Minggu, 14 Juli 2013

Surau di Pinggir Sungai

Surau di Pinggir Sungai

Parade Cerpen Ramadhan 1443 H



Cerpen: Bangga Surya Nagara

Seorang bocah tujuh tahunberjalan menunduk sambil memegang erat gamis Ibunya. Berjalan menatap tanah yang dipijaknya. Sesekali ia melirik melihat anak-anak yang sibuk bermain di halaman surau. Ibunya membelai kepala bocah itu, seakan paham tentang perasaan anaknya saat itu. Si bocah semakin takut saat masuk ke surau yang lantainya sudah bolong termakan usia. Dari jauh seorang pria berusia sekitar duapuluh lima sampai tigapuluh tahun tersenyum dan segera menyongsong kedatangan ibu dan sibocah yang masih ketakutan.

Assalamu'alaikum Uni..." ujar pria tadi sambil merapatkan tangan ke dadanya.

"Wa'alaikumsalam Ustadz...," balas si Ibu.

"Jadi ini Fajar yang akan mengaji di sini?" ujar Ustadz muda itu sambil tersenyum ke arah Fajar.

"Iya Ustadz, tolong dibantu ya Ustadz. Sudah seringkali pndah tempat mengaji, tapi juga belum juga lancar. Kadang Fajar ini malas mengaji Ustadz." Si Ibu menceritakan kebiasaan buruk anaknya pada Ustadz muda itu.

"Iya Bu... Insya Allah saya bantu," jawabnya.

Mulai sore itu, Fajar resmi menjadi salah satu murid Ustadz Rajab, guru mengaji di surau pinggir sungai, begitu masyarakat menyebut nama surau itu. Posisinya yang persis di pinggir sungai membuat surau itu lebih terkenal sebagai surau pingir sungai. Sudah sejak lima tahun lalu surau itu kembali ramai oleh suara anak-anak mengaji, suara murid-murid yang sedang menghafalkan surat-surat pendek, dan bacaan shalat. Terkadang juga terdengar suara Ustadz Rajab yang menceritakan kisah-kisah kepahlawanan sahabat Nabi. Ba'da Ashar surau pinggir sungai menjadi tempat berumpulnya anak-anak untuk belajar mengaji.

Dulu suarau itu tidak ada yang mengurus dan terbangkalai. Hanya menjadi tempat beristirahat para petani yang baru pulang dari ladang. Tak heran banyak ditemukan ular dan tikus di surau itu. Namun sejak Ustadz Rajab yang lulusan pesantren pulang kampung, surau itu berubah menjadi tempat yang hidup karena suara kecil anak-anak yang belajar kalam Allah. Ustadz Rajab sangat mencintai surau itu seolah surau itu adalah rumah baginya.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Sudah seminggu Fajar belajar di suaru pinggir sungai ta[i belum juga ada perkembangan. Bacaan Al-Qur'annya masih terbata-bata. Hingga suatu sore Ustadz Rajab memanggilnya.

"Fajar, mulai hari ini kamu pulang agak belakangan dari tean-temanmu. Saya sudah bicara dengan orangtuamu. Setiap hari kita belajar tambahan satu jam, untuk memantapkan bacaanmu."

"Iya Ustadz." Fajar mengiyakan dengan hati agak dongkol karena jika ada pelajaran tambahan berarti waktunya untuk bermain sepulang mengaji akan tersita. Fajar mengerutu di dalam hati.

Selepas murid yang lain pulang, Fajar sudah duduk di depan Ustadz Rajab. Di hadapannya sudah ada Al-Qur'an yang tulisannya beasr-besar. Ustadz Rajab memegang rotan kecil yang panjangnya sekitar tiga jengkal orang dewasa. Fajar membayangkan rotan itu mendarat di tangannya.

"Mulai baca," perintah Ustadz Rajab.

Fajar mulai membaca dengan gugup dan terbata-bata. Setiap kesalahan yang dilakukannya akan mendapatkan hadiah sebuah rotan dari Ustadz Rajab, tapi itu membuatnya bertekad untuk tidak melakukan kesalahan. Satu kesalahan, satu pukulan rotan. Kalau dua kesalahan, berarti dua pukulan rotan.

