Senin, 31 Desember 2012

Berkomunikasi Dengan Makhluk Gaib

Berkomunikasi Dengan Makhluk Gaib
Alam Gaib mungkin tak asing lagi di telinga kita, karena banyak sekali stasiun televisi yang menayangkan program-program yang berhubungan dengan alam gaib. Alam gaib begitu misterius dan sulit ditebus dengan kasat mata kecuali orang-orang tertentu yang mempunyai kelebihan dan kekuatan supranatural yang dapat melihat fenomena alam gaib.

Alam Gaib itu sangat luas, tanpa batas ruang dan waktu. Kalau kita mendengar dan melihat makhluk gaib pasti bulu kuduk kita merinding apalagi ditambah daerahnya yang dianggap angker. Akan tetapi bagi orang mempunyai kelebihan atau mempunyai kemampuan bisa menembus ruang dimensi lain menganggapnya biasa-biasa saja.

Diajeng Kartikasari, seorang tokoh supranatural yang cukup terkenal di Kota Palembang bercerita banyak tentang pengalamannya mengenai alam gaib. “Alam gaib dan makhluk gaib dapat dilihat dan dirasakan sebagaimana kita merasakan hidup di alam nyata,” ungkapnya kepada koran ini, kemarin.

Menurut dia, banyak sekali orang-orang yang ingin tahu dan dapat melihat makhluk gaib namun kemampuannya tidak cukup untuk melakukannya.

Suatu ketika pernah ada pasien yang datang kepada Diajeng dan mengatakan berani dan ingin sekali melihat makhluk-makhluk gaib. Pasien tersebut menantang minta dibukakan mata ketiganya agar dapat melihat makhluk gaib yang ada disekitarnya.

Sebagai tokoh paranormal yang berpengalaman, Diajeng mengingatkan pasien tersebut, jangan berani dan coba-coba melihat makhluk gaib kalau anda belum pernah dibekali dengan kekuatan didalam tubuh.

“Nanti bisa-bisa anda celaka, karena daya energi makhluk gaib itu sangat kuat,” kata Diajeng.

Namun dasar manusia, tidak akan kapok kalau belum mencoba, pasien tersebut ngeyel dan menantang. Setelah beberapa menit kami buka mata ketiganya dia melihat makhluk gaib berbentuk kuntilanak yang begitu menyeramkan orang tersebut kaget dan tersungkur-sungkur di bawah kolong meja merasa ketakutan.

“Jangan pernah untuk menantang makhluk-makhluk alam gaib jika kita belum mendapatkan bekal yang cukup untuk melihatnya,” lanjut dia. (ety)

Palembang Post, Senin, 15 Oktober 2012

Jumat, 28 Desember 2012

Hening di Ujung Senja

Hening di Ujung Senja
Cerpen: Wilson Nadeak

Ia tiba-tiba muncul di muka pintu. Tubuhnya kurus, di sampingnya berdiri anak remaja. Katanya itu anaknya yang bungsu. Kupersilakan duduk sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka berdua?

”Kita teman bermain waktu kecil. Di bawah pohon bambu. Tidak jauh dari tepi Danau Toba,” katanya memperkenalkan diri. Wau, kataku dalam hati. Itu enam puluh tahun yang lalu.

Ketika itu masih anak kecil, usia empat tahun barangkali. ”Ketika sekolah SD kau pernah pulang ke kampung dan kita bersama-sama satu kelas pula,” katanya melanjutkan. Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk.

Belum juga dapat kutebak siapa mereka. Ia seakan-akan mengetahui siapa mereka sesungguhnya. ”Wajahmu masih seperti dulu,” katanya melanjutkan. ”Tidakkah engkau peduli kampung halaman?” tanyanya. ”Tidakkah engkau peduli kampung halamanmu?” tanyanya membuat aku agak risih. Dulu pernah keinginan timbul di hati untuk membangun kembali rumah di atas tanah adat yang tidak pernah dijual. Pelahan-lahan timbul ingatan di dalam benakku.”Rumah kita dahulu berhadap-hadapan, ya?” kataku. Ia mengangguk. ”Kalau begitu, kau si Tunggul?”

”Ya,” jawabnya dengan wajah yang mulai cerah.

Lalu ia mengatakan perlunya tanah leluhur dipertahankan. ”Jangan biarkan orang lain menduduki tanahmu. ”Suatu saat nanti, keturunanmu akan bertanya-tanya tentang negeri leluhur mereka,” katanya dengan penuh keyakinan. ”Kita sudah sama tua. Mungkin tidak lama lagi kita akan berlalu. Kalau kau perlu bantuan, aku akan menolongmu.”

”Akan kupikirkan,” kataku. ”Nanti kubicarakan dengan adik dan kakak,” jawabku.

Pertemuan singkat itu berlalu dalam tahun. Pembicaraan sesama kakak-beradik tidak tiba pada kesimpulan. Masing-masing sibuk dengan urusan sendiri. Dan ketika aku berkunjung ke kampung halaman, kutemukan dia dengan beberapa kerabat dekat lainnya. Kudapati ia terbaring di tempat tidur, di ruangan sempit dua kali dua meter. Beberapa slang oksigen di hidungnya. Ia bernapas dengan bantuan oksigen. Matanya berkaca-kaca sambil mulutnya berkata, ”Kudengar kau datang. Beginilah keadaanku. Sudah berbulan-bulan.” Agak sulit baginya berbicara. Dadanya tampak sesak bernapas. Aku tidak mungkin berbicara mengenai tanah itu. Kuserahkan persoalannya kepada keluarga dekat.

Dalam kesibukan, waktu jua yang memberi kabar. Seorang kerabat dekat, waktu berjumpa di Jakarta, berbisik padaku, ”Tunggul sudah tiada, pada usia yang ke-67.”

”Oh, Tuhan,” kataku kepada diriku sendiri. Kami lahir dalam tahun yang sama. Sebelum segala sesuatu rencana terwujud, usia telah ditelan waktu! Giliranku? bisikku pada diriku.

Rendi selalu datang dalam mimpi. Diam-diam, lalu menghilang. Dahulu ia teman sekantor. Tetapi, karena mungkin ingin memperbaiki nasib, ia mengirim istrinya ke Amerika, justru ingin mengadu nasib. Ia menyusul kemudian, dengan meninggalkan pekerjaan tanpa pemberitahuan. Lewat Bali, Hawaii, ia sampai ke California. Di negeri penuh harapan ini ia memulai kariernya yang baru, bangun subuh dan mengidari bagian kota, melempar-lemparkan koran ke rumah-rumah. Entah apalagi yang dilakukannya, demi kehidupan yang tidak mengenal belas kasihan.

Setahun berada di sana, ia kehilangan istrinya, derita yang membawa duka karena kanker payudara. Sepi merundung hidupnya, di tengah keramaian kota dan keheningan pagi dan senja, membuatnya resah. Barangkali hidup tidak mengenal kompromi. Kerja apa pun harus dilakukan dengan patuh. Tetapi usia yang di atas enam puluhan itu cukup melelahkan untuk bertahan hidup. Tiada kawan untuk membantu. Semua bertahan hidup harus berkejaran dengan waktu. Dari agen koran subuh, sampai rumah jompo dari siang sampai senja, lalu pulang ke apartemen, merebahkan diri seorang diri, sampai waktu mengantar subuh dan mengulangi ritual siklus kehidupan.

Dari kesunyian hati itu, ia cuti ke tanah air, untuk mencari teman hidup pada usia senja.

Tetapi, dalam kesunyian di tanah air, ia mengembara seorang diri, dengan bus dan kereta api. Seperti seorang turis, suatu senja, entah serangan apa yang mendera dadanya, barangkali asmanya kumat. Ia terkulai di ruang hajat. Di sebuah stasiun kereta, petugas mencoba membuka kamar toilet. Menemukan kawan itu dalam keadaan tidak bernyawa. Identitas diketahui dengan alamat di Los Angeles. Petugas stasiun menghubungi nama yang tertera di Los Angeles. Dari Los Angeles datang telepon ke alamat di Bandung. Dari Bandung berita disampaikan kepada anaknya, tetapi kebetulan sedang ke Paris. Jenazah dibawa ke rumah anaknya, dan dimakamkan kerabat dekat yang ada di kota ”Y”.

Tragis, pada usia ke-64 itu, ia mengembara jauh merajut hidup, tapi ia berhenti dalam kesepian, jauh dari kenalan dan kerabat. Beberapa kenalan saja yang menghantarnya ke tempat istirah.

Terlalu sering ia datang di dalam mimpi yang membuatku galau.

Beberapa waktu kemudian, aku mendapat SMS. Aku berhenti di pinggir jalan ramai dan mencoba membaca berita yang masuk.

Lusiana baru saja meninggal dunia. Tutup usia menjelang ulang tahun ke-61.

Besok akan dimakamkan. Kalau sempat, hadirlah.

Lusiana seorang sekretaris eksekutif yang hidup mati demi kariernya. Ia lupa kapan ia pernah disentuh rasa cinta, sampai cinta itu pun ditampiknya. Menjelang usia renta, ia menyaksikan ayah dan ibunya satu demi satu meninggalkan hidup yang fana. Juga abangnya, pergi mendadak entah menderita penyakit apa. Karier tidak meninggalkan bekas. Tidak ada ahli waris. Kawan-kawan meratapinya, dan melepasnya dalam kesunyian hati.

Hening di atas nisannya. Burung pun enggan hinggap dekat pohon yang menaungi makamnya.

Tidak biasa aku berlibur dengan keluarga. Kepergian ini hanyalah karena anak yang hidup di tengah keramaian Jakarta, yang berangkat subuh dan pulang menjelang tengah malam dari kantornya. Ada kejenuhan dalam tugasnya yang rutin, membuat ia mengambil keputusan libur ke Bali bersama orang tua.

Aku yang terbiasa masuk kantor dan pulang kantor selama puluhan tahun, kerapkali lupa cuti karena tidak tahu apa yang harus dilakukan waktu cuti. Dan kini, aku duduk di tepi laut Hindia, menyaksikan ombak memukul-mukul pantai, dan sebelum senja turun ke tepi laut, matahari memerah dan bundar, cahaya keindahan Tuhan, sangat mengesankan ratusan orang dari pelbagai bangsa terpaku di atas batu-batu.

Tiba-tiba ada dering di HP istriku, sebuah SMS dengan tulisan: Tan, Ibu Maria baru saja meninggal dunia. Kasihan dia. Di dalam Kitab Sucinya banyak mata uang asing.

Ibu Maria menyusul suaminya yang sudah bertahun-tahun meninggal dunia, dalam usianya yang ke-72. Ia pekerja keras sepeninggal suaminya yang dipensiunkan sebelum waktunya. Suaminya meninggal dalam usia ke-67 saat anaknya berpergian ke luar negeri dan tidak hadir ketika penguburannya.

Ibu Maria meninggal mendadak.

Aku baru saja menerima telepon dari kakakku yang sulung, dalam usianya yang ke-78. Kudengar suaranya gembira, walaupun aku tahu sakitnya tidak kunjung sembuh. Kalimat terakhirnya dalam telepon itu berbunyi: Tetaplah tabah, Dik. Kamu dan anak-anakmu, semua anak cucuku dan buyut, supaya mereka tetap sehat....

Dan tadi pagi, aku teringat. Usia menjelang ke-70, walaupun sebenarnya belum sampai ke situ, aku bertanya-tanya kepada diriku, jejak mana yang sudah kutoreh dalam hidup ini, dan jejak-jejak apakah yang bermakna sebelum tiba giliranku?

