Cerpen: Skylashtar MaryamEngkau teerdiam, bersarang di dalam leher seseorang setelah sebelumnya menerjang, berteriak garang. Engkau masih terdiam ketika leher yang kau lubangi itu mengucurkan darah merah, memulas tanah, mengguris hitam pada sejarah. Kemudian perlahan engkau meringis, mulai menangis, memaki segala macam tragedi sementara tubuhmu tak dapat bergerak, tetap berdiam di tubuh manusia malang itu.
Perlahan, amat perlahan.... tubuh yang kau lubangi itu menyebut nama Tuhan pada sepenggal napas yang tersisa . Meski di tempat kau berada kini, Tuhan kerap tak digubris dan ditepis. Tubuhmu bergetar, suara-suara menggelegar. Petir mulai menyambar, hujan bukan lagi berderai melainkan tumpah ruah. Abeputra pun kuyup.
Engkau mulai menggigil, ketakutan. Berusaha keluar daari tubuh yang hidupnyatelah engkau renggut bagai parasit berlari dari inang. Namun tubuhmu sendiri sudah terperangkap dalam begitu dalam, sementara suara-suara samar mulai berubah menggelegar; suara-suara yang tak ingin engkau dengar.
"Lalu siapa engkau?" sesosok makhluk tinggi besar bersayap hitam menjulang di hadapanmu, di atas tubuh inangmu yang tergeletak bisu.
Engkau menggigi. "Saya.... saya..." geragap.
"Katakan siapa engkau!" gelegar.
Kau semakin menggigil. "Bukan salah saya, sungguh bukan salah. Setan-setan itulah yang memaksa saya bersarang di sini."
"Berani-beraninya kau menjelma aku, berani-beraninya kau!" petir menyambar.
Engkau genap menangis, meringis mengais-ngais ingatan apapun yang bisa dijadikan tamba. "Tuan oh Tuan yang perkasa. Ketahuilah Tuan, saya hanya sahaya. Tangan merekalah yang telah membuat saya sedemikian hina. Tuan, oh Tuan yang begitu gagah. Tolong keluarkan saya dari sini," kau mulai memohon.
"Orang ini, yang di dalamnya kau bersarang. Siapa dia?"
Kau kembali gagap. "Saya tidak tahu, Tuan. Ini pertama kali kami bertemu."
Ya, kau tak tahu siapa lelaki malang itu. Lelaki malang yang tidak pernah sekalipu menyangka akan menghembuskan napas terakhir disebabkan oleh gempurannmu. Lelaki malang yang mati bersimbah darah tanpa tahu kesalahan apa. Lelaki yang berada di tempat dan waktu yang salah ketika berbagai macam pertikaian menjelma menjadi kolam pembantaian.
Yang engkau tahu hanyalah malam tadi kau ditempatkan di dalam revolver seseorang, dibawa mengarungi malam. Engkau memasang kuping, ingin mencuri dengar apa-apa yang terjadi diluar. Di malam yang lain, enam kawanmu tercerabut dari sarang untuk berpindah ke tubuh-tubuh, menjelma Izrail; malaikat maut yang sekarang tengah kau hadapi.
Bagimu, terlepasnya tubuh dri kungkungan putaran besi adalah sebuah perjudian tanpa satu orang pun pemenang. Kau dan kawan-kawanmu tak dapat menerka, tak dapat mengira, selongsong siapa yang kelak muntah menyongsong darah. Sialnya, malam tadi adalah giliranmu.
"Cih, bangsat betul nasib kita. Hanya jadi budak-budak manusia bejat," kau merutuk, mengutuk.
Kawanmu yang lain, yang sedari tadi terkantuk-kantuk menunggu giliran terkekeh. "Terima sajalah nasibmu, kawan. Meski aku tak yakin yang membawa rumah kita ini manusia atau bukan. Jangan-jangan ini setan. Memangnya kau mau dengar dia dari tadi menggeram? Aku sedang membayangkan seekor makhluk bertanduk, berekor, bertaring, dan berkulit merah.
"Gila kau!" kata kawanmu yang lain lagi, yang selongsongnya begitu murung seakan-akan seluruh mendung di bumi bergelayut dipunggung. "Jangan bicara tentang setan. Apa kau tak tahu tempat macam apa ini?" Di sini, di pulau ini, segala macam barang tambang dikeruk dan diperdagangkan. Ini pulau yang kaya kawan. Semua orang pasti akan bahagia. Mana ada setan di tempat seperti ini?"
"Setan atau bukan yang membawa kita, aku ingin segera keluar dari sini. Kalian sudah dengar tentang enam kawan kita itu, kan? Kabarnya mereka dipakai untuk melubangi manusia-manusia tak berdosa. Di kepala, di dada, di mana saja," engkau bergidik ngeri.
"Pengecut kau!" hardik kawanmu yang paling berani. "Coba kau bayangkan kuasa apa yang ada di tanganmu. Kita memang selongsong kecil, tapi kita bisa menunggangi kematian. Kita adalah jelmaan Izrail, si malaikat pencabut nyawa itu," kawanmu menyeringai.
"Aku tak mau jadi Izrail!" Aku tak mau jadi apapun dan siapapun. Aku hanya ingin dikembalikan kepada ibu, dilebur jadi perkakas atau berakhir jadi barang bekas. Aku tak ingin berakhir di sini, di dalam revolver terkutuk ini," engkau meringis.
Sebelum kawanmu sempat menimpali, tubuhmu tetiba saja bergeletar,, kemudian engkau dipaksa lesat keluar ketika ketika sebuah telunjuk menarik pelatuk.
Dor!
Dan di sanalah engkau berakhir, di leher seorang lelaki malang yang napasnya telah sempurna hengkang.
"Dan kau sekarang berbangga diri karena telah menjelma menjadi aku?" gelegar itu lagi.
Engkau semakin kalut dan rasa takut. "Tidak, Tuan. Sungguh! Tak pernah setetes pun saya bermimpi untuk mengakhiri perjalanan saya seperti ini. Manusia malang ini pastilah korban juga, manusia tak berdosa yang tak tahu pertikaian macam apa yang sedang membara di sini, di pulau kaya raya ini."
"Tak ada manusia yang tak berdosa," ceceran hujjan terciprat ke tubuhmu ketika sosok di hadapanmu kembali bersuara.
"Ngggg.... begini maksud saya, Tuan. Manusia ini, ia hanya manusia biasa yang hidup, bekerja, bernapas, dan menjalani hari-harinya tanpa sedikitpun bersinggunngan dengan perkara setan-setan, bukan? Ia juga korban, sama seperti saya, bukan?" serangan gugup itu datang lagi. "Ah, Tuan. Anda tentu lebih tahu daripada saya mengenai ini. Bukankah menurut kabar yang saya dengar, ada enam manusia lain yang bernasib sama seperti manusia ini? Anda di sana juga, pasti Anda ada di sana."
"Sosok bersayap hitam itu terkekeh. "Tentu saja aku ada di sana. Kau pikir kawan-kawan busukmu itu bisa tanpa aku? Kalian hanya butir-butir bedebah, tak bisa berbuat apa-apa kalau aku tak turun tangan mengakhiri pekerjaan terkutuk yang kalian lakukan. Cih! Sebetulnya aku bosan, asal kau tahu."
Tuan, boleh saya minta tolong sesuatu?" hujan masih membasah, mencipta merah di tanah, bercampur darah.
"Apa itu?"
"Bisakah, Tuan. Sekali saja, berhenti bekerja dan tak menjadikan tempat ini neraka? Kasianilah saya, Tuan. Kasihanilah kawan-kawan saya kelak. Saya tak ingin nanti ada kawan-kawan saya yang berakhir dengan cara seperti ini; bersarang di tubuh yang tak berhak dan tak pantas untuk mati dengan cara semengerikan ini," engkau memohon. "Juga kasihanilah manusia-manusia di pulau ini."
Sosok di hadapanmu murung, langit malam yang kelam bertambah suram. "Ah kau ini. Andaikata saja aku bisa. Tapi siapalah aku ini."
"Tapi Anda adaala Izrailsang perkasa, malaikat pencabut nyawa," katamu, menengadah.
"hah, kau ini bodoh atau apa? Aku juga menjalankan titah."
Engkau terbengong-bengong. Bagaimana mungkin sosok yang sudah dianggap semacam dewa bagi kau dan kawan-kawanmu itu juga menjalankan titah? "Titah? Titah siapa? Jangan bilang kalau Anda juga budak setan yang karena tarikan tangannya di pelatuk itu maka saya berakhir di sini."
Suara gelak. "Kau memang benar-benar bodoh! Hahahaha... ya, aku tidak menyalahkan kalau selama ini kau memang tak tahu apa-apa karena selalu terkukung di dalam sarung-sarung. Eh, sekalinya keluar malah bernasib sial. Hahahaha...."
"Tuan, bisakah Anda berbaik hati menjawab saja pertanyaan saya? Titah siapakah itu?"
Sosok itu menengadah ke langit, menadah hamparan hujan. "Tuhan," jawabnya.
"Tuhan?" engkau mengerut. Mendengar nama yang satu itu disebut membuat tubuhmu seketika lisut. "Apakah itu nama yang tadi dirapal manusia malang ini?"
"Ya, kau benar. Keputusan apakah aku mencerabut hidup satu manusia tetap berada di tangan-Nya."
"Apakah Ia juga bisa mendengar percakapan kita?" engkau memandang berkeliling mencari-cari sosok Tuhan.
"Tentu saja Ia mendengar. Ah, kau ini memang bodoh ternyata."
"begini saja, Tuan. Riwayat saya sebentar lagi berakhir. Mungkin tubuh saya akan segera diangkat, diperiksa, dianalisa. Setelah itu mungkin saya tidak akan bisa kembali bersuara. Bisakah Anda berbaik hati menyampaikan ini kepada Tuhan?"
"Bicaralah!"
"Semenjak saya berada di sini, di dalam lehr manusia ini. Saya melihat begitu banyak hal indah. Pulau ini begitu melimpah dengan harta. Emas, uranium, dan harta-harta lain yang tidak bisa saya kenali. Manusia ini juga pergi kemari dengan berjuta harapan dan keinginan. Saya yakin ada banyak manusia lain yang memiliki harapan yang sama.
Saya tidak tahu, tidak mengerti hal seperti apa yang sedang dipertikaikan dan diperebutkan di pulau kaya raya ini, Tuan. Saya hanya memohon agar Tuhan kelak melindungi siapa saja dari amukan kawan-kawan saya demi tujuan bejat mereka. Kasihanilah mereka; manusia-manusia ini. Senantiasa lindungilah mereka. Bisakah Anda menyampaikan semua kata-kata saya barusan?"
"Tidak perlu. Ia sudah mendengar doamu. Tapi agar kau tak penasaran, iya nanti aku sampaikan."
"Doa? Makhluk macam apa pula it?"
"Haduh, aku capek bicara denganmu. Yang kau ucapkan sedari tadi itu adalah doa, tolol!"
"Apakah doa itu sesuatu yang baik?" kau mulai kebingungan.
"Sepanjang doa itu untuk kebaikan maka doa itu adalah baik."
"Apakah saya boleh berdoa agar setan-setan itu juga digiring ke neraka sekarang juga?" kau berharap-harap cemas.
"Ya ya ya... berdoalah sesukamu."
"Tuhan, menurut Izrail di hadapan saya ini, saya boleh berdoa apa saja. Tolong, jebloskan setan-setan yang berkeliaran di pulau ini ke neraka sekarang juga."
"Amin," ucap sosok bersayap hitamm itu.
"Hah, apa itu amin?"
"Kau ingin kita ngobrol di sini semalaman atau bagaimana? Aku banyak pekerjaan. Sudahlah, mari kita akhiri saja."
"Lalu bagaimana nasib saya, Tuan? Apakah Tuan sudah mencabut nyawa manusia malang ini?"
"Kau, tetaplah berdiam di situ sampai manusia lain menemukanmu. Dan ya, sudah sedari tadi aku mencabut hidup manusia malang ini. Kasihan dia kalau harus mendengar ocehanmu."
Kemudian sosok itu menghilang, ditelan malam, ditelan hujan.
Engkau terdiam, menatap malam, meneruskan rapal doa dalam gumam.
(*)-------------------------------------------------------------------
Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 7 Oktober 2012
-------------------------------------------------------------------