Rabu, 19 Maret 2014

Benarkah Aku Anak Jin?

Benarkah Aku Anak Jin? Namaku Citra. Citra Larasati Atmaja. Aku dilahirkan di Klinik Mempelam Raya, pada tengah malam Jum'at, tanggal 15 Januari 1980 di Jalan Mempelam Raya, Jakarta Pusat. Pada sebuah klinik kecil yang ditangani Bidan Nursanti. Di klinik ini, aku dijual kepada pengusaha mebel besar Suradi Atmaja. Seorang pria yang tidak punya anak walau sudah tiga belas tahun menikah dengan Surti Kemala. Surti Kemala ibu angkatku. Dialah yang mendidik, membesarkan serta memberi kasih sayang yang penuh kepadaku. Begitu juga dengan ayah angkatku, papi Suradi Atmaja, yang juga sangat menyayangiku, mendedikasikan dirinya untuk kemajuanku hingga aku menjadi seseorang di masa dewasaku. Aku menjadi sarjana dan pengusaha sukses, meneruskan perusahaan dan berjaya.

Namun kekayaan dan kemewahan hidupku tidaklah lengkap sebelum aku menemukan siapa ibu ibuku, siapa ayahku sebenarnya. Sebab, sejak aku remaja, banyak orang, terutama keluarga mamiku, membongkar rahasia kehidupanku, di mana aku bukan anak kandung Suradi dan Surti.

Mereka membuka rahasia bahwa aku anak perempuan misterius yang dilahirkan di Klinik Mempelam Raya, dibantu oleh bidan Nursanti, di mana ibuku kabur setelah melahirkan aku. Data tentang ibuku tidak ada, gelap dan bidan Nursant sendiri sendiri, tidak tahu di mana alamat ibuku dan apa pekerjaannya.

Namun, pada saat melahirkan aku, Bu Bidan hanya bilang bahwa ibuku mash berusia muda. Diperkirakan berusia 15 atau 16 tahun. Dikisahkannya juga, setelah aku berusia tiga hari, dan ibuku itu sudah pulih, bertenaga, dia kabur lewat jendela klinik lalu menghilang entah ke mana.

Pada bulan Januari 2012, aku berumur 30 tahun. Karena umurku cukup dewasa, maka ketika Mas Sugama melamarku, aku langsung kabarkan ke papa da mamaku. Mereka mendukung dan menerima lamaran Mas Sugama dan kami pun menikah.

Ayah dan ibu angkatku sangat memanjakan aku. Namun sayangnya, aku masih merasa kurang bahagia. Atau katakanlah, kebahagiaanku kurang lengkap sebelum aku menemukan ibu kandungku. Ibu yang melahirkan aku dan dari rahimnya aku ada ke dunia ini. Untuk itu, aku gigih mencarinya. Aku memasang iklan di mana-mana, masukkan di radio, teevisi, majalah dan koran-koran.

Hal ini, mulanya ditentang ayah dan ibu angkatku. Namun, setelah aku terangkan bahwa aku hanya ingin bertemu saja, setelah itu kembali ke ayah angkat, maka merekapun memperbolehkan. Bahkan ibu angkatku turut membantuku mencari ibu kandungku itu. Bidan yang punya klinik yang menolong persalinan, juga membantu dengan sungguh-sungguh.

Berkat bantuan seseorang intelejen partikelir yang disewa papaku, maka aku mendaatkan petunjuk penting tentang di mana keberadaan ibuku itu. Bu Bidan pun, menemukan data yang sama dan ibu kandungku itu berada di Jati Petamburan, Jakarta Pusat.

Kami masuk ke daerah stasiun kereta api di pinggir Sungai Kanal. Di antara gerbong-gerbong kereta barang tua, yang sudah tidak dipakai, seorang erempuan pesakitan sedang merintih. Dia kelaparan dan sakit maag parah dan tidak ada yang mengurus.

"Tidak salah lagi, dialah ibuku, wanita yang melahirkanku di klinik," kata Bu Bidan. Bu Bidan tahu persis wanita itu. Dia ingat wajahnya dan wajah wanita itu mirip sekali denganku.

