Rabu, 23 Januari 2013

Kasih Tak Sampai

Kasih Tak Sampai
Cerpen: Hammad Riyadi

Saya sudah Lama mendambakanmu. Tapi kamu kelewat perfect buat saya....
* * * * * * * * * * * *



Dini tengah asyik menikmati acara infotainmet di televisi ketika tiba-tiba telepon berdering.

"Hallo selamat sore." Dini menyapa dengan santun. Tapi sampai sekian menit tak ada reaksi apa-apa dari seberang. Sekedar say hallo pun tidak ada. Bahkan sampai Dini mengulangnya berkali-kali, tetap saja tak ada jawaban. Kecuali kemudian, bunyi tulalit panjang pertanda telepon telah dimatikan.

Dini meletakkan gagang telepon dengan kasar. "Payah!" gerutunya. Kentara sekali pancaran kekesalan yang mengkilat di wajahnya. Dia merasa dipermainkan.

Tiba-tiba telepon berdering lagi. Dini ingin berteriak memanggil Lina, tapi dia keburu sadar adiknya itu sedang kemping ke Bukit Panderman. Pembantunya mudik. Dia membiarkannya cukup lama.

"Hallo selamat sore." Untuk kedua kalinya Dini bersikap seramah mungkin. Tapi sampai beberapa lama masih juga tak ada jawaban, seolah-olah tak ada siapa-siapa di seberang.

Terang saja kekesalan yang telah ditekannya dalam-dalam mencuat kembali ketika penelpon itu tetap berdiam diri. Dini sudah tidak sabar. Maka segera dia muntahkan semua kalimat yang mencekik lehernya. "Hei banci, aku nggak punya banyak waktu untuk main-main dengan kamu. Kesempatan saya terlalu sempit untuk angkat telepon semacam ini."

Dia mematikan TV, sebelum menambahkan. Kamu enggak punya kerjaan? Kalau kamu perlu sama adik saya, dia sedang ke Panderman Kalau penting sama Papa, telepon saja ke kantornya. Mama lagi arisan. Di sini cuma ada saya, Dini. Tapi kalau enggak perlu sama saya, ya udah, saya tutup saja!"

Dini berhenti sejenak. Menunggu reaksi. Tapi tak juga ada "tanda-tanda kehidupan". Dia sudah bersiap-siap membanting gagang telepon lagi, andai tak ada sebuah suara yang masuk ke gendang telinganya.

"Hallo apa kabar Din?" suara lelaki.

Dini terhenyak. "Baik." Kata-kata itu tiba-tiba meloncat begitu saja dari bibirnya. Cepat-cepat ditaruhnya gagang telepon sebelum makhluk usil itu bertanya lagi. Menurutnya, sudah tak ada gunanya meneruskan pembicaraan yng tak jelas lagi dan bikin otak serasa mau meledak.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Namun kalau mau jujur, sampai keesokan harinya, Dini belum bisa melupakan suara usil di telepon itu. Diam-diam, ada penyesalan yang menyesaki hatinya. Kenapa dia bersikap nggak bersahabat.

Kriiiing....!!

Dering telepon itu serta merta mengejutkan Dini. Dan entah kenapa tiba-tiba dia berharap cowok kemarin yang meneleponnya.

"Selamat sore," sapanya dengan logat Batak.

"Sore," jawab seorang lelaki diseberang. Dngan cepat Dini bisa memastikan yang bicara adalah cowok yang ditunggunya. "Sejak kapan jadi orang Batak, Non?"

Dini bukannya menjawab pertanyaan itu. "Kamu cowok yang kemarin kan" todongnya.

"Ya," jawabnya mantap. "Bila kemarin saya telah bikin kamu sebel, saya minta maaf. Bukan maksud saya mempermainkanmu, tapi hanya ingin memastikan saya tidak salah sambung. Juga untuk meyakinkan, sore-sore begini kamu pasti nonton TV. Tentu kamu masih seperti dulu." Lelaki itu berbicara dengan hati-hati.

"Siapa namamu?"

"Apa artinya sebuah nama, Din?" ucap cowok itu, seperti berpuisi. Dini hampir tertawa mendengarnya.

"Justru itulah sebabnya!"

"Tapi saya lebih suka dipanggil 'kamu' saja, bukan nama. Bukankah suara saya cukup dikenali?"

"Iya sih, tapi apa salahnya saya tahu nama orang yang menghubungi saya, wahai 'Kamu"?"

"Jelas salah, karena sekarang bukan saatnya untuk itu."

"Bagimu bukan begitu. Bagi saya sekaranglah saatnya."

"Yang punya hak itu saya kan? Jadi, tidak etis kalau kamu memaksa saya memperkenalkan diri sekarang."

"Ingat Bung, kamu tidak sedang posisi menawar!"

"Sudahlah, jangan kelewat dinamis. Perkara nama belakangan. Alon-alon sing penting kelakon."

"Saya bukan orang Jawa, Bung! Itu bukan prensip saya!"

Buat apa kamu berdusta? Bahwa kamu lahir, besar dan sekolah di tanah Jawa ini, saya tahu. Kalau pun kamu pernah sekolah SMP di Ujung Pandang, itu semata-mata karena Papamu pernah dinas di sana. Tapi bukan berarti kamu bisa menghilangkan akar budayamu kan?"

Dini terdiam. Lama. Siapa cowok ini sebenarnya sampai-sampai dia tahu banyak hal mengenaidirinya. "Lalu apa maumu?"

"Saya ingin mengulangi pertanyaan kemarin. Bagaimana kabarmu?"

"Baik," jwab Dini dengan aksen lemah den mengandung amarah. "Saya sehat."

"Syukurlah," kata cowok itu singkat. Lalu, "Terima kasih. Selamat sore," telepon ditutup.

Dini tersentak, seolah tak percaya, apa yang telah lewat. Semuanya terasa sekejap. Terlalu singkat buat Dini yang masih penasaran. Kejutan cowok itu semakin membuatnya ingin tahu lebih dalam.

Andai Dini punya mesin pelacak, seperti di film-film action, mungkin dia tidak perlu pusing. Sekali sentuh, radar akan menyebutkan lokasi penelpon itu, berikut nomor teleponnya. Sayang, Dini bukan anggota FBI atau CIA.

Secara matematis, kemungkinan besar orang itu berada di dalam kota. Sore-sore begini, di saat pulsa sedang mahal, susah mendapati orang yang berani interlokal, kecuali di didesak kepentingan atau....dia memang kaya.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Saat keesokan harinya pada jam yang sama, lelaki itu menelpon lagi, Dini mencoba menanyakan hal tersebut. Tapi dia malah diajak main kucing-kucingan. "Kalau saya bilang ada telepon umum depan rumahmu, apa kamu akan keluar?"

Cepet-cepat Dini membuka korden dan memandang boks tepat di depan rumahnya, tapi ternyata dia ditipu. Tak ada siapa pun di sana.

"Apa yang kamu lakukan barusan? Melihat telepon umum?" Coeok itu tertawa kecil. "Perlu kamu ketahui, waktu kecil, kalau lagi main petak umpet, saya tidak pernah berteriak memanggil teman supaya dia tahu tempat persembunyian saya. Apalagi sudah besar begini."

"Jangan bercanda!" Dini mendengus. "Kalau kamu enggak bilang lokal atau interlokal, saya tutup telepon ini."

"Oke... oke... interlokal. Puas?"

"Belum. Dari mana?"

"Yang jelas saya di Indonesia. Tepatnya di mana, kapan-kapan kamu akan tahu juga. Tidak surprise jadinya. Jika saya sampaikan sekarang," tutur si 'Kamu'. "Oh ya, kamu masih pacaran sama Erwin, tetanggmu itu ya?"

Dini terdiam. Sudah sebegitu jauhkah dia mengenalku sampai tahu tentang Erwin segala, batinnya. Dan belum sempat dia berkata apa-apa, cowok itu bertanya lagi. "Kabarnya kalian putus, benar begitu?"

"Ya, sudah lama kok."

"Syukurlah."

"Kenapa?"

"Berarti saya punya peluang untuk mengisi hari-hari kamu."

Entah untuk keberapakalinya, Dini dibikin terkaget-kaget. Semua ucapan pertanyaan si 'Kamu' sungguh telah mengobrak-abrik prifacynya. Dia tak ubahnya dewa tahu sampai ke akar-akarnya.

Sebenarnya sudah lama saya mendambakanmu," lanjut si 'Kamu'. "Tapi selama itu pula saya tidak berani menyatakanya. Saya khawatir ditolak mentah-mentah karena saya tidak cukup pantas menjadi pacarmu. Kamu kelewat perfet buat saya sehingga saya tidak yakin, apakah saya bisa membahagiakanmu. Saya menyukaimu Dini. Yakinlah, saya tidak main-main. Saya..."

"Belum selesai rayuannya?" potong Dini begitu telinganya mulai gerah.

"Ini bukan rayuan. ini kenyataan yang harus disampaikan."

"Di telepon ini nggak ada yang namanya kenyataan, Bung. Semuanya maya. Contohnya, kamu nggak jelas siapa. Jadi kalau kamu tiba-tiba ngelamar saya, saya anggap itu nggak penting saya dengar. Apalagi saya jawab. Saya lagi sibuk. Selamat...."

"Eit, jangan keburu bilang selamat sore, Din. Kita belum selesai ngomong."

"Apalagi? Males ah, saya jadi malu pada diri sendiri, karena masih juga ngelayanin oranh yang nggak kenal. Entar saya jai gila lagi."

"Oke.. oke. Saya sebut nama saya...."

"Nah gitu dong!"

Tapi nggak sekarang. Besok sore aja, oke?"

"Kelamaan!" Habis menerikkan kalimat itu, Dini langsung menutup telepon. Dia enggan mendengarkan kalimat berikutnya. Rasa penasaran telah habis dikikis kebosanan dan kekesalan yang terus menderas, karena lelaki itu bersikap sok misterius. Lagipula besok atau nanti malam atau kapan saja, cowok itu pasti akan menelponnya lagi, setidaknya untuk menanyakan jawabannya. Jadi inilah saat paling tepat untuk mempertahankan dan menaikkan 'harga'nya bukan justru membuka pintu lebar-lebar. Posisinya lebih menguntungkan untuk itu.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Tapi kejutan-kejutan yang hendak Dini ciptakan ternyata tak satu pun yang menjadi kenyataan. Bukan karena salah strategi, melainkan karena sudah seminggu si 'Kamu' tidak menghentk-hentak pesawat teleponnya. Tak ada sapaan hallo setiap sore. Aku bisa senewen mikirin bangsat ini, batin Dini setiap kali terpaksa termangu, menunggu orang yang ingin sekali dilumatnya.

Seminggu, dua minggu sampai genap satu bulan, ternyata si 'Kamu' belum menghubunginya. Keyakinan bahwa dia bakal menanyakan jawaban lamarannya, rontok sudah. Dini, mau tak mau mulai melupakan semuanya. Tapi sebelum setiap kenangannya memudar, Ayu familynya di Yogya menelponya. Tumben. Lebih tumben lagi, sewaktu dia bertanya, "Apa selama ini Mas Indra nggak pernah ngebel ke situ, Mbak?"

Dini celingukan. Terus terang dia nggak familiar dengan nama itu, meski samar-samar pernah didengarnya. "Indra? Indra siapa?"

"Masa nggak kenal? Dasar Mbak Dini nggak pernah silaturahmi sih!" Ayu tertawa kecil. "Itu lho, kakaknya Ayu yang kuliah di Bandung."

"Ooo..." cuma itu yang keluar dari bibir Dini. Lantas otaknya sibuk memutar memori kusut, sampai dia ingat: Indra, saudara jauh sepupunya yang hanya sekali bertemu langsung. Itu pun sudah usang. Lima tahun silam.

"Dia pernah menelpon Mbak ya?"

Dini panik mendengar ulangan pertanyaan yang semakin spesifik. "Nggak tuh!" Akhirnya dia berbohong. "Memang kenapa?"

"Ayah marah-marah tuh, pulsa telepon tiba-tiba bengkak. Padahal nggak biasanya kayak gini. Terus dari lembaran bukti print-out Telkom, ketahuan ada yang nelpon ke situ. Sore-sore lagi. Kebayangkan berapa habisnya. Kami curiga ini ulah Mas Indra karena satu-satunya yang berada di rumah jam-jam segitu cuma dia."

"Nggak tuh! Dini mengulangi kebohongannya. Mencoba meyakinkan.

"Ya udah, makasih."

Dini lekas menghambur ke kamar, setelah Ayu mengucapkan salam. Dia bingung. Di satu pihak, dia percaya, yang selama ini mengisi sore harinya adalah Indra. Di lain pihak, dia susah menerima kenyataan bahwa Indra benar-benar menyukainya. Disamping karena belum tahu benar sifat makhluk bernama Indra itu, dia juga enggan menjalin hubungan spesial dengan orang-orang yang punya ikatan famili.

"Dini!" panggil Mama tiba-tiba. "Ada telepon."

"Siapa?"

"Indra!"