Minggu, 12 Juli 2015

Kuntilanak Pohon Jamblang di Belakang Rumahku

Kuntilanak Pohon Jamblang di Belakang Rumahku Jantungku bergetar hebat tatkala aku melihat bayang-bayang melintas di dapurku. Bayangan perempuan menggendong bayi, memakai jarik, kain batik Solo dan kain gendongan lusuh, melintas dari kamar mandi menuju pintu dapur.



“Siapa kamu?” pekikku, beberapa saat setelah kaget dengan nyali menciut. Bayangan itu hanya diam saja, menghambur keluar pintu.

“Hei, kemana kami, siapa kamu sebenarnya?” tanyaku, setengah takut.

Malam itu hanya aku sendirian di rumah. Sebuah rumah baru yang kami tempati setelah suamiku pensiun. Rumah lama kami jual, lalu kami pindah ke luar kota. Membeli rumah model Paseo de Garcia.

Karena tidak mau menganggur setelah bebas tugas, suamiku bisnis batubara di Tenggarong, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Dua anak kami, semua bekerja di luar negeri. Karena tidak mau menggunakan pembantu, maka sejak pindah runah, aku selalu sendiri di rumah apabila suamiku mengurus bisnisnya.

Malam itu, adalah malam Jumat Kliwon, tanggal 5 Juli 2013. Usai sembahyang Maghrib, aku membaca Al-Qur’an, surat Yasin, sebagaimana dulu, rutin aku lakukan saat kami tinggal di Jakarta Timur. Membaca surat Yasin dan ratusan surat Al-Fatihah yang aku kirimkan untuk almarhum ibuku, ayahku, adikku dan famili-famili yang telah mendahuluiku.

Setelah membaca surat-surat itu, aku lanjutkan sembahyang Isya’. Habis sembahyang Isya’ aku kelaparan dan mau membuat mie instan di dapur. Sebelum aku menyiapkan kompor dan mie instan, aku melihat bayangan itu. Bayangan mengejutkan dari seorang ibu tua yang sedang menggendong bayi. Langkahku langsung terhenti dan aku tersentak kaget.

“Siapa kamu?” hardikku. Namun, bayangan itu hanya diam dan langsung berlalu. Menghilang ke pintu dapur dan raib ke pohon jamblang di belakang rumah.

Jantungku terus berdegub kencang karena takut. Gunjangan jantungku membuat aku menelepon suamiku. Kuceritakan apa yang aku lihat dan suamiku tertawa terpingkal-pingkal, bukan prihatin kepadaku yang ketakutan.

“Mana ada hantu di rumah kita Ma? Apalagi hantu perempuan tua menggendong bayi, nggak ada itu? Mama tersugesti cerita majalah yang Mama baca barangkali, sehingga Mama ketakutan lalu terhalusinasi seakan ada hantu di sekitar Mama. Sudah tenang aja, tidur saja yang nyenyak, besok Papa pulang,” kata suamiku di seberang sana.

“Papa ini bagaimana sih? Istrinya ketakutan, meminta pertolongan, malah ditertawakan? Pakai perasaan dong Pa?” bentakku, memarahi suamiku.

Malam itu aku tidak dapat tidur. Semua lampu aku nyalakan, padahal kami sepakat untuk berhemat energi listrik sejak suamiku pensiun. Mataku aku pejamkan tapi pikiranku terbayang-bayang kepada sosok ibu-ibu yang menggendong bayi itu. Jujur saja, aku ketakutan sekali malam itu.

Untuk minta bantuan orang agar dapat menemaniku, aku tidak bisa. Sebab aku penduduk baru di Kampung Enclek, dan belum kenal siapapun. Lurahnya aku kenal baik, saat membeli rumah itu. Tapi, masak aku minta temani Pak Lurah?

Tidak, aku harus berani. Malam ini aku harus lewati dan aku mesti berani menghadapi apapun. Jangankan hantu, pikirku, menghadapi rampok pun, aku harus berani.

Jam di dinding menunjukkan pukul 23.45 WIB. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari arah dapurku. Mirip suara geledek dan petir di pohon jamblang. Dengan sisa keberanian yang ada, aku mengambil senter dan menghambur ke dapur. Saat kusenteri, jantungku berdetak makin tak menentu di mana di sana aku melihat ibu-ibu tadi sedang memberi minum bayinya. Dia memberikan dot plastik berisi susu darah, merah, kepada bayinya. Darah siapa itu yang diberikan ke bayinya? Batinku, bertanya-tanya.

“Maaf Bu, ibu siapa dan ada apa di rumah saya ini?” tanyaku.

Si ibu tak menjawab sepatah katapun. Dia acuh tak acuh kepadaku dan terus memberikan susu darah kepada bay dalam gendongannya. Dia tidak melihat dan tidak mendengarkan aku. Namun senter terus aku arahkan ke mukanya yang pucat pasi, putih seperti kertas tulis.

“Maaf, ibu ini siapa dan mengapa di sini?” sorongku pula, tanpa menghiraukan bahwa dia tidak akan menjawabku.

Dengan diberani-beranikan, aku agak mendekat. Melaju beberapa langkah ke depan. Begitu agak dekat, ibu itu lalu duduk bersimpuh di kakiku masih memegang erat bayinya. Darah yang ada di dalam botol susu lalu tumpah dan aku melihat darah kental berceceran di dapurku.

“Aku adalah Rustini, bayiku ini bayi perempuan yang membutuhkan belas kasihan. Aku dan bayiku tinggal di pohon jamblang di belakang rumah ini. Tolong jangan dipotong pohon itu, biarkan rumah kami itu berdiri hingga alam akan mematikannya. Aku sudah meninggal 34 tahun lalu dan bayiku berumur setahun, butuh susu darah, minuman darah dan darah yang diminum darah ayam cemani, ayam serba hitam dan tolong disiapkan. Jika ibu membantu kami, kami akan membantu ibu. Saya menjaga harta karun di bawah pohon jamblang itu, dan harta itu hanya untuk ibu bila ibu secara rutin memberikan kami darah ayam cemani,” pntanya, setengah segukan. Dan nyaris menangis.

Aku berdiri tertegun melihat dia merangkak mencium kakiku. Aku lalu mengusap rambutnya yang lusuh, tetapi tidak dapat terjamah. Tanganku seperti memegang angin. Namun, aku berjanji kepadanya, akan menyediakan darah ayam cemani setiap malam Jumat Kliwon, seperti yang dipintanya. Aku tahu tempat di mana aku membeli ayam serba hitam itu. Darahnya diambil dan dagingnya boleh aku makan. Digoreng, dipanggang atau digulai, tidak masalah. Dia hanya membutuhkan darah ayam hitam itu dan aku memakan dagingnya.

Tengah malam itu arwah Rustini bersepakat denganku. Aku menyediakan darah ayam cemani sedangkan dia membuka harta gaib yang ada di pohon jamblang usia ratusan itu. Harta gaib yang ada di situ, disebut Rustini berbentuk emas batangan. Jumlahnya sangat banyak walau dia tidak memberitahukan jumlah nominalnya.

“Baik, kapan aku bisa mendapatkan harta gaib itu,” tanyaku.

“Tidak bisa sekaligus, boleh diberikan secara bertahap. Malam ini juga, aku akan memberikan kepadamu sebagian kecil dari benda gaib itu. Tapi tolong besok malam siapkan darah ayam cemani. Dan malam Jumat Kliwon bulan depan, siapkan yang banyak. Tujuh darah ayam cemani. Besok cukup satu, sebagai ikatan perjanjian keramat kita malam ini, jadi,” katanya.

Pukul 01.35 WIB, Rustini mengajak aku ke pohon jamblang. Ada rasa takut tapi aku membunuh rasa takut itu. Kutahan rasa ngeri itu. Dengan langkah gontai Rustini dan bayinya ke luar dari pintu dapur. Dia mampu menembus pintu yang terkunci rapat. Sedangkan aku tidak, aku harus terlebih dahulu membuka pintu itu dengan anak kunci di tanganku. Setelah terbuka, aku melihat pohon jamblang dan Rustini ada di bawahnya.

“Ke marilah Bu,” ajaknya.

Aku mendekat ke pohon jamblang dan Rustini menghilang ke dalam tanah, ppas di akar terbesar dari pohon jamblang itu. Beberapa saat kemudian, Rustini muncul lagi dengan bayinya dan menggenggam tiga batang benda berwarna kuning. Benda itu ternyata emas murni 24 karat dan diberikannya padaku.

“Tolong, hal ini jangan diberitahu kepada siapapun, termasuk kepada suami ibu sendiri. Ingat, jangan diberitahu orang lain, hanya ibu seorang yang tahu. Jika suami ibu diberitahu, akan sangat berbahaya bagi ibu. Saya akan marah dan ibu akan binasa di rumah ini,” ancamnya.

Tiga batang emas itu aku ambil dan kubawa ke dalam rumah. Beberapa saat kemudian, Rustini dan anaknya masuk lagi ke tanah dan raib dari pandanganku. Setelah masuk rumah, aku kunci lagi pintu dapur dan aku bawa emas itu ke kamar tidurku.

Besok paginya, hari Jumat pagi aku ke toko emas langgananku. Aku tersentak kaget karena emas itu murni 24 karat. Sore hari aku baru sampai di rumah. Aku diantar taksi berkeliling kota untuk urusan emas batanganku itu. Sesampainya di rumah, aku segera masuk mandi air panas. Sementara ayam cemani yang ada di dalam keranjang bambu, aku keluarkan untuk aku sembelih dan darahnya akan aku berikan untuk Rustini di pohon jamblang.

Setelah mandi aku sembahyang Ashar dan berdzikir panjang. Usai dzikir dan shalat, aku kembali ke pohon jamblang untuk mengucapkan terima kasih kepada Rustini dan meletakkan darah ayam cemani yang baru aku sembelih di dalam botol air mineral besar. Setelah itu aku memanggil Rustini dan dia diam saja, aku berdiri meninggalkan darah di pohn jamblang itu. Beberapa saat kemudian, aku melihat kembali ke botol air mineral, Duh Gusti, aku tersentak lagi. Darah itu langsung habis, botol menjadi kosong.

Pikirku, Rustini sudah meminumnya dan meminumkan darah itu untuk anaknya. Malam harinya, pukul 20.30 WIB suamiku datang. Aku dan suami tentu saja berpelukan erat dan kami makan malam bersama. Makan ayam cemani panggang kering yang aku campurkan dengan asam pedas. Suamiku sangat lahap menikmati daging ayam cemani yang gurih itu, sementara aku hanya sedikit. Aku tidak begitu menikmati karena ingat darahnya yang telah diminum oleh Rustini, kuntilanak, atau arwah penasaran yang menjadi kuntilanak penghuni pohon jamblang di belakang rumah kami.

“Daging ayam ini kok tumben, enak sekali ya Ma? Ayam apaan sih ini Ma?” tanyanya, sambil lahap menggigit daging ayam berberat satu kilo gram itu.

Aku menghindar untuk menyebut bahwa itu daging ayam cemani. Sebab ayam cemani sudah diketahui banyak orang bahwa itu ayam mistik. Ayam alam gaib yang digunakan untuk ritual memanggil jin, kuntilanak, genderuwo yang hidup di sekitar manusia. Bila kukatakan sesungguhnya, pasti suamiku curiga. Dia akan mencecar aku dengan banyak pertanyaan. Akibatnya, berabe, dia akan tahu bahwa aku sedang berhubungan dengan dunia mistik.

“Ayam kampung biasa Pa. ayam kampung yang Mama beli di pasar tadi pagi,” kataku, membodohinya. Berbohong untuk kebaikan kami. Aku sangat menjaga perjanjian gaib dengan kuntilanak, arwah Rustini di pohon jamblang. Jika suamiku tahu, akan sangat berbahaya bagiku. Bukan saja tidak diberikan emas kekuasaan gaib miliknya, tapi bisa juga mati dicekiknya. Untuk itu, aku harus merahasiakan hal itu dengan sangat tertutup dan ketat.

Hampir sebulan Rustini tidak menampakkan diri. Aku sudah berani keluar malam hari untuk mendatanginya ke pohon jamblang. Tapi, sejauh ini, Rustinitidak muncul dan aku tidak menemukannya. jangankan wujud yang nampak, suaranya pun, tidak bisa aku dengarkan.

Malam Jumat tanggal 9 Agustus 2013, tepat malam hari raya kedua, 2 Syawal 1434 Hijriah, tengah malam, aku mendengar suara gemuruh di belakang dapurku. Suara angin kencang yang mengayun pohon hingga berbunyi bergemeretak. Gesekan antara dahan ke dahan pohon mangga sebelah pohon jamblang.

Darah tujuh ayam cemani, dalam jerigen besar telah aku siapkan di dalam gudang. Suamiku tidak melihat itu dan dia tidak curiga. Pukul 24.00 WIB aku memberikan darah ayam hitam itu ke pohon jamblang. Beberapa saat kemudian, Rustini dan bayinya keluar dari tanah dan memberikan enam batang emas kepadaku. Buru-buru aku menyimpan emas itu di kamarku. Untung suamiku ngorok dan tertidur lelap. Dia tidak tahu sama sekali tentang emas itu dilemariku. Setelah mengisap darah dalam jerigen besar, kuntilanak Rustini menghilang ke dalam tanah lagi. Tiga hari setelah lebaran, suamiku berangkat ke Tenggarong lagi. Aku mengantarnya di depan rumah.

Namun sayang, di luar dugaan, pada malam Jumat, 13 September 2013, pohon jamblang berhantu itu dihantam petir dan mati. Pohon langsung terbakar dan tumbang ke tanah. Aku memanggil nama Rustini tapi Rustini dan bayinya tidak muncul lagi hingga kini. Maka itu, sejak tanggal 13 September 2013 hingga Februari 2015 ini, tidak ditemukan lagi. Ke mana dan ada di mana Rustini, hanya Allah Azza Wajalla yang tahu. Dan rezeki gaibku hanya berhenti di situ. Aku ambil hikmah positifnya, bahwa manusia tidak boleh serakah dan tamak. Alhamdulillah, aku telah mendapatkan harta gaib yang cukup untukku bisnis. (*)