Selasa, 28 April 2015

Sang Idola

Musim kemarau belum juga berakhir. Terik matahari terasa begitu menyengat, seakan menembus kulit. Pak Imam baru saja keluar, menuju tempat parkir. Sebelum mengeluarkan kunci kontak, dia mengambil saputangan dari saku celana, menyeka keringat di wajah dan dibalik kerah bajunya.

Anak-anak kelas dua dan tiga yang berada di kantin sekolah, melihat pemandangan itu sebagai sesuatu yang tidak biasa. Mereka bertanya-tanya tentang kepergian Pak Imam yang tampak begitu tergesa-gesa. Pada jam istirahat begini, jarang sekali ada guru yang keluar. Adakalanya beberapa orang sering datang ke kantin secara berombongan duduk mengelilingi sebuah meja. Mereka makan atau minum sembari ngobrol.

Drs Imam Hanafi adalah guru agama di sekolah menengah atas itu. Banyak siswa yang mengagumi sosok Pak Imam yang ramah dan murah senyum. Begitulah penilaian mereka. Namun ada juga beranggapan, harusnya Pak Imam tidak menjadi guru, pantasnya jadi pemain sintron atau menjadi penyanyi seperti Maher Zain.

Pernah juga salah seorang guru wanita berkata bahwa Pak Imam adalah figur seorang pria yang “elok rupa bagus tabiat”, betapa beruntungnya wanita yang mendapatkan suami seperti dia.

Tetapi keadaan ini telah menyulitkan posisi Pak Imam, membuatnya serba salah karena menjadi batu sandungan untuk mendapatkan simpati dan predikat guru idola. Hari ini sikap guru agama itu lain dari hari biasanya. Tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, juga tidak tersenyum. Tiga hari berturut-turut Pak Imam tidak menampakkan wajahnya.

Pada keesokan harinya juga merupakan hari keempat Pak Imam tidak muncul di sekolah itu, tiga orang siswa kelas dua dan tiga, bergerombol, berbisik-bisik. Mereka baru saja mendapat bocoran bahwa Pak Imam kena skorsing.

Konon hal itu disebabkan Pak Imam dinilai telah bertindak tidak tegas dan tidak memberikan sanksi setimpal kepada kepada seorang siswa yang kedapatan menyimpan sebuah pisau kecil ditasnya. Padahal sesungguhnya Pak Imam sudah memberikan teguran keras agar perbuatan itu tidak terulang lagi. Menurutnya peringatan yang ia berikan sudah cukup untuk kasus yang baru pertama kali terjadi.

Namun tidak demikian yang dikehendaki Bapak Kepala Sekolah, Drs Muntahar. Nah, dari sinilah awal mula selisih paham itu. Sebenarnya, semenjak Drs Muntahar bertugas selama setahun terakhit di sekolah tersebut, memang sudah beberapa kali beda pendapat dengan Pak Imam.

Kali ini Pak Muntahar benar-benar merasa tersinggung, dengan cara-cara Pak Imam yang dinilai seakan-akan tidak mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkkan. Menurut Pak Muntahar, tindakan semacam itu secara tidak langsung telah melecehkan kewenangannya sebagai kepala sekolah. Dan itu tentu saja tidak boleh dibiarkan.

“Saya atasan di sini, semua guru, murid atau siapa pun yang berada di sekolah ini harus mematuhi setiap kebijakan yang telah saya tetapkan.”

Sebaliknya Pak Imam berpendapat, meski dirinya bukan kepala sekolah, tetapi dia senior. Atau paling tidak, dialah salah seorang guru yang terlama bertugas di sekolah itu. Bahwa dalam rentang waktu tidak kurang dari delapan tahun dia mengajar, sepertinya belum pernah ada masalah serius yang terjadi di sekolah tersebut.

Namun sesungguhnya, ada beberapa kebiasaan d sekolah itu yang kurang disetujui Pak Imam, tetapi oleh guru-guru yang lain, bahkan kepala sekolah pun beranggapan sebagai hal yang biasa. Salah satunya adalah aksi saling coret baju seragam saat kelulusan. Dalam pandangan Pak Imam aksi coret-coret baju itu tidak ada manfaatnya, justru mubazir.

Menurutnya baju-baju itu masih bisa dimanfaatkan, diberikan kepada mereka yang membutuhkan umpamanya. Yang lainnya adalah tradisi yang dilakukan oleh para siswa senior saat masa orientasi siswa (MOS). Pak Imam berkeinginan agar panitia MOS tidak bergaya seperti tuan besar, atau bertingkah laku layaknya jagoan yang adakalanya overacting.

Tingkah laku semacam itu tanpa kita sadari telah memberi contoh kurang baik. Menanamkan perilaku tidak mendidik kepada generasi mendatang. Tanpa disengaja seolah-olah menolerir sikap arogan yang dengan sendirinya cenderung menyukai kekerasan.


Kini tiga bulan telah berlalu dan kemarau panjang pun telah terlewatkan. Dalam masa peralihan cuaca itu, banyak hal telah berubah. Di lingkungan sekolah, juga pada diri Imam Hanafi. Guru agama yang kini menghilang. Curah hujan yang mengguyur bumi, mengalirkan sampah dan kotoran ke dalam got dan sungai.

Seiring dengan itu, tergerus pula jejak-jejak kaki Imam Hanafi, yang pernah beberapa tahun mengabdi di sekolah itu. Sekian tahun pula dia mencoba menerapkan nilai-nilai kebaikan kepada semua orang, terutama kepada anak didiknya.

Dengan segenap kemampuan dia berupaya agar setiap pribadi bersedia menjalani kehidupan ini dengan ikhlas. Berusaha penuh keyakinan untuk selalu melangkah di jalan yang lurus, jalan keselamatan duniawi dan ukhrawi. Dan selalu berharap semoga di bumi persada ini selalu ada orang-orang yang dengan sukarela meneladani perilaku para Rasul pilihan.

Waktu berjalan begitu cepat, hari-hari pun berlalu tanpa terasa. Para guru dn murid-murid tampaknya sedikit demi sedikit mencoba menghapus bayangan pribadi Imam Hanafi dari kenangan mereka. Meski sesungguhnya, banyak peristiwa meresahkan telah terjadi akhir-akhiir ini. Pernah dua orang wali murid mendatangi sekolah itu dengan segenap kemarahan. Kedua wali murid itu memprotes keras tindakan salah seorang guru yang telah menghukum dua orang siswa sampai memar.

Dan hari ini, tiba-tiba saja guru agama itu muncul. Kunjungannya yang hanya beberapa saat itu, tak ubahnya bagaikan malaikat yangturun dari langit. Dia tampil di halaman sekolah dengan setelan kemeja batik berlengan panjang. Keluar dari mobil Xenia berwarna silver, langsung menebar senyum seperti biasa.

Tetapi wajah itu kini memancarkan aura yang lain. Terkesan lebih segar, dan yang pasti lebih berwibawa. Saat itu jam istirahat. Tanpa aba-aba mantan murid-muridnya langsung merubungi, menyalami, dan bersorak sebagai luapan kegembiraan. “Mobil baru ya, Pak,” sapa mereka. “Ah, ini mobil teman, bapak hanya pinjam,” sahut Pak Imam merendah.

Guru-guru pun keluar seorang demi seorang menyapa dan menyalaminya. Yang terakhir adalah kepala sekolah, meski terlihat sedikit kikuk. Imam Hanafi mengangkat kedua tangannya: “Anak-anak, tenang, saya hanya ingin berpamitan,” katanya sembari tersenyum. “Lho, mau berpamitan ke mana Pak?” tanya para siswa serempak.

“Saya mendapat pekerjaan di satu perusahaan swasta,” ucap Pak imam dengan suara datar. “Yaaa...,” teriak para siswa pertanda kekecewaan yang mendalam. Lagi-lagi Imam Hanafi tersenyum. Kemudian untuk kedua kalinya menyalami para guru yang sedari tadi hanya berdiam diri, juga kepala sekolah. Mereka berdua berpelukan. Dari wajah kedua orang itu terbersat keharuan yang tak terucapkan.

Dan para siswa pun spontan berteriak: “Hiduuup, Pak Imam.” (*)

Gang Bunglon

Gang Bunglon

Jalan selebar tiga setengah meter itu memiliki nama: Jalan Rawa. Penduduk setempat menyebutnya Gang Rawa. Jalan itu memiliki sebuah ujung berupa tembok yang tinggi yang memisahkan sebuah perumahan elite dan kampung Gang Rawa itu.

Gang Rawa memiliki lima anak gang, masing-masing memiliki: Rawa Ular, Rawa Katak, Rawa Kadal, Rawa Bajul,, dan Rawa Bunglon. Nah, seorang kawan yang saya kunjungi tinggal di anak gang paling ujung, Gang Rawa Bunglon atau Jalan Rawa Bunglon. Di sana ia menyewa sebuah kamar yang menyempil di loteng rumah induk.

“Di sini memang agak sepi dan berantakan, tapi sewanya murah, itu yang penting,” ujar kawan saya bangga, seolah-olah beroleh sewa kamar dengan harga murah akan menjadikannya seorang jutawan. Sebuah kamar di atas loteng itu berhadapan langsung dengan teras sempit yang tak beratap, yang digunakan untuk menjemur pakaian, pakaian si bapak kos, juga pakaian kawan saya, si penyewa kamar. Disana ada empat kawat jemuran yang silang menyilang seperti rambatan pohon markisa. Sarung, celana, dan baju kumal tersampir seperti gembel yang digantung. Sebuah celana dalam kering dan buruk tergeletak tak berdaya di lantai yang juga buruk.

Aku beranggapan bahwa pemandangan di sekitar kamar dan jemuran itu akan membuat seseorang cepat mati. Kamar di loteng itu cukup sempit, hanya cukup untuk meletakkan dipan kecil serta sebuah lemari dan rak buku. Di belakang pintu, pakaian menggelantung dan menjadi sarang nyamuk.

Di depan kamar, di samping pintu, sebuah tempat sampah terguling oleh tingkah kucing kelaparan, tulang ikan, tulang ayam, berceceran di antara kertas minyak lecek bekas bungkus nasi. Secinta apa pun seseorang pada kebersihan, ia akan mengalami dilemma besar kalau tinggil di kamar sempit dan rumit seperti kamar yang disewa kawan saya itu. Bagaimanapun, murah memang lebih dekat dengan murahan.

Menurut kawan saya, bapak kosnya adalah seorang duda. Ia bercerai dengan istrinya dan anaknya yang cuma semata wayang ikut istrinya. Bapak kosnya itu tidak punya pekerjaan yang jelas. Tapi, setiap pagi, ia pergi ke warung Padang atau sesekali ke warung lalapan atau lain kali ke warung gudeg yang berbaris di ujung Gang Rawa, dekat jalan raya.

Setiap pagi bapak kosnya itu membungkus nasi tiga porsi sekaligus untuk jatah makan sehari-semalam. Ia jarang keluar rumah dan tak pernah memasak karena di rumahnya yang kecil itu memang tak ada kompor.

Kawan saya tahu bahwa bapak kosnya tak punya kompor karena untuk naik ke kamarnya di atas loteng itu, kawan saya melewati dapur rumah itu dan menaiki tangga curam yang ada di sana. Di dapur itu tak ada apa pun kecuali meja tua yang teronggok, yang di atasnya berselengkatan wadah-wadah bumbu yang berdebu serta dua buah ember untuk mencuci baju. Di sebelah meja itu ada sebuah kamar mandi yang pintunya selalu terbuka seperti mulut yang memble. Sebuah panic dan sebuah wajan tergantung di dinding dan tak pernah berubah posisi, sepanjang hari, selama kawan saya menyewa kamar di loteng rumah itu.

“Kecuali kalau bapak kosku yang ajaib itu meletakkan kompornya di ruang tamu atau di dalam kamar tidur,” celetuk kawan saya sambil terkikik.

“Jangan berkata sembarangan, nanti bapak kosmu dengar.” Saya mengingatkan. Dan ia malah menyebut bahwa bapak kosnya sedikit tuli. Hampir setiap petang kawan saya memutar musik dangdut koplo keras-keras dan bapak kosnya tak pernah menegur.

“Bapak kosku memang tak pernah naik ke loteng kecuali saat menjemur pakaian dan mengangkat jemurannya, itu pun seminggu sekali,” imbuhnya.

Dan kawan saya pun terus saja mengoceh, bahwa sebenarnya ia menelepon saya supaya datang ke kamar lotengnya bukan untuk membicarakan lelaki tuli yang tak punya kompor di rumahnya, melainkan menunjukkan sebuah cincin batu akik berwarna hijau tua.

