Kamis, 20 Desember 2012

Misteri Malam Satu Suro

Kedatanga tahun baru biasanya ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun. Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri.

Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk) dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar atau di makam keramat.

Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah.

Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa. Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 WIB saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Dibelakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.

Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.

Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro. (net)

Palembang Post, Selasa, 15 November 2012

Hati yang Dalam Kala Terluka

Hati yang Dalam Kala Terluka
Oleh: Adminaba

Seorang dokter ahli bedah bergegas menuju rumah sakit begitu dihubungi pihak rumah sakit karena seorang pasien dalam kondisi kritis harus segera dioperasi. Begitu sampai dia mempersiapkan diri,mandi dan bersalin pakaian.

Sejenak sebelum masuk keruangan operasi ia bertemu dengan ayah pasien yang raut wajahnya memendam cemas bercampur marah. Dengan ketus laki-laki itu mencecar sang dokter, "Kenapa lama sekali dokter! Tidak taukah lama anda anak saya sedang kritis? Mana tanggung jawab anda sebagai dokter?"

Dokter bedah itu menjawab dalam senyum, "Saudaraku saya sangat menyesal atas keterlambatan ini. Tadi saya sedang berada diluar, tetapi begitu dihubungi saya langsung menuju kesini. Semoga anda maklum dan dapat merasa tenang sekarang. Doakan semoga saya dapat melakukan tugas ini dengan baik, dan yakinlah bahwa Allah akan menjaga anak anda."

Keramahan sang dokter ternyata tidak meredamkan amarah si bapak, bahkan suaranya mengguntur. "Anda bilang apa? Tenang!?Sedikit pun anda tidak peduli rupannya, apakah Anda bisa tenang jika anak anda yang sekarat? Semoga Allah mengampuni Anda, apa yang akan Anda lakukan jika anak anda meninggal?"

Sambil tetap mengulas senyum dokter menanggapi, "Bila anak saya meninggal saya akan mengucapkan seperti yang difirmankan ALLAH: "Yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah mereka mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’in."

Dokter itu melanjutkan, "Adakah ucapan belasungkawa yang lain bagi orang beriman? Maaf Pak, dokter tidak dapat memperpanjang usia tidak juga memendekkannya. Usia ditangan Allah. Dan kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan putera Anda. Hanya saja kondisi anaknya kelihatannya cukup parah,oleh karena itu jika terjadi yang tidak kita inginkan ucapkanlah inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Saran saya, sebaiknya anda pergi ke mushala rumah sakit untuk memperbanyak shalat dan doa kepada Allah agar Dia menyelamatkan anak Anda," Tambahnya.

Laki-laki orang tua pasien menanggapi dengan sinis, "Nasehat itu memang mudah, apalagi untuk orang yang tidak punya hubungan dengan anda."

Sang dokter segera berlalu masuk ruangan operasi. Operasi berlangsung beberapa jam, lalu sang dokter keluar tergerasa-gesa dan berkata kepada orang tua pasien, "Berbahagialah Pak, Alhamdulillah operasi berjalan lancar, anak anda akan baik-baik saja. Maaf, saya harus segera pergi, perawat akan menjelaskan kondisi anak anda lebih rinci."

Orang tua pasien tersebut tampak berusaha mengajukan pertanyaan lain, tetapi sang dokter segera beranjak pergi. Selang beberapa menit, sang anak keluar dari ruang operasi disertai seorang perawat.

Seketika orang tua anak itu berkata, "Ada apa dengan dokter egois itu, tidak sedikitpun memberi kesempatan kepada saya untuk bertanya tentang kondisi anak saya?"

Tak dinyana perawat tersebut menangis terisak-isak dan berkata, "Kemarin putera beliau meninggal dunia akibat kecelakaan. Ketika kami hubungi, dia sedang bersiap-siap untuk mengebumikan puteranya itu. Apa boleh buat, kami tidak punya dokter bedah yang lain; oleh karena itu begitu selesai operasi dia bergegas pulang untuk melanjutkan pemakaman putranya. Dia telah berbesar hati meninggalkan sejenak segala kesedihannya atas anaknya yang meninggal demi menyelamatkan hidup anak anda."

Ya Allah rahmatillah hati yang meski terluka, namun tidak bicara.



Sumber: Kolom.abatasa.com Senin, 19 November 2012

R a j a w a l i

Cerpen: Esti Pramestiari

Aku merindukanmu Rajawali, sepekat pelangi merindukan hujan sore tadi. Aku merindukanmu rajawali, merindukan mata yang berpendar mengajakku terbang tinggi dan menari. Aku merindukanmu rajawali seperti kala itu kita berjanji untuk kembali, bersama suatu hari.

Malam ini, hujan bergemuruh, langit gelap, mataku selalu ingin terpejam, meski sulit. Dibayangku hanya ada saat dimana kita bersama, rajawali itu menatapku..sayapnya seakan menyentuh pori-pori tubuhku, diam tanpa suara... aku memandangnya, melihat luka yang sama dimatanya, luka itu kurasakan, batinku yang berkata, meski bibirnya terdiam tanpa suara. Aku menyentuhnya, menyentuh wajahnya yang kuat namun aku mengerti sayapnya telah rapuh karena terpaan cuaca.

"Hei Rajawali.. apa aku boleh menyentuh sayapmu?" kataku. Rajawali itu terdiam, aku memandangnya lekat, tanpa suara meski aku mengerti maknanya. "Bolehkah aku mengobati sayapmu yang patah?" kataku kemudian. Rajawali itu tetap terdiam, matanya memandangku, andai rajawali itu mengerti betapa aku telah menyerahkan seluruh hatiku padanya. Seperti hembusan nafasku yang terlahir sempurna hanya untuk bersamanya.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Petir bergelora, aku bersama rajawali, menyentuh kepakan sayapnya, sempurna.. sebentar lagi mungkin rajawali dapat kembali terbang mengitari dunia. Rajawali itu diam, melihatku tanpa bersuara, meski kali ini sayapnya yang tak luka menyentuhku. Aku larut, larut dalam gelora dunia, tak perduli akan awan hitam yang mengajak pergi namun selalu ingin kembali.

Aku larut alam geloranya, matanya mengajakku untuk terus menari. Aku menyentuhnya, menyentuh kepakan sayap dengan luka lamanya. “Rajawali tetaplah disini,” aku berkata dalam hati, tak ingin membiarkannya pergi. Rajawali tak mendengarkanku, dia larut dalam sinar malam ditemani bintang dengan kejoranya.

“Rajawali... jangan pergi,” aku berkata dalam hati, daun keringku tertiup angin lalu pergi, malam ini dia nyaris tak dapat mendengarku.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Pagi ini, cakrawala menari, mentari berpendar dengan indahnya, tanpa suara, tanpa kata. Rajawali berkata "Pagi," aku tersenyum, karena itu kata dimana aku selalu menanti pagi, menanti matahari, menanti kehidupan. Aku juga memiliki luka, luka yang mungkin aku simpan sendiri dan tak ada seorang pun mengerti maknanya, namun aku harus berkata kali ini, kepada rajawali, aku yakin jiwanya yang indah dapat menerimanya, menerima luka yang aku rasa, seperti aku menerima kepakan sayapnya yang patah karena terpaan cuaca.

"Boleh aku bicara" ucapku. "Silahkan" rajawali menjawabnya. Aku bercerita semuanya, sejujurnya, meski membuka kenangan yang terkoyak membuat seluruh tubuhku merinding akan kelu. Rajawali terdiam, menatap mataku yang menunduk, aku berharap dia dapat menerimanya.

"Jika begitu, maka aku yang harus terbang tinggi," sahutnya. "Maksudnya?" kataku kemudian. Aku terdiam, hatiku terkoyak, jiwaku memanggilnya namun dia tak mendengarnya, betapa mentari seakan tak lagi ada, seperti udara disekelilingku pekat, seperti aku seorang diri menatap dunia.

Rajawali itu pergi, aku melihatnya, melihatnya dari kejauhan yang tak seorang pun dapat melihat kepakan sayapnya yang telah kembali sempurna. Jiwaku memanggilnya, namun rajawali tak mendengarku, dia terbang dengan sayap indahnya, lalu aku sendiri, menikmati dunia.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Diam….ditemani langit tanpa bintang. Saat ini, aku lebih menanti malam, bukan lagi mentari yang datang tanpa bintang, malam membiarkanku bersuara lantang akan banyak hal, angin malam menyapaku, menyapa tubuhku yang tak lagi bernyawa, aku merasa separuh jiwaku telah pergi bersama rajawali.

