Jumat, 15 Maret 2013

Pesugihan Siluman Ulat Jedung

Oleh: Budiono Dayak

Ulat itu mengisap payudara Heni kiri-kanan bergantian. Sambil merintih kesakitan, Heni berulang-ulang menyusui sambil kanannya mengelus punggung ulat jadung ini ke arah atas dan bawah. Tapi bukan putih susu yang keluar dari payudaranya, melainkan darah segar.....

* * * * * * * * * * * * * * *


Temu kangen! Ana kaget menerima undangan ini, sudah ia banyangkan betapa serunya nanti. Ia bisa bertemu dengan teman-teman lamanya, mengenang masa ketika masih di bangku SMA dulu. Ya, tak terasa sudah mereka tinggalkan bangku sekolah itu 11 tahun yang lalu.

Pada saat temu kangen nanti mereka akan bisa menumpahkan segala rasa kangen, curhat dan berbincang tentang kehidupan masing-masing masa lalu dan masa sekarang. Kegirangan Ana itu tentu saja ada alasan sendiri, kegirangannya dipicu atas kesepiannya yang sudah enam tahun belakangan ini menjanda.

Yah, karena suaminya Firdaus sudah meninggalkannya dan hidup dengan wanita lain yang menjadi istrinya sekarang. Namun itu bagi Ana jalan yang terbaik, karena wanita seperti Ana tak mau dimadu. Di Kota Madiun yang terkenal dengan makanan khas bremnya ini, ia hidup bertiga dengan Eka dan Dwi, anak hasil perkawinannya dengan Firdaus.

"Hallo Hen, kamu sudah menerima undangan temu kangen?" Sapa Ana kepada sahabatnya semasa SMA dulu via telepon kepada Heni, sejenak setelah suara telepon itu diangkat.

"Sudah, aku sudah terima undangannya kok An....," sahut Heni di seberang sana.

"Begini Hen, gimana jika hari Sabtu nanti aku menginap saja di rumahmu, jadi hari Minggu siangnnya kita bisa berangkat sama-sama ke acara temu kangen itu."

"Oke, tak tunggu."

"Tapi aku nggak mengganggu keluargamu kan?"

"Nggak.... aku belum laku kok An, tenang saja."

Pembicaraan tidak Ana lanjutkan, segera saja ia tutup telepon setelah saling say hello. Meski di sisi hatinya bertanya-tanya dan merasa heran sendiri! Mosok sih Heni belum menikah?Heni itu kan termasuk kategori perempuan cantik di sekolahnya dulu, ia berperawakan semampai, kulitnya pun kuning langsat, ramah perangainya, murah senyum dan enak diajak bicara. Bahkan ketika masih sekolah dulu ia termasuk kembang kelas III IPA 1, maka tidak heran kalau banyak cowok yang naksir dan ingin menjadikannya pacar. Tapi pertanyaan itu, hanya ia simpan dalam benaknya, karena ia takut kalau Heni tersinggung.

Sabtu sore, mobil yang Ana kendarai melaju cepat menuju rumah Heni di kota brem. Yah, di kota yang memiliki makanan khas itu; dulu ia pernah menuntut ilmu di bangku sekolah. Ketika mobilnya sudah mulai berhenti di depan rumah berpagar besi, tinggi dan bercat coklat, Ana sempat terhenyak! Rumah orang tua Heni itu kini tampak menjadi besar dan megah. Halaman depannya lebar, asri, karena di sana-sini banyak ditumbuhi bunga-bunga yang sedang berkembang. Rumah itu tidak seperti 11 tahun lalu, sempit, malah terkesan kumuh dan hanya berdinding kotangan (separuh kayu dan tembok batu bata).

Untuk menepis keheranan Ana itu, ia segera meneleponnya, mengabarkan bahwa ia sudah berada di depan pintu pagar rumahnya. Mereka berkomunikasi via telepon genggam. Tak lama kemudian terdengar langkah penghuni rumah mendekati pintu pagar. Ana kembali terhenyak, saat melihat wanita yang bertubuh kurus membuka pagar besi.

Dialah Heni, temannya yang cantik itu. Tapi mengapa kini kurus sekali? Tapi ia tidak mau membuat penhuni rumah bingung melihat sikapnya, maka ia pun segera melepaskan semua tanda tanya yang bergelayut di kepalanya, agar suasana tidak canggung.

