Jumat, 01 Februari 2013

Berprofesi Sebagai Awak Kapal Gaib

Oleh : Nurwindo

Janu, adikku menjadi awak dari sebuah kapal gaib. Bagaimana mungkin hal ini terjadi....?

* * * * * * * * * * * *


BEGITU banyak kisah gaib yang telah diungkap, menyadarkan kepada setiap kita kalau bangsa manusia memang tidak hidup sendirian di bumi ini. Ada bangsa lain yang juga sebenarnya mempunyai hal untuk tinggal dan melakukan aktivitasnya, berdampingan dengan manusia. Tak jarang seseorang yang mempunyai frekwensi fisik dan batin tertentu ataupun karena keadaan yang terkondisi, menyebabkan dia mampu menembus alam lain yang tak tampak itu. Bahkan mereka dapat masuk dan keluar sesuai kebutuhan. Keadaan ini tentu saja tidak semua orang dapat melakukannya.

Kejadian ini terjadi beberapa tahun lalu. Aku merupakan anak sulung dari dua bersaudara. Aku tinggal di sebuah kampung yang kebetulan letaknya tidak terlalu jauh dari sebuah sungai yanng berdekatan dengn muara. Sebenarnya sungai itu tidak terlalu besar namun dikarenakan sering dijadikan sebagai salah satu jalan alternatif para nelayan, maka pada siang hari sungai itu terkesan ramai. Di sepanjang kkanan dan kiri sungai ditumbuhi tanaman bakau yang masih tetap terjaga kelestariannya. Antara kampungku dan sungai itu dipisahkan oleh hutan kecil yang tidak terlalu lebat. Tepat di pinggir hutan itulah, aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan Janu, adikku satu-satunya.

Kami hidaup dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Karena miskinnya, kami sangat jarang kami mengkonsunmsi nasi. Bapak yang hanya berprofesi sebagai pencari kayu cuma mampu membelikan kami singkong yang kemudian lewat keahlian ibu memasak, menjadikannya berbagai macam makanan.

Kehidupan kami benar-benar sulit. Aku dan adikku bisa ekolahpun karena bantuan salah seorang sahabat lama bapak yang merasa sedih melihat keadaan kami. Namun demikian, kami selalu berusaha menjalani hari-hari kami dengan indah. Kami tak kekurangan kasih sayang orang tua. Dari kami berdua, Janu memang sejak kecil tampak berbeda dibandingkan diriku. Ia cenderung tertutup, pendiam dan terkesan pemurung. Aku bisa memaklumi apa yang terjadi pada pribadinya. Keadaan yang sulit mungkin telah mmembentuk karakter dan alam bawah sadarnya.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Setelah lulus SMP, aku tidak melanjutkan sekolahku dan memilih bekerja sebagai buruh harian dengan penghasilan yang cuma pas untuk makan. Itupun hanya dengan lauk tempe ataupun tahu. Praktis aku tak pernah bisa menabung untuk berjaga kalau-kalau terjadi hal yang membutuhkan biaya mendesak.

Sementara itu, Janu bekerja serabutan dan jarang pulang. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan memancing di sungai. Aku, bapak, dan ibu, membiarkan saja semua yang ia lakukan karena kami merasa tak pernah bisa membahagiakanya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Toh selama ini Janu tak pernah melakukan hal-hal yang merugikan orang lain. Setidaknya tak pernah ada laporan tentang itu.

Pada suatu hari, ibu sakit keras. Karena tak punya biaya cukup, aku hanya membawa ibu ke salah satu dukun kampung yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahku. Pengobatan ala dukun yang dilakukan, takjuga membuahkan hasil. Bahkan penyakit ibu tambah parah saja. Aku sedih melihat keadaan ibu. Tapi aku tak mampu berbuat apa-apa. Untuk meminjam uang kepada tetangga, rasanya tak mungkin karena rata-rata penduduk kampungku hidup dalam kondisi yang tak jauh beda dengan kami.

Dalam kekalutanku, Janu pulang. Begitu tahu keadaan ibu, ia lansung mengajakku membawa ibu ke rumah sakit yang ada di kota. Aku tercengang. "Dari mana kita punya uang untuk biaya perawatan ibu? Kita tak punya apa-apa. Kamu tahu sendiri kan kalau untuk makan saja kita sangat kesulitan?" Aku mencoba mencari kepastian atas keinginan Janu membawa ibu berobat.

Janu menepuk bahuku. "Sudahlah, Kak, masalah biaya tidak usah dipikirkan. Biar Janu yang akan mencari. Sekarang kita bawa saja ibu, selagi belum terlambat." Aku terkejut dan tentu saja bingung dengan penjelasannya. Namun aku tak punya kesempatan untuk berdebat mengingat kondisi ibu yang sudah terlalu kritis.

Akhirnya, kami membawa ibu ke rumah sakit. Hampir dua minnggu ibu dirawat. Aku, bapak, dan Janu menunggu ibu secara bergantian. Januselalu meminta untuk menunggu ibu pada siang hari. Malam hari katanya akan ia gunakan untuk mencari biaya pengobatan ibu. Aku jelas bertanya-tanya, kemana sebenarnya Janu akan mencari semua biaya yang pasti tidak sedikit. Kalau ia bekerja, tak akan mungkin dapat memenuhi semua biaya ini. Atau mungkin ia akan meminjam pada teman-temannya? Rasanya tak mungkin, karena menurutnya ia akan menanggung biaya ibu dengan bekerja bukan berhutang. Aku tahu watak Janu yang tidak pernah berdusta. Karena itu aku merasa yakin bahwa Janu tidak menempuh jalann sesat dan melawan hukum untuk mencari biaya ibu.