Burung gereja datang, berkerumun diatas jendela, menyapaku satu persatu dengan kepakan sayapnya, aku tersenyum, hanya berpura-pura, karena aku hanya dapat tersenyum bila rajawali kembali...aku merindukannya...merindukan mentari yang datang bersamanya..bersama kepakan sayapnya yang telah sempurna.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



“Pagi,” satu persatu burung kenari menyapaku..memegang jiwaku yang telah pergi..memelukku. Aku berusaha menikmati pelukannya, namun nyatanya..aku tak mampu...labirinku mati..ya tak ada lagi senyuman setelah dia pergi...rasaku telah terbang tinggi dan menari bersama rajawali yang terbang tinggi.

Hujan.. langit legam.. enggan bicara akan kebenaran. Aku menikmati rasa yang aku tak pernah mengerti kapan harus terhenti. Tak lama burung merpati datang, memberiku sepucuk surat, aku memegangnya, membukanya dan menikmati isinya.

"Tadi.. aku ingin meloncat.. mengambil putihnya kapas langit..sebagai persembahan sederhana..sesederhana matahari yang menjadikannya panas bumi..lalu menjadikannya awan..dan menjadikannya hujan cinta" @Rajawali. Aku tergetar...aku memelukknya, memeluk kertas dengan nama yang kurindukan didalamnya. Dimana rajawali pelangi? dimana aku harus mencarinya? Pada langit, matahari atau pelangi... aku merindukannya, katakan padanya aku ingin dia kembali.

Tak lama petir bergelegar kembali, putikku hancur, aku membiarkannya, menunggunya dalam kelam dan ruangan hampa udara, entah hingga kapan, hingga mungkin bungaku layu tanpanya, dalam penantian panjang yang sempurna.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Mentari pagi ini, bersama kupu2 terkesiyap..merejap. Aku meniupkan sesuatu kepadanya. Tiupan kata yang hanya aku dan kupu-kupu yang mengitariku yang mengerti maknanya. Serpihan kapas menggeliat..merejap. Kupu-kupu..sampaikan kata bahwa aku merindukan rajawaliku yang terbang tinggi dilangitmu . Aku berdiri dibumiku, menantinya memelukku hingga suatu hari dia akan selalu bersamaku, ya bersamaku, tertawa dan kami berpendar di udara memetik putihnya kapas langit, berdua.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



End
Ditemani Rintik Hujan
Bandung, November 2012

Esti Pramestiari, penikmat Sastra, mencintai sastra sejak pertama kali mengenal kata dan bahasa. Karya-karyanya berupa cerpen, cerbung, puisi, dan karya jurnalistik lainnya banyak diterbitkan diberbagai media cetak dan elektronik. Cerita pendeknya yang dimuat di Kompas.com antara lain Perahu Kertas, Perawan Tua, Surat Cinta untuk Aa, Wanita Penghibur, Homonculus, dll. Saat ini sedang mempersiapkan novel pertamanya yang akan terbit bersama Timoteus Talip penulis yang telah melahirkan delapan buah buku fenomenal.
Sumber: Oase.kompas.com, Jumat, 14 Desember 2012

Huruf Terakhir

Cerpen: Benny Arnas

Namaku Lili, ujarmu diperkenalan kalian dua tahun yang lalu, perkenalan yang akhirnya mengantarkan kalian ke pelaminan, pernikahan yang melempar kalian ke kesemuan yang lucu, kenyataan menyeret kalian ke dalam lakon berdarah siang itu!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Sejak dipromosikan menjadi sekretaris direktur, sebagian besar waktumu kau habiskan untuk urusan pekerjaan. Kau tak pernah tahu, sedari kau putar kunci Avanza lalu meluncur ke kantor di utara kota. Illy selalu berhasil membawamu kembali. Dari pagi hingga malam meninggi, kalian membincangkan banyak hal. Dari pekerjaan, kesetaraan gender, kurs rupiah yang makin anjlok, anggota-anggota DPR yang beradu mulut dan saling tonjok, isu naiknya harga BBM, hingga perkara asmara> Untuk yang terakhir, kalian tidak hanya terlibat dalam perbincangan yang hangat, tapi juga kerap bercumbu bagai tak menenggang keberadaan tetangga. Kadang Illy tertawa keras-keras, kadang memekik penuh gairah, dan tak jarang melenguh seolah tengah menuntaskan pertarungan-pertarungan. Kalian selalu melakukannya sepanjang hari.