"Wah... kamu sekarang kok kurus sekali, Hen!" bisik Ana pelan di dekat telinganya, karena hatinya tidak bisa menahan keingin tahuannya saat tubuh temannya itu ia peluk erat-erat.

"Hem..." hanya itu suara yang terdengar keluar dari bibir Heni.

Pertanyaan Ana itu pun juga kembali dia abaikan. Sekali lagi Ana harus mawas diri, ia tidak mau masuk terlalu jauh ke kehidupan temannya itu, mungkin Heni tidak mau ia tahu tentang kehidupannya, dan ia tidak mau merusak suasana pertemuan ini. Mereka pun hanya berbincang-bincang tentang masa lalu, dan saling bertukar kabar teman-teman mereka sepanjang yang mereka tahu saja. Sambil makan cemilan dan minuman ringan, nonton tayangan televisi di ruang tengah. Situasi mengenang itu sempat sejenak dapat menhilangakan bayangan keheranan dan pertanyaan-pertanyaan Ana yang belum terjawab.

"Yok kita keluar saja An, kita makan soto ayam, langganan kita dulu. Setuju? Ajak Heni.

"Oke.... sip."

Tanpa harus menunggu waktu lama, malam itu Ana menikmati kenangan di kota kelahirannya ini. Mereka berputar-putar dan berbincang, bahkan sesekali cekikikan berdua jika ingat peristiwa masa lalu yang lucu-lucu dan cinta monyet yang lugu. Setelah mereka makan soto ayam yang pernah menjadi langganan mereka berdua waktu remaja dulu. Mereka pun saling bertukar kabar Haryanto, Hartanto, Setyoko, Herman dan sederet pria lain yang dulu pernah menjadi idola para wanita di sekolahnya. Nostalgia!

Sampai tak terasa, malam pun sudah hampir larut. Ana dan Heni sudah berbaring satu ranjang di kamar depan rumah Heni, setelah pulang dari menikmati malam di jalanan kota masa remajanya itu. Di antara bincang-bincang mereka berdua di pembaringan yang berkasur empuk itu, pertanyaan Ana tentang kesendirian Heni kembali menghantui dan mengganggu pikirannya. Memang semula ia ragu kembali menanyakannya, namun wisik mengusik di relung kalbunya seolah tidak lagi mampu ia bendung.

"Kenapa kamu tidak menikah, Hen?"

"Aku sudah tidak lagi punya rasa percaya pada pri An."

"Patah hati nih."

"Ya, perasaanku sudah mati."

"Aku dulu pernah berpacaran dengan Dika, dia salah seorang pemuda dari trah ningrat di sini," lanjutnya sebelum sempat Ana memberikan pertanyaan.

"Lalu?" kata Ana sebelum diselanya lagi.

"Selama pacaran itu, aku begitu yakin, bahwa dia adalah calon suamiku, aku pun sangat mencintainya. Sehingga apapun yang ia mau dariku aku serahkan, termasuk jiwa, raga yang sebenarnya harus dijaga sebagai perempuan lajang pun aku persilakan diambilnya. Keperwananku dilumatnya! Selanjutnya, bukan hanya sekali saja, tetapi seringkali tubuhku dinikmatinya dengan nafsu birahinya yang meledak-ledak."

"Sampai kamu hamil?"

"Tidak!"

"Terus?"

"Lalu aku pun mendesak Dika, minta pertanggungjawabanya dan kepastian dari ujung hubungan kami."

"Apa katanya?" tanya Ana yang penasaran mendengar ceritanya itu, sempat bersungut-sungut. Harga dirinya sebagai perempuan mulai terusik, seolah ia tidak kuat lagi menahan inti dari klimat kisahnya.

"Orang tuanya menolak hubungan kami."

"Apa alasannya?!" Kata Ana yang ikut hanyut, dan nyaris marah. Ia tidak mampu menunggu.

"Karena aku bukanlah trah darah biru, hanya wong cilik dan rakyat jelata," ujar Heni sambil mendekap tubuh Ana erat-erat. Air matanya tak mampu terbendung lagi, membasahi dada Ana.

"Bajingan!" Umpat Ana, tidak terima atas penghinaan ini.

"Anehnya, Dika seperti kerbau dicocok hidungnya, dia hanya diam seribu bahasa. Hanya mampu sendika dawuh, bahkan prung .... meninggalkan aku."

"Kurng ajarnya dia!"

"Hal ini berangsur-ansur membuat kedua orang tuaku jatuh sakit dan menghembuskan napasnya yang terakhir secara bergantian."

Untung Ana segera eling. Tidak larut dalam suasana duka dan penhinaan kaumnya. Ia peluk erat-erat tubuh Heni. Mereka pun lama terdiam dan ia pun tidur, meski hanya tidur ayam, tidak pulas. Sebab masih saja terngiang kisah Heni yang membuat ia larut dan ikut merasa terhina, sebagai kaum hawa. Malam pun sudah semakin tua, sunyi dan semilirnya angin mulai berhembus, membelai tubuhnya dari lubang angin kamar itu. Membuat Ana kedinginan dan terhenyak sejenak terjaga. Sementara Heni sudah tidak ada di sisinya.

Tiba-tiba kesunyian malam itu, menjembak Ana dalam suasana yang menakutkan, bahkan bulu kuduknya ikut-ikutan berdiri. Rasa takut itu pun semakin menggila ia rasakan, dan menjadikan tubuh merinding, seolah ada keganjilan di rumah ini . Suasana terasa semakin sunyi, sepi seperti suasana tengah malam di kuburan. Gawat, wingit dan angker seolah berpacu dalam benak, pikiran dan jiwa Ana. Di luar hanya terdengar rintik hujan yang jatuh dan luruh di atas genting. Maklum memang saatnya sedang musim penghujan. Tiba-tiba pula suara rintihan mengaduh seorang wanita terdengar sayup-sayup menggelitik telinga kanannya.

Sura rintihan seperti mengaduh yang keluar dari mulut perempuan itu, begitu Ana kenal. Suara Heni! Jelas, membuat ia penasaran dan terus menggoncang pikirannya, dan ia mencoba menepis rasa ketakutannya sendiri, tapi ia justru lebih mengkhawatirkan dan takut jika Heni kenapa-kenapa.

Dengan sisi keberaniannya, Ana melangkah pelan bahkan sangat pelan sekali. Dengan hati-hati, ia dekati datangnya sumber rintihan tadi. Di kamar belakang itu datangnya suara rintihan bak isak tangis yang ia curigai tersebut. Tepat di depan kamar itu, kedua kakinya yang semula berjingkat-jingkat ia hentikan. Rasa penasaran yang terus bergejolak membuat dirinya berani untuk mengintip kejadian yang ada di dalam kamar itu.

Begitu mata kiri Ana tertempel di lubang kunci kamar itu. Gelap! Maka ia menambah belalakan matanya lebar-lebar, sehingga ia mampu menembus pandangan yang semula gelap menjadi remang-remang, karena ruangan dalam kamar itu hanya diterangi sebuah lilin dan beberapa dupa wangi yang tertancap di semacam vas bunga yang terbuat dari kuningan.

Kaget! Ya, ia terperanjat, ketika bola matanya mengarah ke bawah, hingga melihat di sebelah salah satu sudut ruangan itu. Di karpet warna merah maron itu tubuh Heni terbaring telanjang dada sambil memeluk suatu benda sebesar guling, berwarna hijau kekuning-kuningan, bersungut panjang.

Tubuhnya beruas-ruas dan matanya hitam melotot, persis ulat jedung (ulat yang biasa menggerogoti daun pepaya). Ulat ini sedang netek serta mengisap payudara Heni kiri-kanan bergantian. Meski sambil merintih kesakitan, Heni berulang-ulang menyusui. Tangan kanannya mengelus punggung ulat jedung ini ke arah atas dan bawah. Tapi bukan warna putih susu yang keluar dari payudaranya, tetapi darah segar.

Inikah wujud siluman ulat jedung yang dikenal pemberi pesugihan bagi orang yang pikirannya kalut dan hatinya cupet, sehingga jalan sesat dilaluinya. Guna mendapatkan kekayaan yang berlimpah dengan jalan pintas maka seolah membuat dogma yang teryakini. Orang akan bergelimang harta, naik derajat dan pangkatnya di masyarakat.

Inikah pelampiasan rasa sakit hati atas cercaan dan hinaan yang di terima Heni dari keluarga nigrat Dika? sehingga ia rela mengorbankan jiwa dan raganya di atas gelimang dosa, kendati tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat, kendati masih kentara garis-garis kecantikannya. Ana hanya mampu tertegun keheranan, tubuhnya terpaku di depan pintu kamar itu, menyesali langkah yang diambil teman sekelasnya ini. Tak ada yang bisa dilakukan Ana selain hanya menyimpan rahasia ini rapat-rapat. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013