Minggu, 12 Mei 2013

Pada Setiap Putaran

Pada Setiap PutaranCerpen: Reni Heriani

Aku menelusup di sela sela enceng gondong lalu melesat mencari kehidupan baru di sebebas bebasnya air. Aku baru saja merasakan penyempurnaan bentukku sebagai telur yang menetas menjadi ikan. Namun aku masih mengenali aliran air yang menjadi tempatku hidup. Aku mengapung ke permukaan air lebih menghadap ke atas. Udara sekitar yang kadang gersang, kadang sejuk tak membuatku lupa. Ampere masih kokoh berdiri di sana, warna catnya pun masih sama seperti waktu dulu. Hanya bangunan di sekelilingnya yang agak membuatku pangling, seperti sebuah keramaian.

Bebarapa orang berdiri di pinggir sungai, benyeng pertahanan perang jaman dulu kini telah telah serupa tempat rekreasi. Aku bisa melihat dengan jelas keramaian di sana. Orang-orang itu berkata tempat itu Benteng Kuto Besak. Aku mengandai-andai menetas menjadi burung, mungkin aku lebih leluasa mengitari tempat itu. Sayapku bisa mengepak ke setiap sudut kota, hinggap di menara Masjid Agung atau mengelilingi puncak Monpera. Dulu aku melakukannya saat aku berupa kupu-kupu. Meski kedua sayapku rapuh, namun aku sempat singgah di taman itu. Orang-orang tak ada yang menghiraukan aku meski aku mengencingi dinding-dinding mereka.

Tiba-tiba saja ombak dari sebuah jukung menghempaskan aku ke sisi sungai yang membuatku tersangkut pada sampah minuman mineral. Napasku tersengal-sengal karena asupan oksigen yang sangat minim. Sebisaku aku berupaya menyelamatkan diri dari tempat itu dan berenang lebih jauh. Lagi-lagi ombak dari kapal barmuatan batu bara menghempaskanku dan membuatku panic. Sungai Musi sekarang begitu menyeramkan. Aroma limbah sempat terasa menyengat dan begitu pahit. Kepalaku sempat pusing dan berenang lebih menjauh. Air sungainya pun tak sejernih dulu, aku bahkan kesulitan mengenali teman-teman sesama ikan.

“Hai Putak… apa kau hanyut…?”

Seekor ikan Tapa menyapaku saat melintas. Aku tersenyum pada ikan yang jauh lebih tua dariku itu. Ukurannya sangat besar dibandingkan ukuranku, sepertinya ia penghuni lama sungai ini.

“Apa kabar paman Tapa, aku hanya sedang berjalan-jalan mengitari tempat ini.”

“Oh…, kenapa kau hanya sendirian…?”

“Tidak mengapa, aku hanya ingn lebih leluasa.”

Ikan Tapa itupun menemaniku sepanjang aliran sungai. Ia menceritakan banyak peristiwa yang ada dalam ingatannya. Tentang tuan pemilik hotel terapung yang dulu sering duduk sambil memainkan gitarnya dari balik bilik. Diam-diam Tapa selalu mendengarkan nyanyiannya yang mendayu-dayu dan berharap ada remahan roti yang terjatuh dari sela-sela lantai.

“Apa kau sudah lahir ketka Tan Bun Han tenggelam?”

Ikan Tapa hanya memutar tubuhnya dan berenang lebih ke tengah. Aku bergegas menyusulnya dari arah samping.

“Aku hanya mendengar dari cerita seisi sungai ini. Waktu itu aku belum lahir. Dan kisah pangeran dan putri begitu menghebohkan.”

“Lalu apa kau pernah melihat guci-guci yang menjadi malapetaka itu…?”

Ikan Tapa meliuk-liukkan tubuhnya.“Amarah dan kemurkaan tak menjadikan akhir yang indah…”

Aku terdiam dengan kalimat paman Tapa barusan. Mengekorinya menelusuri aliran sungai hingga delta sungai. Dulu aku pernah menjadi cacing di tanah itu, seorang nelayan menemukan aku di antara akar pohon cinta. Kait besi yang tajam dan runcing itu melukai tubuhku hingga tubuhku melengkung selengkung pancing. Itu awal kesakitan dan kegembiraan yang mempertemukan aku dengan takdir cinta yang berakhir pada penggorengan. Ternyata ikan Betutu itu bukan dirimu, dan aku kembali bereinkarnasi menjadi semut.

“Di sinilah legenda itu terukir.”