Bila kau pulang cept, di waktu yang sama, kau buru-buru menyelinap keluar dari pintu belakang. Illy juga selalu pandai berakting seolah sepanjang hari sibuk menulis artikel budaya untuk koran lokal, beberapa puisi picisan untuk majalah remaja, menghitung untung-rugi beberapa usaha alternatif yang hingga kini belum direalisasikan, atau membereskan pekerjaan rumah sebagaimana dilakukan oleh para ibu rumah tangga - atau bahkan para pembantu rumah tangga. (Bukan, bukan kau yang meminta Illy melakukannya. Dia sendirilah yang mengajukan diri seolah menenggang kesibukan yang membelitmu, seolah tahu diri dengan status pengangguran).

Selayang pandang, Illy memang tampil sebagai suami yang sayang istri. Ya, walau menjadi penopang keuangan keluarga, kau tak pernah berpikir untuk membabukan suami. Kau hanya sering heran, mengapa Illy selalu lupa merapikan seprei ranjang atau sofa panjang ruang tengah. Kau selalu mendapati dua perabotan itu dalam keadaan kusut atau berantakan. Kau tak pernah menaruh curiga kepadanya. Kau seolah lupa, sepengangguran apa pun, Illy adalah seorang sarjana, Illy adalah laki-laki nornal yang haus kehangatan, Illy bukanlah seorang dungu yang setia-buta menantikan kau pulang larut malam dalam keadaan lelah yang sangat (dan Illy menyiapkan air hangat yang akan membilas lelahmu agaar kau dapat menyongsong malam dengan mimpi yang menrebangkan kepenatan). Lagi pula takkah kau merindukan kehadiran seorang anak, Lili?

Ah, yang terang, kau tak pernah tahu, Illy hanya memandangimu yang pulas disampingnya (Oh Lili, takkah kau iba kepadanya?); kau tak pernah sadar bahwa kau tak pernah punya waktu untuk bertarung dengannya di dalam kelambu brokat tembus pandang; kau juga tak pernah tahu, akhirnya Illy melampiaskan gairah kepada kesepiannya, yang tiba-tiba meluangkan waktu untuk mendengar curhatnya, kepada yang tiba-tiba mendengarkan setiap keluh-kesahnya, kepada yang selalu memberi pertimbangan perihal usaha yang akan ia buka, kepada yang selalu memberi kenikmatan tak tertanggungkan tanpa harus berlaku sepertimu dulu: menerapkan kamasutra yang aneh-aneh lalu menganggurkannya sekian lama hingga saat ini! Kau sangat kejam Lili!

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Pagi itu, kau tergesa-gesa mengunyah nasi goreng masakan Illy ketika ponselmu berdering nyaring. Direktur memintamu ke kantor lebih awal. Ada rapat mendadak dengan klien di perusahaan. Tanpa banyak ba-bi-bu, kau oke-kan saja. Kau tinggalkan sarapan yang baru kau lahap dua sendok. Terburu-buru kau ambil segelas sirup-sunkis dan meminumnya seperempat isi. Setengah berteriak kau pamit. Kau tutup pintu serampangan. Menuju Avanza yang baru selesai dicuci Illy pagi tadi. Tak sampai dua menit, mobil metalik itu sudah membawamu menyusur jalanan yang bingar oleh perang klakson.

Di kantor, kau akan mendampingi laki-laki flamboyan yang kau panggil "Pak Direktur" untuk mengikuti rapat yang akan dimulai satu jam lagi. Kau tahu kalau laki-laki itu sudah lama menaruh hati kepadamu. Namun kau mengabaikannya saja. Tentu saja kau tidak menunjukkannya. Kau masih cukup cerdas memilih; kapan melengkungkan senyum, kapan mengejek ketidakberdayaan pemimpin. Kau selalu pandai berkilah bila rekan-rekan kantor (khususnya yang wanita) kerap mengolok-olokmu.

Kepada mereka kau nyatakan bahwa kau memang tak membantah perihal Pak Direktur yang sangat perhatian, namun kau menolak dikatakan mendapatkannya dalam porsi lebih, apalagi dengan cara yang tak semestinya. Pak Direktur hanya ingin menunjukkan bahwa karyawan yang baik akan mendapat tempat yang lebih layak, ujarmu sok bijak. Kau terenyak mendapati berkas-berkas di dalam mapmu.

