Sabtu, 19 Januari 2013

Mengguak Asal Usul Nama Pemulutan

Beratus-ratus tahun lalu, nama Desa Pemulutan yang kini telah berkembang menjadi sebuah Kecamatan di Kabupaten Ogan Ilir (OI) bernama Sudi Mampir. Nama Pemulutan yang kini melekat, diyakini berasal dari sejarah mistis seorang muyang di kawasan tersebut yang menangkap buaya dengan menggunakan getah (molot, red) pohon pulai.

Cerita ini bukanlah legenda ataupun mitos, sangat diyakini masyarakat Pemulutan. Pasalnya, keturunan muyang tersebut, adalah orang-orang yang kini dikenal masyarakat sebagai pawang buaya. Bagaimana ceritanya? Berikut penusuran Sumeks Minggu.

Menempuh perjalanan ke Desa Pemulutan cukup jauh. Dari jalan raya, Palembang-Indralaya, koran ini harus masuk hingga 7 km masuk ke dalam. Di desa Pemulutan sendiri, beberapa masyarakat yang sempat dibincangi koran ini menyakini asal usul nama Pamulutan berasal dari salah seorang muyang di daerah mereka yang dulu pernah “molot” buaya.

Meski mengetahui banyak cerita seputar puyang tersebut,masyarakat tampaknya enggan bicara lebih lanjut. Karena keturunan langsung dari puyang tersebut menurut mereka hingga kini masih ada. Salah satunya Abdul Hamid (77), warga Desa Pemulutan Ilir.

Abdul Hamid sendiri, dikenal masyarakat luas sebagai pawang buaya. Sejak puluhan tahun lalu, masyarakat luas telah meminta jasa Abdul Hamid untuk mengatasi permasalahan buaya-buaya yang kerap mengganggu masyarakat.

Kesaktian Satu Dari Tujuh Bubungan
Meski telah berkepala tujuh, sosok Abdulah Hamid ternyata masih gagah. Giginya yang sudah banyak tanggal karena dimakan usia, tak membuat pria yang kepalanya sudah dipenuhi uban ini sulit bicara. Ditemui di kediamannya Kamis (30/8) lalu, Hamid menceritakan, sekitar 800 tahun lalu, di desa Pamulutan terdapat tujuh bubungan (rumah, red) dianugerahi Allah SWT kesaktian. Kala itu, nama Desa mereka adalah Sudi Mampir.

Kesaktian tersebut, ilmu harimau, buaya, ular, racun, dukun patah tulang, ilmu besi dan kayu serta ilmu menyembuhkan orang gila. Bubungan dimaksud Hamid, adalah rumah orang-orang di kawasan Desa Sudi Mampir. “Mereka masih terbilang keluarga. Rumahnya tidak berdempet. Cukup berjauhan satu sama lain tapi berada di satu desa. Yakni desa Sudi Mampir yang sekarang namanya berubah menjadi Pemulutan,” ujar Hamid.

Dari tujuh bubungan tersebut, bubungan buaya memiliki kisah tersendiri. Karena daerah Pemulutan berada di pinggiran sungai Ogan yang begitu luas, banyak buaya bermunculan. Buaya-buaya ini pun sempat memangsa orang.

Buaya yang memangsa orang ini lanjut Hamid berasal Pamulutan bernama Peti Bongkang, dari Kebun Gede 35 Ilir Raden Tokak, serta dari sungai Goreng Naga Swidak Plaju bernama Tambang Areng.

Melihat masalah ini, muyang dari Pemulutan yang bernama Malik khawatir anak cucunya habis dimakan buaya. Ia kemudian menebang sebuah batang pohon Pulai. Batangnya dilintangkan di sungai. Oleh muyang tersebut, pohon di cacah agar getahnya keluar. Getah yang keluar inilah digunakan untuk menangkap (molot, red) buaya.

Cara ini menurut Hamid berhasil menangkap buaya yang acapkali berulah, memangsa manusia. Muyang Malik sempat menghunuskan pedangnya berniat membunuh buaya yang kena “polot” terhenti karena kedatangan tiba-tiba, empat orang diyakini sebagai mahluk halus, penunggang buaya tersebut.

Mereka sempat bertanya kepada muyang Malik mengapa sampai menghunus pedang? Sang Muyang menurut Hamid kemudian menjelaskan maksud tujuannya yang hendak membunuh para buaya karena dikhawatirkan akan memakan anak cucunya nanti. Keempat orang ini kemudian berjanji, jika buaya tersebut tidak dibunuh, jika di panggil mereka akan datang dan membantu muyang tersebut termasuk keturunannya terhadap permasalahan seputar buaya.

Janji tersebut memang ditepati. Sejak muyang Malik, jika buaya dipanggil, 10 hingga 15 menit langsung datang. Termasuk dengan empat penunggangnya. Cerita keturunan kedua bernama Kamaluddin bergelar Ratu Jurum pun tak jauh berbeda.

Namun pada keturunan ketiga, bernama Punggawa Cabuk bergelar Raden Jurung hanya buaya saja yang datang. Penunggannya tidak kelihatan hanya suara penunggang yang terdengar. Pada muyang keempat bernama Tunak dengan gelar Raden Kuning, buaya sudah lambat datang, penunggang tidak ada termasuk suaranya.

Pada keturunan kelima bernama Imang bergelar Raden Sentul, buaya tidak lagi datang, namun bisa diusir. Termasuk pada keturunan keenam Abdullah bergelar Raden Intan. Buaya tidak lagi datang, namun bisa diusir.

“Sedangkan saya, generasi ketujuh dengan gelar Pendekar Jurung Jurung Mata Intan, buaya dipanggil tidak lagi datang, diusir masih mau,” jelas Abddulah Hamid.

Hingga kini, tenaga Hamid telah digunakan oleh banyak orang di berbagai daerah untuk mengusir buaya. Dari Desa Tanjung Jumbung, kawasan Muara Tembesi, Serolangun Jambi. Kemudian di Desa Permis serta Serdang Bangka Belitung (Babel), kawasan Selapan,kawasan Gasing Banyuasin hingga ke kawasan Limau Sumbawa.

Bahkan, berkat keahliannya menjinakan buaya, Abdullah Hamid pernah lima tahun tinggal di Singapura. Ia bekerja di sebuah sirkus. “Namanya itu Crocodile show,” tandas Hamid.

Camat Pemulutan Bahrus Syarip MSi didampingi Kasi Pemerintahan Mareta membenarkan adanya keyakinan masyarakat seputar cerita muyang Pemulutan. Hingga kini, nama Pemulutan yang sudah berkembang menjadi Kecamatan memiliki 25 desa.

Seputar sungai Ogan yang melintasi Desa Pemulutan dan sekitarnya hingga kini tetap menjadi tumpuan utama masyarakat. Mayoritas masyarakat, berprofesi sebagai nelayan yang mencari ikan di sungai. Profesi lain, bertani dengan menanam padi dengan hasil panen satu tahun sekali. (wwn)

Kisah Bujang, Buaya Peliharaan Berusia Tiga Tahun
Buaya-buaya di sungai sepanjang sungai Ogan tampaknya masih cukup banyak. Warga Desa Pamulutan sendiri hingga kini masih sering melihat buaya-buaya berukuran besar menampakan diri di perairan. “Ukurannya jangan ditanya lagi. Sisiknya saja ada yang sebesar genteng,” ucap salah seorang warga Desa Pelabuhan Dalam, Kecamatan Pemulutan Ogan Ilir, kepada Sumeks Minggu beberapa hari lalu.
Itulah mengapa anak-anak buaya seringkali ditemukan warga Kecamatan Pemulutan yang kerap mencari ikan. Para nelayan ini acapkali memberikan anak-anak buaya ditemukan pada Burniat (61), warga Pelabuhan Dalam. Oleh Burniat, anak-anak buaya tersebut di peliharanya.

“Kalau dulu bisa melihar sampai tujuh ekor. Kalau besar, dijual. Sekarang tidak bisa jual lagi. Bisa-bisa ditangkap polisi,” ujar Burniat.

Pun begitu, kebiasan Burniat yang sejak lama hobi memelihara buaya tak juga hilang. Hingga kini, ia masih memiliki seekor buaya diberi nama Bujang.Buaya ini didapatnya tiga tahun lalu. Ketika itu, panjangnya hanya 70-80 cm. Sekarang, panjangnya hampir mencapai tiga meter.

Memelihara buaya ternyata tidak sulit seperti dibayangkan. Burniat mengaku memberi makan buaya hanya dengan potongan kaki atau kepala ayam yang tidak laku dijual dari peternakan. “Kalau sudah besar, seminggu sekali bisa dikasih satu ayam yang sudah mati. Sama sekali tidak keluar uang buat melihara buaya,” ujar Burniat.

Bujang sendiri saat dilihat koran ini berada di sebuah kerangkeng besi. Buaya ini sulit bergerak karena kecilnya kerangkeng yang ada. “Kadang dilepas juga. Tapi kalau kolam saya sedang tidak ada ikan. Kalau lagi ada ikan, habis semua ikannya. Kadang juga pergi dia beberapa hari. Tapi, pasti balik lagi kalau lagi lapar,” ungkap Burniat.

Khusus Bujang samasekali tidak akan dijual oleh Burniat. Hingga kini, Bujang acapkali dipinjam pihak Kecamatan Pemulutan untuk pameran. Pernah juga, sekitar delapan bulan lalu, buaya ini digunakan Panji untuk program TV swasta nasional, Panji si Petualang. (wwn)

Written by: samuji Selasa, 04 September 2012 12:29 | SumeksMinggu

Lagenda Raja Buaya

Lagenda Raja Buaya


Sumatera Selatan, sebagai daerah yang dipenuhi rawa-rawa dan dilewati banyak sungai, memiliki populasi yang cukup banyak dan penampakan buaya merupakan hal biasa. Bahkan di kalangan masyarakat dikenal pula ilmu buaya. Yakni ilmu hitam, yang mana pemiliknya akan berubah menjadi buaya kalau sudah meninggal dunia.

Di tepian Sungai Musi, Palembang, banyak legenda mengenai buaya yang diceritakan turun temurun, salah satunya legenda buaya putih. Beberapa tempat yang diyakini tempat munculnya buaya putih adalah di aliran Sungai Ogan, seperti di bawah jembatan Ogan, Kertapati, Palembang dan lokasi pedalaman sungai Ogan. Munculnya buaya putih ini diyakini selalu menjadi pertanda akan terjadi bencana besar di Sumsel atau di Indonesia.

Demikian juga warga di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel. Mereka sangat percaya dengan legenda-legenda mengenai buaya. Sebagian besar warga Pemulutan percaya, nenek moyang mereka adalah buaya. Sebab ilmu buaya banyak dikuasai masyarakat Pemulutan dan ada yang menjadi pawang buaya. Banyak warga Pemulutan yang dapat berubah menjadi buaya jika masuk ke dalam sungai atau rawa. Ini adalah ilmu hitam yang biasanya dikuasai para bandit.

Di masyarakat Palembang juga ada kisah/legenda menarik dari abad ke-16. Saat itu raja Palembang bingung bagaimana mengatasi buaya-buaya yang berada di Sungai Musi. Buaya-buaya itu ganas dan dapat membuat warga terancam nyawanya. Lalu, sang raja mendatangkan seorang pawang buaya dari India. Dengan janji akan memberikan banyak hadiah, sang raja meminta si pawang menjinakkan buaya-buaya di sungai Musi. Buaya-buaya itu pun jinak. Si pawang pun menerima banyak hadiah.

Kemudian raja mengajak sang pawang ke daerah pedalaman yang banyak buayanya. Kembali pawang itu menaklukkan buaya-buaya menjadi jinak. “Coba kau buat buaya-buaya itu kembali menjadi ganas. Aku mau tahu bagaimana kehebatan ilmumu?” kata sang raja.