Ikan Tapa merapatkan tubuhnya agak ke tepi. Aku mengumpulkan ingatanku pada semua kejadian-kejadian yang mengitari kehidupanku. Aroma tanah yang gembur dan suasana yang sepi dan berangin membuatku merasa terharu. Aku tak pernah lepas dari perputaran ini. Dan aku ingin segera menemukanmu.

“Aku ingin mencari guci itu.”

“Aku tak pernah menyelam sedasar itu, tak perlubagiku mengetahuinya.”

Ikan Tapa menatapku tanpa mengerti apa yang aku pikirkan. Tubuhnya perlahan meninggalkanku yang tak juga beranjak dari dinding pulau. Aku masih berpikir tentang dirimu yang kini harus aku temukan lalu kita bersama-sama berjanji untuk kembali bereinkarnasi kembali menjadi manusia. Lihatlah, kita pernah menjadi sepasang kekasih yang selalu dikenang. Tidakkah kau ingin kita berakhir dengan pernikahan, bukan kematian.

Tan Bun Han melamar Fatimah, utusan dari Cina datang dengan kapal bermuatan penuh. Semua orang sudah berkumpul di tepi sungai menantikan kedatangan utusan dari Cina. Hati Tan Bun Han begitu berbunga, sebentar lagi wanita pujaannya akan sepenuhnya menjadi miliknya. Namun apa hendak dikata, apa yang diharapkan tak seperti perkiraan. Saat satu persatu guci diturunkan, isinya bukan emas permata seperti yang diharapkan. Semua guci hanya berisikan sayuran kering.

Rasa malu dan kecewa tak terbendung, dengan marah Tan Bun Han menendang guci-guci itu hingga tenggelam ke sungai. Hingga pada sebuah guci yang melayang, ia melihat isi guci yang terhambur berupa emas permata. Tan Bun Han terkejut dan berupaya menyelamatkan guci tersebut. Ia tanpa piker panjang segera menceburkan diri ke sungai. Karena arus sungai yang deras dan dalam, Tan Bun Han tak juga muncul ke permukaan sungai. Dengan perasaan cemas dan tanpa piker panjang, Fatimah ikut menceburkan diri ke sungai untuk menyelamatkan Tan Bun Han. Namun apa hendak dikata, mereka berdua tak bisa selamat dan akhirnya ditemukan tewas.

Aku menutup kenangan yang membuatku begitu terpukul karena kebodohanku sendiri. Lalu aku berharap bisa menemukan Fatimah dalam kehidupan selanjutnya. Aku tak harus menjadi pasangannya asal aku bisa berjumpa dengannya dalam satu kali putaran hidup dan menebus kesalahanku. Pernah aku menjadi ular yang berdesis-desis dan mematuk seorang laki-laki yang berupaya menculikmu. Namun sial bagiku, mereka memukuliku hingga kepalaku remuk. Tapi aku bahagia karena engkau bisa berlari dari cengkraman para penculik itu meski aku harus mati.

“Hei, menjauhlah…., manusia-manusia jahat itu sedang menuju kemari.”

Serombongan ikan meliuk-liuk saling mendahului. Aku ikut-ikutan bersama mereka bergerak dengan sangat lincah

“Mereka membawa putas, kita pasti mati.”

Seekor ikan patin terlihat sangat ketakutan.

“Kita juga akhirnya akan mati kawan.”“Ya, tapi tidak diracun.”

Segerombolan ikan-ikan yang panic itu menepi dan berbahagia karena selamat dari putas. Aku mengekori mereka dan berenang makin bebas. Tiba-tiba seekor cacing menari-nari di mukakubegitu menggiurkan. Dengan sikap seeokr patin menyambar cacing yang menggoda itu dan secepat itu juga tubuhnya terangkat dari dalam sungai dan berakhir di kaleng sang pemancing. Dalam keterkejutanku, aku berusaha berlari sejauh mungkin. Tiba-tiba saja tubuhku seperti melayang dan air sungai terasa kering. Aku terjaring sang nelayan.

Dalam kaleng yang nyaris tanpa air, aku berkumpul bersama ikan-ikan yang lain, yang sama menunggu nasibnya beberapa jam lagi. Kesedihan merayapi hatiku, berharap kematian tak terjadi sebelum aku bertemu denganmu. Canting sang nelayan mengeruk ke dalam kaleng, ikan-ikan yang tertangkap berebut untuk melompat keluar. Tubuhku terhimpit di antara ikan-ikan yang lain dan berlabuh ditimbangan. Entah berapa rupiah aku dan taman-temanku dihargai, seorang wanita membawa kami di dalam keranjang.

“Segar benar ikan-ikan ini bu.” Suara seorang laki-laki begitu dekat kearah keranjang.

“Iya, ibu akan menggiling dagingnya untuk membuat Pempek Pak.”

Suara parang begitu nyaring mengetuk-ngetuk papan tempat menyiangi ikan. Aku menghitung nyawaku sebelum berakhir di ujung parang. Mataku terpejam saat tangan perempuan itu menangkapku, sebentar lagi aku akan menjelma menjadi selenjer pempek dan kita tidak dapat bertemu dalam kehidupanku yang sekarang.

“Jangan, Bu.” Suara seorang anak kecil menghentikan ayunan parang sang ibu.

“Ikannya masih kecil, biar aku pelihara.”

Tanpa kata-kata sang ibu mengulurkan tubuhku yang tak berdaya pada anak lelakinya. Anak kecil tersebut melemparkan tubuhku ke kolam, tubuhku meliuk-liuk menghargai keselamatanku. Seekor ikan emas kecil mendekatiku, tiba-tiba saja hatku bergetar, mungkinkah itu Fatimah yang menjemput takdir cinta kami dalam sebuah kolam. Ikan emas makin gesit bergerak mendekatiku, sirip-siripnya terbentang semakin cantik. Aku menatapnya dengan takjub dan hatiku berharap, semoga saja ia Fatimah.

“Kenapa kau tersesat kemari…?” Ikan emas tiba-tiba telah berada di mukaku.

“Jaring nelayan mengaitku dan ibu itu membeliku.”

“Kau tahu, sebentar lagi kita akan menjadi sepiring pindang, atau berengkes tempoyak.”

Aku memahami apa yang ditakutkan ikan emas, namun aku tak peduli dengan semua itu. Kematian adalah pasti, dan aku tak akan menyesal asalkan berjumpa dengan Fatimah pada setiap reinkarnasi. Ikan emas seperti tak mengenali aku, dan aku juga tak tahu apakah ia yang aku cari.

“Apakah kau pernah berada di Sungai Musi, merasakan airnya yang selalu membuatmu rindu pada Palembang…?”

Ikan emas menggeleng dengan perasaan tak mengerti.

“Aku pernah di sana, saat Sriwijaya masih Berjaya, saat Ampera didirikan, bahkan saat pencemaran mulai memabukkan penghuni sungai. Namun aku selalu ingin berada di sana.” Ikan emas memandangku dengan takjub, seperti mendengarkan sebuah dongeng.

“Tapi kau masih kecil sayang.”

“Ya, tapi aku tak pernah lupa. Juga pada Fatimah.”

Tiba-tiba sebuah benda menyeruak ke dalam kolam. Air mendadak keruh dan aku terpental jauh dari ikan emas.

“Tolong..”

Tiba-tiba ikan emas berteriak-teriak dari cengkraman tangan seorang laki-laki. Aroma bumbu dapur begitu wangi tercium. Tubuhku lemas mengiringi kepergian ikan emas dari kolan ini. Satu tangan lagi mengobok-obok isi kolam. Saat itu aku sangat berharap bisa tertangkap dan bertemu dengan ikan emas salam belanga dan menuntaskan takdir cinta kami.

“Fatimah, aku menemukannya.”

Tangan anak lelaki itu menangkapku dan memasukkan aku ke dalam gelas. Wajah anak perempuan itu menatapku begitu senang. Ia berteriak-teriak kegirangan saat anak lelaki itu memberikan gelas berisi ikan padanya.

“Namanya Han.”

Begitulah anak perempuan itu memberiku nama. Matanya yang jernihberkeliaran memperhatikan gerakanku di dalam gelas. Aku mengingat senyumnya, seperti kuntum mawar di rambut seorang putrid. Aku mendadak melupakan ikan emas dan menatap lekat wajah gadis itu. Di tangan gadis kecil itu aku meletakkan takdirku, di tangan seorang gadis bernama Fatimah. (*)

Cerpen: Reni Heriani

------------------------------------

Juara Harapan II Pena Sumsel Gemilang 2012

-----------------------------------------------------------------------

Cerpen Pilihan Pembaca Sumatera Ekspres Kategori Umum

-----------------------------------------------------------------------

Citra Budaya

---------------------------------

Sumatera Ekspres, Minggu, 12 Mei 2013

--------------------------------------------------------------

Iwan Lemabang