Ada yang kurang. Kaau lirik arloji mungil yang melilit pergelangan tangan kirimu. Tiga puluhmenit lagi rapat akan dimulai. Kau minta izin keluar sebentar. Pak Direktur menunjukkan air muka keberatan. Namun senyum manis yang kau sunggingkan, seolah-olah meyakinkan pimpinan perusahaan itu bahwa kau akan kembali sebelum rapat dibuka. Ya, tentu saja kau pulang mengambil beberapa nota kesepakatan yang akan ditandatangani klien perusahaan di akhir rapat.

Kau nyalakan mobil. Kau tarik napas agak panjang sebelum menginjak pedal gas. Kau akan mengemudi dengan kecepatan tinggi. Mobil melaju. Cepat. Kau pasang konsentrasi tinggi. Mobilmu meliuk dengan mulus di beberapa simpang dan jalan yang tak rata. Baru kali ini kau dapati bukti bahwa keadaangentingdapat melecutkan keberanian hingga beberapa kali lipat.

Kau bunyikan klakson beberapa kalinamun Illy tak kunjung membukan pagar. Kau pun kesal. Kau turun dari mobil. Kau menggeret pagar dengan muka kusut. Kau parkir mobil sekenanya di halaman (sebenarnya bisa saja kau memarkirkan mobil di depan pagar tapi kau khawatir ada mobil lain yang akan melintas di jalan kompleks yang sempit itu). Kau menarik grendel pintu depan dengan gerakan malas.

Kau banting pintu. Kau gegas ke ruang kerja. Kau membuka lemari yang biasanya kau gunakan untuk menyimpan berkas-berkas kantor. Sembari memeriksa berkas-berkas yang belum juga ditemukan, kau memanggil-manggil suamimu. Tentu saja kau bukan hendak meminta bantuannya untuk mencarikan beberapa map penting karena ia memang tak tahu apa-apa tetang pekerjaanmu. Kau hanya ingin memastikan bahwa suamimu ada di rumah. Kau hanya ingin tahu mengapa ia tidak mengunci sekaligus membukakan pagar dan pintu untukmu.... Mengapa ia mengabaikanmu!

Praaaanggggg!!

Kau menoleh. Vas bunga kristl yang dihadiahkan Pak Direktur di hari ulang tahunmu beberapa bulan lalu, tersenggol siku tanganmu. Pecah. Beling-beling berserakan di lantai. Kau makin kesal. Mulutmu mulai merunyam. Beberapa kali kau panggil suamimu dengan berteriak. Tak juga ada tanggapan. Ponselmu berdering. Nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya. Irama degup jantungmu mulai timpang. Butir-butir keringat mulai berebutan menerobos pori-pori kulitmu. Kau menarik napas panjang sebelum memutuskan untuk menjawab panggilan.

Klek!

Perasaan lega dan khawatir bertabrakan dalam dadamu ketika mendapati panggilan terputus sebelum sempat kau jawab. Kau gegas menekuri lemari berkasmu. Ups! matamu berbinarcerlang. Kau akhirnya menemukan apa yang kau cari. Kau melirik arloji di tangan. O, rapat pasti baru saja dimulai, gumammu. Kau tahu Pak Direktur pasti marah. Tapi memilih mendampinginya tanpa berkas yang harus ditandatangani, tentu dapat membuatmu terdepak dari posisi nyaman. Baru saja hendak menuju pintu, kau mendengar suara dari kamarmu. O, suara itu memang berasal dari sana. Dan, suara itu. O, benarkah suara itu benar-benar dari kamar? Itu suara suamiku, batinmu bergetar. Suara itu, suara itu, desahan itu, desahan yang menggambarkan kenikmatan yang tengah didaki.

Benarkah desah itu memanggil-manggil namaku, batinmu menggigil. Bahumu turun-naik. Perasaanmu benar-benar tak tentu. O, tidakkah kau sadar, sudah lama nian kau tidak membuat suamimu mengeluarkan suara-suara yang meremangkan gairah? Dan kini..... O kini, kepalamu bergaasing demi menerka siapa yang telah membuat suamimu sebergelora saat ini! Kau bersijingkat mendekati pintu kamar. Pelan-pelan kau buka pintunya yang tidak terkunci. Kau mengintip.