Konon, cincin itu benda berharga peninggalan kakeknya. Dalam batu berwarna hijau itu konon ada jimat yang bisa mendatangkan rezeki dan keberuntungan. Dari cara kawan saya memaparkan dan tersenyum pada saya, saya tahu ke mana pembicaraan itu dibawanya.

“Nah, ceritanya aku sedang butuh duit, butuh sekali, mendesak. Makanya aku mau minta tolong sama kamu, pinjami aku duit, tak banyak, lima juta saja, cincin itu yang jadi jaminannya,” ujarnya malu-malu. Dan tebakan saya tidak meleset, setengah persen pun.

Saya tak tahu harus menjawab apa. Saldo dalam rekening saya mungkin tak sampai lima juta. Dua koran yang memuat tulisan saya sebulan terakhir ini, belum mentransfer honor yang menjadi hak saya bukan tipe orang tegaan, akhirnya saya bilang, “Wah bagaimana, ya.... kalau lima juta saya tidak ada.”

Kawan saya memicingkan matanya sebagai ungkapan tak percaya, atau mungkin untuk mngelabuhi rasa malunya. “Kamu kan penyair. Kudengar puisimu sering terbit di Koran Minggu, pasti honormu cukup lumayan. Belum lagi buku barumu yang rilis bulan lalu itu.”

Ya Tuhan, saya hanya tersenyum. Kalau kawan saya ini tahu seperti apa kondisi keuangan para penyair, khususnya penyair pinggiran macam saya, tentu ia akan patah hati.

“Aku minta maaf, aku benar-benar tidak ada kalau lima juta,” saya meyakinkannya sambil memandangi cincin batu akik berwarna hijau tua yang terus-terusan ia timang seperti butiran dirham. Sejenak terpikir oleh saya untuk bertanya kepadanya, kalau cincin itu memang bisa mendatangkan rezeki dan keberuntungan kenapa ia harus repot-repot cari pinjaman uang pada seorang penyair yang tak tentu arah macam saya.

Saya benar-benar hampir melontarkan pertanyaan itu ketika tiba-tiba kawan saya menyambar, “Tidak lima juta tidak apa-apalah. . . . empat juta atau tiga juta juga boleh.” Pernyataannya membuat saya kembali berpikir, bahwa saya juga butuh uang untuk makan sehari-hari, beli pulsa, bensin, dan membayar uang kontrakan. Apakah saya benar-benar rela meminjami kawan saya ini uang? Tapi, sungguh, kawan saya ini sangat pandai memasang tampang memelas hingga siapa pun yang memandangnya akan langsung menyayanginya. Kawan saya ini, saya mengenalnya hampir setahun lalu di sebuah perkumpulan Seniman Pinggir.

Wajahnya sepolos kain kafan. Ia memang tak pandai membuat puisi atau menulis cerpen, tapi ia ahli bermain teater. Ia pernah bilang pada saya bahwa ia bisa memerankan banyak peran secakap bunglon mengubah warna kulitnya.

Kami cepat akrab karena tampaknya kawan saya ini pandai mengakrabi siapa pun. Ia juga mengaku menggemari puisi-puisi saya. Ia kerap membaca puisi-puisi saya di Koran Minggu, katanya puisi-puisi saya hidup dan memiliki nyawa.

Selain kondisinya yang tampak menyedihkan, mengingat ia juga penggemar saya, akhirnya dengan napas naik turun, saya pun berkata, “Bagaimana kalau dua juta.”

Kawan saya pura-pura kecewa, padahal matanya sudah tersenyum lebar. Dengan nada murung yang penuh kepalsuan ia menyerahkan cincin batu akik berwarna hijau tua itu sambil berujar, “Ya sudahlah, dua juta tidak apa-apa.”

“Aku transfer saja, ya?” kata saya sedikit berat, entah kenapa. Kawan saya mengangguk lantas mendektekan nomor rekeningnya.

“Dua bulan lagi aku kembalikan, tolong jaga cincin itu baik-baik, itu satu-satunya barang berharga peninggalan kakekku.” Saya mengiyakan semua omong kosongnya dan membawa cincin itu pulang. Satu bulan kemudian, ketika saya iseng-iseng mengunjungi kamar sewanya, bapak kosnya bilang bahwa kamar itu telah disewa orang lain.

“Bocah sinting itu kabur dan berhutang uang sewa satu setengah bulan pada saya,” ujar bapak kosnya dengan geram. Saya segera sadar bahwa uang dua juta yang pernah saya transfer ke rekeningnya juga turut kabur bersamanya dan tak bakal tahu jalan pulang.

“Kurang ajar, dasar bunglon,” tiba-tiba saya memaki, makian yang saya tujukan pada bunglon yang pandai bermain teater itu. “Dia juga pinjam uang saya dua juta....,” lanjut saya. Saya bukan tipe orang yang suka memaki dan membuka aib orang lain, termasuk menceritakan hutang orang-orang kepada saya, tapi uang dua juta yang melayang begitu saja begitu saja karena kebodohan diri sendiri bisa membuat penyair mana pun kalap.

“Bocah itu juga kabur setelah mengambil cincin batu akik hijau tua milik saya,” imbuh bapak kos-nya. Saya sedikit memicing mendengar lelaki paro baya itu menyebut-nyebut cincin batu akik hijau tua.

“Biarpun tampak seperti batu akik tua biasa, tapi cincin itu cincin emas, dua puluh lima gram. Itu harta simpanan saya,” tambahnya pula. “Saya yakin bocah itu yang mengambilnya. Hari itu ia masuk ke kamar saya untuk meminjam setrikaan, dan malam harinya, ketika saya naik ke kamar loteng untuk mengambil setrikaan, kamar itu sudah kosong. Esok harinya saya baru sadar kalau cincin itu sudah lenyap dari tempatnya.”

Saya tak menimpali gerutuannya, tapi saya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Tangan saya mengepal erat-erat. Dalam salah satu saku celana saya, sebuah cincin batu akik berwarna hijau tua seperti berlompatan, ingin keluar dari tempatnya.

Kamis, 16 April 2015

Download Mp3 Mandarin

Download Mp3 Mandarin

1. Ado – Lie Pie (Mandarin Hits) [3.5 MB] | Putar | Download

2. Amei – Thing Hai (Mandarin Hits) [4.9 MB] | Putar | Download

3. Andy Lau – Sie Sie Ni Te Ai (4.6 MB) | Putar | Download

4. Ban Mei Jen – Wo Chen Yung Sin Te Ai Ce Ni (Mandarin Jadul Hits) [4.2 MB]
Putar | Download

5. Candy Lo feat Lee Hom – Hao Xin Fen Shou (Mandarin Hits) [2.8 MB]
Putar | Download

6. Cecilia Cheung – Ren He Tian Qi (3.1 MB) | Putar | Download

7. Cecilia Cheung – Sing Yi Sin Yen (Ost Fly Me To Polaris) [3.0 MB]
Putar | Download

8. Chiang Ie Heng –Se Fou Cen Te Ai Wo (Mandarin Jadul Hits) [4 MB]
Putar | Download

9. Chiu Hai Cen – Ai Wo Te Jen He Wo Ai Te Jen (Mandarin Jadul Hits) [4.0 MB]
Putar | Download

10. Ci mo te sin ai jou te lien ( KTV ) [10.5 MB] | Putar | Download

11. Claire Kuo – Pei Zhe Wo De Shi Hou Xiang Zhe Ta (4.2 MB) | Putar | Download

12. Daniel Chan – A Chinese Ghost Story Theme (3.2 MB) | Putar | Download

13. 黄家美 (Huang Jia Mei) ~ 高原蓝 (Kao Yen Lan) vol 2 (11.8 MB)
Putar | Download

14. Huang An – Sin Yen Yang Hu Tie Mung (Mandarin Jadul Hits) [4.0 MB]
Putar | Download

15. Jackie Chan & Kim Hee Seon – The Myth Endless Love (4.4 MB)
Putar | Download

16. Jacky Chung – Huei Thou Thai Nan (3.6 MB) | Putar | Download

17. Jacky Chung – Ie Chien Ke Sang Sing Te Li You (Remix) [5.8 MB]
Putar | Download

18. Jacky Chung – Ie Cien Ke Sang Sin Te Li Yu (3.2 MB) | Putar | Download

19. Jang Nara – Fei Pu Chi Lai (Mandarin Hits) [3.6 MB] | Putar | Download

20. Jeff Chang – Kuo Huo (Mandarin Hits) [4.6 MB] | Putar | Download