Aku tepekur.

Hening di ujung senja.

Kompas | Editor : Jodhi Yudono | Senin, 16 Juli 2012 | 20:40 WIB

Kabut Neraka

Kabut Neraka
Cerpen: Danarto

Tubuh-tubuh dilumatkan, rumah-rumah dikunyah-kunyah. Pasar-pasar dihancurkan, masjid yang indah diledakkan. Apa saja yang tegak di atas tanah harus dilumatkan dari penciuman bumi, dari arang kehidupan, demi wajah dan kemenangan. Permusuhan antara Sunni lawan Syiah semakin membara ketika tiba-tiba di Baghdad, Irak, muncul kabut hitam pekat yang besar sekali, diam tak bergerak, mengambang di udara. Golongan Sunni menganggap kabut hitam itu rekayasa Syiah untuk mengacaukan situasi, sedang golongan Syiah menuduh Sunni menciptakan kabut hitam untuk menggagalkan upaya perdamaian.

Sementara itu tentara-tentara Amerika menyebut kabut hitam raksasa itu sebagai “Kabut Neraka.” Mereka, serdadu-serdadu Amerika, menjadikan Kabut Neraka sebagai hiburan. Hiburan baru yang mengasyikkan. Mereka berjingkrak-jingkrak sambil mengacung-acungkan lembaran uang, mendendangkan lagu-lagu rock favoritnya sambil berteriak-teriak, “Poverty is their kitchens. Held hostage by oil-for-food,” serta menembak-nembakkan senapan ke arah kabut uring-uringan.

Dalam situasi kesetanan yang penuh tanda tanya, miris, keheranan, juga ketegangan karena pernah seorang tentara Amerika memasuki kabut itu dan tak pernah keluar lagi. Dalam keadaan ketakutan dan penasaran, tentara yang lain berlari kencang menerobos ke dalam kabut itu.... ditelan.... juga tak pernah keluar lagi.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Tentara-tentara yang lain dengan humpee yang dikebut menerabas ke dalam kabut itu. Lagi-lagi kendaraan roda empat dengan empat orang tentara penumpangnya tak pernah nongol kembali untuk selama-lamanya. Hanya dalam waktu beberapa hari, Kabut Neraka, nama yang sexy, yang diberikan tentara paling muda dari Ohio, Long John Potomosth namanya, yang suka membanyol, menjadi gelanggang taruhan yang spektakuler. Para prajurit bertaruh dengan uang untuk siapa saja yang berani memasuki kabut itu dan keluar kembali dengan selamat. Sudah sebelas orang tentara menghambur ke dalamnya dan lenyap. Sebuah arena pertempuran baru yang sangat menantang, yang sangat mengasyikkan, dan sangat menakutkan. Akhirnya hari-hari peperangan yang sebenarnya sudah tidak menarik lagi. Bom-bom bunuh diri menjadi berita yang dilupakan.

Wartawan-wartawan dari dalam dan luar negeri tumplek-blek di kawasan kabut itu. Mereka membangun tenda-tenda mengelilingi kabut itu. Para jurnalis dengan bersemangat melaporkannya ke surat kabar, majalah, dan kantor-kantor berita yang menugasinya. Termasuk berita-berita tentang kegilaan tentara-tentara Amerika yang kesetanan bagai kena sihir kabut itu.

Rupanya tentara-tentara Amerika malah berjumpalitan dibilang kesurupan oleh kabut itu, bahkan ada yang minta dituliskan dengan kata-kata yang lebih kejam lagi.

Para redaktur akhirnya menuduh para wartawannya tidak lebih waras. Sejumlah ulama Sunni dan Syiah dari berbagai negeri berdatangan menyaksikan betapa kabut itu mengerikan bagai dikirim dari neraka jahanam. Para ulama menyatakan bahwa kabut itu merupakan akumulasi penderitaan rakyat Irak yang lebih menyedihkan dari peperangan maupun pembantaian. Betapa kabut itu memiliki kekuatan yang besar untuk menggagalkan upaya-upaya perdamaian. Lalu kedua golongan ulama mengirim rekomendasi kepada PBB agar menaruh perhatian yang lebih besar lagi kepada keselamatan dan kesejahteraan rakyat Irak. Juga negara-negara Barat diminta dengan sungguh-sungguh menyelamatkan Irak supaya tidak menjadi negara gagal.

Ketika komandan menyaksikan pertandingan itu, komandan yang bertanggung jawab atas keselamatan bala tentaranya akhirnya melarang permainan judi dan menutup gelanggang tersebut. Komandan mengisolasi kabut hitam pekat itu dengan memagarinya dengan kawat listrik dan dijaga ketat tiap sisi-sisinya agar tentara-tentara tidak nekat lagi terjun ke dalam Kabut Neraka. Sudah sebanyak 150 batang lebih kendaraan rongsokan, tank, helikopter, jip, panser, mobil, humpee, didorong masuk ke dalamnya dan dicoba dikait kembali dengan pengungkit, namun sia-sia, semuanya lenyap.

Para ulama kedua golongan kemudian menggelar doa bersama memohon dibukakan pintu gerbang pengetahuan tentang benda yang musykil itu. Begitu juga para pakar dari Pentagon dan badan-badan riset nasional tentara koalisi dari berbagai negara turun tangan melakukan investigasi terhadap gejala yang aneh dan menarik itu.

Foto-foto Kabut Neraka kemudian beredar di seluruh dunia dan menjadi topik perbincangan di acara-acara televisi, radio, maupun diskusi-diskusi terbuka oleh para ahli maupun anak-anak muda yang selalu ingin mencari sesuatu yang baru. Berminggu-minggu sampai berbulan-bulan para ulama dan para ahli yang menetap di Baghdad menyelidikinya tetapi tidak mendapatkan jawaban.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Kawasan Kabut Neraka di kemudian hari menjadi kawasan wisata bagi para wisdom (wisatawan domestik) dan wisman (wisatawan mancanegara) yang cukup memiliki keberanian untuk tidak ambil peduli terhadap kancah peperangan yang setiap saat bergolak. Di kemudian hari tidak ada yang bisa dilihat di kawasan itu kecuali pagar yang menjulang tinggi untuk menutup kabut hitam pekat itu. Termasuk anak-anak yang mencoba mengintip-intip yang tentu saja diusir oleh para penjaga karena kawat yang memagari itu dialiri listrik.

Mengingat kawasan itu berbahaya, lalu komandan kawasan itu meneutupnya untuk umum. Namun demikian, tangan-tangan jail yang ingin hiburan, meledakkan pagar kawat listrik yang mengelilingi kabut itu sehingga hancur berantakan dan tampaklah lagi kabut dengan perkasa mengambang di udara.

Para prajurit Amerika bersorak kegirangan sambil menembak-nembakkan senapannya. Acara perjudian pun dimulai lagi dan komandan hanya bisa geleng-geleng kepala. Kenyataannya, suasana menjadi meriah kembali. Kabut Neraka memang menakutkan tapi juga menyenangkan. Dua sisi karakter kabut itu begitu memesona yang tak berbanding oleh keajaiban apa pun yang tergelar di dunia dewasa ini.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Bermula dari anak-anak kecil yang bermain bola terkesiap menatap kabut kental yang tiba-tiba saja muncul di atas kepala mereka. Seorang anak Irak yang punya sahabat seorang tentara Amerika memberi tahu tentang kabut aneh itu. Si tentara Amerika mendatangi dan menatap dengan terbengong-bengong kabut hitam itu. Ia mendekati kabut tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba sebatang tank meloncat menabrak kabut dan ditelan ke dalamnya. Serta-merta tentara itu menghardik anak-anak supaya menjauh dari kabut. Sebatang helikopter yang lain meloncat menabrak kabut dan lenyap pula ke dalamnya. Semua ternganga-nganga. Beberapa anak menangis sambil berlari menjauh.

Tak lama kemudian beberapa orang tua, laki-laki dan perempuan, gadis-gadis, berdatangan ke tempat kabut itu. Seorang ibu menangis meneriakkan, “Allahu Akbar!” lalu terduduk seperti tersihir menatap kabut itu dengan tajam. Ketika terjadi revolusi sosial di Yaman, Mesir, Libya, Tunisia, Siria, kabut itu masih dengan tenang mengambang di udara Irak yang kemudian menarik kedatangan Raja Abdullah dari Yordania dan Presiden Ahmadinejad dari Iran. Lalu disusul kedatangan Alwi Shihab, penasihat Presiden Yudhoyono; dan Muhammad Said Agil Shiradj, ketua umum PB NU; Gus Mus, seorang sufi seniman; Yenny Wahid dari Wahid Institute; Nurul Arifin dari Golkar; Siti Musdah Mulia, seorang sufi perempuan reformis; Ahmad Syafii Maarif yang disanjung sebagai Bapak Bangsa; serta Habib Lutfi, seorang ulama sufi Indonesia yang memiliki pengikut sekian juta; juga sejumlah ulama sufi dari berbagai negeri. (*)

Parade Cerpen Ramadhan

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 15 Juli 2012

Pohon Zakaria

Cerpen: Dadang Ari Murtono

Ia tidak tahu kenapa bapaknya mengikuti Zakaria. Ia masih kecil benar ketika itu. Bapaknya berkata sebelum berangkat. "Nanti kalau bapak sudah pulang, kita main petak umppet lagi." Dan ia menunggu. Apakah bapaknya juga menjanjikan hal yang sama kepada ibunya? Apakah bapaknya juga akan mengajak ibunya bermain petak umpet? Namun sepanjang ingatannya, ibunya tidak pernah suka bermain petak umpet. Ibunya akan selalu memanggilnya untuk pulang dengan berbagai macam alasan.

"Sudah surup, shalat Maghrib dulu!" teriak ibunya ketika ia bersembunyi di balik pohon mangga dan temannya yang kebagian tugas celingukan hampir putus asa terus-terusan gagal menemukan tempat persembunyiannya. Ia mendengus kesal. Ia memasang tampang jengkel sambil keluar dari tempat persembunyiannya. Gara-gara teriakan ibunya, temannya jadi tahu tempat persembunyiannya. Ia ppenyembunyi yang baik. Jarang sekali ia tertangkap ketika bermain petak umpet.

"Tak banyak anak kecil keluar rumah saat Maghrib tiba. Nanti bisa digondol wewe dan disembunyikan di rumpun bambu," tambah ibunya sambil menggandeng paksa tangannya untuk segera pulang.

Bapaknya pergi dn membawa parang dan kampak. Ia ingat benar bagaimana pada hari sebelum keberangkatan bapaknya, bapaknya mengasah baik-baik dua benda kesayangan bapaknya itu. "Dengan ini bapak mencari uang. Dan uang itu untuk kebutuhanmu bersama ibumu," kata bapaknya.

"Bapak pergi dengan siapa?" tanyanya waktu itu. Dan ibunya, sambil menyiapkan nasi kepal berisi abon sapi untuk bekal bapaknya, menjawab dengan senyum. "Tentu saja dengan pergi dengan Zakaria. Tidak ada penebang pohon yang lebih baik dari Zakaria. Zakaria akan memastikan bapakmu dapat banyak kayu tebangan, itu artinya kamu bisa ikut berwisata bulan depan bersama kawan-kawan sekolahmu.

Ia tidak tahu perihal tebang menebang. Ia hanya tahu perihal petak umpet. Perihal mencari tempat yang aman, yang tak bakal bisa ditemukan temannya yang kebagian tugas menjaga. Dan apakah Zakaria tahu perihal petak umpet?