Awalnya kau sipitkan sebelah mata sebelum akhirnya tanpa kendali kau belalakan kedua indera penglihatanmu itu. Kau berteriak sembari berlari menuju suamimu yang bergeliat di atas seprei ranjang yang kusut.

Paaakkkk!

Sebelah tanganmu terasa berdenyar sehabis menampar sebelah pipi laki-laki yang sedari tadi sibuk memegangi kelaminnya sendiri! Illy pun terkesiap tak alang kepalang. Refleks ia bangun, mengeret tubuhnya ke pojok ranjang, lalu meraih selimut untuk menutupi kemaluannya. Ia benar-benar malu dengan apa yang baru saja terjadi. Kau pun memandanganya dengan tatapan iba. Sekujur tubuh suamimu simbah oleh keringat.

Tampaknya kau benar-benar merindukanku, sayang.... ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa. Illy masih menggigil. Ia seperti remaja yag habis digagahi tiga orang sekaligus. Tatapannya kosong. Ia terus memanggil-manggil namamu. Kau tak kuasa meneteskan air matamu. Kau seolah baru sadar telah mengabaikan suamimu lebih dari setahun belakangan.

Kau lepaskan stiletto-mu. Kau naik ke ats ranjang. Kau peluk suamimu seolah menenangkan seorang anak kecil yang habis dihajar ayah tiri. Kau rapat-rapatkan dadamu ke wajahnya dan ia terus memanggil-manggil namamu. Aku di sini, sayang, ujarmu lagi dengan nada menenangkan seraya melepaskan syal yang melilit lehermu. Aku juga sangat merinduimu, lanjutmu dengan wajah penuh rona. Kini kau lepaskan semua yang menutupi tubuhmu. Kau pikir, bercinta dengan suamimu siang itu adalah salah satu cara untuk mengakui kealpaanmu selama ini. Kau seperti mendada tak perduli pada rapat di kantor yang akan segera berakhir. Kau tak tahu kalau suamimu benar-benar bingung apa yang tengah di hadapi. Sungguh, ia ingin melanjutkan percintaan denganmu, perempuan yang menggiring jemarinya mencumbui selangkangan sendiri.

Gubrraaakkk!!! Tendangan kaki kanan Illy membuatmu terjengkang dari atas ranjang. Tubuhmu berguling-guling di lantai. Kau rasakan banyak kunang-kunang mengitari kepalamu. Pelipismu meneteskan cairan marun kental. Samar-samar kau lihat Illy meraih tembikar seukuran tubuh bayi dan...... o o o, ia mengarahkannya ke arahmu, ke kepalamu! Kau tak sempat berteriak, seolah membiarkan dering ponsel dalam tas kerjamu (nama Pak Direktur mengedap-ngedipkan kayarnya) membisingkan siang itu, seolah membiarkan kematian datang bersama ketaktahuan yang mengenaskan. Yang Illy inginkan bukan Lili, tapi Lily! (jp)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 16 Desember 2012

Pesona Kecantikan Perempuan

Oleh: Adminaba

Subhan tidak bisa menolak apa yang yang telah direncanakan orangtuanya, yaitu perjodohan dengan perempuan yang sama sekali tidak dikenalnya.

"Azizah adalah perempuan yang sangat baik. Dia pandai menata rumah. Selain itu, dia adalah perempuan yatim piatu yang salihah," kata ibunya.

"Bagiku, perempuan salihah yang akan mendampingimu jauh lebih berharga dibandingkan semua perempuan cantik di dunia ini," lanjut ayahnya mantap.

Hati Subhan berontak. Namun, dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka karena menentang orangtua. Akhirnya, dia pasrah dan menuruti kemauan orangtuanya.

"Jika kau setuju, Anakku. Kami akan menjemput Azi-zah di kampungnya," ujar ayahnya. Bagaimana mungkin aku tidak setuju ? kata Subhan dalam hati.

Subhan hanya mengangguk setuju. Ia tak ingin mengecewakan keinginan orangtuanya. Jika perjodohan ini membuat orangtuanya bahagia, Subhan akan menyetujuinya. Bagi Subhan, tidak ada yang lebih berharga selain membahagiakan orangtuanya.

Paras Subhan yang tampan memudahkan dirinya memilih perempun cantik mana pun yang akan dijadikanm istrinya. Sebenarnya, Subhan memiliki kriteria sendiri untuk calon pendampingnya. Dia ingin mendapatkan seorang perempuan yang elok. Semua harapannya tinggal impian. Azizah, gadis yang dijodohkan dengannya, sama sekali tidak dia ketahui rupanya.

Ketika khitbah, sekilas ia menatap wajah calon istrinya. Menurut ayah dan ibunya, Azizah baik. Subhan bisa melihat dari wajahnya yang teduh dan damai, tetapi tidak ada guratan kecantikan di sana. Aaah...

Azizah adalah perempuan dengan rupa yang sederhana, jatih dari kriterianya. Batin Subhan menjerit, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Di lubuk hatinya, dia tetap menilai kecantikan perempuan bukan sekadar baik. Namun, perempuan itu haruslah memiliki tubuh tinggi langsing, mata bulat lengkap dengan bulunya yang lentik, hidung mancung, bibir ranum, dan kulit yang indah. Azizah, tidaklah demikian.

Peijodohan harus terlaksana. Subhan tidak bisa menolak keinginan orangtuanya. Dengan sekuat tenaga, Subhan mengusir kriteria perempuan dan berusaha menerima Azizah apa adanya. Berusaha mencintainya, walau rasanya itu akan sia-sia saja.

Akhirnya, pernikahan teijadi. Subhan melihat Azizah begitu bahagia. Sinar matanya mengatakan hal itu. Subhan berusaha untuk bahagia. Demi orangtuanya, Subhan berusaha membuat semuanya terlihat bahagia, walau setiap malam hatinya menjerit. Begitu sulit melepaskan diri dari kriteria perempuan impiannya.

Hari demi hari, dia semakin tidak mampu berpura-pura bahagia. Subhan merasa hidupnya sia-sia. Dia mulai marah dengan keadaan itu. Ya, dia mengakui bahwa Azizah melayaninya dengan baik. Azizah seorang istri yang baik, tetapi itu tidak cukup membuat Subhan mencintainya.

Subhan mulai mengacuhkan Azizah. Azizah semakin menyadari bahwa suaminya tidak mencintainya. Subhan semakin ketus hingga akhirnya Azizah bertanya kepadanya, tetapi Subhan tak menjawab.

"Apa pun yang kaulakukan padaku, aku akan tetap mengabdi padamu sebab kau adalah suamiku," ujar Azi¬zah mantap.

Subhan hanya diam tak menyahut. Ternyata memang benar, walau Subhan bertindak seenaknya, Azizah tetap melayani Subhan dengan baik. Azizah memang istri yang baik dan benar kata orangtuanya, Azizah juga perempuan yang salihah. Saat tengah malam, dia tak pernah absen shalat tahajud dan melantunkan ayat Al-Qur’an. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat had Subhan tergugah. Kadang, Subhan memaki dirinya sendiri. Mengapa dia begitu terobsesi pada perempuan cantik? Bukankah dalam agama Islam diajarkan bahwa keimanan adalah faktor terpendng dalam memilih pasangan?

"Aku hamil," kata Azizah suatu pagi.

Subhan hanya menatapnya dengan dingin.

Pada suatu hari, di tengah peijalanan menuju rumah, Subhan bertemu dengan sahabat lamanya. Wajah sahabatnya itu sungguh berduka.

"Mengapa kau terlihat bersedih?" tanya Subhan.

Sahabat Subhan lalu mengajak Subhan berteduh di sebuah masjid.

"Aku ingin bercerita," katanya.

Subhan berjalan mengikuti sahabatnya menuju masjid. Dalam hatinya ia bertanya tentang hal yang ingin diceritakan sahabatnya itu. Seharusnya dia bahagia karena telah menikahi seorang perempuan yang sangat cantik.

"Ini mengenai pernikahanku. Maafkan aku, ya Allah...," desisnya pelan. "Aku tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan istriku, tapi..." lanjutnya.

"Apa yang teijadi?" tanya Subhan.

"Kau tahu betapa aku sangat mencintai istriku. Kuakui aku jatuh cinta padanya karena dia sangat cantik dan sempurna."

"Ya...," terbayang di benak Subhan wajah istri sahabatnya yang memang sangat cantik.

"Pada awalnya, orangtuaku tidak merestui hubungan kami. Hingga Ayah menanyakan, mengapa kau tidak menikahi perempuan yang salihah? Ya, memang benar istriku tidak sempurna dalam akhlaknya. Dia adalah perempuan yang jarang mengaji dan shalat. Hatiku telah dibutakan oleh kecantikannya."

"Lalu?" tanya Subhan penasaran.

"Ternyata, pernikahanku memang tidak bahagia. Istriku terlalu banyak menuntut. Awalnya, aku memaklumi karena dia memang masih awam dalam hal agama. Aku sebagai suaminya, akan berusaha menuntunnya. Namun, aku justru semakin tersiksa dengan sikapnya. Jika tuntutannya tidak kukabulkan, dia tidak memperlakukanku seperti seorang suami. Istriku sangat boros, bahkan kini aku memiliki begitu banyak utang karenanya. Ketika aku menegurnya, dia beralasan karena aku tidak bisa mencukupi kebutuhannya, padahal..."

"Ya...?" mata Subhan membulat. "Tahukah kau? Orangtuaku kini jatuh miskin karena semua yang mereka miliki diberikan kepadaku demi membahagiakan istriku."

Subhan tertegun.

"Kini, aku tidak memiliki apa-apa lagi. Istriku malah semakin tidak menghormatiku," kata sahabat Subhan sambil menitikkan air mata.

"Istriku meminta cerai. Alasannya, dia bisa lebih bahagia dengan lelaki kaya yang sanggup memberikan segalanya."

Cerita sahabatnya itu membuat hati Subhan teriris. Apa yang sudah dia lakukan pada Azizah sungguh tidak adil. Allah memberinya jodoh terbaik. Azizah memang tidak cantik, tetapi dia adalah seorang perempuan yang salihah. Dia adalah seorang istri yang sangat menghormati suaminya. Dia adalah istri yang tak pernah menuntutnya, bahkan dia memberikan cinta tanpa pamrih yang begitu indah.
Selepas mendengarkan kisah pilu sahabatnya, diam-diam hati Subhan bertekad bahwa tidak ada lagi kriteria perempuan impian dalam hatinya. Bidadari itu sudah dikirimkan Allah untuknya.
"Azizah, aku akan berusaha mencintaimu," kata Subhan dalam hatinya.

Sebelum pulang, Subhan menyempatkan diri ke sebuah toko untuk membeli sebuah jilbab yang cantik. Dia ingin membuat Azizah bahagia dan memberinya senyum yang manis. Setiba di rumah, ketukan pintu Subhan tidak dihiraukan.

"Ke mana istriku?" tanyanya dalam hati.

Kreeeek... ternyata pintu rumah tidak terkunci. "Assalamu’alaikum."

"Wa’alaikumsalam." Dari arah kamar, terdengar suara lirih Azizah.

Dengan langkah cepat, Subhan menuju kamar. Dilihatnya Azizah tergeletak di kasur dalam keadaan lemas.

"Ya Allah, apa yang teijadi padamu?" Subhan memeluk Azizah.

"Aku terjatuh di kamar mandi," jawab Azizah lirih.

"Kenapa kau tidak pergi ke rumah sakit? Tidak adakah yang menolongmu?" Subhan gusar.

"Aku belum meminta izinmu, Suamiku,"

Subhan menangis, dadanya terasa sesak. Dalam tangisannya, terbayang sikapnya yang tidak adil kepada Azizah. Pengorbanan dan pengabdian Azizah sungguh luar biasa. Subhan memeluk erat tubuh Azizah hingga Subhan merasakan detak jantung Azizah berhenti. Azizah meninggal dalam pelukannya dengan wajah yang sangat teduh. Dia terlihat cantik. Dalam penyesalan yang menyeruak, Subhan merasakan angin sejuk menghampiri dirinya. Cahaya cinta yang memancar dari wajah Azizah semakin kuat untuknya. Subhan menyesal karena tidak memberikan hatinya untuk perempuan itu.

Di samping tubuh Azizah, terdapat sepucuk surat. Subhan lalu membacanya dengan pandangan yang terhalang air mata.

Suamiku, maafkan aku karena tidak membuatmu bahagia. Berikan ridha dan ikhlasmu untukku dan anak kita. Aku mencintaimu. ISTRIMU



Subhan menangis tersedu-sedu. Kenapa cinta datang terlambat? Allah menghukumnya dengan penyesalan yang luar biasa.

"Sesungguhnya, dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan) dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (istri) yang salihah." (HR. Muslim)



Sumber: Kolom.abatasa.com