Sabtu, 22 Juni 2013

Bertarung Dengan Kawanan Tikus Siluman di Pedalaman Papua

Bertarung Dengan Kawanan Tikus Siluman di Pedalaman PapuaOleh : Hady Sumiyanto


Sebuah pengalaman yang tak mungkin bisa dilupakan oleh si pelaku peristiwa. Kawan-kawannya habis dimangsa oleh segerombolan tikus raksasa. Sementara dia sendiri harus menderita cacat seumur hidupnya....

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



MASIH kuingat, waktu itu sekitar enam bulan lagi aku akan segera menikah dengan Tari, seorang gadis cantik desa tetangga. Sebenarnya, aku telah meminta agar pernikahan ini diundur satu atau dua tahun lagi, sebab secara lahir maupun batin aku memang belum siap untuk mengarungi kehidupan rumah tangga. Bukan berarti aku tidak mencintai Tari. Aku sangat cinta dan sayang kepadanya.

Aku memang tidak bisa berbuat banyak, ketika pihak keluarga Tari terus mendesakku. Padahal, sejak awal kujelaskan kepada mereka bahwa pernikahan itu bukan untuk satu atau dua hari, tapi untuk sepanjang hidupku. Apalagi ketika itu aku masih belum memiliki pekerjaan tetap, sehingga penghasilanku pun sering tak menentu. Lantas bagaimana aku akan membahagiakan istriku nanti?

Tapi, oranng tua Tari berkata, "Masalah pekerjaan, kita pikirkan sambil jalan, Insya Allah pasti ada jalan keluarnya," tegas Ayahnya Tari mantap. Kata-kata inilah yang pada akhirnya memaksaku untuk menyerah.

Sambil menunggu hari saat akan bersanding sebagai pengantin, aku berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan yang layak. Di samping untuk menambah dana pernikahan nanti, aku juga berharap, kelak pekerjaan ini akan bisa menopang rumah tanggaku.

Nah, ditengah kebingunganku mencari pekerjaan, tiba-tiba aku kedatangan seorang tam. Namunya Yajid. Dia teman karibku sewaktu kami masih sama-sama duduk di bangku SMA. Lima tahun kammi berpisah, dan selama lima tahun itu pula kami tidak pernah saling berkomunikasi. Jadi wajar, jika kedatangannya yangg mendadak membuatku jadi sedikit terkejut.

Apalagi, penampilan Yajid di mataku benar-benar berubah. Pakaian yang dipakainya bermerk dan sangat necis. Wajahnya yang tampan, semakinn gagah dibalut busananya yang kelihatan elegan. Padahal, sewaktu duduk di SMA dulu, Yajid kelihatan culun sekali. Tubuhnya kurus, tapi sekarang kelihatan lebih lebih berotot dan tegap. Mungkin karena pengalaman telah mengajarkan dia, bagaimana harus menjaga penampilan.

Setelah ngobrol kesana-kemari, akhirnya kuceritakan tentang masalah yang tengah kuhadapi saat itu. Syukurlah, dengan tangan terbuka, Yajid mau membantuku untuk melamar pekerjaan di perusahaan tempat bekerjaan. Atas rekomondasinya, kemungkinan besar aku pasti diterima. Apalagi aku sudah berpengalaman naik turun gunung sebagai pecinta alam.

Singkat cerita, seminggu setelah mengajukan surat lamaran ke Surabaya, Yajid datang lagi sambil membawa surat panggilan bekerja untukku. Dan besok harinya aku harus berangkat bersama Yajid dan Tim Ekspedisi dari perusahaan itu ke suatu tempat di pedalaman yang sebut Yajid sebagai sebuah lembah bercadas. Pikirku tak masalah, sebab aku sangat menyukai petualangan.

Setelah mendapatkan kepastian bekerja, hari itu juga, aku datang ke rumah calon mertuaku. Kuutarakan niatku untuk memenuhi pannggilan pekerjaan tersebut. Tari dan kedua orang tuanya terang-terangan tidak setuju. Sebab, kepergianku ini sangat jauh, ke pedalaman Irian Jaya. Apalagi ketika itu hari pernikahan kami tinggal enam bulan lagi.

Dengan berbagai alasan, akhirnya aku dan Yajid berhasil menyakinkan mereka, kalau di hari pernikahan nanti aku pasti akan pulang dengan selamat. Apalagi pihak perusahaan telah memberiku uang trasport dan akomodasi. Sayang, kalau dibatalkan. Ditambah lagi, mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak sulitnya minta ampun.

Kalau ayah dan ibuku, memang sudah biasa kutinggalkan jauh berlama-lama. Mereka memang tidak ingin membatasi kreativiitasku. Meski begitu, aku tahu, sebagai orang tua, sebenarnya mereka juga khawatir sebab sekali ini aku pergi ke tempat yang benar-benar jauh dan sangat asing. Memang mereka tidak memperlihatkan kekhawatirannya itu.

Aku pun mencoba untuk tidak memperdulikan kecemasan kedua orang tuaku. Lagi pula, aku sudah terlalu sering meningglkan rumah untuk menaklukkan gunung-gunung tinggi di Indonesia. Toh akhirnya aku selalu pulang juga dengan selamat. Jadi, tak ada alasan bagi kedua orang tua dan adik-adikku untuk khawatir yang berlebihan. Sebab, mereka percaya kalau aku bisa menjaga dan membawa diri.

Hari itu, tepat pukul 5 pagi, aku dan Yajid berangkat meninggalkan kota kecilku menuju kantor di Surabaya. Karena jarak rumah kami sangat jauh, sembilan jam kemudian kami baru sampai di kantor untuk mengurus administrasi, mengambil tiket pesawat yang sudah disiapkan oleh perusahaan dan segala keperluan akomodasi lainnya.

Pukul 5 sore, kami terbang ke provinsi Papua Timur, yaintu Jayapura, lewat Bandara Juanda. Sekitar pukul 18.20 WIT, kami sudah mendarat di Bandar Udara Sentani. Ternyata di ruang tunggu kehadiran kami sudah dinanti oleh seorang yang kemudian kukenal seebagai Pak Amat. Dia adalah sopir perusahaaan yang diutus menjemput kami. Dua puluh menit kemudian, kami sudah sampai di kantor pusat perusahaan di Sentani. Setelah mengisi laporan, kami pun diantar ke sebuah hotel untuk istirahat.

Saking lelahnya dalam perjalanan, aku dan Yajid bangun pukul 10 pagi. Setelah mandi dan sarapan, semua karyawan berkumpu di aula untuk mendengarkan pengarahan dan jalur yang akan dilewati besok. Yang memberi pengarahan adala pemimpin ekspedisi, Pak Lutfi, dari TNI.

Rencananya, kami akan melewati kecamatan Sawesuma dan menyeberanngi sungai Sermowai.Sungai itu sangai lebar dan merupakan sarang binatang yang sangat menyeramkan, buaya. Letek sasaran yang dituju adalah di sekitar sungai tersebut. Sesuai dengan pengarahan, di daerah itu ada sebuah lembah tak bertuan yang mereka beri namasebagai Lembah Cadas.

Aku sama sekali tak menduga. Ternyata, pekerjaan yang akan kami lakukan adalah berburu sarang burung walet. Dan pekerjaan ini legal, karena disponsori oleh negara. Liur burung walet yang bernilai tinggi tersebut, nantinya akan diolah menjadi berbagai obat-obatan dan makanan yang bergizi tinggi, atau juga diekspor ke sejumlah negara. Waktu itu, seporsi sub burung walet berukuran mangkuk sedang, bisa dihargai antara 35-50 ribu rupiah. Saking mahalnya, sub buurung walet hanya ada di hotel kelas satu atau hotel bintang lima.

Waktu yang ditentukan telah tiba. Jumlah rombongan ada 50 orang di tambah 5 orang dari TNI AD dan 3 orang dari Kepolisian. Tugas mereka untuk mengawal pekerjaan kami. Jadi jumlah rombongan totalnya 58 orang. Menurut Pak Lutfi, kalau tidak dikawal pihak keamanan, bisa-bisa hasil pekerjaan kami yang berat itu akan dijarah oleh para perampok.

Setelah menempuh perjaalanan darat sejauh 35 Km dari Sentani ke kecamatan Sawesuma, kami turun dari mobil dan berjalan sejauh 10 Km. Setelah itu, barulah kami sampai di pinggir sungai Sermowai. Meski sungai tersebut penuh dengan buaya, akhirnya kami berhasil juga melewatinya. Sebab, kami juga melibatkan penduduk sekitar yang bisa menjadi pawang buaya. Namanya Alex Warobay. Di tangannya, masalah binatang reptil yang ganas tersebut bisa teratasi.

Akhirnya, kami sampai juga di Lembah Cadas. Batu-batu cadas tersebut berdiri dengan kokoh dan tinggi menjulang. Batu-batu itu berdiri seperti barisan tentara di tengah sungai. Nah, di tebing yang curam dan licin itulah, bergelantungan beribu-ribu burung walet, dan tuggas kami adalah mengambil sarang-sarang burung walet itu dengan hati-hati. Sebab, kalau tidak hati-hati, burung walet itu akan terbang pergi dan tidak akan kembali lagi.

Dengan peralatan panjat tebing berupa sling dan tambang yang kuat, kami pun bergelantungan bahkan tengkurep dan merayap untuk mengambil sarang burung walet. Sementara, di bawah air sungai yang kecoklatan dipenuhi dengan buaya yang sewaktu-waktu siap menerkam dan melumat tubuh kami bila tali tambang khusus yang kami pegangi putus dan kkami terjatuh ke dlam sungai.

Pekerjaan ini memang pekerjaan berat dan membutuhkan keberanian serta kesiapan mental. Lengah sedikit saja, maka, nyawa taruhannya. Namun syukur Alhamdulillah! Setelah 10 jam, kami berhasil menyelesaikan pekerjaan ini dengan selamat. Dan kami berhasil mengumpullkan sarang burung walet seberat 125 Kg.

Sarang burung walet yang telah kami berhasil kami kumpulkan, kemudian dibawa oleh petugas dan beberapa karyawan untuk dikirim ke kantor. Sementara, beberapa karyawan yang lain istirahaat di dalam tenda yang telah disiapkan sebelumnya.

Aku, Yajid dan beberapa karyawan lain duduk di depan tenda sambil makan roti bakar dan ubi bakar. Api ungun selalu menyala sebagai penghangat tubuh. Sambil mengelilingi api ungun, kami berdendang riang dengan diiringi gitar, mirip anak-anak SMA yag tengah berkemah dan baru belajar mengenal hutan.

Ketika aku sedang asyik berdendang, entah dari mana datangnya, tiba-tiba ada seekor tikus besar lewat di sekitar api ungun. Tanpa dikomando, teman-teman berlomba menangkapnya. Di mataku, ukuran tikus itu benar-benar besar, sehingga mirip dengan kelinci.

Karena dikepung ramai-ramai, tikus itu berhasil mereka tangkap. Entah bagaimana, aku merasa iba melihat hewan tak berdaya itu. Aku pun berusaha merayu teman-teman agar melepaskan binatang tersebut. Tapi, teman-teman tidak memperdulikan permintaanku.

"Kau tahu, daging tikus jenis ini enak sekalli kalau dibakar!" Kata salah seorang dari mereka. Yang lain tertawa-tawa menyambutnya.

Aku menyerah. Dalam waktu yang singkat, tikus tersebut dibakar, dipotong, dan segera dikuliti, lalu dipanggang mirip babi guling. Kemudian dalam sekejap, sudah ludes jadi santapan mereka. Aku yang tak kuasa mencegah kekejaman mereka hanya diam menyaksikan pesta kecil itu.

Anehnya, ketika teman-teman baru menyelesaikan santapan daging tikus itu, mendadak ada seekor tikus lagi melintas. Kali ini lebih besar dan montok. Teman-teman berusaha menangkapnya. Tapi tikus ini rupanya jauh lebih cerdik dan gesit. Dia berlari masuk ke dalam gua kecil dekat perkemahan kami. Yohanes, salah seorang anggota tim, nekad berlari mengejar sambil membawa kayu yang sudah membara. Begitu juga dengan beberapa teman yang lainnya.

Akibatnya, lubang gua yang tidak terlalu besar itu dipenuhi oleh bara api. Dan Yohanes bersiap-siap menangkap tikus yang bersembunyi di dalam gua tersebut. Namun, apa yang terjadi. Tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari dalam tanah tempat kami berpijak. Dan dalam hitunngan detik, dari dalam guakeluar tikus-tikus besar banyak sekali jumlahnya.

Tikus-tikus tersebut menyerang siapa saja yang ada didekatnya. Kulihat Yohanes terjatuh ketika menghindari tikus-tikus yang menyerang. Dia terjerembab ke tanah dan tubuhnya yang tegap itu segera menjadi santapan tikus-tikus tersebut.

Tak hanya itu, tenda tempat kami perkemahan kami juga hancur digigit gerombolan tikus-tikus itu. Sementara, Aku dan Yajid berusaha berlari sekencangnya untuk menyelamatkan diri dari kejaran para tikus yang kesetanan itu. Tapi rupanya terlambat. Entah bagaimana, bumi tempat kami berpijak tiba-tiba runtuh. Dan kami pun ikut amblas ke dalam bumi.

Di dalam tanah yang kedalamanya sekitar sepuluh meter dari permukaan, aku dan Yajid melihat tikus-tikus besar dengan taringnya yang kuat dan tajam. Mereka sepertinya telah bersiap mencabik-cabik tubuh kami. Kulihat pula teman-teman pada teriak histeris menahan sakit. Bahkan, beberapa di antara mereka, dalam waktu sekejam saja tubuhnya hanya tinggal tulang-belulang.

Aku berusaha menyelamatkan diri. Ya, aku berusaha untuk selamat dari pertarungan yang aneh ini. Aku segera menarik Yajid dan kami berusaha untuk naik ke atas. Sialnya, tikus-tikus itu begitu gesit dan lincah. Hingga wajahku, kaki kananku, juga pundakku berhasil digigit hewan pengerat tersebut.

Aku dan Yajid berusaha sekuat tenaga untuk melawandan sebisa mungkin menghindari mereka. Darah segar muncrat dari sekujur tubuh kami. Tapi kami tidak menyerah. Kami berusaha untuk naik ke permukaan. Alhamdulillah akhirnya kami berhasil.

Selanjutnya, kami terus berlari sambil menahan rasa sakit yang teramat sangat guna menjauh dari tempat aneh itu. Celakanya, tikus-tikus itu seperti telah dirasuki naluri untuk membunuh. Mereka tidak mau melepaskan mangsanya dengan begitu saja. Kami terus berlari, dengan tikus-tikus yang terus mengejar!

Untunglah, ada sepasang suami istriyang menolong kami. Aneh sekali, tikus-tikus besar itu berhasil mereka halau hanya dengan melempar garam. Selanjutnya, aku dan Yajid dibawa ke rumah para penolong kami tersebut. Setelah luka-luka kami dibersihkan, kami pun diobati dengan ramuan berupa dedaunan. Meski awalnya terasa sangat perih, namun ramuan itu terbukti dapat menghilangkan rasa sakit, bahkan kemudian kami tertidur pulas.

Menjelang Subuh, aku mendengar suara orang perempuan merintih, menahan sakit di dalam kamarnya. Segera kubangunkan Yajid. Kami kemudian berusaha mengintip dari balik daun pintu. Ternyata, istri si penolong tadi mau melahirkan. Aku dan Yajid keheranan, sebab, waktu wanita itu menolong kami jelas sekali tidak dalam keadaan hamil. Perutnya juga biasa, tidak besar, bahkan terkesan langsing.

Tapi, aneh! Kok bisa tiba-tiba perutnya membesar seperti orang yang hamil 9 bulan. Belum sempat kami berpikir lebih jauh, tiba-tiba kami melihat terjadi sesuatu keanehan. Dari dalam perut wanita itu yang keluar bukannya si jabang bayi manusia, tapi tikus-tikus sebesar lengan yang masih berwarna merah. Sontak kami pun bergidik ketakutan.

Segera saja kami keluar dari tempat itu, dan selanjutnya kami berlari sekuat tenaga hingga kahirnya kami jatuh dan pingsan. Ketika aku membuka mata, tahu-tahu sudah ada di rumah sakit. Dan disampingku juga terbujur tubuh Yajid. Kaki kirinya diamputasi dan kedua dau telinganya juga lenyap. Aku terkesiap. Tak terasa air mataku mengalir deras.

Kuraba tubuhku. Subhanallah! Ternyata aku telah kehilangan lengan kiriku, dan pipiku yang sebelah kanan growak cukup dalam. Aku berteriak histeris, tapi tetap saja teriakkan itu tidak akan mengembalikan wajahku dan lenganku seperti semula, sebab aku telah menjadi orang cacat sepanjang hidupku.

Dan aku tidak tahu, apakah Tari masih menerimaku atau tidak. Apakah kelakk ada wanita yang siap menjadi calon istriku, karena aku tidak lagi gagah dan tampan?

Kini, diusia yang sudah menjelang kepala 5 aku masih tetap hidup sendiri. Dengan harapanuntuk meringankan beban hidupku, maka sengaja kuceritakan kisah pahitku ini kepada Misteri. Semoga para pembaca menjadi percaya dengan keberadaan bentuk-bentuk kehidupan lain di jagad raya yang penuh dengan misteri ini.

http://iwanlovers.wordpress.com/2011/11/12/bertarung-dengan-kawanan-tikus-siluman-di-pedalaman-papua/

SUMBER : Misteri, Edisi 452, Tahun 2008