Seperti datang intuisi kemanusiaan, wanita yang di situ bernama Suriyem itu langsung berusaha duduk. Dengan tubuh yang lemah, dia berusaha menyambut kami. Bu Bidan memegang bahunya, meminta agar dia tidak berdiri. Bu Sariyem meminta tanganku diulurkan kepadanya. Dia lalu menarik tanganku dan memelukku dengan erat. Beberapa saat kemudian da menciumku dengan mesra.

"Anakku, anakku, maafkan ibu telah meninggalkanmu di Klinik Mempelam Raya punya Bu Bidan ini," lirihnya sambil menangis tersedu.

"Hampir setiap minggu ibu datang mengintip ke rumah orang tua angkatmu. Ibu melihatmu dari kejauhan, dari balik pohon dan mengintipmu saat kau keluar dengan mobilmu menuju tempat usahamu. Ibu pun tahu tempatmu bekerja, ibu mengetahui persis pertumbuhanmu dari tahun ke tahun dan melihat perkembangan dirimu setiap waktu," kata ibu sambil menangis.

"Bagaimanapun, kau anak yang aku lahirkan dan ibu sangat mencintaimu. Ibu sangat terpaksa meninggalkanmu dan ibu yakin ada keluarga yang akan mengadopsimu dan mengurusmu sampai kau menjadi orang berharga, wanita yang berguna bagi nusa dan bangsa ini. Jika ibu membawamu, kau akan bernasib malangseperti ibu. Ibu seorang manusia miskin, hina dina, menderita. Ibu hanyaah pelacur kelas bawah, yang menjadi pekerja seks komersial murahan, yang tidur dari gerbong ke gerbong kereta tua," desisnya, sambil terus terisak.

Duh Gusti, aku ternyata anak seorang wanita tuna susila. Ibu kandungku ternyata seorang pelacur pinggir jalan. Hidupnya menggelandang dari gerbong ke gerbong, dari kolong jembatan ke kolong jembatan yang lain di ibukota. Karena tak tahan melihat nasib kandungku, aku menangis memeluk tubuhnya yang kotor dan kurus.

Batinku berbicara, bertekad, bahwa aku harus menyelamatkan ibuku. Aku akan memasukkannya ke rumah sakitdan berjuang untuk kesembuhannya. Setelah dia sehat, aku akan mengajaknya tinggal di rumahku. Walau ayah dan ibu angkatku begitu dekat dan aku sayang, namun ibu kandungku ini juga haruslah aku perhatikan. Dia berhak mendapatkan kasih sayangku. Suamiku harus menerima dia karena dia ibu kandungku.

Hari itu juga aku membawa ibuku ke rumah sakit. Ayah dan ibu angkatku, menerima kenyataan ini. Bahkan mereka memberikan dukungan yang kuat kepadaku dengan ikut memikirkan ibu kandungku setelah keluar rumah sakit.

Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit. Alhamdulillah ibuku sembuh total. Badannya mulai berisi dan kulit pucat mulai memerah segar. Ibu langsung aku bawa ke rumahku. Namun keputusanku ini ternyata tidak berjalan mulus. Suamiku menolak ibuku karena dia seorang pelacur. Yang dihna suamiku bukan hanya ibu, tapi juga aku.

Dia menyesal menikahiku karena ternyata aku anak seorang pelacur. Kami berselisih dan terjadi keributan besar dan aku menggugat cerai. Suamiku memenuhi gugatanku dan kami pun bercerai. Ayah dan ibu angkatku mula-mula keberatan, namun setelah melihat sikap kerasku mempertahankan ibu kandungku, orangtua angkatku pun akhirnya menerima.

Lmbaran kehidupan baru pun aku buka sebagai janda. Namun aku bahagia karena aku bersama ibu kandungku yang melahirkanku. Aku mempunyai dua ibu, saah satunya ibu yang membesarkan aku yang aku sangat cintai dan ibu kandungku yang melahirkan yang juga aku cintai. Kami tinggal bersama di Cinere dan ibuku aku beri kegiatan usaha mini market di sebelah rumahku yang aku beli untuk ibuku. Ibuku memimpin beberapa karyawan dan toko itu meneguk banyak keuntungan.

Setelah kami hidup tenang, pelan-pelan aku mengorek ibuku. Aku kepingin tahu siapa sebenarnya ayahku. Pikirku, mungkin saja ayahku tidak bisa diketahui karena ibuku pelacur. Ibu berhubungan seks dengan siapa saja dan dengan lelaki bermacam-macam lalu hamil diriku dan dia tidak tahu benih yang mana menjadi aku.Suatu malam, sambil bergetar ibuku mengakui apa adanya, bahwa aku bukan anak manusia.

"Kok bukan anak manusia, maksud ibu?" deakku.

Ibu menggambarkan bahwa dia menggunakan pil anti hamil pada saat melakukan hubungan intim dngan pelanggannya. Tidak akan hamil dan tidak mungkin hamil, katanya. Namun, ibu mengakui bahwa dia menikah secara gaib dengan Jin Tamil, jin hitam dari India yang ibuku temui di Pasar Ular, Tanjuk Priok, Jakarta Utara. Dikisahkan, tengah malam, ibuku dinikahkan oleh dukun pemelihara ratusan jin untuk pesugihan. Ibu melakukan pesugihan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu dan menikah dengan Jin Tamil.

Setelah hidup sebulan dengan Jin Tamil, ibu hamil. Kehamilan itu terjadi di Pulau Onrust dan ibu mendapatkan hadiah emas batangan yang banyak dari Jin Tamil yang diangkat dari Pulau Onrust. Setelah mendapatkan emas batangan, Jin Tamil terbang meninggalkan ibu yang sedang hamil muda. Ibu lalu membawa emas itu menaiki perahu nelayan menuju Tanjuk Periok. Di pelabuhan Tanjung Periok, ibuku dirampok dan semua emas dibawa kabur lima perampok. Ibuku pingsan dan ditemukan sudah berada di salah satu kamar pelacuran Kramat Tunggak, Jakarta Utara.

Sejak itu ibuku menjadi pelacur profesional karena frustasi. Ibu djadikan pekerja seks komersial di situ hingga germonya pergi meninggalkan lokasi. Sebab, pemerintah DKI menutup lokasi pelacuran Kramat Tunggak dan dijadikan Islamic Center. Semua pelacur, germo, termasuk ibuku keluar meninggalkan lokasi dan terlantar sebagai pelacur di rel kereta api Senen dan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Di lokasi kelas bawah ini ibu tidak pernah dikontrol kesehatannya, tidak ada dokter dan tidak ada ahli juru suntik juga klinik. Maka itu ibu terkena penyakit kotor, penyakit gonorho, sepilis yang membuat dirinya menderita berat. Lain dari itu, karena kurang makan, ibuku menjadi penderita penyakit maag akut dan nyaris meninggal.

Alhamdulillah, aku bertemu ibu dalam keadaan hidup. Ibu lalu bersumpah, bahwa dia akan bertobat nasuhah. Dia bertobat dengan sungguh-sungguh kepada Allah Azza Wajalla dengan dikubur hidup-hidup. Prosesi tobat itu dilakukan di Pualu Onrust oleh Kiyai Hamidan Awaludin. Kiyai membimbing bertobatan ibuku itu dan kini ibu menjadi muslimah sejati. Kami naik haji bersama-sama orangtua angkatku dan ibuku total berubah.

Dia melakukan sembahyang lima waktu, puasa bulan Ramadhan, rajin shalat tahajjut, shalat Dhuha dan selalu menangis di sejadah. Sikap berserah dirinya kepada Tuhan begitu jauh dan dalam , bahkan melebihi diriku. Dia benar-benar menyesali perbuatan masa lalunya dan total bekerja untuk Tuhan. Setelah sukses dengan mini market, kami menbuat majelis taklim, pesantren, dan yayasan sosial. Ibuku mengurus semua itu dan sukses besar.

Malam Jum'at Kliwon, 16 Juli 2010, Jin Tamil tiba-tiba datang ke rumahku. Wujudnya seperti pria India, persis bintang film Bolywood, Rajesh Kanna. Tampan walau hitam, tinggi dan suaranya bariton. Dia minta bertemu ibuku dan aku memanggil ibu.

"Inikah anak kita Yem?" katanya, menunjuk aku, Ibu mengangguk tetapi ibuku menolak Jin Tamil itu. Ibu marah besar dan meminta Jin Tamil cepat meninggalkan rumah kami. Jin Tamil itu ketakutan dan buru-buru keluar rumah. Dalam hitungan detik, dia raib entah ke mana. Kata ibuku, dia terbang ke negaranya, Maladewa.

"Dialah bapakmu, tapi jangan kau akui dia bapak karena dia bukan manusia biasa. Dia Jin Tamil yang tak akan pernah bertanggungjawab kepada anaknya. Baik bangsa dia sendiri maupun anak bangsa manusia. Jangan ingat dia dan jangan pikirkan lagi dia," pesan ibuku.

Kiyai Aminudin yang aku mintai nasehatnya mengatakan hal yang sama. Bahwa Jin Tamil itu tidak bisa menyayangi anaknya. Dia hanya mengawini manusia tapi tidak pernah tulus menyayangi manusia.

"Maaf kiyai, benarkah jin pria itu bisa membuahi wanita, dalam hal ini ibuku, lalu lahirlah anak seperti aku ini?" tanyaku.

Dengan serius kiyai bertafakur, termenung, menengadah, lalu berucap. "Sebenarnya jin itu tak akan bisa membuahi wanita karena berbeda dimensi, berbeda bangsa dan mereka tanpa sperma yang mampu membuahi wanita kalangan manusia. Saya lihat kau bukan anak jin, tapi anak manusia, sperma manusia, laki-laki yang masuk ke rahim ibumu, lalu membuahi indung telur hingga jadilah dirimu. kau adalah anak alam, anak Pulau Onrust, yang mungkin ada bangsa manusia yang tidur bersama ibumu diluar pengetahuan ibumu. Jika kau mau, ada lelaki Pulau Onrust yang saya lihat mirip wajahmu, namanya Mat Rois. Dia nelayan pulau itudan dialah yang kuyakini ayah kandungmu. Bila DNA nya disamakan denganmu, pastilah dialah ayah kandungmu dan kau boleh menelitinya," terang kiyai.

Setelah bertemu kiyai, aku menjelajah kembali Pulau Onrust, pulau yang dulunya menjadi dermaga kapal Portugis yang digempur Belanda itu. Aku mencari ayah kandungku dan aku pun bertemu dengan Mat Rois. Dengan ketat aku menayai Mat Rois. Aku mengintrogasinya bagaikan polisi menanyai maling.

Mat Rois pun akhirnya mengakui jujur bahwa dia pernah bersahabat dengan Jin Tamil dan ikut tidur bersama ibuku. Dilah yang membuahi ibuku hingga ibuku hamil aku. Sejak itu, Mat Rois kuajak ke rumahku dan dinkahkan dengan ibuku. Kini, aku punya ayah baru, Mat Rois nelayan asal Pulau Onrust yang terlantar hidupnya.

Kini Mat Rois aku panggil ayah dan aku libatkan mengurus yayasan serta pesantren yang kami bangun di beberapa daerah di Jawa Tengah. Alhamdulillah, kini aku mempunyai dua ibu dan dua ayah, yang semuanya aku sayangi dan menyayangi aku. Terma kasih Tuhan, terima kasih ayah dan ibu angkatku, yang telah menjadikan aku manusia yang utuh.

Penganut Pesugihan Blorong

Penganut Pesugihan Blorong
Seekor ular berkepala manusia keluar dari atap rumah. Siluman ular itu kemudian masuk ke rumah warga. Dan keesokan harinya, warga yang kemasukan siluman ular itu meninggal tanpa sebab yang jelas.Kejadian ini aku alami beberapa tahun lalu, saat itu terjadi kegemparan di desa kami. Beberapa warga meninggal mendadak tanpa sebab apapun, kebanyakan usianya masih muda. Hampir tak ada yang tahu penyebabnya, hasil tes dokter menyatakan bahwa mereka semua baik-baik dan tidak mengidap penyakit apapun. Tetapi dari rumr yang berkembang mereka dijadikan tumbal pesugihan oleh beberapa orang warga desa kami yang menjalani ilmu sesat meraih kekayaan itu.

Kebetulan, di desa kami ada beberapa orang yang dinilai masyarakat meraih kekayaan dalam waktu singkat. padahal, mereka juga warga desa biasa yang menggantungkan hidupnya dari bertani dan bekerja di sawah seperti kebanyakan warga lain. Tiga orang itu, sebut saja Budi, Tole, dan Andik, tiba-tiba memiliki kekayaan yang melampaui warga lain. Berhubung baru saja terjadi kematian aneh beruntun, ketiga orang tersebut selalu menjadi pergunjingan warga karena dianggap menjalankan pesugihan.

Selama berbulan-bulan pergunjingan itu terus berlangsung. Sedemikian hebatnya gosip itu beredar hingga membuat Budi, Tole, dan Andik tak berani berkumpul dengan warga, mereka menjadi introvet dan anti sosial. Beruntung tak terjadi tindakan-tindakan brutal dan main hakim dari warga terhadap ketiga orang tersebut. Bila terjadi, tentu desa kami menjadi terkenal seantero Indonesia.

Sesungguhnya aku tak tahu menahu mengenai pergunjingan tersebut. Aku bukan orang yang suka menggunjing, karena aku juga tidak ingin menjadi bahan pergunjingan. Tetapi entah mengapajustru aku yang harus tahu kebenaran jawaban dari teka-teki kematian misterius beberapa warga desaku. Itu semua terjadi tanpa sengaja ketika aku bersilaturahmi ke rumah para tetangga ketika Lebaran Idul Fitri.

Saat berkunjung ke rumah Pak Sapto, sebut saja begitu, tetangga yang hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku. Tak biasanya keponakanku yang pendiam tiba-tiba berontak dan menangis ketakutan mnta pulang.

"Ayo pulang Mbah Uti. Ayo pulang. Aku takut," tangis Ulil, keponakanku, sambil menangis menunjuk salah satu kamar di rumah Pak Sapto.

"Jangan menangis, ayo dimaka dulu kuenya. Ini lho enak," rayuku menenangkan. Tapi ulil tetap menangis, bahkan semakin keras.

"Sudah jangan menangis, kamu takut apa?" kakakku ikut menenangkan.

"Aku takut Pa...," rengeknya.

"Takut apa?" Tanya kakakku yang juga ayahnya Ulil.

"Itu Pa, di kamar Mbah Sapto ada wanita tapi badannya ular. Di sebelahnya ada uangnya banyak," jawab Ulil. Seketka kami tertawa mendengar jawaban keponakanku yang baru berumur tiga tahun itu, tentu itu hanyalan anak-anak yang suka lihat sinetron dan film artun saja.

Tak sedikitpun terbersit pikiran negatif ketika Ulil berkata demikian, tak pernah kami menganggap kata-kata keponakan itu sebagai hal yang benar hingga lima hari kemudian. Lebaran sudah hampir seminggu berlalu, para pemudk sudah sudah banyak yang balik meninggalkan kampung kami yang sunyi. Malam itu, Ulil tak bisa tidur. Ia terlihat gelisah seolah melihat sesuatu yang mengerikan tengah terjadi. Nina bobo dan bujuk rayu ayah ibunya tak mampu membawanya terlelap.

Lonceng jam berdentang dua kali, pertanda malam telah merambat pada pukul dua dini hari ketika balita itu berjalan menuju kamarku dan membangunkanku.

"Om... om... bangun...," teriaknya membangunkanku. Aku yang sedar sore tak bisa tidur karena terganggu suara bersk kakakku merayu menidurkan Ulil menjadi terbangun.

"Om... ayo ikut aku," katanya sambil menggeret tanganku. Ia memintaku membuka pintu rumah dan mengajakku menuju teras.

Di depan teras tengah malam yang sunyi itu tiba-tiba perasaan angker menyergap diriku, mendirikan bulu kuduk.

"Ada apa kamu mengajak keluar?" Tanyaku memecah kesunyian.

Mata kecil balita itu memandangku tajam. Lama baru ia menjawab. "Om lihat genteng rumah Pak Sapto," katanya.

"Lihatlah, nanti om akan tahu sesuatu," katanya ringan tetapi membuatku semakin bergidik ketakutan di tengah malam itu.

Beberapa detk kemudian pemandangan mengejutkan terjadi di depan mataku, dari atap rumah Pak Sapto tiba-tiba keluar sesosok wanita berambut panjang dan bertubuh ular sebesar pohon kelapa. Tubuhnya berpendar leluasa menerobos genteng menunjukkan bahwa ia adalah makhluk gaib. Siluman wanita itu kemudian berjalan melata melintasi jalanan depan rumah yang berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Hampir saja aku pingsan ketka makhluk jadi-jadian itu melintas di depanku sembari menoleh dan memamerkan gigi runcingnya.

Setelah makhluk itu melintas tiba-tiba muncul keberanian, aku melangkah membuntutinya hingga beberapa langkah keluar menuju jalan depan rumah. Aku meihat jelas siluman itu memasuki rumah Bagus, temanku SMP. Dalam kebingungan dan tanda tanyaku apa yang dilakukan siluman itu di rumah sahabatku, tiba-tiba Ulil memanggilku dan mengajak masuk rumah serta mengunci pintu. Balita lelaki itu kemudian menyuruhku tidur dan ia juga tidur.

Dalam kamar aku malah tak bisa tidur, sulit mempercayai apa yang aku lihat. Tetapi semua itu begitu nyata terjadi di depan mataku. Lama aku berpikir hingga rasa kantuk menyergap dan aku tertidur.

"Le.. le, bangun, Bagus meninggal," suara keras itu membangunkanku saat baru saja aku merasa terlelap. Aku sangat terkejut dan seketika terbangun mendengar kabar mengejutkan itu. Sahabatu sejak masih SMP itu kini meninggalkanku untuk selamanya.

Kematian Bagus yang tanpa didahului sakit dan sebab apapun menambah daftar kematian misterius di desaku. Aku tercengang di antara bingung dan tanda tanya. Apa hubungan antara kematian Bagus dengan apa yang aku lihat tadi malam. Apa pula hubungannya dengan kejadian Ulil menangis melihat wanita berbadan ular saat kami bertandang ke rumah Pak Sapto beberapa hari lalu. Semua serba misterius.

Lamunanku dikejutkan oleh suara Ulil yang baru saja bangun. "Ada apa Om di rumah Om Bagus kok ramai?" Tanyanya.

"Om Bagus meninggal," jawabku pelan.

"Iya Om, Om Bagus dimakan siluman ular yang datang tadi malam," jawaban Ulil mengejutkanku. Aku tersentak kaget mendengar, mendengar perkataan Ulil. Antara percaya dan tidak, tapi aku melihatnya sendiri. Sampailah aku pada kesimpulan, kematian misterius selama ini adalah tumbal pesugihan Pak Sapto.

Apa yang aku lihat kemudian membuka benang merah mengenai misteri kematian aneh di desaku. Semua pemuda yang mati mendadak ternyata sebelumnya pernah diajak berpergian dan dimanjakan oleh Pak Sapto. Semula tak ada yang curiga jika Sapto menjalankan pesugihan, selain ia aktif berjemaah di Musholla depan rumah istrinya juga pandai menyebarkan gosip behwa pemilik pesugihan adalah Budi, Tole, dan Andik. Kolaborasi keji suami istri itu memang mampu menutup lelakon sesat yang mereka jalani untuk mencapai kekayaan.

Ternyata Budi, Tole, dan Andik menjadi kaya bukan karena pesugihan, mereka hanya korban fitnah istri Sapto. Mereka kaya kerena sebab yang berbeda. Budi kaya karena mendapat bagian warisan dari neneknya yang berada di Singapura. Tole kaya karena sepetak sawah yang ia miliki dbeli dengan harga berpuluh lipat leh operator telepon untuk tiang relay. Sedangkan Andik kaya karena menggeluti bisnis on-line. Pantas mereka kaya meski masyarakat tahu ketiganya tak bekerja.

Dari Ulil aku kemudian juga tahu, rupanya balita itu terbuka indera keenamnya, bahwa Sapto mendapatkan pesughan tersebut dari Laut Selatan. Permintaan mereka untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan pesugihan ditolak oleh Ratu Laut Selatan yang baik. Penguasa Laut Selatan itu sebenarnya memang tak pernah amu diajak kerjasama untuk melakukan perbuatab buruk. Kesempatan itu dipergunakan oleh Nyi Blorong , lelembut Laut Selatan yang jahat itu dan sesat untuk menjerumuskan mereka ke dalam kenistaan dengan menyanggupinya kaya raya melalui ritual pesugihan.