Senin, 26 November 2012

Pada Bulan Merah, Akankah Kau Pulang?



Cerpen: Fakhrunnas M. A. Jabbar

Pelataran kecil di tepi laut itu kian rapuh dan ringkih. Ombak kecil masih berlarian. Saling mendahului dan berpacu. Teritip bertumbuh di tiap-tiap tiang kayu. Saling berhimpitan. Bak ukiran yang terpahat sendiri. Lengkung-lengkung berwarna hitam dan abu-abu di tiang-tiang itu membentuk mosaik yang begitu elok.

Di sela-sela mosaik itu selalu kulihat kilau kenangan bermunculan. Sekelebat wajah Zaini menyembul dengan senyum terkulum. Lelaki gagah dan berwibawa itu tak mudah lenyap dari pikiran dan perasaanku. Aku tiba-tiba jadi bergairah dan asyik-maksyuk tenggelam ke masa-masa silam itu. Cahaya lampu-lampu kapal di kawasan Pelabuhan Sri Bintan Pura bagai mengepung kesunyian. Memang, aku kian suka bersunyi-sunyi belakangan ini.

Meski boleh jadi aku datang bersendiri atau ditemani Zami, anakku satu-satunya --berusia sepuluh tahun-- buah pernikahanku dengan almarhum Usman. Seketika kutatap langit terbentang kala senja baru berlalu, warnanya kemerah-merahan. Biasanya, sebentar lagi bulan merah akan menggelantung di langit tinggi Tanjung Pinang. Sejak dulu, tak kutahu pasti kenapa bulan itu bisa berubah jadi merah saga.

Suasana begutlah pernah kulewati bersama Zaini. Lelaki berkulit agak gelap dengan kumis lebat yang pernah berikrar akan memperistri diriku. Aku selalu berbisik bangga pada lelaki itu bahwa dirinya adalah jelmmaan wira Melayu, Hang Jebat. Meski kemudian kutahu semangat kelelakiannya begitu jauh dari sosok sang wira.

"Pada bulan merah, aku pasti pulang!" hanya kalimat itu juga yang selalu terngiang di gendang telingaku. Kalimat itu juga yang diucapkan Zaini saat meninggalkan tanah Kawal yang merah terakhir kali.Butiran-butiran bauksit yang memerah ikut bersaksi malam itu. Zaini di usia belia --masa itu-- harus meninggalkanku. Ia hendak menimba ilmu di negeri Jiran Tanah Semenanjung Malaysia yang letaknya hanya berseberangan pulau saja.

Sampai penantian itu berbilang tahun --20 tahun hingga kini-- bagai kumbanng putus tali. Hilanng tanpa kendali. Andaikata pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalaupun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.

Amboi, Zaini begitu melekat dijiwaku. Padahal, selama dua puluh tahun itu, irama hidupku silih berganti. Aku sempat pula menikah dengan Usman atas paksaan Ayah dan Emak. Bahkan, hubungan pernikahan itu telah membuahkan Zamzami --orang-orang yang memanggilnya Zami--. Perkawinanku dengan Usman ditakdirkan tak berkekalan. Di usia Zami genap lima tahun, Usman mengalami kecelakaan feri. Ia tenggelam bersama puluhan penumpang lain di perairan antara Batam dan Bintan.

Meski hubungan cinta-kasihku dengan Zaini ditentang Ayah dan Emak --keduanya sudah almarhum dan almarhumah-- tapi kebengalan kami tetap saja tak mengapikkan kemarahan orang tua masing-masing. Kian hari, rasa cinta kami menghujam di lubuk hati yang terdalam. Sampai-sampai Zaini selalu mendendangkan pantun Melayu yang hingga kini tak akan pernah kulupa:

"Buah kelemak buah bidara
Sayang selasih diluruhkan
Buanglah emak buanglah saudara
Bila kekasih hati diturutkan


Biasanya bila Zaini sudah berpantun begitu, kami pasti tertawa bersama. Serasa diri kami bagaikan sepasang burung merpati yang sedang diamuk asmara. Sikap keras hati kami pula yang menyebabkan kisah cinta kami jadi buah mulut orang sekampung termasuk di sekolah kami.

Banyak hal yang membuat percintaan kami berkekalan di masa itu. Kami sama-sama menyukai sejarah. Titisan darah Melayu yang mengalir dalam nadi-nadi kami benar-benar menjadikan kami bagaikan Sultan dan Tuan Puteri yang bertahta di singgasana istana. Konon, diriku ini masih berkaitkelindan dan hubungan darah dengan pujangga Raja Ali Haji yang menghasilkan mahakarya Gurindam 12.

"Pada bulan merah, aku pasti pulang!" kalimat ringkas Zaini itu selalu berulang-ulang merajut kesunyian diriku. Bila aku sudah larut dalam lamunan yang ditingkahi debur ombak keputihan, tak kusadari aku bisa menghabiskan waktu setengah malam. Angin laut yang dingin tak mempan mengejutkan lamunanku.

"Mak, kenapa Emak suka bersunyi-sunyi di pelantar ini?" ucap Zami membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Amat gugup menatap mata Zami yang penuh ingin tahu.

"Apakah Emak teringat ayah?" selidik Zami dalam bahasa tanpa basa-basi.

Aku jadii teringat cara bertutur Zaini. Aku hanya bisa berdiam diri. Lamban. Tak bermaya.

Meski sebenarnya aku hendak berterus terang kepada Zami bahwa kerinduanku hanya semata kepada Zaini, lelaki yang tak pernah dikenalinya. Aku tak mungkin berterus terang pada Zami. Apa katanya bila sesungguhnya akumembayangkan seorang lelaki lain yang buukan ayah kandungnya. Tapi aku tak mungkin mengelabui hati dan perasaanku. Cinta-kasihku pada Zaini terpatri begitu dalam. Tak mungkin kulupa barang sekejap pun.

Ihwal Zaini sebenarnya bukannya tak pernah terbesut dari cerita-cerita orang sekampung yang juga merantau di Negeri Jiran itu. Tapi tak satu pun kisah-kisah itu yang bisa meyakinkan diriku. Seperti pernah dituturkan Wan Suib, sahabat karib Zaini setelah lima tahun kepergiannya.

Konon, Zaini yang menyeberang menuju Johor dengan menggunakan pompong yang mengangkut orang-orang Riau Kepulauan --masa itu-- sebagai TKI gelap, sempat disergap Polis Laut Diraja Malaysia.

Zaini bersama belasan orang yang tak begitu dikenalnya dijebloskan ke lokap. Sudah jamak jadi pembicaraan, barang siapa yang sempat masuk ke lokap itu pastilah mendapat perlakuan tak pantas.

Seperti yang dialami beberapa orang sekampung kami. Hasyim, Galib, dan Rajak yanng sempat disiksa selama ditahan di Negeri Jiran. Tahu-tahu waktu pulang terdampar di salah satu pantai Bintan yang tersuruk di ceruk-ceruk bakau. Keadaan ketiganya begitu memprihatinkan. Selain kondisi tubuh mereka yang jeging dan kumal juga senu atau hampir gila dan lupa ingatan. Memang tersebar luas di kampung itu, "pendatang haram" di Negeri Jiran biasanya diperlakukan tak manusiawi. Bahkan sampai-sampai disuntik "anjing gila."

Entah angin apa yang bertiup, Wan Suib, karib Zaini yang dulu menjadi tali-baut hubunganku dengan Zaini, bersama istrinya Zuleha, selepas Maghrib datang ke rumah. Aku terperanjat karena sudah lama sekali Suib tak bertandang.

"Ihwal apa yang awak bawa, Suib?" sambutku.

"Aku dapat kabar. Tapi boleh jadi ini kabar baik sekaligus kabar buruk," katanya. Wan Suib terbata-bata. Bagai menahan beban berat untuk berucap.

"Ihwal Zainikah?" desakku tak sabar.

Wan Suib mengangguk. Tak sabar aku mencecar dirinya. Tanganku seccara tiba-tiba mengguncang tubuh Suib. Aku betul-betul tak peduli pada Zuleha yang mendampinginya.

"Apakah Zaini sudah pulang? Di mana dia sekarang?" tanyaku tak habis-habisnya.

"Dengar dulu, Wan," sahut Wan Suib yang sejak dulu memanggil namaku Wan Zuraida. Wan Suib pun bercerita panjang lebar. Dirinya mengabarkan kepulangan Zaini beberapa hari lalu. Tapi kondisi Zaini begitu jauh berbeda. Ia pulang sudah jadi orang gila. Rambutnya kusut-masai. Ia benar-benar lupa ingatan. Tak seorang pun yang dikenalinya lagi. Benarlah kata orang bila sudah masuk lokap di Negeri Jiran itu, sudah bisa dipastikan tak akan selamat lagi.

"Sudahlah, Wan. Berdoa dan bersabar saja bagi kesembuhan Zaini," hanya kalimat itu yang bisa diucapkan orang-orang sekampung sekedar bersimpati pada diriku. Benarlah firasat burukku dulu bahwa kepergian Zaini ke negeri jiran hanya menjemput kenestapaan. Konon, kuperoleh cerita yang terpisah-pisah, Zaini tak sempat bersekolah apalagi bekerja karena ditangkap pihak polisi.

Meski hanya beberapa bulan di lokap tapi saat dirinya dilepas, kondisinya sudah senu. Hidupnya luntang-lantung di kawasan kebun sawit di Johor. Bahkan pernah pula ia terlantar di terminal bus Kuala Lumpur. Tak ada yang peduli. Hidupnya pun jadi orang usiran tanpa ada yang berbelas-hati. Tak banyak yang tahu bagaimana nasibnya selama belasan tahun lebih di rantau orang.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Hari-hariku masih selalu berharap agar Zaini kembali hidupseperti sediakala. Meski dokter jiwa memperkirakan penyakit gila Zaini sudah sangat kronis. Sulit disembuhkan. Tapi aku tak pernah menyerah. Meski kedengarannyaaku seolah-olah ikut jadi gila. Kucoba membawa Zaini ke pelantar kecil di tepi pantai yang pennuh kenangan itu. Kebetulan bulan merah bertahta persis di atas Pulau Penyengat. Kukisahkan sesukaku pada Zaini bagaimana bulan merah itu selalu jadi saksi percintaan kami. Aku bercerita lepas begitu saja bagai orang gila.

"Zaini, pada bulan merah ini, kau pulang. Masih ingatkah kau ucapkan janji itu?" ucapku tanpa berharap Zaini menyahut. Tapi selalu ada harapan dalam hatiku. Bolamata Zaini tampak menatap lama ke bulan merah itu. Meski tak kutahu apa maknanya. Zaini terbatuk beberapa kali. Ajaib. Kurasakan bolamatanya basah. Air matanya mengalir hangat yang hinggap di jemariku.

"Zaini....!! kupanggil namanya kuat-kuat. Berteriak sesukaku. Meski Zaini tetap bergeming. Terus saja kuberteriak. Berharap lelaki itu tersadar dan merajut kembali sisa kenangan yang lama berlalu.

Zainiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!" (*)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres,Minggu, 30 September 2012

Di Balik Jendela

Di Balik Jendela


Brak!!!

Klik!!!

Suara pintu berdentum keras di belakangku, diikuti suara anak kunci diputar. Pintu dikundi dari luar. Aku menarik napas panjang. Tanda kelegaan yang luar biasa. Beberapa detik kemudian aku masih terdiam, menunggu keadaan benar-benar aman.

Sret... sret... sret... suara sandal yang di seret menjauh dari pintu menyakinkanku bahwa bahwa pemiliknya sudah pergi. Kuayun langkah mendekati Alya, putri kecilku. Dia duduk di sudut. Meringkuk ketakutan dengan tubuh mengigil. Seingatku, setiap kali ayahnya ada di rumah, Alya lebih sering dalam posisi seperti itu. Ketakutan akan sosokk ayah ayah membuatnya menekuk tubuh seperti itu.

Kupeluktubuh kecil mungil itu. Di usianya yang hampir enam tahun, posturnya tak lebih besar dari anak berumur empat tahun. Rambutnya tipis, bahkan nyaris botak akibat sering di tarik-tarik. Tingkahh tidak seperti anak-anak sebayanya. Gadis kecilku itu mengalami keterbelakangan mental.

"Ngg... Gi? Aya.. gi?" tanyanya berulang-ulang.

"Iya, Sayang. Ayah sudah pergi."

Sesaat dia menatapku sebelum akhirnya asyik dengan boneka lusuhnya.

Kuedarkan mataku mengelilingi ruangan. Tempat ini begitu pengap dan dingin. Rasanya lebih tepat jika kukatakan lebih mirip gudang daripada rumah. Bagaimana tidak, satu-satunya sumber penerangan di malam hari hanyalah redp lampu di tengah ruangan. Di sana-sini berserakan pakaian kotor, piring bekas makanan, dan botol-botol bir bekas minuman Bayu suamiku.

Dulu, sesekali aku mencoba membereskan ruangan ini. Tetapi lama kelamaan kurasa tak ada gunanya, karena setiap kali Bayu datang, ia memorakkporandakannya lagi. Melemparkan segala macam barang kesana kemari hingga Alya ketakutan setengah mati.

Terkadang ulahnya bisa lebih parah lagi. Entah sudah berapa ribu kali dia menendang, memukul dan menjambakku. Tapi aku selalu pasrah menerima perlakuannya, selama diia tidak mengganggu Alya. Bila dia mulai menampar Alya, aku akan berteriak mencaci-maki agar dia mengalihkan perhatiannya kepadaku dan melupakan kekkesalannya pada gadis kecilkku itu.

Sudah sekitar tujuh tahun aku terkurung di sini. Sejak menikah dengannya duniaku menyempit menjadi hanya seukuran ruangan berukuran dua puluh llima meter di lantai dua ini. Saat Bayu tidak di rumah dia akan mengunci pintu dari luar. Meninggalkan aku dan Alya terpenjara di dalam.

Jendela ruangan inilah satu-satunya penghubungku dengan dunia luar. Aku senang berlama-lama di situ jika Bayu tidak sedang di rumah. Berjam-jam memandangi orang-orang tak kukenal yang lewat di depan rumah susun kami. Menyenangkan sekali melihat kehidupan dari balik jendela ini. Seperti pagi hari ini, ada seorang tukang sayur berhenti. Beberapa ibi langsunng mengerumuninya.

"Bawa sayur bayam nggak, Bang?" tanya ibu berbaju mmerah yang menggandeng anak lellakinya.

"Ada, Bu. Mau ambil berapa? Masih segar lo."

Boleh deh. Dua ikat ya, Bang. Buat anak saya, dia lagi senang-senangnya makan sayur bayam."

Sesekali mereka tertawa memdengar salah seorang dari mereka melontarkan kalimat-kalimat lucu.

Aku tersenyum sendiri, membayangkan seandainya aku ada di sana bersama mereka. Kalau saja hidup kami seperti mereka, mungkin aku pun bisa berbelanja sambil menggandeng Alya. Sayangnya, suamiku yang pemabuk dan ringan tangan itu tidak akan membiarkanku dan Alya berkeliaran. Alya yang cacat mental membuatnya malu mengakui bahwa gadis kecil itu adalah anak kandungnya. Dia sering menimpakan kesalahan padaku. "Dasar perempuan tak berguna! Pasti kau berselinguh dengan lelaki lain! Bisa-bisanya melahirkan anak cacat seperti itu," serunya.

Aku diam saja. Terbiasa dalam situasi seperti ini tidak membuatku tidak lagi banyak mengeluh. Bukannya aku tidak pernah memikirkan bagaimana caranya untuk melarikan diri dari tempat ini. Berulang kali aku sempat berpikir untuk kabur dengan berbagai cara. Namun selalu urunng kulakukan saat ingat bagaimana harus membawa kabur Alya dan menghidupinya di tengah kota sebesar Jakarta.

Jadi, aku biarkan apa saja dilakukannya padaku asalkan dia tidak menyentuh Alya. Memar dan ngilu di tulang hampir setiap hari kurasakan. Saking seringnya, aku bahkan mungkin tidak akan tahu bedanya jika ada salah satu tulangku yang patah atau tidak.

Pkiranku melayang ke peristiwa bertahun-tahun lalu. Ketika itu kami masih pacaran. Tak henti-hentinya Bayu meminta uang hasil kejaku setiap lkali aku menerima gaji. Seharusnya saat itu juga aku harus bahwa Bayu bukanlah calon suami yang baik. Tapi entah mengapa aku selalu luluh setiap kali dia memohon-mohon maaf dariku sehabis memaksaku memberikan uang, membentak atau mencaciku. Bagai debu tersapu hujan, aku pun melupakan kesalahannya.

Kini setelah hampir tujuh tahun perangainya semakin mennjadi buruk saja. Terkurung di dunia sempit membuatku lupa berharap untuk bisa keluar dari kekacauan ini. Aku si bungsu dalam keluarga yang selalu dimanjakan oleh kakak-kakakku, kini harus bisa bertahan hidup demi Alya. Tidak ada kakak dan orang tua yang bisa melindungiku seperti dulu. Mungkin mereka pun tidak tahu apakah aku hidup atau mati, karena selama aku menikah tidak pernah sekalipun aku bisa menghubungi mereka.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Kilatan pisau beradu dengan sinar matahari membuat mataku silau. Sontak aku memekik kaget ketika melihat Alya memegang pisau itu.

"Alya! Lepaskan pisau itu, Nsk!" pekikku khawatir.

Alya tertawa-tawa dengan pisau dalam genggamannya. Mungkin baginya pisau itu mainan baru yang menyenangkan. Dimainkannya pisau itu hingga membentuk kilauan sinar di dinding.

"Bu.. liat... liat..." ucapnya kegirangan.

Aku berusaha merebut pisau itu dari genggamannya.

"Jangan, Nak! Sini.. berikan pada ibu."

"Aa..! Gak au..! Alya berusaha menghindar dariku. Aku semakin jadi khawatir karenanya.

"Nak, jangan main-main dengan pisau, berbahaya!" Mendengar aku berteriak, Alya semakin keras melawan. Dia berlari sementara aku mengejarnya.

Kres!!!

Darah menetes di mana-mana. Aku terpaku. Menatap tanganku yang berlumuran darah.

"Tidaaaaaaak...!!!" teriakku.

Aku terbangun dengan napas terengah. Ternyata hanya mimpi. Aku bersyukur dalam hati.

Sinar matahari menerobos lubang di jendela. Aku menggeliat sebentar, meneliti sekeliling ruangan yang tampak sama seperti kemarin. Bayu pasti tidak pulanng semalaman, pikirku. Betepa senangnya aku jika Bayu tidak pulang hingga berhari-hari lamanya. Sebagai istri seharusnya aku mengharapkannya pulang. Tetapi hari-hari gelap yang telah kulalui selama ini membuat hatiku beku. Sejak ia memperlakukanku tanpa belas kasih, aku tak lagi mengharapkannya pulang.

Kulihat Alya masih tertidur meringkuk bagai kucing di tikar. Dengkuran halus terdengar sesekali. Aku beranjak dari tempat tidur berjalan menuju meja makan yang penuh dengan remah-remah roti. Hanya sedikit yang tersisa di meja itu. Tiga potong roti tawar dengan beberapa pisang. Kadang Bayu pulang membawa makanan entah dari mana.

Sambil mengunyah roti aku teringat mimpiku tadi malam. Mimpi buruk. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku bermimpi indah. Rasanya sejak tiba di tempat ini, mimpiku selalu buruk.

Kupandangi Alya lagi. Jika bukan karena Alya, mungkin aku tidak akan bisa bertahan di sini. Membuat Alya ikut hidup menderita adalah penyesalan terbesarku. Karenanya, aku berjanji dalam hati untuk selalu melindunginya.

Jangan khawatir, Nak. Ibu akan selalu menjagamu, bisikku padanya.

Khawatir langkahku akan membangunkannya, pelan-pelan aku mennuju jendela. Betapa rindunya aku melihat dunia luar. Kemarin Bayu seharian berada di rumah. Bila dia berada di rumah, aku tidak akan bisa sekedar melongok ke luar jendela. Dia akan murka hanya karena aku memiliki dunia sebesar jendela itu.

Kubuka lebar-lebar daaun jendela tersebut. Udara pagi menyeruak masuk ke dalam hidungku. Kuhirup dalam-dalam aroma dunia luar yang tidak pernah nyata aku rasakan lagi. Di bawah sana terlihat beberapa anak sedang berangkat sekkolah. Sebagian diantar oleh ibunya, sebagian lagi berkelompok dengan teman-teman sebayanya. Mereka bersanda-gurau, sesekali suara tawa mereka terdengar di telingaku.

Aku tersenyum. Sungguh berbeda kehidupan di luar sana. Meski hanya dibatasi sebuah jendela, kehidupanku di sini kontras sekali. Di balik jendela ini aku bisa sedikit merasakan kehidupan luar. Ini membuatku sejenak melupakan derita yang kurasakan. Bagaimanapun, sejak aku terpenjara di dalam rumah, tidak pernah sekkalipun aku berbincang dengan orang lain kecuali dengan Alya yang tidak mengerti betul apa yang kukatakan.

Tetangga-tetanggaku bahkan mungkin tidak akan tahu kalauada aku di dalam salah satu ruang di rumah susun ini. Tentu saja. Maklum, hampir setiap waktu pintu rumah terkunci dari luar, sementara jendela pun hanya sesekali kubuka saat Bayu tidak berada di rumah. Orang-orang di luar sana juga tidak akan tahu apa sebenarnya terjadi di balik jendela ini.

"Bu... bu..." suara Alya membuat lamunanku buyar.

"Ada apa, Nak?"

"Na.. ik.. Itut, Bu....," katanya terbata-bata ingin ikut naik di atas kursi yang kududuki. Kuangkat tubuh mungilnya ke pangkuanku. Dia lalu melonjak-lonjak kegirangan melihat beberapa anak kecil berkejar-kejaran di depan rumah susun.