Setelah perawatan dilakukan secara intensif, dokterpun memperbolehkan ibu untuk pulang. Saat aku dan Janu hendak membayar semua biaya rumah sakit, aku sempat tercengang ketika melihat Janu mengeuarkan tumpukkan uang kertas darisaku celananya. Uang itu semuanya masih baru. Aku tak habis pikir, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan sisanyapun kurasa masih dapat digunakan untuk makan kami sekeluarga selama satu tahun.

Aku hanya terbengong-bengong mellihat Janu. Tapi, aku merasa belum mendapat waktu yang tepat untuk menanyakan prihal uang itu.

Setelah sampai di rumah, aku baru menanyakan kepada Janu dari mana ia memperoleh uang sebanyak itu. Ia tak mau menjawab kecuali hanya mengatakan kalau uanng itu halal yang ia peroleh dengan cara bekrja banting tulang. Aku semakin tak habis pikir. Pekerjaan apa yang menghasilkan uang dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat. Jangan-jangan.... Aku menepis pikiran kotor itu. Janu tak mungkin manjadi jahat.

Semakin hari Janu tampak semkin aneh. Ia yang biasanya hannya bekerja pada malam hari, kini tak pernah pulang selama seminggu. Setelah tiga hari berada di rumah, ia akan pergi lagi dan baru pulang seminggu kemudian. Bukan hanya itu, setiap pulang ia pun selalu membawa uang dalam jumlah banyak dan perhiasan mahal. Mulai dari gelang, kalung, alat rumah tangga sampai uang logam. Anehnya, perhiasan-perhiasan itu mencirikan motif Cina Kuno. Sejauh itupun Janu tak pernah memberikan penjelasan apa-apa.

Karena tak tahan didera rasa penasaran, aku pun memutuskan untuk mengikuti kemana Janu pergi....

Saat itu sedang bulan purnama, bertepatan dengan saat kepergian Janu. Aku mengikutinya dari jarak yang menurut perhitunganku tidak akan menimbulkan kecurigaannya. Ia melewati jalan setapak dan masuk ke dalam hutan yang tidak jauh dari rumah kami. Terangnya cahaya bulan cukup membantu karena aku tak mungkin membawa penerangan.

Mulanya kupikir Janu akan berhenti di tengah hutan untuk melakukan pekerjaannya, namun ternyata setelah hampir setengah jam Janu belum juga menghentikan langkahnya sampai akhirnya aku baru menyadari kalau kami telah sampai di pinggir sungai. Tempat yang kupikir gelap gulita karena memang tidak ada aktiivitas pada malam hari, ternyata membuatku begitu terkejut. Aku seperti tak percaya pada penglihatanku sendiri. Keadaan di tempat itu terang benderang seperti ada pasar malam.

Aku mencari tempat yang terlindungi untuk bersembunyi. Sepuluh meter di depanku, aku dapat melihat dengan jelas sebuah kapal kuno yang sangat besar. Dari kepala naga yang ada di bagian depan kapal, dapat kupastikan kalau kapal itu berasall dari daratan Cina. Namun, bagaimana mungkin kapal itu bbisa sampai ke sini dan.... aku tersentak kaget. Bukankah sungai ini sangat dangkal dan bukankah saat ini sedang musim kemarau? Tak mungkin kapal itu bisa berada di sungai ini? Kapal sebesar itu pasti kandas.

Aku mengusap mukaku, cara ini biasanya dapat dilakukan untuk menghapus tipuan makhlluk halus. Tapi ternyata pemandangan di depanku tidak berubah. Aku hanya bisa terdiam mempperhatikan gerak-gerik mereka mulai dari bongkar muat sampai mereka mulai bersiap-siap untuk berangkat. Janu pun masuk ke dalam kapal dan kapal pun perlahan bergerak menyusuri sungai untuk kemudian hilang di telan malam.

Aku membalikkan badanku saat kurasakan ada tangan yang memegang bahuku. "Bapak!" aku terkejut setelah tahu kallau sedari tadi ternyata bapak mengikutiku dan kini berdiri di belakangku.

Beliau tersenyum. "Engkkau sudah tahu apa yang terjadi. Itu adalah kkapal gaib dari Jin Cina yang merupakan saudagar kaya. Adikmu sudah menceritakan semuanya kepada bapak. Saat ia sedang mancing, ia melihat kapal itu merapat di dekatnya. Salahseorang dari mereka menawari adikmu untuk menjadi tenaga bongkar muat. Akhirnya ia dipercaya untuk turut serta dalam pelayaran itu. Biarkan ia dengan dunianya. Lebih baik sekarang kita kembali ke rumah menunggu kepulangan adikmu minggu depan."

Aku mengangguk lemah dan berjalan gontai mengikuti bapak. Sesuatu yang tidak masuk akal, namun telah akku alami dan terjadi pada adikku.

SUMBER : Misteri, Edisi 342, Tahun 2004

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih