulihat orang bergerombol menghajar seseorang, dan aku segera menelpon petugas lain untuk datang membantu. Walaupun aku bukan polisi anti huru-hara, sebagai polisi pelindung rakyat aku turun dari sepeda motorku dan meniup peluit untuk menarik perhatian massa yang mengamuk. Namun, nampaknya mereka tak peduli. Kulihat seorang lelaki sudah terkapar di jalan aspal. Tangannya memegang golok berdarah. Jalanan macrt. Kemudian juga, seorang perempuan tergeletak di jalanan. Mungkin dialah korban dari golok berdarah itu.
Aku segera mengatur lalu lintas agar tidak macet. Ambulance yang kupanggil segera datang, bunyi sirinenya meraung-raung dan dua orang korban itu segera dianggkat pergi, dikawal petugas polisi yang datang. Entah bagaimmana nasib mereka. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja dan persoalannya dapat diurus secara hukum. Beberapa orang sudah ditanyai sebagai saksi oleh rekan-rekan polisi yang datang. Setelah melapor melalui telepon, aku memacu motorku menuju rumah sakit, memburu ambulance yang meraung lebih dahulu. (*)