Aku memandangi Alya dengan dada sesak. Ada sesal yang mendesak-desak ke luar rongga hatiku. Betapa sayangnya aku pada Alya. Rasanya, apa pun akan kulakukan untuk membahagiakannya.

Tubuh Alya tiba-tiba mengerut, membuatku terkejut.

"Kenapa, Nak?"

"Ng.. ng.." ucapnya takjelas. Mata bulat yang tadiya berbinar ceria mendadak berubah. Ketakutan jelas terpancar dari mata itu.

Aku tersadar, sekilas kulihat ke bawah, tampak Bayu sedang berjalan bersama seorang perempuan cantik. Mereka bergandengan tangan bak sepasang kekasih. Belum pernah aku melihat Bayu berjalan dengan seorang perempuan. Tapi hatiku benar-benar sudah beku. Rasanya aku tak perduli lagi apakah dia akan berselingkuh atau tidak.

Tiba-tiba Bayu menatap ke atas. Tepat pada saat aku melihatnya dari jendela. Buru-buru kututup daun jendela setelah Bayu menatap geram ke kami. Tubuh Alya semakin meringkuk dipangkuanku. Tidak hanya Alya yang ketakutan, aku pun demikian. Belum pernah sekalipun Bayu memergoki kami sedang membuka jendela di saat dia tidak ada di rumah.

Sret... sret.. sret...

Suara langkah kaki terdengar mendekati pintu.

Dia datang! Dia datang!

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Sedemikian takutnya aku sampai-sampai tanganku bergetar hebat. meski telah sering mengalami perlakuan buruk darinya,, entah kenapa perasaanku mengatakan ini akan lebih buruk dari yang sudah-sudah.

Kupeluk Alya erat-erat. Kami berdua lalu meringkkuk di pojok ruang seperti yang biasa kami lakukan jikka Bayu datang.

Brak!!

Pintu terbuka lebar. Bayu masuk dengan langkah terhuyung. Dengan sebelah tangan dibantingnya lagi pintu itu kembali.

Brak!!!

Dia lalu menuju ke arahku dan Allya.

"Sudah kubilang jangan pernah membuka jendela! Berapa kali harus akku katakan, heh!" bentakknya tepat di wajahku. Bau alkohol langsung tercium.

Sudah kuduga dia pasti mabuk, pikirku.

Matanya yang merah menghujam mataku. Kurengkuh bahu Alya erat-erat. Sementara Alya menggigil ketakutan.

"Kau tahu apa akibatnya jika melanggar perintahku?!!"

Bayu mengangkat daguku tinggi-tinggi. Tangannya yang kasar dan kuat menampar wajahku berkali-kali hingga aku ajtuh tersungkur. Kepalaku terasa pusing. Samar-samar kulihat Bayu menghampiri Alya.

Aku berusaha bangkit. Saat itu hanya satu hal yang ada di dalam pikiranku. Menyelamatkan Alya.

Alyaku sayang, jangan sampai Bayu menyakkitimu! Pekikku dalam hati.

Bayu menarik rambut Alya hingga Alya menjerit kesakitan.

"Hei, ternyata kamu cantik juga ya?" gumam Bayu sambil mengamati Alya. Si pemabuk itu mulai mengucapkan kata-kata yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Krek!!!!

Disobeknya baju Alya dengan paksa hingga dadanya terlihat. Kulitnya yang putih mulus sedikit kemerahan karena tercakar. Alya semakin kencang memanggilku.

Tuhan, apa yang akan dilakukannya?

Terhuyung-huyung aku berjalan ke arah mereka. Tapi Bayu kembali menamparku hingga aku terjatuh. Kekuatannya sungguh luar biasa. Aku tahu dalam keadaaan mabuk seperti ini dia bisa melakukan apa saja. Tapi aku harus menolong Alya. Alya adalah hidupku! Alyalah kebahagiaanku!

Mataku menangkap sebuah benda berkilat di atas meja. Tanpa pikir panjang aku ambil beda itu dan berjalan terhuyung menuju Bayu.

Kress!!

Darah menetes di mana-mana. Memenuhi lantai, baju dan tanganku!

Sinar matahari menerobos masuk dari celah jendela mengenai benda berkilau di tanganku. Kulihat gunting di dalam genggamanku. Penuh dengan lumuran darah, seperti dalam mimpiku. Aku seperti mengalami deja vu

__________________________________



Sumber: KARTINI