"Kenapa bapak tidak pulang-pulang, bu?" tanyanya sambil menguap. Sudah beberapa hari semenjak kepergian bapaknya? Entalah. "Apakah bapak sedang bermin petak umpet dengan Zakaria?" tanyanya lagi. Ibunya diam saja. Namun jauh kedalaman mata ibunya, ia melihat sebuah telaga. telaga yang sepertinnya kian lama kian penuh airnya. Telaga dengan tepi-tepi yang tak bakal lagi muat menampung air dan siap meluber.

Ia sering berpikir bahwa Zakaria bukanlah orang yang tahu artinya ditunggu. Atau barangkali, memang tidak ada satu pun orang yang menunggu Zakaria di rumahnya. Menunggu untuk bermain petak umpet. Apakah Zakaria orang yang kesepian? Itukah sebabnya, kesepian itu, yang membuat Zakaria mengajak bapaknya pergi menebang pohon ke hutan dan tak membawa bapaknya pulang?

Namun zakaria tidak pulang-pulang. Dengan begitu, bapaknya juga tidak pulang-pulang. Dan ia serta ibunya, juga mesti menunggu lagi. Sudah berapa abad? Bahkan ia sudah tak ingat lagi hal itu. Ia sudah tidak tahu lagi. Sama dengan ketidaktahuannya mengapa bapaknya mesti mengikuti Zakaria pergi. Namun dalam hati ia berjanji. Pada suatu waktu, ketika ia sudah cukup besar dan bearani pergi ke hutan, ia akan menyusul bapaknya ke hutan. Ia juga akan membawa kampak dan parang. Ia juga akan menebang pohon. Pohon-pohon yang tumbuh menghalangi jalan bapaknya untuk pulang.

Sungguh, ia merasa tak ada lagi orang di dunia yang makan lebih banyak garam dari ia dan ibunya. Suatu kali, ia bertanya kepada ibunya. "Kenapa ibu tidak lagi menggoreng mujair?" Ibunya, dengan tersenyum dan mengelus rambutnya berkata. "Tidak ada lagi kayu bakar yang bisa dijual, nak. Dan bapakmu tidak juga pulang."

Pada waktu itu, ia begitu membenci Zakaria. Kalau saja bapaknya tidak mengikuti Zakaria, bapaknya pasti akan segera pulang membawa tebangan kayu. Kayu yang bisa dijual sebagai kayu bakar.

Sungguh tekadnya sudah semakin bulat. Ia harus pergi ke hutan. Menyusul bapaknya. Dan berkata kepada Zakaria. "Biarkan bapak pulang. Ibu sudah bosan makan garam."

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Zakaria memang bukan seorang pemain petak umpet yang baik. I tidak habis pikir bagaimana masa kecil Zakaria. Barangkali Zakaria memang tidak pernah barmain petak umpet sewaktu kecil. Ah, kasian. Masa Zakaria pastilah bukan masa kecil yang menyenangkan. Zakaria pastilah anak yang kuper. Barangkali Zakaria kecil menghabiskan waktu sepanjang hari untuk membaca buku dan kitab-kitab tua di kamarnya ketika anak-anak sebayanya bermain petak umpet, belajar sembunyi dan berlari.

Barangkali karena itu pula Zakaria tumbuh menjadi lelaki yang tersendiri. Lelaki yang kesepian. Lalu memutuskan mengajak bapaknya ke hutan Zakaria menjengkelkan! Kenapa bapaknya mau mengikuti ajakan lelaki seperti itu? Tidak tahukah bapaknya bahwa ia dan ibunya berabad-abad menunggu? Dan seandainya Zakaria menghabiskan masa seperti ia enghabuskan masa kecil, pasti hal seperti ini tidak akan terjadi. Pasti Zakaria akan membawa bapaknya pulang.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Cerita itu pada akhirnya sampai kepadanya. Entah siapa yang pertama kali mengisahkan. Ia mendengar dari ibunya. "Tiba-tiba, polisi hutan berdatangan ke hutan itu. Menangkap siapa-siapa yang menebang pohon. Menangkap mereka-mereka yang mencari kayu bakar."

"Karena itu, semua pencari kayu bakar mesti ditangkap. Tapi Zakaria orang yang keras hati. Ia mengajak bapakmu. Zakaria bilang peraturan pemerintah itu adalah upaya pembunuh secara perlahan-lahan terhadap orang-orang yang mata pencahariannya mencari kay bakar. SEperti bapakmu. Seperti Zakaria sendiri. Dan itu harus dilawan. Peraturan yang membunuh, tidak boleh dituruti. Penguasa yang lalim dengan mengabaikan nasib rakyatnya, harus dibantah. Maka dia pergi. Bersama bapakmu. Pergi dan tak kembali."

Ah,seandainya Zakaria pernah bermain petak umpet, pasti ia akan menemukan tempat persembunyian yang baik ketika para polisi itu mengejar Zakaria dan bapaknya. Pasti Zakaria tidak akan masuk ke pohon itu. Iti tempat persembunyian yang buruk.Para polisi itu dengan mudah mengetahui keratan di batang pohon yang digunakan Zakaria untuk masuk ke dalam batang pohon itu.

Dan begitulah. Dengan mudah pula, para polisi itu menemukan pohon persembunyian Zakaria. Tentu saja bukan getah yang mengalir dari pohon tersebut. Melainkan darah Zakaria. Zakaria yang tubuhnya terpotong menjadi dua serupa pohon yang tertebang.

Namun tidak ada kabar perihal bapaknya. Apakah bapaknya juga bersembnyi di dalam pohon serupa Zakaria? Bapaknya, walau tidak jago, namun pernah bermain petak umpet. Bapaknya pasti sedang bersembunyi. Sudah berabad-abad bapaknya bersembunyi. Dan kini ia, harus bersiap. Ia harus menjemput bapaknya. Ia sudah lelah menunggu. Ia kasian melihat ibunya bertambah kurus memikirkan nasib bapaknya. Ia akan pergi.

"Berhati-hatilah Yahya," kata ibunya. (*)

Parade Cerpen Ramadhan

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 29 Juli 2012

Minggu, 23 Desember 2012

Provinsi

Provinsi
Adverlit

Hujan turun dengan beringas, meretas batas tirai malam. Langit gelap, angin dingin berkelebat. Air sungai, rawa, dan selokan merangkak naik ke badan jalan. Puluhan kendaraan terjebak dalam keranda banjir. Kwi Huan Gee meminta Wahab mengurangi laju motor matic-nya. Dilihatnya sekerumunan orang berbaris dan bersandar di pagr jembatan. Dirinya pun mengajak kekasihnya mendekat, berteduh di bawah hujan tak bersahabat.

Dalam kepanikan dan kebasahan, ia bertanya pada gemuruh halilintar yang mengalahkan suara tongkang dan sekoci. Gerangan apa yang terjadi hingga barisan pengendara berhimpit sesak di sepanjang Ampera.

"Ada yang mau bunuh diri," ucap Wahab, lelaki disebelahnya. Kwi Huan Gee pun tertegun, memeluk pemuda kurus berkulit kuning dan berambut ombak yang bersandar di Jembatan.

Ini tahun kedua Kwi Huan Gee menetap di Bumi Sriwijaya. Ia mahasiswa fakultas ilmu budaya sebuah universitas terkemuka di Provinsi Jeju, Korea Selatan. Lantaran misi kebudayaan yang digencarkan Negeri Ginseng, Kwi Huan Gee akhirnya pindah studi kemari guna memperdalam budaya Indonesia dan menyebarkan kebudayaan negaranya.

Selama dua tahun pula, sejak perhelatan olahraga akbar se-Asia Tenggara, SEA Games XXVI pada 2011 lalu, dirinya mengenal sungai dengan sembilan batanghari yang mengaliri provinsi ini. Sebelumnya, sungai besar ini diketahuinya sebagai sumber kehidupan dan kebudayaan masyarakat Sumatera Selatan. Akan tetapi, baru kali ia mengerti bahwa Sungai Musi juga menjadi tempat bunuh diri bagi remaja yang putus cinta.

"Siapa yang terjun ke sungai?" tanya Kwi Huan Gee.

"Entahlah. Semoga buak Sahara," tutr Wahab, memasangkan jaket ke tubuh Kwi Huan Gee.

Demikian adanya, remaja-remaja di provinsi ini pun tengah dilanda demam Korea, negara kelahiran Kwi Huan Gee. Mulai dari rambut, dunia fashion, film drama, K-Pop, hingga Gangnam Style hampir setiap hari dijumapainya digunakan remaja provinsi ini. Dalam misi negara, Kwi Huan Gee bangga ekspansi kebudayaan negerinya melanda hingga pelosok Nusantara. Akan tetapi, air mata Kwi Huan Gee menetes di antar hujan, saat mengetahui sebagian besar remaja di provinsi ini telah melupakan budaya sendiri dan membanggakan kebudayaan negara lain.

"Bukankah, provinsi ini menyimpan sejarah budaya dan peradaban besar, sebuah kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara," ucap Kwi Huan Gee.

"Ya. Sriwijaya," terang Wahab.

"Mengapa kalian tidak begitu peduli," tanya perempuan muda itu. Wahab diam dan membalut tubuh kekasihnya dari angin sungai danair hujan.

Kwi Huan Gee mengenal provinsi ini dari buku-buku di perpustakaan negerinya. Sejak abad ke-7 , provinsi ini terkenal dengan adanya Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara menerapkan pengaruhnya sampai ke semenanjung korea. Pada abad ke-13 sampai ke-14, provinsi ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Provinsi ini juga pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari negeri Cina dan korea.

Awal abad ke-15 Kolonialisme Eropa dan Jepang menguasainya. Kini provinsi ini semakin dikenal masyarakat dunia karena segudang prestasi yang gemilang.

Di provinsi ini terdapat Bukit Barisan nan subur, karena banyaknya anak sungai yang meliuk dan menjalar ke pelosok daerah. Provinsi ini yang beribu Kota Palembangini merupakan pintu gerbang ke provinsi lain di Pulau Sumatera. Sungai Musi yang menghubungkan provinsi ini ke Laut Cina Selatan hingga dapat mengakses pusat perdagangan dunia di jalur laut.

Secara geografis provinsi ini terletak antara 1° dan 4° Lintang Selatan dan antara 102° dan 108° Bujur Timur. Kelembaban udara provinsi yang subur ini mencapai 78%. Kisaran curah hujan variasi antara 2.000-3.000 mm per tahun dan rata-rata kecepatan angin 3,23 km per jam. Suhu berkisar antara 21.8° C dan 32.2° C. Demografi provinsi ini didukung sistem perkebunan, pertambangan berat, perdagangan, dan perairan. Penduduk di provinsi ini sangat padat, dengan pertumbuhan penduduk rata-rata nasional sebesar 2,144% per tahun.

Provinsi Sumatera Selatan seluas 103.688 km persegi memberikan kesan tersendiri bagi Kwi Huan Gee. Berbeda dengan tanah kelahirannya. Provinsi Jeju adalah pulau terbesar di sebelah selatan Semenanjung Korea. Pulau Jeju terbentuk sekitar dua juta tahun lalu akibat aktivitas vukanis Gunung Halla (Hallasan) dengan tinggi 1.950 m. Pulau itu bercuaca hangat sepanjang tahun dan pada musim dingin jarang turun salju. Orang-orang di negerinya menjulukinya samdado, pulau yang kaya bebatuan, wanita dan angin. Garis pantai pulau sepanjang 253 km, dengan luas keseluruhan 1.825 km² dengan suhu rata-rata pertahunnya 14,6° C dan 4,7° di musim dingin.

pendudk Jeju adalah pekerja keras yang mengerjakan berbagai pekerjaan sulit dan berat untuk bertahan hidup, seperti mencari abalon dan kerang dengan cara menyelam ke dasar laut, membangun pelabuhan, beternak, membuat kapal dan bertani.

Peristiwa berdarah dalam sejarah yang menghilangkan silsilah keluarganya terjadi saat pembentukan tahun 1948 hingga meletusnya Perang Korea (1950-1953). Karenanya, warga Jeju dikenal sebagai orang-orang yang tabah dan mampu bertahan dalam situasi sesulit apa pun.

Semasa kecil Kwi Huan Gee dibesarkan di Kampung Seongeup. Keluarganya selalu mengajaknnya bermain ke Mokseokwon, Kebun Raya Halla, dan gua Manjanggul. Air Terjun Cheonjeyeon dan Jeongbang, Kawah Sangunburi, Chisatgae.

Makanan kesukaannya, Jeonbokjuk dan bubur abalon sudah mulai terlupakan. Keluarga Kwi Huan Gee sudah tidak ada lagi, semua hilang saat tragedi di Pulau Jeju. Kini di provinsi tempat ia belajar, Kwi Huan Gee mulai akrab dengan keindahan Gunung Dempo dan Bukit Telunjuk, Ait Terjun Ndikat dan Bedegung, Danau Ranau, Gua Putri, Taman Sembilang, hingga Jakabaring Sport City. Lidahnya mulaiakrab dengan pempek dan tempoyak. Di provinsi ini, Kwi Huan Gee Telah menemukan cinta pertamanya di hati Wahab, putra daerah Sumatera Selatan.

Hujan turun tanpa beringas, merias paras dalam bingkai perawan. Langit gelap, angin tak lagi berkelebat. Air sungai, rawa, dan selokan perlahan surut. Kwi Huan Gee meminta Wahab menghidupkan motor matic-nya. Dilihatnya masih memandangi sekerumunan orang berbaris dan bersandar di pagar jembatan. Dirinya meminta kekasihnya menjauh, di bawah maut tak bersahabat. Dalam ketenangan dan kesyahduan, ia berpesan pada bintang dan rupa bulan. "Makamkan aku dalam kebudayaanmu," pinta Kwi Huan Gee melepas genggaman tangan kekasihnya Wahab sambil mengembangkan senyum saat menjatuhkan dirinya ke sungai. (*)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 2 Desember 2012
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Gemar Main Game, Bahayakan Kesehatan

Gemar bermain game online atau play station? Selain bisa merusak produktivitas kerja, hobi ini juga bisa mengancam kesehatan, terlebih pada anak-anak. Tremor atau gemetaran berisiko menyerang anak, orang dewasa, dan orang tua. Gerakan yang tidak terkontrol pada tangan terjadi karena kontraksi otot yang tidak sengaja, yang diwujudkan dalam gerakan bolak-balik dan berulang.

"Terjadi karena ada gangguan saraf pusat dibagian tepi. Bukan karena kelainan pada fungsi otak, melainkan gangguan pada proses tranfer saraf dari tulang belakang yang berurusan dengan organ tubuh yang mengalami tremor," kata dr Jalalin SpRM dari Rumah Sakit Dr Mohammad Hoesin Palembang.

Tremor tidakberakibat fatal. Tapi jika dibiarkan, tremor bisa berlanjut dan semakin parah. Bisa menyebabkan hilangnya fungsi bagian tubuh yang terkena dan penyakit ini tidak memandang jenis. Adapun penyebabnya karena gangguan tiroid. Orang yang mengalami gangguan kelenjar tiroid, misalnya hipertirodisme, akan seirng mengalami tremor. Tremor akan hilang jika penyakit yang menjadi penyebabnya ditangani terllebih dahulu.

"Juga karena pengaruh suka main game,play station, atau game-game lain yang membutuhkan koordinasi gerakan tangan yang cepat, bisa mengalami tremor, terlebih pada anak-anak. Orang tua harus bisa mengurangi kebiasaan si anak. Jika frekuensi bermain game dikurangi, maka sampai akhirnya kebiasaan itu akan hilang dengan sendirinya.

Dari sisi kesehatan mata, jika terlalu lama bermain game pada layar komputer, juga bisa menimbulkan radiasi dari layar monitor yang bisa melelahkan mata. Apalagi didukung oleh efek cahaya yang ditampilkan dari sebuah game. Dalam satu kali penglihatan, efek cahaya yang bisa terjadi bisa mencapai ratusan.

"Mata terasa perih dan terlihat merah ketika berjam-jam berada di depan layar monitor. Layar komputer tidak memancarkan radiasi berbahaya seperti sinar X atau cahaya ultraviolet. Kelelahan yang biasa terjadi saat menatap layar bukan dikarenakan oleh paparan sinar monitor, tapi faktor lain, seperti pencahayaan buruk, posisi komputer, dan ketegangan mata yang membuat gatal atau terasa terbakar. Dan membuat penglihatan ganda atau kabur serta sakit kepala," pungkas dr Anang Triwibowo SpM(K), direktur RS Mata Masyarakat Provinsi Sumsel. (cj6/ce4) (Sumeks)

Sabtu, 22 Desember 2012

Kesedihan Penghuni Kubur

Kesedihan Penghuni Kubur
Oleh: Adminaba

Tsabit Al Banani adalah orang yang biasa melakukan ziarah kubur setiap malam Jumat. Di sana ia bermunajat dan taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah hingga Subuh tiba.

Suatu ketika, Tsabit tertidur saat bermunajat, lalu bermimpi. Di dalam mimpinya ia melihat semua penghuni kubur keluar dari kubur mereka dengan mengenakan pakaian indah. Wajah mereka juga berseri-seri. Kemudian setiap orang dari mereka mendapat hidangan makanan bermacam-macam. Namun di antara mereka ada juga seorang pemuda yang tampak bersedih. Wajahnya pucat, rambutnya kumal, pakaiannya jelek, kepalanya tertunduk, serta berlinangan air mata. Ia juga tidak mendapat hidangan seperti penghuni kubur lain.

Setelah itu para penghuni kubur kembali ke dalam kuburnya masing-masing dengan bahagia dan puas, kecuali pemuda itu. Ketika pemuda itu juga hendak kembali ke dalam kuburnya namun dengan penuh kesedihan, duka cita serta putus asa. Tsabit pun berkata kepadanya, "wahai anak muda, siapakah engkau? Mengapa mereka mendapat hidangan serta kembali ke kubur masing-masing dengan kegembiraan dan kebahagiaan, sedang engkau tidak mendapat hidangan, bahkan engkau kembali dengan kesedihan, duka cita, dan putus-asa?"

"Wahai Imam orang-orang mukmin, aku ini seorang pendatang yang terasing dan tak seorang pun mengingatku, mendoakan, maupun melakukan amal kebaikan karena aku. Sementara mereka (para penghuni kubur yang lain) mempunyai anak cucu, kerabat serta keluarga yang senantiasa mengingatnya dan mendoakannya, beramal baik dan bersedekah karenanya. Sehingga setiap malam Jumat selalu datang pada mereka pahala kebaikan dan sedekah dari anak cucu, kerabat serta keluarga mereka. Sebenarnya aku ini orang yang hendak berhaji bersama ibuku. Tapi ketika kami sampai di kota ini, ketetapan Allah (maut) berlaku untukku. Maka ibuku menguburkanku di tempat ini, kemudian ibu menikah dengan seorang laki-laki sehingga lupa padaku dan tak pernah mengingatku, mendoakanku, maupun mengirimkan pahala sedekah untukku. Sungguh, sepanjang waktu aku berada dalam keputusasaan dan dan kesedihan."

Tsabit berkata, "wahai anak muda, katakan padaku di mana ibumu tinggal saat ini? Aku akan memberitahunya tentang dirimu dan keadaanmu."

Pemuda itu menjawab, "wahai imam orang-orang mukmin, sesungguhnya ibuku tinggal di desa sana, rumahnya begini dan begini. Katakan padanya semua tentang diriku. Seandainya ia tidak memberi sedekah padamu maka katakan, sesungguhnya di dalam kantongmu terdapat seratus keping uang perak warisan suami pertamamu. Sedangkan yang berhak memiliki uang itu adalah anakmu yang sudah meninggal dan terasing. Maka sedekahkanlah kepadaku apa yang seharusnya menjadi haknya."

Ketika terbangun dari tidur, Tsabit segera pergi mencari ibu si pemuda yang ditemuinya dalam mimpi itu. Setelah bertemu ibu pemuda itu, Tsabit mengatakan tentang semua yang dialami anaknya, juga mengatakan tentang seratus keping uang perak yang menjadi hak anaknya, yang kini ia simpan.

Mendengar semua yang dikatakan Tsabit, perempuan itu jatuh pingsan karena sedih dan sesal yang amat dalam. Ketika siuman, perempuan itu segera menyerahkan seratus keping uang perak sembari berkata, "aku pasarahkan padamu sedekah seratus keping ini demi anakku yang terasing."

Maka Tsabit pun menerima uang itu, kemudian menyedekahkan semuanya demi si pemuda yang ia temui di dalam mimpinya. Seperti biasa, malam Jumat berikutnya, Tsabit melakukan ziarah kubur lagi. Ia kembali ketiduran saat munajat, hingga bermimpi seperti kemarin. Hanya saja pemuda yang kemarin ia temui dalam mimpi itu kini mengenakan pakaian bagus dan wajahnya berbinar-binar. Ia tampak bahagia. Pemuda itu berkata pada, "wahai Imam orang-orang mukmin, semoga Allah membelas-kasihanimu sebagaimana engkau telah membelas-kasihani aku."

Dari hikayat tersebut, nampak bahwasannya orang yang sudah meninggal merasakan kesedihan bilamana keluarganya yang masih hidup melakukan kejelekan atau tak beramal kebaikan. Sebaliknya jika keluarganya melakukan amal-amal kebaikan, maka orang yang sudah meninggal akan merasakan kebahagiaan, karena mendapat bagian dari pahala mereka, tanpa sedikit pun terkurangi hitungan pahala milik mereka.

Kolom.abatasa.com, Jum'at, 30 November 2012

Cantik Dalam Pandangan Islam

Cantik Dalam Pandangan Islam
Oleh: Adminaba

Wanita tercantik adalah wanita yang memiliki tubuh ramping, pinggang kecil, betis membujur, rambut panjang dan pirang, kulit putih, bibir kecil dan penuh, hidung mancung, dan mata berbinar. Itulah yang ada dalam fikiran wanita atau pria. Sebuah rumus simple namun amat berbahaya. Darimanakah asal muasal rumus ini? Bisa jadi dari media ataupun oleh opini masyarakat yang juga telah teracuni oleh media- baik cetak maupun elektronik- bahwa kecantikan hanya sebatas kulit luar saja.

Orang Indonesia dengan kulit sawo matang yang ada dimana-mana, dan hampir bisa dipastikan bahwa sebagai wanita berkulit sawo matang, akibatnya banyak kaum hawa yang ingin memiliki image cantik seperti yang digambarkan khalayak ramai, mereka tergoda untuk membeli kosmetika yang dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka dan mulai melalaikan koridor syari'at yang telah mengatur batasan-batasan untuk tampil cantik. Kemudian mereka ada yang harap-harap cemas menggunakan cream pemutih wajah, jamu peramping perut dan conditioner herbal penumbuh rambut agar panjang dan ikal, sampai pada usaha memancungkan hidung melalui serangkaian treatment silikon, dan lain-lain. Ini semua menjadikan wanita menjadi tidak percaya diri terhadap inner beauty yang telah Allah berikan padanya sejak lahir, dan akan menunjukkan auranya ketika sudah mencapai akil baligh.

Sekarang kalau ditanya siapakah wanita yang tercantik atau dianggap cantik di muka bumi ini? Maka persepsi yang ditanamkan media, dengan dipelopori dunia barat, tentunya menunjuk gadis berkulit putih yang tinggi semampai, dan rambut pirang kecoklatan, berbaju sexy terbuka, memperlihatkan aurat yang harusnya ditutupi dan menjadikan semua terbuka agar semakin nampak kecantikannya. Apabila telah terpilih sebagai wanita tercantik di seluruh dunia, maka semua wanita akan berlomba untuk mengikuti gaya dan penampilan sang wanita tercantik di seluruh dunia ini sehingga mereka ingin tampil secantik model tercantik.

Menyukai kecantikan dan keindahan adalah salah satu fitrah, kecenderungan yang dimiliki setiap wanita. Dan perasaan ingin cantik ini adalah nikmat Allah SWT. Tetapi seringkali kita salah memaknai nilai kecantikan yang sebenarnya dan menganggap bahwa kecantikan wanita hanya tertumpu pada keindahan fisik atau secara lahiriah saja. Seringkali kita menyaksikan betapa banyak wanita cantik di dunia ini tapi keindahannya hanya sesaat, pribadinya adalah pribadi yang tak menyenagkan, kehidupannya berantakan dan sebagainya. Perilakunya tidak cantik bahkan menimbulkan masalah bagi diri sendiri dan orang lain.

Padahal Allah menciptakan kita tidak dengan sia-sia. Kita dituntut untuk terus menerus beribadah kepada-Nya. Ilmu agama yang harus kita gali adalah ilmu yang (mencontoh Rasulullah). Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ALLAH menciptakan manusia dengan sebaik baik bentuk :

Cantik Dalam Pandangan Islam (QS. At-Tiin: 4, Iwan Lemabang

"Laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim"

Artinya:"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."
(QS. At-Tiin: 4)


Siapakah yang membuat standar penilaian terhadap ciptaan Allah yang Maha Kuasa? Wahai para wanita percayalah bahwa wanita tercantik adalah wanita yang mampu memahami bahwa dia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk dan dia diciptakan adalah untuk beribadah:

Cantik dalam Pandangan Islam (QS. Adz-Dzariyaat: 56, Iwan Lemabang)

"wa maa kholaqtuljinna wal insa illa liya’buduun"

Artinya: "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyaat: 56)



Rasulullah Shalallahu alaihi Wa Salam bersabda:

"Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik maka baik pulalah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak maka rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah itu adalah hati. (HR. Bukhari dan Muslim)



Berbahagialah ketika kecantikan itu bukan sekedar menghiasi wajah, tapi terutama hati dan akhlak kita. Karena kecantikan fisik pasti akan menurun seiring dengan bertambahnya usia. Tapi kecantikan hati dan akhlak, itulah yang akan bersinar dan terus dikenang oleh orang-orang di sekitar kita.

"Allahumma kamaa hassanta khalqii, fahassin khuluqii"

"Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperindah kejadian (fisik) ku, maka perindah pulalah akhlakku." (HR. Ahmad)



Sumber: Kolom.abatasa.com Sabtu, 24 November 2012
Kaligrafi Qur'an By: LEMABANG 2008

Kamis, 20 Desember 2012

Misteri Malam Satu Suro

Kedatanga tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.

Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar atau di makam keramat.

Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah.

Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 WIB saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Dibelakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.

Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.

Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro. (net)

Palembang Post, Selasa, 15 November 2012

Hati yang Dalam Kala Terluka

Hati yang Dalam Kala Terluka
Oleh: Adminaba

Seorang dokter ahli bedah bergegas menuju rumah sakit begitu dihubungi pihak rumah sakit karena seorang pasien dalam kondisi kritis harus segera dioperasi. Begitu sampai dia mempersiapkan diri,mandi dan bersalin pakaian.

Sejenak sebelum masuk keruangan operasi ia bertemu dengan ayah pasien yang raut wajahnya memendam cemas bercampur marah. Dengan ketus laki-laki itu mencecar sang dokter, "Kenapa lama sekali dokter! Tidak taukah lama anda anak saya sedang kritis? Mana tanggung jawab anda sebagai dokter?"

Dokter bedah itu menjawab dalam senyum, "Saudaraku saya sangat menyesal atas keterlambatan ini. Tadi saya sedang berada diluar, tetapi begitu dihubungi saya langsung menuju kesini. Semoga anda maklum dan dapat merasa tenang sekarang. Doakan semoga saya dapat melakukan tugas ini dengan baik, dan yakinlah bahwa Allah akan menjaga anak anda."

Keramahan sang dokter ternyata tidak meredamkan amarah si bapak, bahkan suaranya mengguntur. "Anda bilang apa? Tenang!?Sedikit pun anda tidak peduli rupannya, apakah Anda bisa tenang jika anak anda yang sekarat? Semoga Allah mengampuni Anda, apa yang akan Anda lakukan jika anak anda meninggal?"

Sambil tetap mengulas senyum dokter menanggapi, "Bila anak saya meninggal saya akan mengucapkan seperti yang difirmankan ALLAH: "Yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah mereka mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’in."

Dokter itu melanjutkan, "Adakah ucapan belasungkawa yang lain bagi orang beriman? Maaf Pak, dokter tidak dapat memperpanjang usia tidak juga memendekkannya. Usia ditangan Allah. Dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan putera Anda. Hanya saja kondisi anaknya kelihatannya cukup parah,oleh karena itu jika terjadi yang tidak kita inginkan ucapkanlah inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Saran saya, sebaiknya anda pergi ke mushala rumah sakit untuk memperbanyak shalat dan doa kepada Allah agar Dia menyelamatkan anak Anda," Tambahnya.

Laki-laki orang tua pasien menanggapi dengan sinis, "Nasehat itu memang mudah, apalagi untuk orang yang tidak punya hubungan dengan anda."

Sang dokter segera berlalu masuk ruangan operasi. Operasi berlangsung beberapa jam, lalu sang dokter keluar tergerasa-gesa dan berkata kepada orang tua pasien, "Berbahagialah Pak, Alhamdulillah operasi berjalan lancar, anak anda akan baik-baik saja. Maaf, saya harus segera pergi, perawat akan menjelaskan kondisi anak anda lebih rinci."

Orang tua pasien tersebut tampak berusaha mengajukan pertanyaan lain, tetapi sang dokter segera beranjak pergi. Selang beberapa menit, sang anak keluar dari ruang operasi disertai seorang perawat.

Seketika orang tua anak itu berkata, "Ada apa dengan dokter egois itu, tidak sedikitpun memberi kesempatan kepada saya untuk bertanya tentang kondisi anak saya?"

Tak dinyana perawat tersebut menangis terisak-isak dan berkata, "Kemarin putera beliau meninggal dunia akibat kecelakaan. Ketika kami hubungi, dia sedang bersiap-siap untuk mengebumikan puteranya itu. Apa boleh buat, kami tidak punya dokter bedah yang lain; oleh karena itu begitu selesai operasi dia bergegas pulang untuk melanjutkan pemakaman putranya. Dia telah berbesar hati meninggalkan sejenak segala kesedihannya atas anaknya yang meninggal demi menyelamatkan hidup anak anda."

Ya Allah rahmatillah hati yang meski terluka, namun tidak bicara.



Sumber: Kolom.abatasa.com Senin, 19 November 2012

R a j a w a l i

Cerpen: Esti Pramestiari

Aku merindukanmu Rajawali, sepekat pelangi merindukan hujan sore tadi. Aku merindukanmu rajawali, merindukan mata yang berpendar mengajakku terbang tinggi dan menari. Aku merindukanmu rajawali seperti kala itu kita berjanji untuk kembali, bersama suatu hari.

Malam ini, hujan bergemuruh, langit gelap, mataku selalu ingin terpejam, meski sulit. Dibayangku hanya ada saat dimana kita bersama, rajawali itu menatapku..sayapnya seakan menyentuh pori-pori tubuhku, diam tanpa suara... aku memandangnya, melihat luka yang sama dimatanya, luka itu kurasakan, batinku yang berkata, meski bibirnya terdiam tanpa suara. Aku menyentuhnya, menyentuh wajahnya yang kuat namun aku mengerti sayapnya telah rapuh karena terpaan cuaca.

"Hei Rajawali.. apa aku boleh menyentuh sayapmu?" kataku. Rajawali itu terdiam, aku memandangnya lekat, tanpa suara meski aku mengerti maknanya. "Bolehkah aku mengobati sayapmu yang patah?" kataku kemudian. Rajawali itu tetap terdiam, matanya memandangku, andai rajawali itu mengerti betapa aku telah menyerahkan seluruh hatiku padanya. Seperti hembusan nafasku yang terlahir sempurna hanya untuk bersamanya.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Petir bergelora, aku bersama rajawali, menyentuh kepakan sayapnya, sempurna.. sebentar lagi mungkin rajawali dapat kembali terbang mengitari dunia. Rajawali itu diam, melihatku tanpa bersuara, meski kali ini sayapnya yang tak luka menyentuhku. Aku larut, larut dalam gelora dunia, tak perduli akan awan hitam yang mengajak pergi namun selalu ingin kembali.

Aku larut alam geloranya, matanya mengajakku untuk terus menari. Aku menyentuhnya, menyentuh kepakan sayap dengan luka lamanya. “Rajawali tetaplah disini,” aku berkata dalam hati, tak ingin membiarkannya pergi. Rajawali tak mendengarkanku, dia larut dalam sinar malam ditemani bintang dengan kejoranya.

“Rajawali... jangan pergi,” aku berkata dalam hati, daun keringku tertiup angin lalu pergi, malam ini dia nyaris tak dapat mendengarku.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Pagi ini, cakrawala menari, mentari berpendar dengan indahnya, tanpa suara, tanpa kata. Rajawali berkata "Pagi," aku tersenyum, karena itu kata dimana aku selalu menanti pagi, menanti matahari, menanti kehidupan. Aku juga memiliki luka, luka yang mungkin aku simpan sendiri dan tak ada seorang pun mengerti maknanya, namun aku harus berkata kali ini, kepada rajawali, aku yakin jiwanya yang indah dapat menerimanya, menerima luka yang aku rasa, seperti aku menerima kepakan sayapnya yang patah karena terpaan cuaca.

"Boleh aku bicara" ucapku. "Silahkan" rajawali menjawabnya. Aku bercerita semuanya, sejujurnya, meski membuka kenangan yang terkoyak membuat seluruh tubuhku merinding akan kelu. Rajawali terdiam, menatap mataku yang menunduk, aku berharap dia dapat menerimanya.

"Jika begitu, maka aku yang harus terbang tinggi," sahutnya. "Maksudnya?" kataku kemudian. Aku terdiam, hatiku terkoyak, jiwaku memanggilnya namun dia tak mendengarnya, betapa mentari seakan tak lagi ada, seperti udara disekelilingku pekat, seperti aku seorang diri menatap dunia.

Rajawali itu pergi, aku melihatnya, melihatnya dari kejauhan yang tak seorang pun dapat melihat kepakan sayapnya yang telah kembali sempurna. Jiwaku memanggilnya, namun rajawali tak mendengarku, dia terbang dengan sayap indahnya, lalu aku sendiri, menikmati dunia.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Diam….ditemani langit tanpa bintang. Saat ini, aku lebih menanti malam, bukan lagi mentari yang datang tanpa bintang, malam membiarkanku bersuara lantang akan banyak hal, angin malam menyapaku, menyapa tubuhku yang tak lagi bernyawa, aku merasa separuh jiwaku telah pergi bersama rajawali.

Burung gereja datang, berkerumun diatas jendela, menyapaku satu persatu dengan kepakan sayapnya, aku tersenyum, hanya berpura-pura, karena aku hanya dapat tersenyum bila rajawali kembali...aku merindukannya...merindukan mentari yang datang bersamanya..bersama kepakan sayapnya yang telah sempurna.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



“Pagi,” satu persatu burung kenari menyapaku..memegang jiwaku yang telah pergi..memelukku. Aku berusaha menikmati pelukannya, namun nyatanya..aku tak mampu...labirinku mati..ya tak ada lagi senyuman setelah dia pergi...rasaku telah terbang tinggi dan menari bersama rajawali yang terbang tinggi.

Hujan.. langit legam.. enggan bicara akan kebenaran. Aku menikmati rasa yang aku tak pernah mengerti kapan harus terhenti. Tak lama burung merpati datang, memberiku sepucuk surat, aku memegangnya, membukanya dan menikmati isinya.

"Tadi.. aku ingin meloncat.. mengambil putihnya kapas langit..sebagai persembahan sederhana..sesederhana matahari yang menjadikannya panas bumi..lalu menjadikannya awan..dan menjadikannya hujan cinta" @Rajawali. Aku tergetar...aku memelukknya, memeluk kertas dengan nama yang kurindukan didalamnya. Dimana rajawali pelangi? dimana aku harus mencarinya? Pada langit, matahari atau pelangi... aku merindukannya, katakan padanya aku ingin dia kembali.

Tak lama petir bergelegar kembali, putikku hancur, aku membiarkannya, menunggunya dalam kelam dan ruangan hampa udara, entah hingga kapan, hingga mungkin bungaku layu tanpanya, dalam penantian panjang yang sempurna.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Mentari pagi ini, bersama kupu2 terkesiyap..merejap. Aku meniupkan sesuatu kepadanya. Tiupan kata yang hanya aku dan kupu-kupu yang mengitariku yang mengerti maknanya. Serpihan kapas menggeliat..merejap. Kupu-kupu..sampaikan kata bahwa aku merindukan rajawaliku yang terbang tinggi dilangitmu . Aku berdiri dibumiku, menantinya memelukku hingga suatu hari dia akan selalu bersamaku, ya bersamaku, tertawa dan kami berpendar di udara memetik putihnya kapas langit, berdua.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



End
Ditemani Rintik Hujan
Bandung, November 2012

Esti Pramestiari, penikmat Sastra, mencintai sastra sejak pertama kali mengenal kata dan bahasa. Karya-karyanya berupa cerpen, cerbung, puisi, dan karya jurnalistik lainnya banyak diterbitkan diberbagai media cetak dan elektronik. Cerita pendeknya yang dimuat di Kompas.com antara lain Perahu Kertas, Perawan Tua, Surat Cinta untuk Aa, Wanita Penghibur, Homonculus, dll. Saat ini sedang mempersiapkan novel pertamanya yang akan terbit bersama Timoteus Talip penulis yang telah melahirkan delapan buah buku fenomenal.
Sumber: Oase.kompas.com, Jumat, 14 Desember 2012

Huruf Terakhir

Cerpen: Benny Arnas

Namaku Lili, ujarmu diperkenalan kalian dua tahun yang lalu, perkenalan yang akhirnya mengantarkan kalian ke pelaminan, pernikahan yang melempar kalian ke kesemuan yang lucu, kenyataan menyeret kalian ke dalam lakon berdarah siang itu!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Sejak dipromosikan menjadi sekretaris direktur, sebagian besar waktumu kau habiskan untuk urusan pekerjaan. Kau tak pernah tahu, sedari kau putar kunci Avanza lalu meluncur ke kantor di utara kota. Illy selalu berhasil membawamu kembali. Dari pagi hingga malam meninggi, kalian membincangkan banyak hal. Dari pekerjaan, kesetaraan gender, kurs rupiah yang makin anjlok, anggota-anggota DPR yang beradu mulut dan saling tonjok, isu naiknya harga BBM, hingga perkara asmara> Untuk yang terakhir, kalian tidak hanya terlibat dalam perbincangan yang hangat, tapi juga kerap bercumbu bagai tak menenggang keberadaan tetangga. Kadang Illy tertawa keras-keras, kadang memekik penuh gairah, dan tak jarang melenguh seolah tengah menuntaskan pertarungan-pertarungan. Kalian selalu melakukannya sepanjang hari.

Bila kau pulang cept, di waktu yang sama, kau buru-buru menyelinap keluar dari pintu belakang. Illy juga selalu pandai berakting seolah sepanjang hari sibuk menulis artikel budaya untuk koran lokal, beberapa puisi picisan untuk majalah remaja, menghitung untung-rugi beberapa usaha alternatif yang hingga kini belum direalisasikan, atau membereskan pekerjaan rumah sebagaimana dilakukan oleh para ibu rumah tangga - atau bahkan para pembantu rumah tangga. (Bukan, bukan kau yang meminta Illy melakukannya. Dia sendirilah yang mengajukan diri seolah menenggang kesibukan yang membelitmu, seolah tahu diri dengan status pengangguran).

Selayang pandang, Illy memang tampil sebagai suami yang sayang istri. Ya, walau menjadi penopang keuangan keluarga, kau tak pernah berpikir untuk membabukan suami. Kau hanya sering heran, mengapa Illy selalu lupa merapikan seprei ranjang atau sofa panjang ruang tengah. Kau selalu mendapati dua perabotan itu dalam keadaan kusut atau berantakan. Kau tak pernah menaruh curiga kepadanya. Kau seolah lupa, sepengangguran apa pun, Illy adalah seorang sarjana, Illy adalah laki-laki nornal yang haus kehangatan, Illy bukanlah seorang dungu yang setia-buta menantikan kau pulang larut malam dalam keadaan lelah yang sangat (dan Illy menyiapkan air hangat yang akan membilas lelahmu agaar kau dapat menyongsong malam dengan mimpi yang menrebangkan kepenatan). Lagi pula takkah kau merindukan kehadiran seorang anak, Lili?

Ah, yang terang, kau tak pernah tahu, Illy hanya memandangimu yang pulas disampingnya (Oh Lili, takkah kau iba kepadanya?); kau tak pernah sadar bahwa kau tak pernah punya waktu untuk bertarung dengannya di dalam kelambu brokat tembus pandang; kau juga tak pernah tahu, akhirnya Illy melampiaskan gairah kepada kesepiannya, yang tiba-tiba meluangkan waktu untuk mendengar curhatnya, kepada yang tiba-tiba mendengarkan setiap keluh-kesahnya, kepada yang selalu memberi pertimbangan perihal usaha yang akan ia buka, kepada yang selalu memberi kenikmatan tak tertanggungkan tanpa harus berlaku sepertimu dulu: menerapkan kamasutra yang aneh-aneh lalu menganggurkannya sekian lama hingga saat ini! Kau sangat kejam Lili!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Pagi itu, kau tergesa-gesa mengunyah nasi goreng masakan Illy ketika ponselmu berdering nyaring. Direktur memintamu ke kantor lebih awal. Ada rapat mendadak dengan klien di perusahaan. Tanpa banyak ba-bi-bu, kau oke-kan saja. Kau tinggalkan sarapan yang baru kau lahap dua sendok. Terburu-buru kau ambil segelas sirup-sunkis dan meminumnya seperempat isi. Setengah berteriak kau pamit. Kau tutup pintu serampangan. Menuju Avanza yang baru selesai dicuci Illy pagi tadi. Tak sampai dua menit, mobil metalik itu sudah membawamu menyusur jalanan yang bingar oleh perang klakson.

Di kantor, kau akan mendampingi laki-laki flamboyan yang kau panggil "Pak Direktur" untuk mengikuti rapat yang akan dimulai satu jam lagi. Kau tahu kalau laki-laki itu sudah lama menaruh hati kepadamu. Namun kau mengabaikannya saja. Tentu saja kau tidak menunjukkannya. Kau masih cukup cerdas memilih; kapan melengkungkan senyum, kapan mengejek ketidakberdayaan pemimpin. Kau selalu pandai berkilah bila rekan-rekan kantor (khususnya yang wanita) kerap mengolok-olokmu.

Kepada mereka kau nyatakan bahwa kau memang tak membantah perihal Pak Direktur yang sangat perhatian, namun kau menolak dikatakan mendapatkannya dalam porsi lebih, apalagi dengan cara yang tak semestinya. Pak Direktur hanya ingin menunjukkan bahwa karyawan yang baik akan mendapat tempat yang lebih layak, ujarmu sok bijak. Kau terenyak mendapati berkas-berkas di dalam mapmu.

Ada yang kurang. Kaau lirik arloji mungil yang melilit pergelangan tangan kirimu. Tiga puluhmenit lagi rapat akan dimulai. Kau minta izin keluar sebentar. Pak Direktur menunjukkan air muka keberatan. Namun senyum manis yang kau sunggingkan, seolah-olah meyakinkan pimpinan perusahaan itu bahwa kau akan kembali sebelum rapat dibuka. Ya, tentu saja kau pulang mengambil beberapa nota kesepakatan yang akan ditandatangani klien perusahaan di akhir rapat.

Kau nyalakan mobil. Kau tarik napas agak panjang sebelum menginjak pedal gas. Kau akan mengemudi dengan kecepatan tinggi. Mobil melaju. Cepat. Kau pasang konsentrasi tinggi. Mobilmu meliuk dengan mulus di beberapa simpang dan jalan yang tak rata. Baru kali ini kau dapati bukti bahwa keadaangentingdapat melecutkan keberanian hingga beberapa kali lipat.

Kau bunyikan klakson beberapa kalinamun Illy tak kunjung membukan pagar. Kau pun kesal. Kau turun dari mobil. Kau menggeret pagar dengan muka kusut. Kau parkir mobil sekenanya di halaman (sebenarnya bisa saja kau memarkirkan mobil di depan pagar tapi kau khawatir ada mobil lain yang akan melintas di jalan kompleks yang sempit itu). Kau menarik grendel pintu depan dengan gerakan malas.

Kau banting pintu. Kau gegas ke ruang kerja. Kau membuka lemari yang biasanya kau gunakan untuk menyimpan berkas-berkas kantor. Sembari memeriksa berkas-berkas yang belum juga ditemukan, kau memanggil-manggil suamimu. Tentu saja kau bukan hendak meminta bantuannya untuk mencarikan beberapa map penting karena ia memang tak tahu apa-apa tetang pekerjaanmu. Kau hanya ingin memastikan bahwa suamimu ada di rumah. Kau hanya ingin tahu mengapa ia tidak mengunci sekaligus membukakan pagar dan pintu untukmu.... Mengapa ia mengabaikanmu!

Praaaanggggg!!

Kau menoleh. Vas bunga kristl yang dihadiahkan Pak Direktur di hari ulang tahunmu beberapa bulan lalu, tersenggol siku tanganmu. Pecah. Beling-beling berserakan di lantai. Kau makin kesal. Mulutmu mulai merunyam. Beberapa kali kau panggil suamimu dengan berteriak. Tak juga ada tanggapan. Ponselmu berdering. Nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya. Irama degup jantungmu mulai timpang. Butir-butir keringat mulai berebutan menerobos pori-pori kulitmu. Kau menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan.

Klek!

Perasaan lega dan khawatir bertabrakan dalam dadamu ketika mendapati panggilan terputus sebelum sempat kau jawab. Kau gegas menekuri lemari berkasmu. Ups! matamu berbinarcerlang. Kau akhirnya menemukan apa yang kau cari. Kau melirik arloji di tangan. O, rapat pasti baru saja dimulai, gumammu. Kau tahu Pak Direktur pasti marah. Tapi memilih mendampinginya tanpa berkas yang harus ditandatangani, tentu dapat membuatmu terdepak dari posisi nyaman. Baru saja hendak menuju pintu, kau mendengar suara dari kamarmu. O, suara itu memang berasal dari sana. Dan, suara itu. O, benarkah suara itu benar-benar dari kamar? Itu suara suamiku, batinmu bergetar. Suara itu, suara itu, desahan itu, desahan yang menggambarkan kenikmatan yang tengah didaki.

Benarkah desah itu memanggil-manggil namaku, batinmu menggigil. Bahumu turun-naik. Perasaanmu benar-benar tak tentu. O, tidakkah kau sadar, sudah lama nian kau tidak membuat suamimu mengeluarkan suara-suara yang meremangkan gairah? Dan kini..... O kini, kepalamu bergaasing demi menerka siapa yang telah membuat suamimu sebergelora saat ini! Kau bersijingkat mendekati pintu kamar. Pelan-pelan kau buka pintunya yang tidak terkunci. Kau mengintip.

Awalnya kau sipitkan sebelah mata sebelum akhirnya tanpa kendali kau belalakan kedua indera penglihatanmu itu. Kau berteriak sembari berlari menuju suamimu yang bergeliat di atas seprei ranjang yang kusut.

Paaakkkk!

Sebelah tanganmu terasa berdenyar sehabis menampar sebelah pipi laki-laki yang sedari tadi sibuk memegangi kelaminnya sendiri! Illy pun terkesiap tak alang kepalang. Refleks ia bangun, mengeret tubuhnya ke pojok ranjang, lalu meraih selimut untuk menutupi kemaluannya. Ia benar-benar malu dengan apa yang baru saja terjadi. Kau pun memandanganya dengan tatapan iba. Sekujur tubuh suamimu simbah oleh keringat.

Tampaknya kau benar-benar merindukanku, sayang.... ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa. Illy masih menggigil. Ia seperti remaja yag habis digagahi tiga orang sekaligus. Tatapannya kosong. Ia terus memanggil-manggil namamu. Kau tak kuasa meneteskan air matamu. Kau seolah baru sadar telah mengabaikan suamimu lebih dari setahun belakangan.

Kau lepaskan stiletto-mu. Kau naik ke ats ranjang. Kau peluk suamimu seolah menenangkan seorang anak kecil yang habis dihajar ayah tiri. Kau rapat-rapatkan dadamu ke wajahnya dan ia terus memanggil-manggil namamu. Aku di sini, sayang, ujarmu lagi dengan nada menenangkan seraya melepaskan syal yang melilit lehermu. Aku juga sangat merinduimu, lanjutmu dengan wajah penuh rona. Kini kau lepaskan semua yang menutupi tubuhmu. Kau pikir, bercinta dengan suamimu siang itu adalah salah satu cara untuk mengakui kealpaanmu selama ini. Kau seperti mendada tak perduli pada rapat di kantor yang akan segera berakhir. Kau tak tahu kalau suamimu benar-benar bingung apa yang tengah di hadapi. Sungguh, ia ingin melanjutkan percintaan denganmu, perempuan yang menggiring jemarinya mencumbui selangkangan sendiri.

Gubrraaakkk!!! Tendangan kaki kanan Illy membuatmu terjengkang dari atas ranjang. Tubuhmu berguling-guling di lantai. Kau rasakan banyak kunang-kunang mengitari kepalamu. Pelipismu meneteskan cairan marun kental. Samar-samar kau lihat Illy meraih tembikar seukuran tubuh bayi dan...... o o o, ia mengarahkannya ke arahmu, ke kepalamu! Kau tak sempat berteriak, seolah membiarkan dering ponsel dalam tas kerjamu (nama Pak Direktur mengedap-ngedipkan kayarnya) membisingkan siang itu, seolah membiarkan kematian datang bersama ketaktahuan yang mengenaskan. Yang Illy inginkan bukan Lili, tapi Lily! (jp)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 16 Desember 2012

Pesona Kecantikan Perempuan

Oleh: Adminaba

Subhan tidak bisa menolak apa yang yang telah direncanakan orangtuanya, yaitu perjodohan dengan perempuan yang sama sekali tidak dikenalnya.

"Azizah adalah perempuan yang sangat baik. Dia pandai menata rumah. Selain itu, dia adalah perempuan yatim piatu yang salihah," kata ibunya.

"Bagiku, perempuan salihah yang akan mendampingimu jauh lebih berharga dibandingkan semua perempuan cantik di dunia ini," lanjut ayahnya mantap.

Hati Subhan berontak. Namun, dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka karena menentang orangtua. Akhirnya, dia pasrah dan menuruti kemauan orangtuanya.

"Jika kau setuju, Anakku. Kami akan menjemput Azi-zah di kampungnya," ujar ayahnya. Bagaimana mungkin aku tidak setuju ? kata Subhan dalam hati.

Subhan hanya mengangguk setuju. Ia tak ingin mengecewakan keinginan orangtuanya. Jika perjodohan ini membuat orangtuanya bahagia, Subhan akan menyetujuinya. Bagi Subhan, tidak ada yang lebih berharga selain membahagiakan orangtuanya.

Paras Subhan yang tampan memudahkan dirinya memilih perempun cantik mana pun yang akan dijadikanm istrinya. Sebenarnya, Subhan memiliki kriteria sendiri untuk calon pendampingnya. Dia ingin mendapatkan seorang perempuan yang elok. Semua harapannya tinggal impian. Azizah, gadis yang dijodohkan dengannya, sama sekali tidak dia ketahui rupanya.

Ketika khitbah, sekilas ia menatap wajah calon istrinya. Menurut ayah dan ibunya, Azizah baik. Subhan bisa melihat dari wajahnya yang teduh dan damai, tetapi tidak ada guratan kecantikan di sana. Aaah...

Azizah adalah perempuan dengan rupa yang sederhana, jatih dari kriterianya. Batin Subhan menjerit, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di lubuk hatinya, dia tetap menilai kecantikan perempuan bukan sekadar baik. Namun, perempuan itu haruslah memiliki tubuh tinggi langsing, mata bulat lengkap dengan bulunya yang lentik, hidung mancung, bibir ranum, dan kulit yang indah. Azizah, tidaklah demikian.

Peijodohan harus terlaksana. Subhan tidak bisa menolak keinginan orangtuanya. Dengan sekuat tenaga, Subhan mengusir kriteria perempuan dan berusaha menerima Azizah apa adanya. Berusaha mencintainya, walau rasanya itu akan sia-sia saja.

Akhirnya, pernikahan teijadi. Subhan melihat Azizah begitu bahagia. Sinar matanya mengatakan hal itu. Subhan berusaha untuk bahagia. Demi orangtuanya, Subhan berusaha membuat semuanya terlihat bahagia, walau setiap malam hatinya menjerit. Begitu sulit melepaskan diri dari kriteria perempuan impiannya.

Hari demi hari, dia semakin tidak mampu berpura-pura bahagia. Subhan merasa hidupnya sia-sia. Dia mulai marah dengan keadaan itu. Ya, dia mengakui bahwa Azizah melayaninya dengan baik. Azizah seorang istri yang baik, tetapi itu tidak cukup membuat Subhan mencintainya.

Subhan mulai mengacuhkan Azizah. Azizah semakin menyadari bahwa suaminya tidak mencintainya. Subhan semakin ketus hingga akhirnya Azizah bertanya kepadanya, tetapi Subhan tak menjawab.

"Apa pun yang kaulakukan padaku, aku akan tetap mengabdi padamu sebab kau adalah suamiku," ujar Azi¬zah mantap.

Subhan hanya diam tak menyahut. Ternyata memang benar, walau Subhan bertindak seenaknya, Azizah tetap melayani Subhan dengan baik. Azizah memang istri yang baik dan benar kata orangtuanya, Azizah juga perempuan yang salihah. Saat tengah malam, dia tak pernah absen shalat tahajud dan melantunkan ayat Al-Qur’an. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat had Subhan tergugah. Kadang, Subhan memaki dirinya sendiri. Mengapa dia begitu terobsesi pada perempuan cantik? Bukankah dalam agama Islam diajarkan bahwa keimanan adalah faktor terpendng dalam memilih pasangan?

"Aku hamil," kata Azizah suatu pagi.

Subhan hanya menatapnya dengan dingin.

Pada suatu hari, di tengah peijalanan menuju rumah, Subhan bertemu dengan sahabat lamanya. Wajah sahabatnya itu sungguh berduka.

"Mengapa kau terlihat bersedih?" tanya Subhan.

Sahabat Subhan lalu mengajak Subhan berteduh di sebuah masjid.

"Aku ingin bercerita," katanya.

Subhan berjalan mengikuti sahabatnya menuju masjid. Dalam hatinya ia bertanya tentang hal yang ingin diceritakan sahabatnya itu. Seharusnya dia bahagia karena telah menikahi seorang perempuan yang sangat cantik.

"Ini mengenai pernikahanku. Maafkan aku, ya Allah...," desisnya pelan. "Aku tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan istriku, tapi..." lanjutnya.

"Apa yang teijadi?" tanya Subhan.

"Kau tahu betapa aku sangat mencintai istriku. Kuakui aku jatuh cinta padanya karena dia sangat cantik dan sempurna."

"Ya...," terbayang di benak Subhan wajah istri sahabatnya yang memang sangat cantik.

"Pada awalnya, orangtuaku tidak merestui hubungan kami. Hingga Ayah menanyakan, mengapa kau tidak menikahi perempuan yang salihah? Ya, memang benar istriku tidak sempurna dalam akhlaknya. Dia adalah perempuan yang jarang mengaji dan shalat. Hatiku telah dibutakan oleh kecantikannya."

"Lalu?" tanya Subhan penasaran.

"Ternyata, pernikahanku memang tidak bahagia. Istriku terlalu banyak menuntut. Awalnya, aku memaklumi karena dia memang masih awam dalam hal agama. Aku sebagai suaminya, akan berusaha menuntunnya. Namun, aku justru semakin tersiksa dengan sikapnya. Jika tuntutannya tidak kukabulkan, dia tidak memperlakukanku seperti seorang suami. Istriku sangat boros, bahkan kini aku memiliki begitu banyak utang karenanya. Ketika aku menegurnya, dia beralasan karena aku tidak bisa mencukupi kebutuhannya, padahal..."

"Ya...?" mata Subhan membulat. "Tahukah kau? Orangtuaku kini jatuh miskin karena semua yang mereka miliki diberikan kepadaku demi membahagiakan istriku."

Subhan tertegun.

"Kini, aku tidak memiliki apa-apa lagi. Istriku malah semakin tidak menghormatiku," kata sahabat Subhan sambil menitikkan air mata.

"Istriku meminta cerai. Alasannya, dia bisa lebih bahagia dengan lelaki kaya yang sanggup memberikan segalanya."

Cerita sahabatnya itu membuat hati Subhan teriris. Apa yang sudah dia lakukan pada Azizah sungguh tidak adil. Allah memberinya jodoh terbaik. Azizah memang tidak cantik, tetapi dia adalah seorang perempuan yang salihah. Dia adalah seorang istri yang sangat menghormati suaminya. Dia adalah istri yang tak pernah menuntutnya, bahkan dia memberikan cinta tanpa pamrih yang begitu indah.
Selepas mendengarkan kisah pilu sahabatnya, diam-diam hati Subhan bertekad bahwa tidak ada lagi kriteria perempuan impian dalam hatinya. Bidadari itu sudah dikirimkan Allah untuknya.
"Azizah, aku akan berusaha mencintaimu," kata Subhan dalam hatinya.

Sebelum pulang, Subhan menyempatkan diri ke sebuah toko untuk membeli sebuah jilbab yang cantik. Dia ingin membuat Azizah bahagia dan memberinya senyum yang manis. Setiba di rumah, ketukan pintu Subhan tidak dihiraukan.

"Ke mana istriku?" tanyanya dalam hati.

Kreeeek... ternyata pintu rumah tidak terkunci. "Assalamu’alaikum."

"Wa’alaikumsalam." Dari arah kamar, terdengar suara lirih Azizah.

Dengan langkah cepat, Subhan menuju kamar. Dilihatnya Azizah tergeletak di kasur dalam keadaan lemas.

"Ya Allah, apa yang teijadi padamu?" Subhan memeluk Azizah.

"Aku terjatuh di kamar mandi," jawab Azizah lirih.

"Kenapa kau tidak pergi ke rumah sakit? Tidak adakah yang menolongmu?" Subhan gusar.

"Aku belum meminta izinmu, Suamiku,"

Subhan menangis, dadanya terasa sesak. Dalam tangisannya, terbayang sikapnya yang tidak adil kepada Azizah. Pengorbanan dan pengabdian Azizah sungguh luar biasa. Subhan memeluk erat tubuh Azizah hingga Subhan merasakan detak jantung Azizah berhenti. Azizah meninggal dalam pelukannya dengan wajah yang sangat teduh. Dia terlihat cantik. Dalam penyesalan yang menyeruak, Subhan merasakan angin sejuk menghampiri dirinya. Cahaya cinta yang memancar dari wajah Azizah semakin kuat untuknya. Subhan menyesal karena tidak memberikan hatinya untuk perempuan itu.

Di samping tubuh Azizah, terdapat sepucuk surat. Subhan lalu membacanya dengan pandangan yang terhalang air mata.

Suamiku, maafkan aku karena tidak membuatmu bahagia. Berikan ridha dan ikhlasmu untukku dan anak kita. Aku mencintaimu. ISTRIMU



Subhan menangis tersedu-sedu. Kenapa cinta datang terlambat? Allah menghukumnya dengan penyesalan yang luar biasa.

"Sesungguhnya, dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (istri) yang salihah." (HR. Muslim)



Sumber: Kolom.abatasa.com

Rabu, 19 Desember 2012

Golok Berdarah di Tanganku

Cerpen: Sunaryono Basuki Ks

Tiba-tiba golok berdarah sudah berada di tanganku. Aku tidak tahu dari mana datangnya, namun orang-orang menunjuk ke arahku dan mulai bergerak setelah terdengar teriakan: "Itu jambretnya! Tangkap!" Gelombang orang-orang yang merangsek ke arahku. Tanpa kuinginkan, tangan kananku yang memegang golok terangkat ke atas.

Darah makin melumuri tanganku, sesaat rombongan orng yang tadinya merengsek maju terhenti, namun seseorang berteriak: "Jangan takut! Ayo maju bersama. Ambil tongkat besi! Ambil!" Mereka mulai mencari-cari di tong sampah, di got, di halaman toko, apa saja yang bisa yang bisa mereka pakai sebagai senjata. Tapi lelaki yang tadi berteriak malah sudah memegang pedang panjang. Dari mana dia mendapatkannya? Aku tak sempat berpikir panjang sebab mereka sudah mulai merangsek maju dan mulai mencapai tubuhku, dan memukuliku dengan tongkat dengan apa saja yang bisa dipakai memukul, dan tangan kiriku meraba kepalaku yang bersimbah darah, dan kemudian aku tidak tahu apa aku pingsan atau mati.

Kulihat tubuhku terjatuh di tanah, mereka tetap memukuliku bertubi-tubi, walau aku tidak melawan. Kemudian, kukira aku berbisik: "Apa salahku? Aku tidak berbuat apa-apa." Jangankan bisik, andaikata aku mampu berteriak pun pasti mereka tidak mampu dan tidak mau mendengarku. Yang penting mungkin bagi mereka melampiaskan rasa kesal mereka pada tubuhku, pada diriku yang memegang golok berdarah.

Tapi, bukankah aku tidak tahu dari mana golok berdarah itu berada di tanganku? Tiba-tiba dan begitu saja. Pasti mereka jengkel, hampir setiap hari terjadi penodongan, penusukan, pemerkosaan, dan semuanya menjadikan masyarakat resah kehilangan rasa aman. Polisi tidak mampu mengatasi hal ini, selalu kecolongan aksi-aksi para penjahat itu. Tetapi, aku bukan penjahat. Hanya saja aku tidak punya pekerjaan tetap.

Kalau ada kesempatan, aku memulung sampah-sampah kardus yang dapat kujual pada pengumpul. Namun aku tak punya niat atau keberanian buat membunuh orang dengan golok berdarah yang tiba-tiba berada di tanganku. Sekarang entah tubuhku terbaring di jalan atau ngambang di awang-awang. Aku tidak yakin. Apakah aku berada di rumah sakit, tetapi siapa yang peduli membawa tubuhku ke rumah sakit? Ataukah aku berada di kamar jenazah dan mati sebagai Mr X sebab aku memang tidak punya KTP.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Aku lihat seorang lelaki yang baru meakukan penusukan dengan cepat mengalihkan itu ke tangan seorang lelaki berpakaian kumuh yang sedang mengorek-ngorek tong sampah mencari sisa-sisa yang masih dia bisa dikais. Peristiwa itu berlangsung cepat, aku hampir tak mampu mengawasinya andaikata aku tidak berada di depan jendela lantai dua bangunan itu. Dengan jelas aku lihat lelaki yang menusuk seorang perempuan tua dengan golok, entah apa yang dia kehendakinya.

Ya, baru jelas, dia menjabret kalung perempuan yang berteriak itu yang segera dibungkam dengan sabetan golok yang membuatnya berlumuran darah. Kulihat perempuan itu rebah ke tanah, namun lelaki yang mengais tong sampah itu tiba-tiba memegang golok berdarah di tangannya, dan menjadi sasaran amuk massa. Aku ingin meneriakkan ari atas sini bahwa dia tidak bersalah, dan bahwa lelaki yang berteriak rampok itulah pelaku yang sesungguhnya. Namun, andaikata aku berteriak pun akan sia-sia dan tak akan mampu menahan gelombang amarah massa. Apalagi kalau pelaku sesungguhnya marah danmenuduhku sebagi komplotan pembunuh.

Oh, tidak. Aku tidak mau membahayakan diriku sendiri dengan menerima ancaman golok sewaktu-waktu. Siapa yang bisa memastikan bahwa pelaku penjambretan itu hanya seorang diri saja? Aku yakin mereka tidak pernah beroperasi sendirian. Pasti, paling tidak bertiga atau berempat. Klau kelihatnya pelaku hanya seorang, maka yang lain berjaga-jaga, sewaktu-waktu bisa menghujamkan golok atau pisaunya ke perut orangg yang membahayakan nasib mereka sebagi kelompok. Bahkan polisi pun bisa jadi korban penusukan. Mungkin itu sebabnya petugas polisi tidak sembarangan bertindak.

Dia selalu awas dan mengawasi situasi, siapa tahu di antara kerumunan massa ada yang membawa sajam, dan kemudian menerkamnya dari belakang. Aku terpaku bagai patung kayu di depan jendela, tak bisa menggerakkan lidahku untuk meneriakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan itu. Aku hanya bisa menyaksikan ketidakbenaran dan ketidakadilan dari jendela rumah bertingkat dua itu tanpa berbuat apa, bagaikan saksi situasi yang menimpa negeriku. Berbagai peristiwa hanya bisa disaksikan tanpa bisa meluruskannya. Ya, sekarang ini siapa yang mampu meluruskan jalannya sejarah, atau apakah memang sejarah punya puya jalan yang harus diluruskan? Aku benar-benar tidak tahu dan tidak mampu.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Aku berada di keramaian kota yang sudah biasa kujalani, dan aku juga sudah biasa waspada, memperhatikan orang-orang di sekelilingku yang gelagatnya mencurigakan. Sebagaimana biasa aku pergi ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari buat keluargaku. Aku bukanlah orang kaya. Suamiku hanyalah hanyalah seorang PNS kecil dari departemen yang mustahil melakukan korupsi, apalagi sampai menggelapkan pajak. Namun, aku bersyukur telah diberi kehidupan walaupun secara sederhana.

Karena suami dan anak-anakku belajar dan diajari hidup jujur, maka sering pula aku beranggapan bahwa semua orang seperti kami, yang hidup dengan bersyukur dan berjalan pada jalur yang benar. Namun, hari ini mungkin hari sialku, atau muungkin sudah berupakan buah dari hasil perbuatanku, atau perbuatan orang tua ku, atau perbuatan leluhurku yang harus kupetik. Orang Bali percaya pada hukum karmaa pala hukum buah perbuatan. Dan, walaupun aku bukan orang Bali, aku juga percaya pada hukum ini. Bukanlah esensi agama mengajari manusia berbuat baik? Benih yang ditebar tidak akan tumbuh sebagai tanaman yang berbeda. Menebar benih padi akan menuai padi. Biji salak akan menumbuhkan tanaman salak yang kulitnya bersisik namun buahnya masam manis.

Entah dari mana, tiba-tiba sebuah tangan terjulur dan menjabret kalungku. Kudengar bisik keras: "Jangan berteriak! Namun mulutku terbuka, dan sebelum sepatah kata keluar, sebilah golok menyambar leherku. Darah muncrat, namun aku masih mengenali lelaki yang menyambarkan golok itu. Lalu, orang-orang memburu seorang lelaki yang tangannya memegang golok berdarah dan menghajarnya. Aku ingin meneriakkan bahwa bukan dia yang menjabret kalungku, namun aku tak berdaya, dan kemudian aku mungkin jatuh pingsan. Kasihan lelaki malang itu, yang juga sedang menanggung buah perbuatannya. Aku tak berdaya.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Aku sedang berpatroli dengan sepeda motor HD sebagi petugas polisilalu lintas. Kulihat orang bergerombol menghajar seseorang, dan aku segera menelpon petugas lain untuk datang membantu. Walaupun aku bukan polisi anti huru-hara, sebagai polisi pelindung rakyat aku turun dari sepeda motorku dan meniup peluit untuk menarik perhatian massa yang mengamuk. Namun, nampaknya mereka tak peduli. Kulihat seorang lelaki sudah terkapar di jalan aspal. Tangannya memegang golok berdarah. Jalanan macrt. Kemudian juga, seorang perempuan tergeletak di jalanan. Mungkin dialah korban dari golok berdarah itu.

Aku segera mengatur lalu lintas agar tidak macet. Ambulance yang kupanggil segera datang, bunyi sirinenya meraung-raung dan dua orang korban itu segera dianggkat pergi, dikawal petugas polisi yang datang. Entah bagaimmana nasib mereka. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja dan persoalannya dapat diurus secara hukum. Beberapa orang sudah ditanyai sebagai saksi oleh rekan-rekan polisi yang datang. Setelah melapor melalui telepon, aku memacu motorku menuju rumah sakit, memburu ambulance yang meraung lebih dahulu. (*)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 9 Desember 2012