Cerpen: Maspril Aries
Kata-kata perintah yang berwibawa dari Kapten Pandji tadi siang masih bergaung di telinga. Gemanya bermain-main dalam gendang telingaku bersama hembusan angin malam yang dingin. Di depanku Sersan Musa melangkah sambil membungkukan badan mendekati dinding tinggi yang catnya sudah luntur dan berlumut
Perintah Kapten Pandji tadi siang bermain di batok kepalaku. "Sersan Tanto, kamu bersama Sersan Musa mendapat tugas menghantam markas Benteng Tangsi itu dari arah belakang!"
"Siap Komandan," jawab kami bersamaan.
"Merdeka!" teriak semua anggota pasukan.
Dinding Benteng Tangsi itu sekarang ada di depanku. Dinding itu tingginya dua meter dengan kawat berduri di atasnya.
Operasi penyerbuan dimulai. Musa naik ke atas pundakku Dengan tang yang sudah disiapkan. Musa memotong kawat berduri pelindung Benteng Tangsi. Dengan tali yang kami bawa, aku merayap dinding, naik menyusul Musa yang sudah lebih dulu berada dibalik dinding, di dalam Benteng Tangsi. Sekarang kami sudah berada di dalam Benteng Tangsi.
Malam semakin tinggi, sunyi dan mencekam. Dari pos penjagaan depan terdengar serdadu Belanda yang bernyanyi dengan irama tak menentu. Di tempat lain, suara janngkrik malam ikut meningkahi. Kami terus mendekat markas dengan mengendap-endap.
Kulihat jam tangan di remang cahaya bulan, tinggal dua menit lagi. "Siap," bisikku kepada Musa dengan mengacungkan dua jari tangan kanan.
"Merdeka!" bisik Musa dengan tangan kanan terkepal ke atas.
"Merdeka!" balasku.
Taarrr.... taarrrrt.... taarrrrr..... suara senapan para Pejuang Republik mulai menyalak memecahkan kehingan malam dan menghentikan nyanyian tak merdu para tentara Belanda. Kemudian suara tembakan mulai saling bersahutan dari beberapa sudut.
Duaaaaaarrrr......
Duaaaaarrrrr..... dua ledakan granat tangan aku dan Musa lemparkan meledak bersamaan menghantam salah satu bangunan yang ada di Benteng Tangsi. Ledakan itu memunculkan percikan apik dan disusul suara tembakan senjata api yang ditujukan ke arah tempat kami bersembunyi. Kami berlindung dan membalas tembakan itu.
Sudah hampir satu jam pertempuran terjadi. Pasukan Belanda yang berada di Benteng Tangsi hampir dapat dikalahkan. Mereka berusaha bertahan, tembakan balasan dari bangun yang ada di dalam benteng hanya terdengar sesekali saja. Sudah dua jam, namum markas Benteng Tangsi belum bisa dikuasai.
Dari arah utara terdengar suara mesin kendaraan berat mendekati Benteng Tangsi. Sebuah panser mendahului iring-iringan kendaraan pasukan Belanda datang.
Daaarrrr...... daaaarrrrrr...... dua ledakan terdengar dari arah depan Benteng Tangsi.
Kemudian terdengar teriakkan Kapten Pandji, "Mundur!!"
"Mundur!!" diikuti teriakan yang lain.
Aku dan Musa beringsut mundur dari empat kami bersembunyi sambil terus menembakan senjata ke arah markas. Musa membopongku melewati dinding Benteng Tangsi tempat kami masuk tadi. Musa menyusul dengan tali yang kujulurkan ke bawah. Kami melompat ke bawah.
Kami berlari terus menembus kegelapan malam. Musa berlari di depanku. Suara ledakan mortir terus diarahkan kepada Pejuang yang masuk ke kebun-kebun penduduk. Dari belakang kami suara senapan mesin terus terdengar. Dengan jatuh bangun kami berusaha menjauhi Benteng Tangsi.
"Aduh!" pekikku asetelah berada jauh dari markas tentara Belanda itu. Aku terjatuh, pahakku terasa perih, , kuraba paha kiriku, ada aliran hangat mengalir di situ. Aku tertembak. Aku berusaha bangkit tapi rasa perih dipahaku semakin menusuk. Aku tersungkur kembali. Aku terus berusaha bangkit dan terus merayap di gelap malam menyeruak rimbunnya semak belukar.
Aku harus menjauhi markas penjajah jahanam itu. Aku tidak ingin tertangkap. Aku paksakan berdiri dan melangkah dengan tertatih-tatih. Di kejauhan suara tembakan semakin berkurang. Bajuku sudah basah oleh keringat. Aku menoleh ke belakang, markas Benteng Tangsi itu sudah hilang tertelan gelap malam. "Aduh," aku meringis menahan rasa perih. Mataku nanar, di sekitarku terlihat semakin gelap dan hitam.
Ketika kubuka mataku, aku sudah berada dalam sebuah ruangan. Badanku terbaring di atas dipan bambu beralaskan tikar. Sinar matahari masuk menerobos dari celah dinding bambu ruangan itu. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan sepi. Di mana aku sekarang? Aku berusaha bangkit. "Aduh," desisku menyeringai kesakitan. Aku terbaring lagi. Kupejamkan mataku menahan rasa sakit yang belum juga hilang.
Dari balik dinding bambu yang dianyam ke dengar suara langkah mendekat. Mataku arahkan ke pintu> Seorang perawat melangkah masuk dan mendekat ke arahku. "Jangan bergerak dulu, luka bung baru saya obati," katanya lembut.
"Terima kasih," jawabku.
"Tapi kalau boleh saya tahu, sekarang saya dimana?"
Dia tak langsung menjawab. "Sebentar," katanya terus berlalu meninggalkanku. Kemudian kembali lagi dengan membawa sebutir tablet dan berdiri di sebelah tempatku berbaring.
"Minum dulu obat ini," katanya lembut dengan nada memerintah sambil menyodorkan sebutir tablet.
Aku menerimanya. "Tolong beritahu dulu, di mana aku sekarang?"
"Minum saja dulu, nanti saya ceritakan." Dia membantuku menelan obat yang diberikannya tadi.
Kemudian dia mulai ceritanya. "Pasukan tadi pagi menemukan bung tergeletak di semak-semak di pinggir sungai. Bung sudah sejak semalaman pingsan. Luka bung cukup banyak mengeluarkan darah. Sekarang bung dirawat di rumah sakit Sektor Selatan."
"Saya ucapkan terima kasih atas perawatan......, maksud saya siapa nama nona?" kataku. "Nama saya Hartanto dan teman-teman memanggil saya Tanto."
"Nama saya Kartini," jawabnya lembut.
"Lebih baik bung Tanto istirahat saja dulu." Kartini terus melangkah keluar ruangan. Memang aku merasa lelah, rasa kantuk menggantung di mataku. Aku tertidur sampai kemudian aku dikagetkan suara langkah sepatu yang berlari dan diikuti dengan teriakan. Kartini berlari masuk, di pundaknya memanggul senjata api.
"Ada apa?" tanyaku.
"Mereka datang," jawabnya singkat.
"Mereka siapa?"
"Penjajah biadab itu."
"Pasukan yang lain mana?" tanyaku.
Kartini tidak menjawab pertanyaanku. Ia terus menguak dinding banbu yang sengaja dijadikan jendela untuk mengintai. Gerakannya cepat dan sigap, menunjukkan bahwa ia terlatih baik. "Anak-anak dan perempuan sudah diungsikan ke hutan dan yang lain menghadang di lereng bukit sebelah Barat. Sudah sejak siang tadi mereka bersiap menghadang kedatangan Belanda-Belanda itu," katanya tanpa menoleh kearahku.
"Dari mana mereka tahu kalau Belanda akan datang menyerang, dari mana mereka tahu tampat ini?" tanyaku.
"Satu atau dua hari setelah penyerangan pada setiap markas Belanda di mana pun, pasti akan datang serangan balasan untuk menghancurkan markas Pejuang Republik. Mereka pikir setelah melakukan penyerangan para pejuang pasti akan bersenang-senang. Mereka mendapat informasi tentang tempat ini dari mata-mata, bangsa kita sendiri yang tega mengkhianati bangsa dan saudara-saudaranya."
"Sebagai cara balas dendam mereka," kataku sambil berusaha bangkit. Dia tak menjawabnya, tapi mengisyaratkan ke arahku agar tetap berbaring.
"Bagi setiap pejuang, bukan memikirkan suatu balas dendam atau bukan. Bagi mereka menyambut kedatangan tentara Belanda dengan butir-butir peluru panasadalah suatu yang biasa." Mata Kartini terus memandang keluar.
Dia menyindirku, pikirku. Namun sebagai pejuang sejati, pribadi yang dimiliki pejuang bukanlah figur manusia yang mudah tersinggung atau emosional. Pejuang sejati harus siap menerima kritik, bahkan sindiran dan caci maki. Aku berusaha menentramkan gejolak di dalam dada. Suara senapan mesin dari kejauhan terdengar mulai menyalak bersahutan. Kartini berdiri tegap memandang keluar dengan laras senapannya yang siap memuntahkan butir-butir timah panas.
Semakin lama suara tembakan terdengar semakin dekat. Tiba-tiba sebutir peluru panas menembus dinding bambu tempat kami berlindung, bau asap mesiu mulai menyengat hidung. Kartini cepat menarik picu senjatanya, butir-butir peluru panas menghambur dari ujung laras senapannya. Daaarrrrr..... sebuah ledekan menggelagar dekat rumah tempat kami berlindung dan bongkahan tanah terlempar ke atas atap. Di luar pertempuran semakin seru, suara tembakan semakin gencar. Sesekali terdengar teriakan, "Merdeka!" dari para pejuang yang mulai terdesak.
Tiba-tiba, daaaarrrrr...... Kartini terlempar dari tempat berdiri dan terbujur di dekat dipanku. Ledakan mortir menghantam dinding bangunan rumah. Aku berusaha bangkit, luka dipahaku membuat aku terbaring lagi tak bisa banngkit.
"Aduh...............," ku dengar suaranya meringis kesakitan.
"Kartini!" panggilku. Namun tak ada jawaban. "Kartini" panggilku lagi dengan lebih keras. Tak ada sahutan. Aku memiringkan badan ke arah kanan. Tangannya kulihat menggapai-gapai dipan. Cepat kutangkap tangannya. Ada percikan darah dalam genggamanku.
"Mas Tan.... to, Merdeka." katanya terbata-bata.
"Kartini!" ku goncangkan tangannya tapi tak ada sahutan.
Di luar pertempuran semakin dahsyat. Ledakan bersahutan menghancurkan bangunan di Sektor Selatan. Rumah tempat kami berlindung bergetar, miring dan roboh. Atap ilalang bangunan rumah menimpa aku dan Kartini. Tangan kiriku berusaha melindungi Kartini dari kayu yang jatuh. Aku tak berdaya menahan begitu lama. Rasa perih ditubuhkku semakin menusuk dan terus menyiksa. Aku berdoa semoga pertolongan cepat datang.
Pertempuran di luar mulai mereda. Suara salakan senjata api juga mulai mereda dan hujan mortir sudah tidak ada, berganti dengan teriakan "Merdeka."
"Kartini!" teriak sebuah suara terdengar keras.
"Kartini," "Kartini," teriak yang lain.
"Cepat angkat reruntuhan ini, dia terluka!" teriakku. Sebentar saja atap bangunan yang roboh sudah mulai diangkat. Beberapa pejuang mendekat ke arah kami.
"Musa!" teriakku keras ketika ke lihat teman-temanku ada diantara pejuang yang bermarkas di Sektor Selatan.
"Tanto! Kamu berada di sini" Musa memandangku dan mendekat.
"Ya," sahutku singkat.
"Syukur, ternyata kau selamat. Kami menduga kau tertangkap malam itu." Musa menjabat tanganku.
"Kami ke sini berempat. Aku, Kopral Tigor, Kopral Irsan, dan Pak Mantri Mulyo. Kapten Pandji dan teman-teman kembali ke markas."
"Aku tertembak malam itu," ujarku. Mantri Mulyo memeriksa lukaku, dan yang lain mengangkat tubuh Kartini dari puing bangunan yang runtuh.
"Kami kira kau tertangkap Sersan Tanto," kata Tigor dan Irsan yang ikut mendekat.
"Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini," pperintah Kapten Karma, Komandan Pasukan sektor Selatan datang mendekati kami.
"Siap Kapten, kita harus menyingkir!" jawab Sersan Musa mundukung perintah itu. Barisan Pejuang Republik mengungsi, berjalan beriringan ke arah utara. Aku ditandu Kopral Tigor dan Irsan. Setelah satu jam kami berjalan, terdengar dari kejauhan suara mortir dari arah markas Sektor Selatan yang telah kosong. Kapten Karma memerintahkan anak buahnya berhenti di lereng bukit yang berhutan lebat.
Mantri Mulyo kembali memeriksa lukaku. "Bagaimana perawat yang terluka itu," tanyaku pada Mantri Mulyo.
"Lukanya sangat parah dan banyak mengeluarkan darah," jawab Mantri Mulyo.
Aku menghela napas dalam-dalam, ada kekecewaan dalam desah napasku. "Dia yang merawatku. Cintanya pada Kemerdekaan Negeri ini begitu besar. Dia ikut membakar semangatku. Dia perempuan yang lembut tapi pemberani. Dia bukan Kartini biasa, dia Pejuang.
"Dia gugur," kata Sersan Musa yang baru datang dan berjongkok di sebelahku.
"Siapa?" tanyaku tak mengerti.
"Perempuan itu."
Aku terdiam. Mataku basah, air mataku menetes. Badanku terasa semakin lemah. Angin yang bertiup menggoyang pucuk pohon kayu di hutan itu, semua lalu terdiam, gesekan daun yang tertiup angin menyenandungkan llagu duka. Kata-kata perpisahan untuk Kartini hanya bisa kuucapkan dalam hati:
Kata-kata perintah yang berwibawa dari Kapten Pandji tadi siang masih bergaung di telinga. Gemanya bermain-main dalam gendang telingaku bersama hembusan angin malam yang dingin. Di depanku Sersan Musa melangkah sambil membungkukan badan mendekati dinding tinggi yang catnya sudah luntur dan berlumut
Perintah Kapten Pandji tadi siang bermain di batok kepalaku. "Sersan Tanto, kamu bersama Sersan Musa mendapat tugas menghantam markas Benteng Tangsi itu dari arah belakang!"
"Siap Komandan," jawab kami bersamaan.
"Merdeka!" teriak semua anggota pasukan.
Dinding Benteng Tangsi itu sekarang ada di depanku. Dinding itu tingginya dua meter dengan kawat berduri di atasnya.
Operasi penyerbuan dimulai. Musa naik ke atas pundakku Dengan tang yang sudah disiapkan. Musa memotong kawat berduri pelindung Benteng Tangsi. Dengan tali yang kami bawa, aku merayap dinding, naik menyusul Musa yang sudah lebih dulu berada dibalik dinding, di dalam Benteng Tangsi. Sekarang kami sudah berada di dalam Benteng Tangsi.
Malam semakin tinggi, sunyi dan mencekam. Dari pos penjagaan depan terdengar serdadu Belanda yang bernyanyi dengan irama tak menentu. Di tempat lain, suara janngkrik malam ikut meningkahi. Kami terus mendekat markas dengan mengendap-endap.
Kulihat jam tangan di remang cahaya bulan, tinggal dua menit lagi. "Siap," bisikku kepada Musa dengan mengacungkan dua jari tangan kanan.
"Merdeka!" bisik Musa dengan tangan kanan terkepal ke atas.
"Merdeka!" balasku.
Taarrr.... taarrrrt.... taarrrrr..... suara senapan para Pejuang Republik mulai menyalak memecahkan kehingan malam dan menghentikan nyanyian tak merdu para tentara Belanda. Kemudian suara tembakan mulai saling bersahutan dari beberapa sudut.
Duaaaaaarrrr......
Duaaaaarrrrr..... dua ledakan granat tangan aku dan Musa lemparkan meledak bersamaan menghantam salah satu bangunan yang ada di Benteng Tangsi. Ledakan itu memunculkan percikan apik dan disusul suara tembakan senjata api yang ditujukan ke arah tempat kami bersembunyi. Kami berlindung dan membalas tembakan itu.
Sudah hampir satu jam pertempuran terjadi. Pasukan Belanda yang berada di Benteng Tangsi hampir dapat dikalahkan. Mereka berusaha bertahan, tembakan balasan dari bangun yang ada di dalam benteng hanya terdengar sesekali saja. Sudah dua jam, namum markas Benteng Tangsi belum bisa dikuasai.
Dari arah utara terdengar suara mesin kendaraan berat mendekati Benteng Tangsi. Sebuah panser mendahului iring-iringan kendaraan pasukan Belanda datang.
Daaarrrr...... daaaarrrrrr...... dua ledakan terdengar dari arah depan Benteng Tangsi.
Kemudian terdengar teriakkan Kapten Pandji, "Mundur!!"
"Mundur!!" diikuti teriakan yang lain.
Aku dan Musa beringsut mundur dari empat kami bersembunyi sambil terus menembakan senjata ke arah markas. Musa membopongku melewati dinding Benteng Tangsi tempat kami masuk tadi. Musa menyusul dengan tali yang kujulurkan ke bawah. Kami melompat ke bawah.
Kami berlari terus menembus kegelapan malam. Musa berlari di depanku. Suara ledakan mortir terus diarahkan kepada Pejuang yang masuk ke kebun-kebun penduduk. Dari belakang kami suara senapan mesin terus terdengar. Dengan jatuh bangun kami berusaha menjauhi Benteng Tangsi.
"Aduh!" pekikku asetelah berada jauh dari markas tentara Belanda itu. Aku terjatuh, pahakku terasa perih, , kuraba paha kiriku, ada aliran hangat mengalir di situ. Aku tertembak. Aku berusaha bangkit tapi rasa perih dipahaku semakin menusuk. Aku tersungkur kembali. Aku terus berusaha bangkit dan terus merayap di gelap malam menyeruak rimbunnya semak belukar.
Aku harus menjauhi markas penjajah jahanam itu. Aku tidak ingin tertangkap. Aku paksakan berdiri dan melangkah dengan tertatih-tatih. Di kejauhan suara tembakan semakin berkurang. Bajuku sudah basah oleh keringat. Aku menoleh ke belakang, markas Benteng Tangsi itu sudah hilang tertelan gelap malam. "Aduh," aku meringis menahan rasa perih. Mataku nanar, di sekitarku terlihat semakin gelap dan hitam.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Ketika kubuka mataku, aku sudah berada dalam sebuah ruangan. Badanku terbaring di atas dipan bambu beralaskan tikar. Sinar matahari masuk menerobos dari celah dinding bambu ruangan itu. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan sepi. Di mana aku sekarang? Aku berusaha bangkit. "Aduh," desisku menyeringai kesakitan. Aku terbaring lagi. Kupejamkan mataku menahan rasa sakit yang belum juga hilang.
Dari balik dinding bambu yang dianyam ke dengar suara langkah mendekat. Mataku arahkan ke pintu> Seorang perawat melangkah masuk dan mendekat ke arahku. "Jangan bergerak dulu, luka bung baru saya obati," katanya lembut.
"Terima kasih," jawabku.
"Tapi kalau boleh saya tahu, sekarang saya dimana?"
Dia tak langsung menjawab. "Sebentar," katanya terus berlalu meninggalkanku. Kemudian kembali lagi dengan membawa sebutir tablet dan berdiri di sebelah tempatku berbaring.
"Minum dulu obat ini," katanya lembut dengan nada memerintah sambil menyodorkan sebutir tablet.
Aku menerimanya. "Tolong beritahu dulu, di mana aku sekarang?"
"Minum saja dulu, nanti saya ceritakan." Dia membantuku menelan obat yang diberikannya tadi.
Kemudian dia mulai ceritanya. "Pasukan tadi pagi menemukan bung tergeletak di semak-semak di pinggir sungai. Bung sudah sejak semalaman pingsan. Luka bung cukup banyak mengeluarkan darah. Sekarang bung dirawat di rumah sakit Sektor Selatan."
"Saya ucapkan terima kasih atas perawatan......, maksud saya siapa nama nona?" kataku. "Nama saya Hartanto dan teman-teman memanggil saya Tanto."
"Nama saya Kartini," jawabnya lembut.
"Lebih baik bung Tanto istirahat saja dulu." Kartini terus melangkah keluar ruangan. Memang aku merasa lelah, rasa kantuk menggantung di mataku. Aku tertidur sampai kemudian aku dikagetkan suara langkah sepatu yang berlari dan diikuti dengan teriakan. Kartini berlari masuk, di pundaknya memanggul senjata api.
"Ada apa?" tanyaku.
"Mereka datang," jawabnya singkat.
"Mereka siapa?"
"Penjajah biadab itu."
"Pasukan yang lain mana?" tanyaku.
Kartini tidak menjawab pertanyaanku. Ia terus menguak dinding banbu yang sengaja dijadikan jendela untuk mengintai. Gerakannya cepat dan sigap, menunjukkan bahwa ia terlatih baik. "Anak-anak dan perempuan sudah diungsikan ke hutan dan yang lain menghadang di lereng bukit sebelah Barat. Sudah sejak siang tadi mereka bersiap menghadang kedatangan Belanda-Belanda itu," katanya tanpa menoleh kearahku.
"Dari mana mereka tahu kalau Belanda akan datang menyerang, dari mana mereka tahu tampat ini?" tanyaku.
"Satu atau dua hari setelah penyerangan pada setiap markas Belanda di mana pun, pasti akan datang serangan balasan untuk menghancurkan markas Pejuang Republik. Mereka pikir setelah melakukan penyerangan para pejuang pasti akan bersenang-senang. Mereka mendapat informasi tentang tempat ini dari mata-mata, bangsa kita sendiri yang tega mengkhianati bangsa dan saudara-saudaranya."
"Sebagai cara balas dendam mereka," kataku sambil berusaha bangkit. Dia tak menjawabnya, tapi mengisyaratkan ke arahku agar tetap berbaring.
"Bagi setiap pejuang, bukan memikirkan suatu balas dendam atau bukan. Bagi mereka menyambut kedatangan tentara Belanda dengan butir-butir peluru panasadalah suatu yang biasa." Mata Kartini terus memandang keluar.
Dia menyindirku, pikirku. Namun sebagai pejuang sejati, pribadi yang dimiliki pejuang bukanlah figur manusia yang mudah tersinggung atau emosional. Pejuang sejati harus siap menerima kritik, bahkan sindiran dan caci maki. Aku berusaha menentramkan gejolak di dalam dada. Suara senapan mesin dari kejauhan terdengar mulai menyalak bersahutan. Kartini berdiri tegap memandang keluar dengan laras senapannya yang siap memuntahkan butir-butir timah panas.
Semakin lama suara tembakan terdengar semakin dekat. Tiba-tiba sebutir peluru panas menembus dinding bambu tempat kami berlindung, bau asap mesiu mulai menyengat hidung. Kartini cepat menarik picu senjatanya, butir-butir peluru panas menghambur dari ujung laras senapannya. Daaarrrrr..... sebuah ledekan menggelagar dekat rumah tempat kami berlindung dan bongkahan tanah terlempar ke atas atap. Di luar pertempuran semakin seru, suara tembakan semakin gencar. Sesekali terdengar teriakan, "Merdeka!" dari para pejuang yang mulai terdesak.
Tiba-tiba, daaaarrrrr...... Kartini terlempar dari tempat berdiri dan terbujur di dekat dipanku. Ledakan mortir menghantam dinding bangunan rumah. Aku berusaha bangkit, luka dipahaku membuat aku terbaring lagi tak bisa banngkit.
"Aduh...............," ku dengar suaranya meringis kesakitan.
"Kartini!" panggilku. Namun tak ada jawaban. "Kartini" panggilku lagi dengan lebih keras. Tak ada sahutan. Aku memiringkan badan ke arah kanan. Tangannya kulihat menggapai-gapai dipan. Cepat kutangkap tangannya. Ada percikan darah dalam genggamanku.
"Mas Tan.... to, Merdeka." katanya terbata-bata.
"Kartini!" ku goncangkan tangannya tapi tak ada sahutan.
Di luar pertempuran semakin dahsyat. Ledakan bersahutan menghancurkan bangunan di Sektor Selatan. Rumah tempat kami berlindung bergetar, miring dan roboh. Atap ilalang bangunan rumah menimpa aku dan Kartini. Tangan kiriku berusaha melindungi Kartini dari kayu yang jatuh. Aku tak berdaya menahan begitu lama. Rasa perih ditubuhkku semakin menusuk dan terus menyiksa. Aku berdoa semoga pertolongan cepat datang.
Pertempuran di luar mulai mereda. Suara salakan senjata api juga mulai mereda dan hujan mortir sudah tidak ada, berganti dengan teriakan "Merdeka."
"Kartini!" teriak sebuah suara terdengar keras.
"Kartini," "Kartini," teriak yang lain.
"Cepat angkat reruntuhan ini, dia terluka!" teriakku. Sebentar saja atap bangunan yang roboh sudah mulai diangkat. Beberapa pejuang mendekat ke arah kami.
"Musa!" teriakku keras ketika ke lihat teman-temanku ada diantara pejuang yang bermarkas di Sektor Selatan.
"Tanto! Kamu berada di sini" Musa memandangku dan mendekat.
"Ya," sahutku singkat.
"Syukur, ternyata kau selamat. Kami menduga kau tertangkap malam itu." Musa menjabat tanganku.
"Kami ke sini berempat. Aku, Kopral Tigor, Kopral Irsan, dan Pak Mantri Mulyo. Kapten Pandji dan teman-teman kembali ke markas."
"Aku tertembak malam itu," ujarku. Mantri Mulyo memeriksa lukaku, dan yang lain mengangkat tubuh Kartini dari puing bangunan yang runtuh.
"Kami kira kau tertangkap Sersan Tanto," kata Tigor dan Irsan yang ikut mendekat.
"Sekarang kita harus meninggalkan tempat ini," pperintah Kapten Karma, Komandan Pasukan sektor Selatan datang mendekati kami.
"Siap Kapten, kita harus menyingkir!" jawab Sersan Musa mundukung perintah itu. Barisan Pejuang Republik mengungsi, berjalan beriringan ke arah utara. Aku ditandu Kopral Tigor dan Irsan. Setelah satu jam kami berjalan, terdengar dari kejauhan suara mortir dari arah markas Sektor Selatan yang telah kosong. Kapten Karma memerintahkan anak buahnya berhenti di lereng bukit yang berhutan lebat.
Mantri Mulyo kembali memeriksa lukaku. "Bagaimana perawat yang terluka itu," tanyaku pada Mantri Mulyo.
"Lukanya sangat parah dan banyak mengeluarkan darah," jawab Mantri Mulyo.
Aku menghela napas dalam-dalam, ada kekecewaan dalam desah napasku. "Dia yang merawatku. Cintanya pada Kemerdekaan Negeri ini begitu besar. Dia ikut membakar semangatku. Dia perempuan yang lembut tapi pemberani. Dia bukan Kartini biasa, dia Pejuang.
"Dia gugur," kata Sersan Musa yang baru datang dan berjongkok di sebelahku.
"Siapa?" tanyaku tak mengerti.
"Perempuan itu."
Aku terdiam. Mataku basah, air mataku menetes. Badanku terasa semakin lemah. Angin yang bertiup menggoyang pucuk pohon kayu di hutan itu, semua lalu terdiam, gesekan daun yang tertiup angin menyenandungkan llagu duka. Kata-kata perpisahan untuk Kartini hanya bisa kuucapkan dalam hati:
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *