Minggu, 03 Agustus 2014

Nol Berhamburan

Nol Berhamburan

Oleh: Abidah El Khalieqy



Terasa nyaman waktu. Sebab kita tak sendiri. Sinyal-sinyal indah meretas jarak antara langit dan bumi. Makin kuhikmati dirimu. Semestamu. Makin terang cahaya di atas lembaran buku-buku. Nol berhamburan. Keramaian politik bergeming memmbaca rindu alif-ba-ta-mu.

Membentang luas cakrawala di cekung matamu. Gugusan awan mencair, menjelma hujan. Hilang jarum jam dari dari menit dan detik. Namun api di dada masih tetap membara sampai jua rinduku di titik nadir. "Turunkan rindu ini. Cintaku, aku tak kuat lagi!"

"Ke mana akan turun, rindu itu selamanya surga."

"Surga pertama atau kedua?"

"Lebih dari Adam dan Hawa, dalam rindu kita tak ada surga kedua."

"Ke mana pun, asal tak di sini. Aku ingin meloncat keluar!"

"Jangan! Nanti terpercik api."

"Sesekali aku ingin terjilat."

"Jangan berlebihan! Kau nanti bisa hangus."

"Oleh apa?"

"Api cinta!"

"Seberapa kobarannya?"

"Lebih membakar dari tujuh jahanam."

"Tapi aku ingin, sesekali merasai kobarnya."

Rupanya, bukan aku saja yang terbakar. Engkau pun terbakar seperti para muda kasmaran cinta. Matamu merah. Senyum bibir di wajahmu juga merah. Aku terpana, menatap cahaya menyinar dari aorta seluruh tubuhmu. Sepanjang langitmu serasa cerah.

"Katanya dah siap menjadi Rabiah?"

"Otomatis! Jika kau juga serupa Ibrahim Adham!"

"Jadi?"

"Kita mesti mengembara, memadamkan api di dada."

"Bukan! Tapi menaklukan rimba. Semesta rimba raya."

"Termasuk rimba diri?"

Entah! Berjuta jam berdetak di jantung. Ingin turun dari langitmu, menjejak fakta di bumi cinta. Mengharu biru jejak rindu. Seberangi tujuh lembah, tujuh samudera, tujuh gunung, dan tujuh belantara. Hingga fajar ditembus mentari, berbilyun watt cahaya. Menikahkan langit dan bumi, aku dan engkau, semarakkan jagat sunyi. Surga abadi turun dari galaksinya, menawarkan buah khludi.

Seperti butir debu yang pertama kali merangkaiku, debu demi debu menggulung tubuhku. Maka terbanglah aku merunuti semesta, keliling memutari timur yang jauh, barat yang sekarat, di balik kutub utara dan selatan, amblas terbenam ke dasr bumi. Coba mengingat dan mengenangmu tanpa jeda sampai kita dipertemukan di alam, saling berpacu dalam melodi cinta.

Dan kini kita telah kembali, dipangku hijau bumi. Putik-putik rindu menguntum lalu mekar. Lahirlah kata-kata, puisi dan cinta. Kueja satu per satu frasanya, melintasi doa, coba pisahkan aku dan kau dalam kerinduan. Bermiliar galaksi menyusun bintang. Mengedar planet dan bulan, berenang sepanjang garis edar dalam keserasian. Aku dan kau yang ditetapkan baginya, tak kuasa.

Aku pun pulang dan kembali dalam rumah kehidupan. Merawat cinta di bawah matahari. Tapi efeknya, wajahku kehangusan, lidahku kelu menjawab pertanyaan.

"Kau ingin pergi dari nyata?"

"Bukan! Aku hanya ingin melihat wajahmu di cerminku."

"Tak perlu, akan kuambil seluruh cermin agar kau bisa tetap merawat cinta."

Sungguh ajaib. Kata tetangga, wajahku cemerlang penuh cahaya. Bersama keikhlasan yang tak rampung kumengerti, aku sedih karena tak bisa lagi menikmati wajah tampanmu.

Aku sabar mengingat pengorbanan cinta walau purnama berganti seribu kali.

"Jika rindu menyergap, tatap lekatkah langit cintamu?"

"Yups! Separo wajahmu tergambar di sana."

"Bagaimana dengan kau sendiri?"

"Ehm, aku agi siap-siap untuk..."

"Untuk apa? Jadi relawan bumi pertiwi penuh korupsi?"

"Bukan! Aku ingin..."

"Ingin menjadi relawan penjajah negeri?"

Wajahmu membiru, senyummu kaku. Aku tak kuasa ingin meraihmu. Mencabut kembali tanyaku. Sendu pilu mendera aorta. Awan berarak di ubun-ubun. Matahari tidur dan angin ikut libur. Nyeri di dada kian mematri.

"Ya. Seperti rencana semula. Aku ingin bertapa di dasar jiwamu."

"Agar aku tak repot jika ingin menyusulmu?"

"Kalau tak sanggup, biarlah cinta kembali bersamaku."

"Mana mungkin? Tinggal ini kenangan, aku bisa mati tanpa cinta."

"Jika begitu, aku berangkat duluan nuju kerajaan."

Kerajaan siapa?"

"Ibrahim Adham!"

"Dan aku...?"

"Rabiah Adawiyah!"

"Jika kukatakan, pemenuhan tugasmu lebih tinggi nilai dibanding senyap gua Rabiah, aku tak yakin kau tak bakal membantah."

"Begitukah?"

"Ya. Telah mendalam aku selam. Aku hapal luar dalam."

"Tentang apa?"

"Cinta dan kerinduan. Mahabbah dan Sauqiyah. Aku dan kau."

"Haha! Sok tahulah! Tapi benar juga. Masa kita sama manusia, tempuhan jalan mesti berbeda. Rasa-rasanya, aku ingin, kita berangkat bareng bertiga."

"Bahkan Ibrahim Adham pun cemburu. Untuk apa lagi ia harus ikutan nuju istana itu? Istana, kerajaan, dan mahkota, telah tersemat lekat di atas kepalanya. Engkau pangeranku..."

Tatapmu beralih, mendesahkan nasib yang memuja. Makhluk tak berada telah menundukkan semesta adamu, sekaligus mengerjaimu bertumpuk halaman, berjilid pengetahuan tentang makna hidup. Inti cinta.

Hakikat pengorbanan. Membuat aku tak mau menyerah, ingin sejalan seirama. Jika kau pergi dan masuk ke gua Adham, sendiri aku tak kuat berjalan.

"Baiklah, aku tak punya pilihan lagi selain menahan waktu yang akan menghapusku dari keberadaanmu."

Atas nama lepuh cinta, mulut manusia bercuaca membakar apa saja yang dianggap tak memiliki cita-rasa. Apa salah para pecinta hingga rela dipanggang seperti irisan daging kambing di atas tungku. Disayat-sayat, dilukai, dan dikutuki.

Hanyalah cemburu pada aroma yang merangsang lidah untuk bergoyang. Sampai cinta migrasi. Jikalah ada planet biru yang siap menunggu, akan kubangun rumah rindu yang baru. Tapi di manakah planet itu berada, dan mampu tinggalkan masa lalu.

"Sudah lenyap planet itu, di gempa abad."

"O ya nasib...! Kalau negeri angin, masih adakah jejanya?"

"Kudengar masih. Nanti kulihat jadwal pesawat, kalau-kalau ada penerbangan nuju sana."

Ternyata negeri rindu itu masih terpeta di bumi. Ada fakta. Ada penerbangan pagi dan siang nuju sana. Kami suka cita membaca cuaca cerah dan semlir angina dikirim langsung dari laut cinta, mengipasi hati untuk terus berbenah. Perjuangan mesti berderap doa, si lemah terpapar derita, maju menggema bergulung bak gelegar guntur merindu redam.

Cintaku padamu, Kekasih. Munajat tanpa ampun. Menggedor langit menyibak Arsistawa! Bukan hanya Chairil Anwar, Kekasih, aku juga tak bisa berpaling. Hilang bentuk, hilang rupa. Dilecur rindu, lari pontang-panting nuju cakrawala, stasiun, terminal, pelabuhan, dan bandara. Lalu-lalang manusia, mata-mata asing dan langkah terburu. Radiasi nuklir darurat cinta.

"Pakai masker dong!"

"aku tak biasa masker. Bahkan takut melihat para pengguna masker pelindung, seperti hantu di televisi, ditanda dua titik hitam, mata kiri dan kanan. Berkali sudah diterang-jelaskan, bahaya nuklir lebih mengerikan dibanding vampir, karena benar-benar bikin leher kehilangan jarak paling dekat antara aku dan kau. Aku hanya tahu, masker bikin sesak napas saja. Ogah, ah! Walau nuklir itu cintamu."

"Telah diciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, duka dan bahagia yang terus berputar di garis edarnya."

"Dan tahu dari dulu sejak aku bertemu dengan cintamu."

Kau pun diam dalam fakta-fakta. Menjelajah astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan 720 ribu km per jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar Solar Apex. Terus bergerak sejauh 17.280.000 kilometer dalam sehari. Bersama matahari, planet, dan satelit, aku dan kau juga berjalan menempuh jarak ini. Demi cinta yang tak pernah redam di dada.

"Benarkah?"

"Ya. Karena itu bukan kisah biasa. Tapi kisah cinta antara aku dan kau yang nestapa. Sampai-sampai langit pujangga menangis, mengolam airmata, bahkan mendanau. Namun di seberang danau itu, aku yakin suatu saat nanti kan terlihat kuntum demi kuntum mawar surga bermunculan. Wangi selaksa parfum bidadari. Mekar sepenggal bumi, sepotong waktu, tempat kita bercumbu mengekalkan makna setia. Hilanglah dunia seisinya jadi cemburu."

Kau diam diujung daun talas sehabis hujan. Lantas kubangun rumah rindu, sebisanya. Dan menyala bagaikan cahaya mengundang laron-laron saling berbondong ingin bertetangga.

Membangun rumah rindu, berjajar-jajar seperti seperti bintang di langit biru. Lantas kita pun sepakat, merayakan kampung rindu di negri antah baratah.

"Negeri rindu langit arsistawa, Bukan?

"Mungkin ya, mungkin juga bukan, karena aku dan kau masih serupa manusia."

Wajahku ngungun. Sepi sendiri di bawah singgasana, di antara kilatan cahaya kubah dan tiang-tiang yang dipikul para malaikat utusan Maha Pemurah yang bersemayam di atas lengkung tujuh langit. Tak berwujud. Bukan seperti singgasana para raja, atap rumah atau pilar dari logam mulia. Apalagi menjadi bagian dari punggung kaki, jejak cinta di gurun Layla-Majnun.

"Pusat pengendalian segala persoalan alam semesta, maksudmu?"

"Bisa jadi. Sebab cinta yang bersemayam di langit arsistawa bakal mengatur segala urusan."

"Urusan apa?"

"Urusan cinta antara aku dan kau!"

Tak dinyana, aku menggelapar di tengah kesunyian. Seribu kata berpendar lepas dari kesombongan hati. Bermiliar jarak menghiba di urat nadi. Coba terbang mengelilingi cakrawala semesta dengan sayap cinta. Dan gagal berkali-kali, tak kuasa mengejar malaikat bersayap cahaya yang bisa terbang ke mana saja. Seperti ayat-ayat suci menempel di jejak nol kilometer antara Adam dan Hawa.

Hatta mathla'il fajri. Kucari-cari cintamu hingga matahari sepenggalah. Namun apa daya, aku tetap mendebu di sini. Menunggu rumah rindu dikelilingi fakta bumi dan rupanya, belum juga beranjak dari tempat semula. Menggelepar sunyi. Menggapai-gapai matahari menyinari cinta di negeri zamrud khatulistiwa.

"Negeri Indonesia Raya maksudmu?"

"Tak ada negeri tanpa rindu. Tak ada Indonesia Raya tanpa cinta!"

"Hatta mathla'il fajri. Lailatul Qadar mengaji sepanjang malam, menapaki jejak-jejak kehidupan. Nol berhamburan di antara sepi dan sunyi. Menunggu kesejahteraan merata dikeliling fakta bumi, kedamaian dan keselamatan, namun rupanya belum juga beranjak. Masih melata sepertti semula.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Abidah El Khalieqy, penulis novel best seller Perempuan Berkalung Sorban. Tinggal di Jogjakarta

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 3 Agustus 2014