Sabtu, 02 Februari 2013

Dalam Sebuah Perjalanan

Cerpen: Sheila Cavalera

"Jika kamu menghadapi sebuah masalah, pejamkan matamu dan sebut nama ayah dan ibu kamu di dalam hati dan saat kamu membuka mata pasti masalah itu akan lebih mudah dihadapi."

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Pandangan mata Heryda menerawang, masih terngiang jelas ditelinganya, bagaimana Hakim memukulkan palu sebagai akhir sebuah keputusan, mama dan papa resmi bercerai! Heryda sama sekali tidak menyangka akan menghadapi masalah sepelik ini, ia seakan harus melangkah tanpa tahu arah, ikut mama atau papa. Ia sayang mama tapi juga tidak akan pernah tega meninggalkan papa. Ia terbiasa hidup bersama dengan kedua orang tua yang begitu disayanginya itu.

Ah.... semua ini karena rasa ego kedua orang tuanya yang sama-sama tinggi, papa yang kariernya di bawah mama, mama yang tak pernah mau dikalahkan oleh papa, mata Heryda terasa memanas, pamandangan indah sepanjang perjalanan jadi terlewatkan. Lamunan itu buyar seketika saat suara seorang bocah remaja mengalir dari bibirnya sebuah alunan nada yang indah "Camelia" yang dinyanyikan bocah itu hingga para penumpang jurusan Kudus - Semarang terpesona, begitupun dengan Heryda. Dua lagu mengalir begitu saja via bibir mungil itu.

Setelah selesai bocah remaja itu mengulurkan topi yang dipakainya kepada penumpang, suara gemerincing uang receh terdengar, Heryda mengulurkan selembar lima ribuan dan memasukkannya ke dalam topi lusuh yang terulur, bocah itu berhenti di samping Heryda, tidak beranjang ke barisan belakang.

"Kenapa?" tanya Heryda lembut. Bocah itu terlihat bingung.

"Mbak gak salah nih ngasih....."

"Kamu nggak mau, kalau begitu mbak ambil lagi deh," potong Heryda, bocah tanggung itu tersenyum malu.

"Mau sih mbak cuma....."
"Kamu kan artis bis kota, lagu kamu bagus, suara kamu bagus dan niat kamu untuk cari uangkan?" ulas Heryda masih dengan senyum ramahnya.

"Terima kasih mbak," ucap bocah itu saat akan beranjak, entah kekuatan apa yang menarik Heryda untuk menahan kepergian bocah itu. "Eh.... kamu, sini dekat mbak." Heryda mengeser duduknya. Anak itu menatap Heryda ragu.

"Sini duduk..... kamu temani mbak."

"Tapi mbak, saya nggak bisa, saya harus cari uang......."

"Berapa kamu dapatkan uang sehari, mbak akan ganti. Kamu temani mbak deh," bujuk Heryda memohon.

"Tapi mbak......"

Heryda membuka dompetnya dan mengeluarkan selembar Rp 50.000. "Ini cukupkan untuk ongkos kamu pulang nanti."

Bocah itu memandang Heryda tak percaya, dengan malu-malu bocah itu menerima uang yang diulurkan Heryda. Kapan lagi dapat uang banyak tanpa mengeluarkan tenaga dan suara, pikir bocah itu, kesempatan toh ngaak mesti datang dua kali, bocah itu tersipu malu duduk di samping Heryda.

"Heh kamu..... terminal Depok nih, turun!" bentak kondektur bis melotot ke arah bocah pengamen yang kini duduk di samping Heryda itu. Heryda mengulurkan uang lima ribu pada kondektur yang masih melotot.

"Dia ikut saya pak, saya akan bayar," ucap Heryda, setelah menerima uang itu, kondektur Bus Ramayana itu bergegas pergi.

"Nama kamu siapa?" tanya Heryda lembut.

"Tommy mbak, tapi teman-teman pengamen saya sering panggil Tomblok G. Ade."

"kok....."

"Katanya sih suara saya miriip Ebiet G Ade, makanya saya selalu menyanyikan lagunya Ebiet G Ade, saya punya kasetnya lho mbak, koleksi ibu saya dulu," dengan polos bocah itu bercerita. Heryda tersenyum tipis, ia memang tidak menyangkal, suara bocah itu memang bagus.

"Mbak sendiri punya namakan?"

"Heryda." jawab Heryda singkat.

"Nama mbak bagus ya," puji Tommy tulus.

"Rumah kamu mana?"

"Saya asli Kudus saja mbak, Dersalam," jawabnya, Heryda mengangguk kecil.

"Mbk sendiri?"

"Mbak asli Magelang."

"Lalu di Kudus ketempat saudara mbak ya?" Heryda menggeleng.

"Mbak nggak punya saudara di di Kudus."

"Lalu...."

"Mbak sering berpergian dari satu kota ke kota lain, cari inspirasi," jelas Heryda singkat.

"Ohh... saya tahu, mbak pasti seorang penulis ya?" tebak Tommy, tabakan jitu....

"Kok kamu tahu...."

"Habis mbak tadi bilang cari inspirasikan, biasanya seorang penulis mbak," ulas Tommy.

heryda tertawa kecil. Ah... andai bocah itu tahu aku bukan hanya mencari inspirasi yang paling tepat adalah ingin melarikan diri dari masalah yang seakan membelitnya, masalah yang begitu menjadi beban dihatinya....

"Kamu nggak sekolah?"

"Saya keluar saat kelas 1 SMP mbak, nggak ada biaya, kasihan ibu saya, untuk cari makan saja susah apalagi untuk biaya sekolah saya, padahal saya anak tunggal," nada suara Tommy terdengar merendah, kasihan sekali batin Heryda.

"Ayah kamu....?"

"Tidak tahu mbak, dua taun yang lalu ayah pergi, katanya mau cari kerja di Jakarta tapi sampai sekarang nggak pernah kembali," anak itu jujur bercerita tantang kehidupannya.

"Kok saya terus yang bercerita mbak, gantian mbak dong...."

"Nggak ada yang istimewa dalam kehidupan mbak, untuk apa diceritakan," ucap Heryda dengan hati perih. Tommy menatap Heryda seakan mencari kebenaran di matanya.

"Mbak pasti deh bohong, itu mata mbak kelihatan sedih." Heryda mengalihkan pandangannya keluar kaca bus, Tommy jadi merasa kikuk, ia takut jangan-jangan ia menyakiti hati gadis yang telah berbaik hati kepadanya.

"Maaf mbak...."

"Nggak apa-apa, mbak memang sedang punya masalah kok," jujur Heryda.

"Saya pernah lihat di film mabk, ada kata-kata yang bagus sekali, saya selalu mengingatnya, begini nih.... Jika kamu sedang menghadapi sebuah masalah, pejamkan matamu dan sebut nama ayah dan ibu kamu di dalam hati dan saat kamu membuka mata pasti masalah itu akan lebih mudah dihadapi." ujar Tommy tanpa bermaksud untuk menggurui.

Heryda tertegun dengan ucapan bocah itu, menyebut nama ayah dan ibu.... siapa yang akan disebut terlebih dahulu, mama yang tak pernah mau mengalah atau papa dengan segala genssinya.

"Mbak..." tegur Tommy kembali mengagetkan Heryda.

"Mbak masih sekolah ya?"

"Iya... mbak kuliah di Magelang, jurusan Ilmu Sosial, saat ini sedang libur semester."

"Ayah dan ibu mbak pasti bangga ya punya anak yang baik hati seperti mbak."

Bangga... mama dan papa bangga? Benarkah? Mereka hanya mementingka egonya masing-masing tanpa mau memikirkan bahwa masih ada Heryda yang membutuhkan kasih sayang, batin Heryda sedih.

"Mbak.... sudah sampai terminal Semarang," Heryda mendesah pelan. Ah.... satu jam perjalanan ini tersa singkat. Padahal Heryda masih ingin bertukar cerita dengan Tommy. Sebelum turun bocah itu mengulurkan tangannya ke arah Heryda.

"Terima kasih mbak, saya akan berdoa untuk mbak, semoga masalah yang sedang mbak hadapi akan cepat selesai," ucapnya. Bocah seumur Tommy bisa mengucapkan kata-kata sebijak itu, ya....

Anak itu matang sebelum waktunya, karena kerasnya hidup yang dijalaninya, tidak seperti dirinya, umurnya telah matang, tapi masih rapuh dalam menghadapi sebuahh masalah. Heryda memandang sosok Tommy yang berlari lincah menaiki bus jurusan Kudus. Anak itu sama sekali tidak merasa terbebani dengan kehidupannya padahal masalah anak itu lebih rumit dibandingkan dengan masalah yang kini membelit benak Heryda.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Tertawalah jika kamu ingin tertawa dan menangislah jika kamu ingin menangis, hidup itu tidak selamanya indah, ia butuh warna lain, terang, kelam, jingga..." Heryda memandang layar monitor komputer dihadapannya, ia tersenyum kecut. Perjalanan bersama Tommy si boocah pengamen itu seakan membuka mata hatinya, ia memang harus mampu menghadapi masalahnya dengan lapang dada bukannya berlari menghindar. Heryda telah mengambil keputusan, ia akan hadapi realita yang kini dihadapinya. Ya.. ia harus mampu......