Pawang yang sudah mabuk pujian itu kemudian membuat buaya-buaya itu menjadi ganas. Ayam dan ternak yang dilempar ke sungai dengan cepat dimakan buaya. Dan, ketika si pawang lengah, seorang prajurit kerajaan Palembang mendorong pawang ke gerombolan buaya. Tak ayal si pawang itu mati dimakan buaya. Lokasi terbunuhnya pawang itu diperkirakan di pesisir timur Sumatera Selatan, seperti Pulaurimau, atau di kawasan Pemulutan.

Kalau pawang ini tidak dibunuh, saya khawatir dia dapat mempermainkan kita. Atau, kalau dia tidak senang dengan kita, buaya-buaya di sungai Musi dibuatnya menjadi ganas lagi, kata sang raja.Oleh karena itu, tidaklah heran, buaya di sungai Musi dengan buaya di daerah pedalaman Sumatra Selatan berbeda karakternya. Di sungai Musi tidak ada buaya yang bersifat ganas, meskipun saat ini sudah jarang terlihat, berbeda dengan daerah pedalaman yang terkenal dengan buayanya yang ganas-ganas.

Legenda Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit Lidah


Tersebutlah kisah seorang pangeran dari daerah Sumidang bernama Serunting. Anak keturunan raksasa bernama Putri Tenggang ini, dikhabarkan berseteru dengan iparnya yang bernama Aria Tebing. Sebab permusuhan ini adalah rasa iri-hati Serunting terhadap Aria Tebing.

Dikisahkan, mereka memiliki ladang padi bersebelahan yang dipisahkan oleh pepohonan. Dibawah pepohonan itu tumbuhlah cendawan. Cendawan yang menghadap kearah ladang Aria tebing tumbuh menjadi logam emas. Sedangkan jamur yang menghadap ladang Serunting tumbuh menjadi tanaman yang tidak berguna.

Perseteruan itu, pada suatu hari telah berubah menjadi perkelahian. Menyadari bahwa Serunting lebih sakti, Arya Tebing menghentikan perkelahian tersebut. Ia berusaha mencari jalan lain untuk mengalahkan lawannya. Ia membujuk kakaknya (isteri dari Serunting) untuk memberitahukannya rahasia kesaktian Serunting.

Menurut kakaknya Aria Tebing, kesaktian dari Serunting berada pada tumbuhan ilalang yang bergetar (meskipun tidak ditiup angin). Bermodalkan informasi itu, Aria Tebing kembali menantang Serunting untuk berkelahi.

Dengan sengaja ia menancapkan tombaknya pada ilalang yang bergetar itu. Serunting terjatuh, dan terluka parah. Merasa dikhianati isterinya, ia pergi mengembara.

Serunting pergi bertapa ke Gunung Siguntang. Oleh Hyang Mahameru, ia dijanjikan kekuatan gaib. Syaratnya adalah ia harus bertapa di bawah pohon bambu hingga seluruh tubuhnya ditutupi oleh daun bambu. Setelah hampir dua tahun bersemedi, daun-daun itu sudah menutupi seluruh tubuhnya. Seperti yang dijanjikan, ia akhirnya menerima kekuatan gaib. Kesaktian itu adalah bahwa kalimat atau perkataan apapun yang keluar dari mulutnya akan berubah menjadi kutukan. Karena itu ia diberi julukan si Pahit Lidah.

Ia berniat untuk kembali ke asalnya, daerah Sumidang. Dalam perjalanan pulang tersebut ia menguji kesaktiannya. Ditepian Danau Ranau, dijumpainya terhampar pohon-pohon tebu yang sudah menguning. Si Pahit Lidah pun berkata, "jadilah batu." Maka benarlah, tanaman itu berubah menjadi batu. Seterusnya, ia pun mengutuk setiap orang yang dijumpainya di tepian Sungai Jambi untuk menjadi batu.

Namun, ia pun punya maksud baik. Dikhabarkan, ia mengubah Bukit Serut yang gundul menjadi hutan kayu. Di Karang Agung, dikisahkan ia memenuhi keinginan pasangan tua yang sudah ompong untuk mempunyai anak.

Bukti Batu Gajah Di Pasemah akibat "Kutukan" Si Pahit Lidah

Legenda Si Pahit LidahNurhadi Rangkuti meraba-raba batu gajah sambil menjelaskan torehan gelang kaki pada wujud tokoh manusia yang memegang gajah, yang merupakan benda koleksi Museum Balaputradewa di Palembang.

Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.

Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.

Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.

Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.

Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.

"Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci," ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.

Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.

"Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia."

Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.

Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.

"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan…," tulis arkeolog Bambang Budi Utomo.

Kompas

Membantu Persalinan dan Mendapat BH Genderuwo di Alas Donglo

Oleh : Deny Wibisono
Saleh kembali terkejut, karena perempuan itu tiba-tiba minta dimandikan, wanita itu tak tampak lelah sebagaimana halnya wanita yang baru saja melahirkan. Ia bahkan kelihatan segar....!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



SALEH, demikian sapaan akrabnya, dapat digolongkan sebagai manusia yang benar-benar pantang menyerah. Boleh dikata, takada kata menyerah di dalam kamus hidup dan kehidupannya --- dan sebagai lelaki yang memiliki tanggung jawab terhadap istrinya, maka, berbagai pekerjaan pun ia lakoni demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Mulai dari tukang bangunan, buruh pabrik, pencari kayu, pencari pasir dan bahkan sederatan pekerjaan kasar lainnya pernah ia lakoni.

Meski impitan ekonomi terus saja mendesaknya, tetapi, ia adalah sosok yang tak peranah melupakan Sang Maha Pencipta. Bahkan, ibadah yang dilakukannya boleh dikata setara dengan para kiyai, selain selalu melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an selepas mendirikan shalat Isya', shalat malam dan dhu'ha pun selalu dijalaninya dengan perasaan senang dan gembira.

Kini, di tengah-tengah kesibukkannya sebagai tukang cukur (pangkas rambut), ia menuturkan pengalaman-pengalamannya dengan makhluk gaib. Dan berikut adalah kisahnya....

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



"Mungkin karena cukup beribadah, maka saya jadi sering melihat penampakan," demikian pendapatnya saat berbincang dengan dengan Misteri.

Pendapat itu memang cukup beralasan dan dapat diterima oleh akal sehat. Apalagi jika dikaitkan dengan suatu kejadian saat dirinya hendak pulang. Kala itu, saat dalam perjalanan menuju kerumahnya, ia melihat ada seorang gadis di sis jembatan Bedengan, Ambulu. Yang paing mengherankan adalah, ternyata, tak ada seorang pun yang melihat sang gadis ruupawan itu di sana. Hal ini baru diketahuinya saat ia sengaja singgah barng sebentar di warung kopi yang ada di seberang jembatan itu.

Sedang peristiwa yang lainnya adalah ketika ia akan berangkat bekerja dengan mengendarai sepeda dan melewati kuburan desa Karanganyar. Saat sedang mengayuh dengan santai, mendadak, ada seorang perempuan yang melambaikan tangan dan tampaknya berniat ingin menumpang. Saleh pun menghentikan sepedanya dan langsung bertanya, "Mau saya antar ke kuburan mana, Mbak?" Tanya Saleh.

Ia bertanya demikian karena melihat betapa kaki makhluk cantik itu tak menempel pada tanah. "Terserah Bapak!" Jawab perempuan berpakaian atas putih dan memakai gaun panjang berwarna merah.

Dengan keberanian yang dimilikinya, Saleh pun lalu memboncengkan perempuan misterius itu. Dan seolah tak terjadi apa-apa, Salaeh selalu mengajak bercakap-cakap sambil sesekali mengawasi keberadaannya. Tapi sayang, ketika ia lengah karena memikirkan keluarganya di rumah, tiba-tiba, perempuan itu sudah menghilang baak ditelan bumi. Saleh langsung saja mengumpat dalam hati. Ia kecewa, karena keteledorannya maka ia jadi kurang perhatian terhadap perempuan yang membonceng di belakang sadelnya.

Bak telah menjadi suratan alam, dalam kesehariannyajalan hidup Saleh seolah sarat dengan berbagai kejadian yang bersaput mistik --- ya... betapa tidak, selain bertemu dengan tuyul, menggali makam dan mendapatkan mayat yang masih utuh, ia juga memiliki kemampuan dapat melihat penunggu rumah atau tempat-tempat yang wingit. Dan dari sekian banyak ceritanya, ada yang menurut Misteri paling menarik. Yakni, pertemuannya dengan genderuwo. Kala itu, ia tak hanya melihat. Melainkan bercakap-cakap dan sekaligus membantu genderuwo tersebut.

Setelah sejenak mengumpulkan segala ingatannya, Saleh pun mulai bercerita. Waktu itu, ia yang pekerjaan sehari-harinya mencari kayu di Alas Donglo, Kraton, Ambulu, Jember, berusia sekitar 30-an tahun. Dan saat hendak pulang, mendadak, ia melihat ada seorang perempuan yang entah dari mana datangnya sedang melambaikan tangan kepadanya. Saleh segera mendekati dan bertanya, "Ada apa bu?"

"Tolong saya... pak. Tolong saya!" Jawab perempuan yang perutnya dalam keadaan buncit itu dengan wajah menghiba.

Saleh seolah tak kuasa untuk menolakknya. Bak kena sihir yang teramat kuat, ia mengikuti langkah perempun itu yang tak lama kemudian membawanya ke sebuah rumah yang cukup bagus dan semuanya terbuat dari kayu jati. Saleh hanya mengangguk-angguk dan bergumam dalam hati, "Pantas kalau orang-orang sering bilang banyak pencurian kayu. Ternyata, semua rumah-rumah di sini terbuat dari kayu jati."

"Ada apa bu?" Tanya Saleh setelah ia duduk di ruang tamu.

"Perut saya, pak. Sepertinya saya mau melahirkan. Tolong saya ya, pak..." jawab perempuan itu sambil mengelus-elus perutnya.

"Lho.... suami ibu kemana?"

"Sedang pergi ke luar negeri, pak."

Bak kerbau dicocok hidung, Saleh pun berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar. Dan tanpa malu-malu, perempuan itu langsung membuka daster dan telentang di atas tempat tidur dengan kaki terbuka. Saleh semakin terkejut! Sejenak kemudian ia melihat perempuan itu mengejan dan berusaha mengeluarkan sang jabang bayi dari rahimnya. Saleh tak bisa berbuat apa-apa. Maklum, ia memang bukan belum pernah membantu persalinan. Alih-alih membantu persalinan, saat istrinya hendak melahirkan saja ia bergidik ngeri.

Perempuan itu seolah mengerti, ia hanya memegang tangan Saleh dengan sekuat tenaganya. Kini, Saleh pun maklum. Agaknya, perempuan itu butuh teman agar ia tak menanggung sakit seorang diri.

Dan beberapa menit kemudian, lahirlah dengan selamat seorang bayi dari rahim perempuan itu. Tangisan bayi pun langsung terdengar memenuhi ruangan. Ketika Saleh mengamati dengan seksama, tak sadar, ia pun bergidik ngeri. Betapa tidak, bayi itu memiliki kelebatan bulu yang tidak sebagaimana bayi biasa. Dadanya berbulu sebagaimana orang dewasa, bahkan, lengannya juga dipenuhi bulu.

Ketika Saleh sedang tergugu, mendadak perempuan itu berkata, "Tolong mandikan saya!"

Saleh kembali terkejut, karena perempuann itu tiba-tiba minta dimandikan. Dan satu lagi keanehan yang sempat terekam dalam benaknya adalah, wanita itu tak tampak lelah sebagaimana halnya yang baru saja mellahirkan. Ia bahkan kelihhat segar!

Jantung Saleh kian berdegup kencang manakala perempuan itu meminta untuk melucuti seluruh pakaiannya. Ya.... untuk kesekian kalinya Saleh hanya menuruti keinginan perempuan itu tanpa maksud-maksud yanng lain. "Saya menyabuni tubuhnya, bahkan, mengeringkan tubuh perempuan yang baru melahirkan itu dengan handuk putih yangg memang sudah tersedia di sana. Sejenak kemudian, saya tertidur karena kelelahan... dan tak lama setelah itu, saya pun terjaga," demikian ungkapnya kepada Misteri.

Kali ini, berjuta pertanyaan membuncah dalam benaknya, kini, ia berada di bawah pohon karet dalam keadaan duduk bersandar. Sementara, seorang temannya kemudian datang dan menegurnya, "Kamu sedang apa kok lewat semak-semak itu?"

Saleh menoleh ke kanan dan kiri mencari perempuan yang baru saja ditolongnya. Tapi apa daya, rumah berdinding kayu jati itu seolah lenyap ditelan bumi. kini, yang ada hanyalah jajaran pohon-pohon yang tinggi. Setelah menghela napas beberapa kali, ia pun menceritakan apa yang baru saja dialaminya kepada temannya. Dan Saleh pun menarik simpulan, yang barusan ia tolong adalah genderuwo. Apalagi, bayinya memilik bulu yang teramat lebat.

Sang teman yang semula mendengar sambil sesekali mencibirkan bibirnya akhirnya percaya. Betpa tidak, walau semak belukar yang baru dilalui Saleh penuh dengan ditumbuhi dengan onak dan duri, tetapi, tubuh Saleh tak tergores barang sedikitpun. Setelah kesadaran memenuhi benak keduanya, maka, kedua sahabat itu segera bergegas pulang. Ya... Saleh masih diliputi kengerian atas kejadian yang baru saja dialaminya.

Setibanya di rumah, setelah beristirahat sejenak, Saleh pun menceritakan pengalaman yang baru saja dialami kepada kepada istrinya. Ternyata, keanehan tak berhenti sampai di situ. Ketika keluar rumah, Saleh merasakan ada hal yang berbeda pada dirinya. Ya.. entah kenapa, banyak wanita bahkan anak-anak SMA yang seketika jadi tertarik kepadanya. Salehhanya bisa bertanya-tanya dalam hati, "Apa yang menyebabkan semua ini terjadi?"

Tak perlu berlama-lama, pertanyaan yang dalam beberapa waktu melingkar-lingkar dalam benaknya akhirnya terjawab manakala ia akan berangkat untuk mencari kayu di Alas Donglo.Di tengah-tengah tumpukan kayu yang ada di belakang rumahnya, Saleh menemukan secarik pakaian dalam berupa BH. Seingatnya, istrinya tak memiliki BH dengan warna seperti itu --- akhirnya, Saleh pun sadar, agaknya BH inilah yang membuatnya jadi dikagumi oleh banyak atau bahkan seluruh wanita ang melihatnya.

Sadar bahwa keutuhan rumah tangganya harus selalu dijaga, maka, Saleh pun langsung mengembalikan BH itu ke Alas Donglo. Setelah mengucapkan kata, "Terima kasih, tapi saya telah mempunyai istri dan berjanji tidak ingi tergoda dengan wanita lain. Selain itu, saya takut jika benda ini diketemukan dan dipakai oleh orang yang tak bertanggung jawab dapat untuk menyakiti para perempuan. Untuk itu, saya kembalikan BH ini kepada nyai," sambil meletakkan BH tersebut di tengah-tengah semak belukar yang dua hari lalu dilaluinnya.

Dan benar, setelah itu tak ada pandangan atau lirikan penuh arti dari wanita yang berpapasan atau melihatnya. Demikian sekelumit dari sekian banyak pengalaman mistik dari Pak Saleh, semoga para pembaca setia dapat mengambil hikmah dari cerita ini.

SUMBER : Misteri, Edisi 452, Tahun 2008