Seminggu berjalan tapi bacaan Fajar belum juga menunjukkan perkembangan. Ustadz Rajab mula kebingungan dengan anak didknya yang satu ini. Mencari metode yang pas untuk mengajarkan Al-Qur'an padanya.

"Fajar, kenapa bacaan Al-Qur'anmu belum juga berubah? Masih terbata-bata. Apa kamu tidak malu dengan temanmu yang lain yang usianya lebih muda? Mereka sudah bisa membaca dengan fasih. Kasihan ibumu yang sangat ingin kamu bisa membaca Al-Qur'an dengan baik dan benar. Harusnya kamu berusaha lebih giat Fajar."

Kata-kata Ustadz Rajab sore itu membuat airmata Fajar jatuh. Mungkin karena takut, mungkin juga karena ia menyadari kesalahannya yang selalu belajar dengan hati dongkol dan tidak ikhlas. Sore itu ia bertekad, dalam satu minggu ke depan ia harus bisa dan lancar membaca Al-Qur'an.

Suara gemericik air sungai di samping surau menjadi saksi bisu keinginan seorang bocah yang ngin bisa mengaji dengan baik. Matahari mlai bergerak turun ke peraduan mengiringi langkah Fajar pulang ke rumanya dengan tekad minggu depan Ustadz Rajab akan tersenyum bangga padanya.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Libur cuti tahun in sudah semakin dekat, tak terasa datangnya bulan ini menghadirkan kerinduan dihati Fajar. Kerinduan untuk datang mengunjungi surau pinggir sungai tempat a belajar mengaji dulu. Surau tempat ia menghafal bacaan shalat setiap sore sebelum pulang. Surau yang mempunyai kenangan mendalam dihatinya. Entah kapan ia bisa mengunjungi surau itu lagi, menengok Ustadz Rajab yang sangat ia kagumi.

"Apa kabar Fajar? sudah kerja ya? emoga sukses dan selalu dalam lindungan-Nya. Dari Ustadz Rajab." Begitu pesan singkat yang diterima Fajar sore itu sepulang ia bekerja. Fajar tersentak, lalu membaca ulang pesan singkat yang masu ke ponselnya. "Apa benar ini Ustadz Rajab guru mengajiku dulu?" batin Fajar. Tanpa menunggu lama Fajar langsung menghubungi si pengirim pesan singkat tadi, Ustadz Rajab.

Lamunannya melayang ke limabelas tahun lalu. Suara gemericik air Sungai Batang Kapur yang mengalir persis di samping surau tempatnya mengaji terbayang jelas. Suara kodok yang bersahutan di sore hari ditingkahi hafalan bacaan shalat anak-anak dengan suara-suara keras memenuhi kepala Fajar. Kerinduannya semakin membuncah ntuk mengunjungi suarau itu. Surau yang tidak hanya mengajarkan mengaji tetapi juga mengajarkan tentang akhlak, dan sopan santun.
br />Cerita-cerita heroik sahabat Nabi yang diceritakan setiap subuh minggu oleh Ustadz Rajab adalah metode pendidikan dengan contoh yang diajarkan Ustadz Rajab kepada murid-muridnya. Dulu Fajar sangat menyukai saat Ustadz Rajab menceritakan kisah Umar bin Khattab, kisah sahabat yang iblis pun tak berani bila bertemu dengannya di jalan. Fajar juga menyukai kisah Ali bin Abi Thalib yang ikhlas menggantikan posisi Rasulullah di tempat tidurnya ketika kaum kafir ingin membunuhnya. Ah, kisah-kisah ini sungguh menjadi pembelajaran secara tidak langsung dari Ustadz Rajab di surau pinggir sungai. Kisah-kisah teladan yang akan selalu membekas di hati Fajar.

"Apa kabar surau itu sekarang?" Fajar bergumam dalam hati.

"Masihkah ramai oleh celoteh anak-anak?"

Obrolan dengan Ustadz Rajab via telepon menyratkan kekecewaan, itu tergambar jelas dari suara Ustadz Rajab yang sangat lemah saat Fajar menanyakan kondisi surau itu sekarang. Apalagi saat Fajar menanyakan bagaimana murd-muridnya sekarang. Ustadz Rajab hanya menawab. "Nanti kalau ada waktu luang, mapirlah ke sni. Sama-sama kita lihat surau kita dulu."

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Kegembiraan terpancar di wajah Fajar siang itu. Permohonan untuk cuti dikabulkan pimpinannya. Berarti tak lama lagi ia bisa pulang kampung. Menemani Ibu, Ayah, dan keluarganya yang lain. Fajar juga tak sabar ingin mengunjungi surau pinggir sungai, menikmati suara gemericik airnya di sore hari sambil memperhatikan Ustadz Rajab mengajari murid-muridnya membaca dan memahami Al-Qur'an. Tak sabar juga juga ia ingin hadir pada Subuh minggu untuk mendengarkan lagi cerita-cerita dari mulut Ustadz Rajab. Rasanya hari-hari ingin segera dipercepat.

Pesawat yang membawa Fajar akhirnya tiba di Bandara Internasional Minangkabau. Segera Fajar memesan tiket bus menuju kampung halamannya, sekitar tiga jam dari Kota Padang. Di sepanjang jalan alam mempersembahkan panoramanya yang indah dengan sawah-sawah hijau membentang di kaki gunung Merapi dan Singgalang. Tak rela Fajar memejamkan matanya, tak ingin ia melewatkan keindahan alam ini.

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Sepi, sunyi, hanya gemerick air yang terdengar. Sesekali terdengar ejaan hurf hijaiyah tapi bukan dari mulut anak-anak kecil. Bukan dari mulut-mulut mungil yang bersemangat membaca Al-Qur'an dengan bersemangat dan suara lantang. Ejaan-ejaan yang terdengar dari orang-orang dewasa yang baru belajar mengaji ketka hendak menikah. Bukan dari anak-anak yang belajar mengaji karena semangat.

Fajar tertegun dengan apa yang dilihatnya. Sekarang suarau ini memang megah, lantainya terbuat dari keramik mengkilat, tiang-tiangnya pun kokoh dan permanen. Sebuah mimbar bagus dari kayu jati berdiri dengan gagahnya, tapi surau ini sepi. Hanya ada lima orang dewasa yang sedang belajar mengaji, terbata, mengeja. Tidak ditemukan lagi anak-anak yang dengan suara lantang menyebutkan huruf hijaiyah seperti dulu.

"Inilah surau kita dulu Fajar," ujar Ustadz Rajab.

Dulu Sungai Batang Kapur menjadi saksi bisu anak-anak yang bertekad kuat belajar mengaji dengan sungguh-sungguh. Sekarang, sungai itu tetap bisu dengan sepi yang melanda surau yang berdiri gagah di pinggirnya. Bangunan gagah namun sepi (*)

Citra Budaya



Sumatera Ekspres, Minggu, 14 Juli 2013


Terhipnotis Cinta yang Ditolak

Terhipnotis Cinta yang DitolakOleh: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mengunjungi sahabatku Lestari yang telah belasan tahun tak bertemu. Keinginan itu tak bisa kutahan. Rumah Lestari berada di pinggiran Kota Jakarta, sudah masuk wilayah Kodya Bekasi. Melihat kedatanganku ia menyambut gembira. Begitupun keluarganya, membuatku terkesan. Mereka tetap akrab dan ramah, meski aku tak bawa buah tangan

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


"Sudah lama tak ketemu. Rasanya kangen sekali," ucap mereka sembari menyalamiku.

"Aduh, maaf ya, bu, saya nggak bawa apa-apa. Tadi niatnya mau mampir ke pasar. Eh angkotnya nerus saja. Jadi lupa deh," jelasku sedikit basa-basi. "Lagian si Neng nggak mau main ke sini. Sombong, deh," goda ibu sahabatku.

"Jangan didoain sombong dong bu, entar saya sombong beneran," sahutku diiringi derai tawa. Tapi mataku tak dapat ditipu. Aku melihat ada garis kesedihan terpancar di wajah polos mereka. Wajah yang berubah layu, seakan menyimpan suatu duka. Aku mencoba mencari tahu akar kesedihan mereka.

"Kenapa anak-anak tdak diajak neng?" Tanya ibunya. aku tersenyum lalu kuhirup teh di atas meja. "Maaf bu, saya haus sekali."

"Neng Lastri sekarang anaknya berapa?" tanya si ibu. "Dua bu. Yang pertama perempuan dan yang edua laki-laki," jawabku singkat. "Syukurlah sudah sepasang."

"Maaf ya, bu. Buan maksud saya ingin tahu. Kalau saya lihat dari raut waja ibu sekeluarga sepertinya sedang ada masalah. Barangkali saja saya bisa bantu?" ucapku. Lestari, sahabatku, beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke kamar. Aku merasa tidak enak. Sedangkan ibunya kulihat meremas-remas ujung kebayanya. Aku menarik napas panjang. Ada rasa sesal atas pertanyaanku yang kulontarkan tadi.

"Maaf bu. Bukan maksud............"

"Nggak apa-apa kok neng. Neng sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Selama ini kepedihan yang ibu rasakan seakan-akan sudah mau meledak. Saking nggak kuatnya melihat penderitaan si Lestari!"

"Penderitaan Lestari? Apa maksud ibu?" tanyaku. Aku emain tidak mengerti. Kupegang tangan kurus itu. Kulihat bibirnya gemetar. Kugenggam erat tangannya. Kutepuk-tepuk telapanya dengan lembut.

"Sudahlah, bu, lupakan pertanyaan saya tadi. Minum.....?" Kusodorkan segelas air putih. Setelah minum, ia kelihatan ebih tenang. Aku berusaha meredam keingintahuanku. Kulangkahkan kaki ke kandang ayam yang isinya telah kosong.

"Ayamnya telah lama dijual Bapak. Habis mati melulu," sela Lestari yang tba-tba sudah berada di sampingku. Di tangannya tergenggam sesuatu. "Nggh, sayang ya! Las........., sebenarnya aku bercerita padamu, tapi aku malu. Aku takut kamu tidak mempercayainya." Kupandangi wajah Lestari. Begitu beratkah bebannya sampai-sampai ia kikuk untuk menceritakan padaku?

"Kalau begitu, nggak usah saja! Paling-paling aku cuma mendengarkan saja kan? Lalu kamu pikir setelah tahu aku akan tertawa ngakak. Begitu kan......?" Gantian Lestari yang menatap ke arahku, lalu berpaling seakan ia berusaha bicara tapi tak kuasa. "Apa itu?" Aku menunjuk sesuatu yang digenggamnya. Lestari membuka telapak tangannya.

"Seperti Isim ya? Dari mana? Punya kamu?" Ia mengangguk. Kuraih Isim tersebut. Kubuka isinya. Sederetan tulisan Arab yang tak kumengerti maknanya. "Aku diberi ini oleh Mas Joko."

"Mas Joko! Siapa dia?" tanyaku.

"Suamiku." Aku terperangah.

"Jadi kamu telah menikah? Kapan?"

Lestari menarik tanganku. Dibimbingnya aku memasuki rumahnya. Setiba di dalam kamarnya, kudapati photo seorang laki-laki tampan berpakaian ABRI.

"Oh...... ini Mas Joko!" Lestari mengangguk. Kuturunkan bingkai photo itu. Kuusap debu yang menutupi sebagian pinggirnya.

"Aku malas membersihkannya. Malah kadang ingin kubuang sajja...."

"Kenapa?" tanyaku lagi. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur.

"Aku merasa sudah tak berarti lagi baginya," ucapnya lirih.

"Kalian bercerai?" Ia menggeleng. Kulihat tatapan matanya kosong. Lalu menyusul setetes air mata jatuh di pipinya. Kuambil tissue dari saku celana dan kuberikan padanya. Ia menghapus air matanya. Aku kembalikan photo pada tempatnya. Aku duduk di samping Lestari. "Sebenarnya ada apa? Aku jadi penasaran!"

"Karena kamu temanku, akan kuceritakan apa yang telah menimpaku."

"Tiga tahun lalu aku bertemu Mas Joko. Waktu ia sedang mengikuti program ABRI Masuk Desa. Desaku mendapat giliran. Mereka memperbaiki jalan dengan sirtu (pasir dan batu). Dari ujung desa hingga ke desa lainnya. Waktu itu kelompokku dapat giliran menjamu mereka. Akulah yang disuruh Pak Kades mengantarkan makanan. Melihat kedatanganku, mereka yang tengah bekerja seakan tersentak, berhenti. Tanpa komando mereka memandangiku. Aku malu. Aku grogi dipandangi belasan pasang mata lelaki."

"Habis kamu cantik sih. Kalau aku jadi laki-laki, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama," godaku. Ia tersipu, lalu melanjutkan ceritanya. "Melihat tatapan mereka, aku buru-buru meletakkan makanan lalu cepat balik. Akibat buru-buru ujung sandalku terjepit sebongkah batu. Hampir aku jatuh kalau tanganku tidak diraih seseorang. Tanpa melihat yang menolongku, aku terus saja berlari pulang.

Setelah itu setiap giliran kelompokku, aku menolak ikut mengantarkan makanan. Ketidakhadiranku ternyata membuat seseorang mendatangiku. Dialah Mas Joko, yang berpangkat Sersan Satu. Awalnya aku terkejut, tapi melihat sikapnya yang santun dan harmonis, aku jadi menyukainya. Keluargaku juga ikut akrab. Aku tak kuasa menolak cintanya. Bahkan komandannya sendiri datang ke orang tuaku untuk melamarkan. Melihat keberuntunganku, banyak temanku jadi iri dan sirik.

Sebelum aku resmi jadi istrinya, dibawanya aku ke Jakarta untuk menemui pamannya yang mengasuhnya sejak kecil. Orang tua Mas Joko telah lama meninggal. Ia anak tunggal.

Cintaku semakin tumbuh. Meski punya banyak kesempatan menjamah tubuhku, apalagi bakal jadi istri, tapi sikap Mas Joko tetap sopan. Katanya nanti saat malam pertama. Ia hanya mengecup keningku.

Lestari terdiam. Nada bicaranya yang tadi bersemangat mengendor dan raut wajahnya muram. "Ada apa Les, kok berhenti.........?" Dipandanginya wajahku.

"Kamu kenal kan sama si Faruk?" tanyanya. "Faruk! Faruk yang mana?" Aku berusaha mengorek isi kepalaku untuk mengingat wajah Faruk.

"Faruk yang dulu mengambil sandalmu yang hanyut di sungai? tebakku. Lestari mengangguk.

"Lalu kenapa dengan dia? Apa hubunganya denganmu? tanyaku. Ia melanjutkan ceritanya.

"Faruk, ternyata diam-diam mencintaiku. Mendengar aku dilamar orang, ia mengamuk. Dengan membawa parang ditebasnya seluruh pohon pepaya dan pisang milik orang tuanya. Dengan berteria-teriak ia acungkan parangnya, menantang siapapun yang mencegah amuknya. Penduduk ketakutan. Berita Faruk mengamuk sambil menyebut-nyebut namaku ceoat tersebar. Aku dan keluargaku jadi ketakutan, apalagi setelah tahu Faruk sedang menuju rumahku.

Mas Joko berusaha menenangku. Pak Kades sendiri tak kuasa mencegah. Kami semua tahu Faruk, walau masih muda, ia suka mempelari ilmu hitam. Ia sering tidur di kuburan atau duduk-duduk di bawah pohon waru di tepi kali. Padahal waru itu terkenal angker. Kalau diperingatkan pasti marah. Bahkan tak segan-segan mengancam dan melukai orang yang menegurnya. Ia merasa jadi jagoan. Apapun yang diinginkan harus dimiliki.

Setiba di rumah ia berteriak-teriak memanggilku dan menantang duel dengan Mas Joko, tapi tak diladeni. Merasa diremehkan ia nekad menerobos masuk rumahku. Warga kampung yang hanya bisa berkerumun. Mereka takut jadi korban keganasan Faruk yang terus mengayun-ayunkan goloknya. Teman Mas Joko yang berusaha melerai banyak yang kena sabetan. Mereka mundur setelah jatuh korban.

Melihat Faruk semakin brutal, Mas Joko terpaksa menembaknya untuk melumpuhkannya. Hebatnya semua peluru mental setelah mengenai tubuhnya. Tahu dirinya kebal, ia tertawa terbahak-bahak, mengejek Mas Joko agar terus menembaknya. Tiba-tiba sebuah peluru mengenai tepat di mulutnya yang tertawa lebar. Darah segar muncrat, matanya mendelik, parangnya terlempar dan darah segar membasahi tubuhnya. Sebelum mati ia sempat menyumpahi diriku bahwa suatu hari ia akan merenggut kegadisanku dan membuatku menderita.

Setelah menyumpahi sambil tangannya menunjuk-nunjuk diriku, roh Faruk terlepas dengan mengeluarkan suara mirip babi disembelih. Tak berselang lama tubuhnya seperti hangus terbakar. Aku ketakutan. Mas Joko merengkuh tubuhku dan dipeluknya.

Setelah kejadian itu pikiranku kacau. Kami sekeluarga berusaha tidak tidur. Berjaga kalau sumpah Faruk benar-benar terjadi. Teman Mas Joko juga begadang di rumah. Keluarga Faruk tidak dendam pada kami, karena sadar anaknya memang biang kerok. Bikin susah semua orang termasuk orang tuanya sendiri.

Kecemasan keluargaku beralasan. Sumpah itu bisa benar-benar terjadi.

"Maksudmu, dia benar-benar memperawanimu?" Mendengar pertanyaanku, Lestari terisak.

Setelah Faruk mati, Mas Joko menyerahkan diri pada komandannya. Tapi ia minta syarat sebelum disdangkan diijinkan dulu menikahku. Keinginannya dipenuhi. Seminggu setelah kasusnya selesai Mas Joko menemuiku. Ia siap menerimaku apa adanya. Kebesaran jiwanya membuatku dapat bertahan hingga sekarang.

Seumur hidup aku tak dapat melupakannya. Aku menjadi malas mengurus diriku sendiri. Melihat perubahan diriku, kedua orang tuaku ikut tersiksa. Kalau bukan karena Mas Joko, sudah lama aku ingin mati. Aku terharu melepas kepergiannya.

Lestari mengusap air mata. Ia pandangi aku yang ganti ketakutan. Sebenarnya aku hanya terkejut di zaman teknologi canggih masih ada makhluk halus memperkosa. Mudah-mudahan Allah SWT menjaga setiap langkahku dan memeliharaku dari fitnah dunia.

"Las.... Lastri!" Aku terkejut ketika Lestari menepuk lenganku. Jantungku terasa mau copot. Aku seperti terhipnotis ceritanya.

"Ya Alla, bikin jantung orang mau lepas saja!"

"Ngelamun ya?" tanyanya.

"Ceritamu bikin aku deg-degan." Tak lama kemudian terdengar suara adzan Ashar dari surau. "Alhamdulillah, masih ketemu Ashar," ucapku. Aku beranjak dari dudukku. Pinggangku terasa sakit bersandar di antara bilik rumah yang berplester semen.

"Les, pohon waru yang mana sih?" tanyaku penasaran ketika kami sedang mengambil wudhu.

"Tadi kamu lewat mana? tanyanya.

"Lewat situ," sahutku sembari menunjuk ke depan. "Pokoknya ada waru dekat kali itu. Ya..... itu tempatnya," jelasnya.

"Ah! Jadi yang kulewati tadi tadi dong.....!" Lestari tak menyahut. Aku melotot. Selepas shalat Ashar aku berpamitan.

"Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini saja. Hati-hati ya!" Aku mengangguk. Kurangkul Lestari.

"Sabar ya, semua merupakan kehendak Allah SWT. Aku akan selalu berdoa untukmu. (*)

Sumber: Misteri Edisi 561 Tahun 2013