Selasa, 21 Mei 2013

Tiga Malam Aku Mencarimu

Cerpen: Gegge Mappangewa

Dua Malam yang Lalu....
Kutelusuri Makasar di aantara gelapnya malam. Berjalan sendiri, meski aku tak lain hanyalah seorang pendatang baru di kota ini. Kota yag terkadang orang menilainya sebagai kota yang rawan tindakan kriminalitas. Aku tak ingin penilaian orang terhadap kota ini menjadi penghalang bagiku untuk mencarimu. Yah, aku mencarimu Kak Ewa. Mencarimu di antara harapan yang sungguh aku tak tahu sebesar apa.

Terkadang aku membangun harapan itu sebiru dan setinggi langit, namun aku sering terjaga jika harapan itu hanyalah mimpi. Bukankah kepergianmu meninggalkan Magelang, karena aku yang lebih memilih berlari ke pelukan Shei saat aku berada di persimpangan hati antara kau dan Shei. "Kak Ewa, jangan pinta aku memilih! Mundurlah dari kehidupanku demi kebahagiaanku dengan Shei!" Kamu membisu saat itu. Menatapku pun tidak!

"Wa, aku tahu kau terluka. Tapi bagaimana pun Shei begitu banyak membantuku. Membantu kehidupan aku dan adik-adikku sejak papaku meninggal."

Aku ingin sekali mendengar suaramu saat itu. Tapi sedikit pun bibir merahmu tak bergerak. Hanya sebuah langkah balik kanan dariku dan berlalu tanpa pernah menoleh sekali pun. Tapi di hatiku, kamu tidak pernah pergi. Kamu selalu ada di setiap keberadaanku. Di mana pun! Setelah kematian Papa, tiba-tiba saja Shei menyusul dan sungguh aku menjadi takut untuk memiliki seseorang. Selalu saja harus berakhir dengan duka hati. Itu yang membuatku datang mencari di sini. Mencoba mengais kembali serpihan hatimu yang pernah aku retakan. Mungkinkah?

"Losari, Daeng!" ucapku pada seorang tukang becak. Dan dengan negoisasi harga yang sudah pas aku naik dan dibawanya pergi. Dari tenda ke tenda aku mencarimu. Mencari wajah polosmu di antara para musisi jalanan. Tapi kau tetap tak ada. Padahal, seseorang pernah cerita jika kamu hampir tiap malam mengamen di sepanjang Losari. Lalu kemana lagi aku harus mencarimu?

"Kamu cari Ewa? Dulu dia sering ngamen di sini," tutur seorang pengamen yang sedikit membuatku menemui titik terang.

Aku mengangguk. Aku sedikit takut melihat penampilan cowok gondrong ini.

"Kamu siapa?"

"Aku adiknya Ewa," bohongku tanpa sedikit kegugupan.

"Nama?" tanyanya.

"Namaku Tiara!." Kulihat dia tersentak. Dia menatapku tajam. Dan kali ini aku gugup. Tatapannya seolah ingin menerkamku.

"Ewa telah mati!" ucapnya santai dan aku bisa membaca jika itu adalah sebuah kebohongan. Tapi kemudian dia beranjak pergi tanpa memperdulikan aku yang mengejarnya dengan seribu tanyan.

Kemarin Malam....
Losari kembali menjadi target pencarianku. Paling tidak, cowok gondrong itu akan kumintai keterangan. Aku tak peduli, apa yang harus aku dengar darinya tentangmu. Tapi hingga Losari sepi karena malam semakin beranjak, cowok gondrong itu tetap tak ada. Langkah gontaiku kuayun pulang. Menelusuri ptrotoar pantai Losari sambil mencari taksi yang akan membawaku pulang.

"Hei!"

Tiba-tiba cowok gondrong itu datang menghadang langkahku dan menyapaku dengan ramah.

"Kamu mau ketemu Ewa?"

Sebelum aku menjawab, cowok itu telah menyekap mulutku dan membawaku ke dalam mobilnya. Aku meronta ingin teriak, tapi setelah masuk di mobil, sebuah tissue yang berbau obat bius telah dia sekapkan ke hidungku. Hingga kemudian, aku tak tahu lagi apa yang terjadi. Semua telah gelap!

Malam Ini....
Aku berada di kamar ini dari kemarin malam. Cowok gondrong itu telah membiusku dan mengurungku di sini. Aku baru terjaga setelah pagi. Itu pun dengan pintu kamar yang terkunci. Hingga malam ini. Hanya sebuah perlengkapan mandi yang belum pernah terpakai, kini tersimpan di sudut tempat tidurku. Juga mie instant dan roti tawar serta aneka soft drink yang tersimpan di lemari es.

Sudah jam tujuh malam. Sampai kapan aku harus terkurung di sini. Dan aku tiba-tiba menemukan akal untuk mencungkil pintu saat mataku tertuju pada sebuh obeng. Peluh bercucuran menemaniku mencungkil pintu kamar. Namun saat pintu berhasil terbuka. Sebuah deruh mesin mobil yang masuk pekarangan rumah terdengar olehku. Cepat aku menyelinap di antara ruang tamu, lalu bersembunyi di belakang kursi.

Napasku tersengal. Dari celah bawah kursi jelas sekali aku kulihat ada enam pasang kaki yang memasuki rumah. Satu di antaranya bahhkan memiliih duduk di kursi yang kupakai bersembunyi di belakangnya.

"Kamu tunggu aja di situ dulu!" ucap salah seorang di antara mereka lalu berjalan ke arah kamar tempatku disekap. Dadaku semakin berdebar tak karuan. Bagaimana mungkin aku bisa lari jika seseorang malah duduk di dekat tempat persembunyianku. Dan hanya selang beberapa menit, kembali aku terpikir untuk meraih keramik di sampingku lalu memukulkan dari belakang ke kepala orang yang kini duduk di kursi tempatku bersembunyi.

"Cewek itu melarikan diri," ucap seseorang dari dalam dan terdengar panik. Dan gerakanku untuk menyentuh keramik dan memukulkannya, terhenti. Meski sesaat kemudian, dari belakang, keramik itu kupukulka juga ke kepala orang yang duduk santai di ruang tamu.

Dan cowok yang tadi duduk sendiri di kursi itu tersungkur ke lantai. Dan itu kugunakan sebagai kesempatan untuk berlari. Aku berlari dan terus berlari di antara gelapnya malam. Meski aku tak tahu aku berada di mana. Hanya lalu lalang kendaraan yang terkadang membuatku bingung harus lari ke mana. Dan sayang, satu dari kendaraan yang lalu lalang itu menghempaskan tubuhku ke trotoar. Mengantarku ke dalam pekannya malam.

Tapi sebelum pekat itu sempurna. Antara sadar dan tidak, cowok gondrong kemarin malam yang ternyata mengejarku dari belakang, kini memapah tubuhku entah ke mana. Aku tak tahu lagi! Aku seperti terbius di antara rasa sakit di bagian tulang punggungku, akibat tertabrak mobil tadi.

"Tiara!"

Seolah dalam mimpi. Ada suara yang memanggil namaku. Dan aku tahu sekali jika itu adalah suaramu, Ewa! Mungkinkah kamu datang untuk menyelamatkanku? Atau kamu akan datang untuk menjemputku untuk menemaniku ke alam abadi, jika memang kamu telah meninggal.

"Tiara, aku Ewa!"

Kubuka mataku perlahan. Dan kudapatkan diriku dalam ruangan yang serba putih. Dari jam yang tergantung di dinding, kulihat jarumnya menunjukkan ke angka dua.

"Jam dua malam?" desisku.

"Ya, beberapa jam yang lalu kamu tertabrak mobil."

"Lalu kenapa dengan kepalamu?" tanyaku melihat kepalanya terbalut perban.

"Bukankah kamu yang memukulku tadi dengan keramik?" ucapnya dengan sebuah senyum manis.

Kutatap mata yang selama ini hilang dariku. Mata Ewa! Masihkah mungkin untuk kumiliki.

"Siapa yang membawaku ke sini?"

"Arbi," jawab Ewa sambil menggenggam tanganku.

"Siapa dia? Cowok gondrong itu?" kurasakan kebencian menyelinap ke balik dadaku yang sesak oleh rasa rindu untuk memeluk Ewa.

"Dia temanku saat ngamen dulu. Tapi menjadi seteruku kemudian karena seseorang pemilik cafe lebih memilih aku untuk main band di cafenya. Dia menculikmu dan meminta tebusan dariku."

"Kamu memberika tebusan itu?"

"Apa pun kuberikan demi kamu, Tiara. Kuharap jangan pernah pergi dariku lagi."

Malam ini pencarianku berakhir, dan sungguh aku tak pernah lagi mau mencarimu. Aku akan selalu mengikuti langkahmu. Kemana pun! (*)

Dialog Setengah Hati

Cerpen: Y Ratih Indreswari

“Terbayang wajah polos mereka, memaksanya bangkit dari keputusan bodoh itu. Namun, sepertinya gadis itu sudah terlanjur cinta pada dunia kematian. Sekarang ia bimbang mencari apa yang bisa menghantarkannya.”

Entah sudah berapa lama kata yang kusodorkan di paragraph akhir dalam cerpen ini. Secangkir minuman sereal hingga mendingin tak tersentuh oleh jemariku. Mungkin jika penguasa malam bisa berbicara. Setidaknya, mereka berusaha menakut-nakutiku dengan segala utusannya menyingkirkanku ebagai pesaing barunya. Namun, hanya seekor burung hantu di sekitar kamar indekos yang bersiul pelan berusaha menidurkanku, tapi gagal. Kini ku menemukanmu, di ujung patah hati, lelah hati menunggu cinta yang selamatkan hidupku…. Aku menikmati lagu itu, “Seventeen” benar-benar idolaku. Setelah beberapa detik aku tersadar ternyata nada dering ponselku sendiri. Aku bisa menebak seseorang yang biasa meneleponku.

Ketika malam telah mencapai pertengahannya, hanya Ibu satu-satunya orang yang selalu meneleponku.

“Halo, sayang, Terry sudah tidur belum? Ibu sedang menonton acara bagus. Terry sedang apa? Ibu mau cerita,” ujar ibuku bersemangat, tepatnya selalu bersemangat.

“Tidak, Bu. Aku sedang menulis untuk bahan besok bu. Mengapa Ibu belum tidur? Sudah larut mama,” sahutku pura-pura memberi nasehat.

“Oh begini, Ter. Hari ini ibu lelah sekali. Bagaimana tidak, hari ini banyak sekali kegiatan, belum pekerjaan di rumah yang harus diselesaikan. Kamu tahu kan bahwa tidak ada yang membantu Ibu. Bagaimana keadaan hari ini? Pulang kerja jam berapa? Telat makan tidak?” Tanya Ibu dengan penuh perhatian yang tampak bagiku hanya pertanyaan yang kurang penting.

“Tadi pulang kerja jam 18.00 WIB. Hari ini tidak terlalu padat. Ibu hari ini banyak kegiatan ya? Tidur saja, Bu,” ujarku berharap percakapan ini usai.

“Sebentar lagi. Ibu masih menonton, sinetronnya belum selesai,” ujar Ibu santai sambil mengunyah sesuatu. Lanjutnya, “Ter, tadi ada kejadian lucu. Terry mau dengar tidak? Begini, sewaktu Ibu mau pulang ada…….,”

“Bu, besok aja kita lanjutnya ya bu. Aku mau menyelesaikan tugas, Bu. Maaf ya, Bu. Selamat malam. Miss you!” ujarku mengakhiri percakapan dengan kesabaran level akhir.

Aku tidak habis pikir, percakapan ini nyaris terjadi setiap malam. Tepatnya di antara kesibukan pekerjaanku dan waktu tidur, Ibu selalu menelepon. Percakapan yang terkesan membuang waktu dan kurasa berlandaskan keterpaksaan. Ini terjadi sejak lima tahun lalu, saat itu aku memutuskan untuk menempuh sekolah tinggi swasta di luar daerah. Ini berarti, aku berdomisili terpisah dari orangtua. Namun setelah menyelesaikan pendidikan diploma tiga, aku memutuskan untuk menjadi pekerja di kota ini, tepatnya sebagai seorang jurnalis pemula pada surat kabar lokal. Ibu adalah seorang pendidik taman kanak-kanak dan PAUD. Pekerjaan yang dilakoninya selama belasan tahun itu menuntut ibu untuk selalu energik, bersemangat, bergembira bahkan bagiku bsedikit kekanak-kanakan. Hidup sendiri dan jauh dari orang tua sepertinya telah menjadi gaya hidup yang kupilih. Gaya hidup yang semakin membuat aku lebih ahli dan profesional dalam menggeluti pekerjaan ini

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

“Seperti kebimbangan lebih bernilai ketimbang kematian itu sendiri. Akhirnya gadis itu membuat pilihan tepat yang dihasilkan dari kesadaran akan kebodohannya yang tak bernilai.”

Hari ini aku memutuskan untuk mengubah baris kedua di paragraf akhir cerpen, berharap kepuasan menulis ini terpenuhi secara total. Aku mencintai pekerjaan ini dan aku memiliki impian besar di dalamnya. Aku ingin membahagiakan kkeluarga dan hidupku sendiri apa pun itu caranya. Namun ituu semua butuh waktu, termasuk waktu yang aku butuhkan setiap malam untuk menulis tanpa gangguna. Kini ku menemukanmu, di ujung waktu ku patah hati, lelah hati menunggu cinta yang selamatkan hidupku. Ponselku bordering lagi. Aku menarik napas dalam. “Astaga, Ibu lagi. Aku butuh waktu untuk bekerja,” komentarku sambil menggerutu. Meskipun gelisah, aku membiarkan ponsel itu bordering. Aku tidak ingin diganggu dengan percakapan-percakapan biasa. Ponselku tidak bordering lagi. Aku kembali bekerja.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

“Suasana berjalan normal dan biasa.. gadis itu tertawa sepanjang waktu, baginya warna kelabu berevolusi menjadi jingga, merah, biru, dan nila. Warna-warna yang disukainya sekarang, seperti kehidupan yang disukainya sekarang.”

Beberpa hari ini aku merasa letih. Cerpen itu berhasil diselesaikan sebelum waktunya tetapi aku berjanji untuk memperbaikinya lagi. Tepatnya sedikit perbaikan pada awal permasalahannya. Artinya, aku harus bekerja keras malam ini. Saatnya bekerja. Kini aku menemukanmu, di ujung waktu ku patah hati, lelah hati menungu cinta yang selamatkan hidupku…. Ponselku bordering. Aku memutuskan untuk mengangkatnya

“Halo, Bu. Apa kabar, Bu? Maaf ya kemarin aku tertidur, Bu,” ungkapku.

“Ya, tidak apa-apa. Oh iya, ada kejadian lucu, Ther! Pagi tadi, ketika Ibu datang ke sekolah ternyata salah seorang teman ibu memakai baju batik. Padahhal seharusnya hari ini kita memakai baju dinas. Sudah datang telat salah pakai baju pula!... hahaha…,” gerai tawa ibu terdengar renyah.

“Oh, ya? Lucu juga. Lain waktu dia pasti akan lebih berhati-hati ya, bu,” sahutku yakin sambil bersabar. Ibu memang kekanak-kanakan keluhku.

“Masih ada lagi, Ther. Masih ingat tidak dengan tetangga paling depan? Nah, ketika Ibu lewat, dia memanggil Ibu. Tahu tidak? Ternyata dia menanyakan resep masakan yang sering Ibu masak. Ibu dengan senang hati menjelaskan. Bahkan Ibu mau….”

“Bu,” ujarku memotong cerita. “Aku bosan, Bu. Aku butuh waktu sendiri untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan ini. Bisakah Ibu bercerita hal-hal penting saja? Setiap hari aku hanya mendengarkan cerita-cerita yang tidak begitu penting,” sahutku jujur dan tegas, lanjutku. “Bu, aku butuh waktu. Aku memiliki tugas di sini. Aku memiliki….”

Tidak ada jawaban, rupanya Ibuku terdiam.

“Ther, Ibu kesepian…. Ibu bingung mau bercerita dengan siapa. Kita tidak menghabiskan waktu bersama seperti dulu. Ibu kesepian. Ibu takut kita tidak diberikan kesempatan untuk bertemu lagi. Ibu membutuhkan kamu. Ibu kesepian. Kamu sekarang jauh dari Ibu. Tolong maafkan Ibu Nak,” ujar ibu terdengar sedih.

Telepon terputus dan aku merenung. Ternyata selama ini satu-satunya perasaan yang dialami Ibu hanya kesepian. Aku terdiam, merasa seperti diberi terang sekali tamparan. Aku tertidur, namun tentu dengan segenap perasaan bersalah. Mudah-mudahan besok semua kembali normal seperti paragraf akhir cerpen tadi.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Kini ku menemukanmu, di ujung waktu ku patah hati, lelah hat menunggu cinta yang selamatkan hidupku…. “Halo, Bu. Apa kabar Bu hari ini?” tanyaku, kali ini tanpa terpaksa.

“Halo, Nak. Ini Ayah, Nak. Besok kamu kerja tidak?”

“Ada ap,a Yah? Ada apa?” ujarku panik.

“Kamu bisa pulang pagi ini? Tapi seandainya tidak bisa tidak masalah. Ayah mengerti kesibukan dan kewajibanmu di sana, Nak.”

“Ada apa, Yah? Mengapa aku harus pulang? Apa yang terjadi?” kkalimat ini menunjukkan dengan terang bahwa hanya dalam kondisi terdesak aku baru harus pulang ke kampung halaman. Ayahku menjawaab, “Tidak apa-apa. Pulanglah. Lakukanlah yag terbaik.

Aku merasa panik seketika mendengar jawaban Ayah. Tidak biasanya Ayah memintaku pulang. Ada sesuatu yang terjadi mungkin berhubungan dengan Adik atau Ibu. Aku harus ke stasiun untk mendapatkan tiket pagi ini. Aku melihat naskah cerpen yang belum diketik, aku menyayangkan kepulangan ini. Aku terpaksa pulang. Suasana dalam kereta api benar-benar panas. Ini membuatku semakin tidak ikhlas untuk pulang ke rumah.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Aku membuka pintu belakang. Aku langsung menyergap Adikku, itulah kata yang lebih tepat. “Di mana ibu? Mengajar ya?” tanyaku penasaran.

“Ibu di kamar, Mbak. Ibu itu sakit, Mbak. Kata dokter Ibu harus banyak istirahat.”

“Oh, berarti tidak terlalu parah. Mengapa aku harus pulang?” gumamku dalam hati.

Meski begitu aku sudah di sini. Tidak ada yang perlu disesali. Aku membuka pintu kamar untuk melihat kondisi Ibu. Suasana kamar membingungkan, sepertinya seluruh keluarga besar di sini mengitari ranjang Ibu. Aku panic. Ibu terbaring tidak bergerak, tidak bersuara dan tidak membuka mata. Ada apa ini, teriak suara batinku. Rambutnya sekarang menipis, tubuhnya terlihat kecil. Seperti bukan Ibu, gumamku.

“Ibumu sakit. Dokter belum memutuskan apa penyakit Ibu karena ini tiba-tiba saja terjadi. Dokter hanya memberi obat antibiotik. Awalnya ibu hanya muntah-muntah saja, lama-kelamaan seperti ini kondisi Ibu. Mandilah dan sarapan, Nak,” ujar Ayah pelan. Aku tidak merespons perintah Ayah. Aku masih berdiri terpaku.



“Sejak kapan Ibu seperti ini? Mengapa aku tidak diberi tahu secepatnya, Yah? Seberapa parah, Yah?” aku mulai panik, dadaku mulai terasa sesak.

“Tidak, Nak. Ayah dan Ibu sangat mengerti kesibukanmu di sana. Tapi sebelum Ibu sakit, dia selalu menyebut nama kamu. Sebenarnya, Ibu tidak siap terpisah dari kamu. Namun, tiap waktu dia berusaha untuk memakluminya. Mengapa kamu jarang menghubungi Ibu? Sekedar menanyakan kabar hari ini, Ayah pikir tidak masalah. Mungkin kerinduan Ibu tidak tertahankan lagi. Tapi ya sudahlah, mungkin memang Ibu memiliki penyakit tertentu,” sahut Ayah dengan kata-kata penyesalan sekaligus terkesan menghakimi.

Rupanya Ayah belum selesai. “Nak, coba dibelai rambut Ibu. Dia bisa mendengar tapi belum bisa bangun dan bergerak. Setiap membuka mata, Ibu muntah-muntah. Coba disapa Ibunya.” Aku mendekati Ibu dan memberanikan diri untuk membelai rambutnya. Aku terlalu takut karena rasa bersalah yang begitu besar. Rambutnya yang telah menipis dan untuk pertama kalinya aku melihat rambutnya mulai memutih.

“Nak, kamu tahu? Sejak kamu kuliah di sana dan memutuskan untuk bekerja di sana itu tidak mengubah porsi Ibu memasak. Selalu kebanyakan, dalam pikiran Ibu kamu masih ada di sini, dan Ibu merasa harus memasaknya. Ayah selalu menegur Ibu karena selalu memasak kebanyakan. Tapi Aya menngerti sekarang bagaimana dia mencintaimu,” ujar Ayahku dengan pelan. Sekarang mukaku memerah, ingin meledak rasanya. Ayah membelai rambutku sembari berkata, “Kami menyayangimu, Nak. Jangan merasa bersalah, sempatkanlah untuk menghubungi Ibu. Ayah tidak bisa menggantikan posisimu selama ini yang selalu mendengarkan Ibu. Ibu memang kekanak-kanakan, tapi Ibu tetap seorang Ibu yang sangat mengasihi anak-anaknya.

Aku mulai menangis. Ayah menambahkan lagi bahwa setiap hari Ibu selalu menyiapkan air putih khusus untukku. Dan selalu mengganti gelas itu setiap sore. Kata Ibu, walaupun anaknya jauh tapi tidak akan merasakan dahagadi sana. Aku terdiam. Selama ini perhatianku hanya terfokus pada menulis dan bekerja. Aku tidak pernah memikirkan Ibu bahkan satu kali sehari. Maafkan aku, Ibu. Aku terisak menangis pelan. Ternyata tidak ada cara lain selain mendengarkanmu. Cepatlah sembuh, Ibu. Setidaknya cepatlah sadar, aku berjanji akan mendengarkan apapun cerita Ibu. Sekarang aku yang kesepian. Aku menangis tertahan karena malu dan menyesal. Kini aku menemukanmu, menemukan terang kasihmu Ibu. Bukan karena perbuatanmu yang besar, melainkan karena cintamu yang besar. Sadarlah, Ibu….

Kini kumenemukanmu di ujung waktu ku patah hati, lelah hati menenggu cinta yang selamatkan hidupku…. Sayangnya itu bukan Ibu. Aku membiarkan nada itu berbunyi berulang kali, berharap Ibu mendengarkannya. Ibu, aku berjanji tidak akan berdialog setengah hati lagi melainkan sepenuh hati seperti kasihmu. (*)

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *