Cerpen : Tova Zen
Setelah semua sidik, gerak-gerik dan olah data di tempat kejadian perkara, lantas apa lagi? Rasanya semua bukti raib dan menguap entah ke mana.Kejadian dalam perkara ini benar-benar mengacaukan pikiranku, membesut integratisku sebagai kepala polisi dan siap mengolok-olok kredibilitasku sebagai aparat publik yang cukup disegani. Malam ini pun aku resah dalam tidur, pikiranku selalu melayang pada peristiwa perampokan yang dialami seorang nenek tua yang hidup menyendiri di pinggiran hutan Tasmania. Wanita yang berumur tujuh puluh satu tahun itu benar-benar wanita kaya, aku bisa melihat dari gaya arsiterktur rumahnya dan perabotan dalam rumah elitnya itu. Padahal aku sempat berpikir nenek ini mungkin sudah uzur, sehingga daya ingatnya kabur dan menjalar pada ucapan dan lisannya yang serba ngawur.
Tidak! Wanita itu jelas-jelas tak pikun, aku bisa menangkap dari emosi psikoogisnya dan daya serap kata-katanya dalam pikiranku. Teratur, teliti dan penuh emosi saat mengungkapkan kisahnya padaku bahwa dirinya dirampok oleh dua orang pria bersenjata. Kami selaku tim penanganan kasus kriminalitas telah mendatangkan dua ekor anjing pelacak guna mengendus jejak pelaku, tapi hasilnya sia-sia belaka. Anjing-anjing yang terlatih itu tak menemukan bau penjahat yang terembus angin menuju keluar kawasan pedalaman itu. Semua mentok di area genangan sungai kecil yang melingkupi rumahnya. Sangat mungkin penjahat-penjahat itu masuk dan kabur menyeberangi sungai yang dihuni ribuan lintah.
Dari titik itulah kami kehilangan jejak sang perampok dan anehnya anjing kami selalu mengendus si nenek, seolah barang-brang yanng ada di rumahnya hanya tercium bau nenek tua itu. Aku bahkan sempat berpikir bahwa nenek ini mangalami halusinasi akut. Intinya kami kehabisan akal, kehilangan bukti, dan tak punya saksi. Penyelidikan yang berat dan mungkin akann memakan waktu lama. Sampai sore tadi pun si nenek terus bersibaku memojokkanku untuk segera menangkap pelaku. Padahal dia sendiri gagu dan rabun saat ditanya seperti apa kiranya wajah-wajah perampok yang menguras harta itu? Nenek itu terus berkelit dan ia tak bisa menyebutkan seperti apa kilasan wajah pelaku perampokan, bahkan ia tak bisa memperkirakan tinggi badan dan postur tubuh si penjahat itu. Intinya kami kalah, tapi nenek tetap bersikeras bahwa dirinya mengalami perampokan.
Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi sahabatku, Bill Pitzer. Dia seorang ahli kimia dan biologi dan telah lama bekerja di Willington, New Zealand. Kuminta waktu liburnya untuk datanng ke Tasmania. Dia sangat girang saat mendengar kasus yang tak becus kupecahkan, bahkan seringainya dalam telepon membuatku menggulung muka karena tak kuat menahan malu. Aku tak peduli ia mau berpikir apa tentang ketidakbecusanku mengurus kasus ini, yang penting diamau datang dan segera menolongku. Biarlah malu di muka kawan, tapi jangan menanggung malu di muka anak buahku, bahkan aku tak mau dikatakan tak becus di muka si nenek itu.
Aku menjemputnya langsung di bandara dan segera kami mmennuju kediaman rumah si nenek yang masih sangat ngotot menelpon kantorku bahwa dirinya benar-benar dirampok dua pria persenjata. Aku membawa dua orang anak buahku, naanya Micoz yang menangani observasi kasus di lapangan dan satu lagi anak buahku yang menjabat kasus di bagian forensik bernama Carbagoz.
"Kau lihat kan Bill, rumah ini benar-benar terisolasi oleh sungai yang di dalamnya diternak ribuan lintah. Kurasa tak ada yang nekat menceburkan diri ke sungai kecil itu."
"Kalau dia memang nekat, apa pun bisa ia lakukan, Richard. Misalnya saja dia membawa pelampung karet atau papan yang di susun menjadi rakit. Bukankah itu mungkin saja terjadi dalam nalar yang perlu kita pikirkan?" ucapnya sambil memicingkan mata ke arahku.
Bodoh! Kenapa aku tidak berpikir sampai ke situ ya? Hardikku kesal pada diriku sendiri. Segera aku memerintahkan Carbagoz dan Micoz untuk menemukan bukti-bukti berupa remahan-remahan kayu, jejak rumput yang tergesek oleh pelampung atau rakit kayu. Aku hanya mengharapkan ada bukti dan sidik jari.
"Hey, kawan. Jangan sentimentil begitu dalam menganalisis perkara. Tenanglah! Tak perlu kau repot-repot mencari jarum dalam sekam. Semua yang aku ungkapkan barusan hanya praaduga. Celoteh kawan." Bill terkekeh, puas sepertinya dia telah mempermainkan tiga orang polisi.
Nenek itu keluar saat kami menekan bel di pagar angkernya itu. Benar-benar tajam pendengaran nenek itu, sekali menekan bel langsung kepalanya menjulur melewati daun pintu rumahnya. Kami pun melangkah menghampirinya.
"Selamat pagi nyonya cantik, apa kabar anda hari ini?" pola tingkah dan gaya bicaranya sok bangsawan, sambil menundukkan tangan ia mencium punggung tangan si nenek renta itu.
Tak lama Bill menghampiriku dan merangkulku, ia membisikkan sesuatu ditelingaku. "Kawanku, tolong perintahkan dua anak buahmu itu untuk masuk ke dalam rumah nenek Gloria. Suruh mereka memeriksa benda-bendaapa saja yang kiranya mencurigakan. Aku sudah meminta izin pada nenek Gloria agar anak buahmu itu bisa melakukan penyelidikkan.
Tanpa pikir panjang aku pun menyuruh dua anak buahku masuk ke dalam rumah guna melakukan pemeriksaan. "Lalu apa yang kita lakukan Bill?"
"Kita cukup duduk di depan sungai itu sambil menunggu tugas anak buahmu selesai." Bill melangkah mendekati sungai penuh lintah itu, sementara aku hanya bisa terbengong menyaksikan polah tingkahnya yang makin aneh. Gila! "Bill! Kurasa kita harus ikut melakukan investigasi. Duduk bersantai seperti ini tak akan memecahkan masalah, kawan. O! aku tahu! Kau pasti sedang mencari inspirasi. Ku rasa berpikir untuk memecahkan masalah sambil memandang sungai berlintah merupakan ide buruk, Bill." Dia mengacuhkan perkataanku. Matanya dengan tajam menyisir area di sekitar kami duduk.
"Richard! Kau katakan padaku bahwa anjing yang kau bawa kala itu mengendus hinggaarea ini, bukan?" Aku mengangguk. Nada suaranya terdengar serius. "anjingmu melacak jejaknya, kawan. Tapi annjingmu tak mungkin berani menyeberangi sungai ini. Siapa yang menuntun tali anjing pelacakmu itu, kawan?"
"Micoz yang memegang tali kekang anjing-anjing palcak itu." Aku terdiam sesaat, lalu melanjutkann perkataanku. "Apakah kau menemukan jejaknya, Bill." Bill mengangguk ringan.
"Kurasa aku telah menemukan salah seorang perampok itu, tapi aku belum,tapi aku belum menemukan bukti untuk meneratnya. Maukah kau membantuku untuk menemukan bukti itu kawan?" Aku menatapnya sejenak. Entah mengapa dadaku yang tadinya seperti tertindih batu akibat beban kasus ini, kini jadi terasa ringan saat Bill menyingkirkan beban batu itu dengan perkataannya bahwa ia telah mengetahui sosok penjahat itu.
Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di pinggir sungai berlintah it. Pandangannya mencari sesuatu entah apa yang ia cari. "Bill kawanku. Apakah kiranya yang sedang kau cari?"
"Lintah," jawabnya singkat."Lintah? Kenapa kau mencari lintah kawan?"
"Aku sangat yakin berdasarkan dengus anjingmu itu. Meyakini bahwa dua perampok itu menyeberangi sungai ini saat masuk maupun keluar. Sungai ini dangkal dan kedalamannya tak lebih dari pinggang kita, hanya saja banyak sekali lintah di dalam lumpur sungai ini. Aku yakin banyak sekali lintah yang melekat pada kaki-kaki mereka saat menyeberangi sungai ini." Aku masih bingung dengan rentetan penjelasannya. Tiba-tiba ia berteriak girang. "Aha! Akhirnya aku menemukan lintah." Ia mencapit lintah dengan dua batang ranting kering dan meyodorkan ke mukaku. "Gemuk sekali kan, Richard?"
"Singkirkan hewan jelek itu dari depan mukaku Bill." Kataku tegang bercampur jijik.
"Inilah bukti otentik yang keakuratannya nyaris sempurna untuk menjerat penjahat itu, kawan."
"Apa maksudmu, Bill. Aku tak mengerti? Tolong jelaskan padaku." Aku benar-benar tak mengerti, tapi samar-samar aku bisa menarik benang merah bahwa lintah inilah yang menempel kaki seseorang yang menyeberangi sungai itu tiga hari yang lalu."
"Inilah sampel darah lintah yang dapat kau jadikan bukti untuk menjerat pelaku. Jejak darah lintah ini sama saja jejak darah si pelaku. Ambil DNA-nya segera kawan! Untuk memperkuat bukti di persidangan. Aku akan menunjuk hidung si pelaku di depan hidungmu."
Tak lama Carbagoz dan Micoz keluar dan melaporkan hasil investigasinya. Laporan mereka klasik : tak ditemukan sidik jari yang tertinggal. Bill melangkah menghampiri Micoz lalu merangkulnya. Sambil menghadap ke arahku, Bill menunjuk hidung Micoz dengan telunjuk kanannya. "Inilah hidung si pelaku kawanku, Richard."
Aku terbengong. Benar-benar terkejut bukan kepalang. Carbagoz juga bingung melihat keterkejutanku. Jadi selama ini anjing-anjing pelacak mengendus jejak pelaku yang tak lain adalah si pawang anjing itu sendiri. Aku pun membawa sampel darah lintah itu ke laboratorium dan mencocokkan kode genetik darahlintah dan darah Micoz. Ternyata "match" dengan DNA Micoz.
Kasus terpecahkan dan Micoz mengakui perbuatannya yang dilakukannya bersama kawannya yang tak lain keponakan dari nenek Gloria. Kami pun meringkus keponakan nenek Gloria itu. Namanya Mr Robbit dan ia melakkukan perampokan hanya ingin mengambil haknya sebagai ahli waris dari ibunya yang diambil oleh nenek Gloria. Perkara keluarga yang menggemparkan daratan Tasmania. Aku patut mengucapkan terima kasih pada Bill. Tapi bagaimana ia bisa tahu kalau Micoz pelakunya? Biarlah itu enjadi teka-teki yang layak aku pecahkan sendiri. (*)
Setelah semua sidik, gerak-gerik dan olah data di tempat kejadian perkara, lantas apa lagi? Rasanya semua bukti raib dan menguap entah ke mana.Kejadian dalam perkara ini benar-benar mengacaukan pikiranku, membesut integratisku sebagai kepala polisi dan siap mengolok-olok kredibilitasku sebagai aparat publik yang cukup disegani. Malam ini pun aku resah dalam tidur, pikiranku selalu melayang pada peristiwa perampokan yang dialami seorang nenek tua yang hidup menyendiri di pinggiran hutan Tasmania. Wanita yang berumur tujuh puluh satu tahun itu benar-benar wanita kaya, aku bisa melihat dari gaya arsiterktur rumahnya dan perabotan dalam rumah elitnya itu. Padahal aku sempat berpikir nenek ini mungkin sudah uzur, sehingga daya ingatnya kabur dan menjalar pada ucapan dan lisannya yang serba ngawur.
Tidak! Wanita itu jelas-jelas tak pikun, aku bisa menangkap dari emosi psikoogisnya dan daya serap kata-katanya dalam pikiranku. Teratur, teliti dan penuh emosi saat mengungkapkan kisahnya padaku bahwa dirinya dirampok oleh dua orang pria bersenjata. Kami selaku tim penanganan kasus kriminalitas telah mendatangkan dua ekor anjing pelacak guna mengendus jejak pelaku, tapi hasilnya sia-sia belaka. Anjing-anjing yang terlatih itu tak menemukan bau penjahat yang terembus angin menuju keluar kawasan pedalaman itu. Semua mentok di area genangan sungai kecil yang melingkupi rumahnya. Sangat mungkin penjahat-penjahat itu masuk dan kabur menyeberangi sungai yang dihuni ribuan lintah.
Dari titik itulah kami kehilangan jejak sang perampok dan anehnya anjing kami selalu mengendus si nenek, seolah barang-brang yanng ada di rumahnya hanya tercium bau nenek tua itu. Aku bahkan sempat berpikir bahwa nenek ini mangalami halusinasi akut. Intinya kami kehabisan akal, kehilangan bukti, dan tak punya saksi. Penyelidikan yang berat dan mungkin akann memakan waktu lama. Sampai sore tadi pun si nenek terus bersibaku memojokkanku untuk segera menangkap pelaku. Padahal dia sendiri gagu dan rabun saat ditanya seperti apa kiranya wajah-wajah perampok yang menguras harta itu? Nenek itu terus berkelit dan ia tak bisa menyebutkan seperti apa kilasan wajah pelaku perampokan, bahkan ia tak bisa memperkirakan tinggi badan dan postur tubuh si penjahat itu. Intinya kami kalah, tapi nenek tetap bersikeras bahwa dirinya mengalami perampokan.
Akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi sahabatku, Bill Pitzer. Dia seorang ahli kimia dan biologi dan telah lama bekerja di Willington, New Zealand. Kuminta waktu liburnya untuk datanng ke Tasmania. Dia sangat girang saat mendengar kasus yang tak becus kupecahkan, bahkan seringainya dalam telepon membuatku menggulung muka karena tak kuat menahan malu. Aku tak peduli ia mau berpikir apa tentang ketidakbecusanku mengurus kasus ini, yang penting diamau datang dan segera menolongku. Biarlah malu di muka kawan, tapi jangan menanggung malu di muka anak buahku, bahkan aku tak mau dikatakan tak becus di muka si nenek itu.
Aku menjemputnya langsung di bandara dan segera kami mmennuju kediaman rumah si nenek yang masih sangat ngotot menelpon kantorku bahwa dirinya benar-benar dirampok dua pria persenjata. Aku membawa dua orang anak buahku, naanya Micoz yang menangani observasi kasus di lapangan dan satu lagi anak buahku yang menjabat kasus di bagian forensik bernama Carbagoz.
"Kau lihat kan Bill, rumah ini benar-benar terisolasi oleh sungai yang di dalamnya diternak ribuan lintah. Kurasa tak ada yang nekat menceburkan diri ke sungai kecil itu."
"Kalau dia memang nekat, apa pun bisa ia lakukan, Richard. Misalnya saja dia membawa pelampung karet atau papan yang di susun menjadi rakit. Bukankah itu mungkin saja terjadi dalam nalar yang perlu kita pikirkan?" ucapnya sambil memicingkan mata ke arahku.
Bodoh! Kenapa aku tidak berpikir sampai ke situ ya? Hardikku kesal pada diriku sendiri. Segera aku memerintahkan Carbagoz dan Micoz untuk menemukan bukti-bukti berupa remahan-remahan kayu, jejak rumput yang tergesek oleh pelampung atau rakit kayu. Aku hanya mengharapkan ada bukti dan sidik jari.
"Hey, kawan. Jangan sentimentil begitu dalam menganalisis perkara. Tenanglah! Tak perlu kau repot-repot mencari jarum dalam sekam. Semua yang aku ungkapkan barusan hanya praaduga. Celoteh kawan." Bill terkekeh, puas sepertinya dia telah mempermainkan tiga orang polisi.
Nenek itu keluar saat kami menekan bel di pagar angkernya itu. Benar-benar tajam pendengaran nenek itu, sekali menekan bel langsung kepalanya menjulur melewati daun pintu rumahnya. Kami pun melangkah menghampirinya.
"Selamat pagi nyonya cantik, apa kabar anda hari ini?" pola tingkah dan gaya bicaranya sok bangsawan, sambil menundukkan tangan ia mencium punggung tangan si nenek renta itu.
Tak lama Bill menghampiriku dan merangkulku, ia membisikkan sesuatu ditelingaku. "Kawanku, tolong perintahkan dua anak buahmu itu untuk masuk ke dalam rumah nenek Gloria. Suruh mereka memeriksa benda-bendaapa saja yang kiranya mencurigakan. Aku sudah meminta izin pada nenek Gloria agar anak buahmu itu bisa melakukan penyelidikkan.
Tanpa pikir panjang aku pun menyuruh dua anak buahku masuk ke dalam rumah guna melakukan pemeriksaan. "Lalu apa yang kita lakukan Bill?"
"Kita cukup duduk di depan sungai itu sambil menunggu tugas anak buahmu selesai." Bill melangkah mendekati sungai penuh lintah itu, sementara aku hanya bisa terbengong menyaksikan polah tingkahnya yang makin aneh. Gila! "Bill! Kurasa kita harus ikut melakukan investigasi. Duduk bersantai seperti ini tak akan memecahkan masalah, kawan. O! aku tahu! Kau pasti sedang mencari inspirasi. Ku rasa berpikir untuk memecahkan masalah sambil memandang sungai berlintah merupakan ide buruk, Bill." Dia mengacuhkan perkataanku. Matanya dengan tajam menyisir area di sekitar kami duduk.
"Richard! Kau katakan padaku bahwa anjing yang kau bawa kala itu mengendus hinggaarea ini, bukan?" Aku mengangguk. Nada suaranya terdengar serius. "anjingmu melacak jejaknya, kawan. Tapi annjingmu tak mungkin berani menyeberangi sungai ini. Siapa yang menuntun tali anjing pelacakmu itu, kawan?"
"Micoz yang memegang tali kekang anjing-anjing palcak itu." Aku terdiam sesaat, lalu melanjutkann perkataanku. "Apakah kau menemukan jejaknya, Bill." Bill mengangguk ringan.
"Kurasa aku telah menemukan salah seorang perampok itu, tapi aku belum,tapi aku belum menemukan bukti untuk meneratnya. Maukah kau membantuku untuk menemukan bukti itu kawan?" Aku menatapnya sejenak. Entah mengapa dadaku yang tadinya seperti tertindih batu akibat beban kasus ini, kini jadi terasa ringan saat Bill menyingkirkan beban batu itu dengan perkataannya bahwa ia telah mengetahui sosok penjahat itu.
Tiba-tiba ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di pinggir sungai berlintah it. Pandangannya mencari sesuatu entah apa yang ia cari. "Bill kawanku. Apakah kiranya yang sedang kau cari?"
"Lintah," jawabnya singkat."Lintah? Kenapa kau mencari lintah kawan?"
"Aku sangat yakin berdasarkan dengus anjingmu itu. Meyakini bahwa dua perampok itu menyeberangi sungai ini saat masuk maupun keluar. Sungai ini dangkal dan kedalamannya tak lebih dari pinggang kita, hanya saja banyak sekali lintah di dalam lumpur sungai ini. Aku yakin banyak sekali lintah yang melekat pada kaki-kaki mereka saat menyeberangi sungai ini." Aku masih bingung dengan rentetan penjelasannya. Tiba-tiba ia berteriak girang. "Aha! Akhirnya aku menemukan lintah." Ia mencapit lintah dengan dua batang ranting kering dan meyodorkan ke mukaku. "Gemuk sekali kan, Richard?"
"Singkirkan hewan jelek itu dari depan mukaku Bill." Kataku tegang bercampur jijik.
"Inilah bukti otentik yang keakuratannya nyaris sempurna untuk menjerat penjahat itu, kawan."
"Apa maksudmu, Bill. Aku tak mengerti? Tolong jelaskan padaku." Aku benar-benar tak mengerti, tapi samar-samar aku bisa menarik benang merah bahwa lintah inilah yang menempel kaki seseorang yang menyeberangi sungai itu tiga hari yang lalu."
"Inilah sampel darah lintah yang dapat kau jadikan bukti untuk menjerat pelaku. Jejak darah lintah ini sama saja jejak darah si pelaku. Ambil DNA-nya segera kawan! Untuk memperkuat bukti di persidangan. Aku akan menunjuk hidung si pelaku di depan hidungmu."
Tak lama Carbagoz dan Micoz keluar dan melaporkan hasil investigasinya. Laporan mereka klasik : tak ditemukan sidik jari yang tertinggal. Bill melangkah menghampiri Micoz lalu merangkulnya. Sambil menghadap ke arahku, Bill menunjuk hidung Micoz dengan telunjuk kanannya. "Inilah hidung si pelaku kawanku, Richard."
Aku terbengong. Benar-benar terkejut bukan kepalang. Carbagoz juga bingung melihat keterkejutanku. Jadi selama ini anjing-anjing pelacak mengendus jejak pelaku yang tak lain adalah si pawang anjing itu sendiri. Aku pun membawa sampel darah lintah itu ke laboratorium dan mencocokkan kode genetik darahlintah dan darah Micoz. Ternyata "match" dengan DNA Micoz.
Kasus terpecahkan dan Micoz mengakui perbuatannya yang dilakukannya bersama kawannya yang tak lain keponakan dari nenek Gloria. Kami pun meringkus keponakan nenek Gloria itu. Namanya Mr Robbit dan ia melakkukan perampokan hanya ingin mengambil haknya sebagai ahli waris dari ibunya yang diambil oleh nenek Gloria. Perkara keluarga yang menggemparkan daratan Tasmania. Aku patut mengucapkan terima kasih pada Bill. Tapi bagaimana ia bisa tahu kalau Micoz pelakunya? Biarlah itu enjadi teka-teki yang layak aku pecahkan sendiri. (*)