Minggu, 30 Juni 2013

Ayodya

Ayodya Cerpen: Dadang Ari Murtono

Percayakah Anda bila kuceritakan bahwa beribu-ribu tahun yang lampau, Mojokerto, kota yang sekarang kutempati ini bernama Ayodya? Jauh sebelum Raden Wijaya membuka hutan Tarik dan membangun Kerajaan Majapahit di sini. Dan itu berarti, jauh pula sebelum candi-candi dari batu bata merah seperti Bajang Ratu atau Wringin Lawang dibangun dan Negarakertagama ditulis dan banyak digunakan oleh ahli sejarah untuk menguak mempelajari kejayaan kerajaan yang konon sar di Nusantara itu. Ribuan tahun yang cukup untuk menenggelamkan sejarah atau mengubah yang kenyataan menjadi dongeng atau legenda.

Barangkali, mendengar nama kota itu, ingatan kita akan langsung terbawa pada cerita Ramayana yang ditulis Walmiki. Sebuah negeri darimana pahlawan besar dari epik itu, Rama Wijaya, berasal dan kelak di ujung cerita itu, menjadi rajanya. Tapi percayalah Ayodya di epik Ramayana tidaklah sama dengan dengan Ayodya dalam cerita yang hendak kukisahkan ini. Ayodya di epik ini terletak di tepi Sungai Brantas. Dan tidak ada Rama dalam ceritaku ini. Tidak pula ada Dasaratha, atau Laksmana, atau Sinta.

Aku tidak tahu kenapa Walmiki menamai negeri dalam ceritanya Ayodya. Ayodya dalam ceritaku ini memiliki arti kota perawan. Entah dalam cerita Walmiki. Namun aku bisa mengisahkan kepada Anda kenapa kota purba dalam ceritaku ini bernama Ayodya, kota perawan.

Aku mendengar riwayat ini dari seorang tua di daerah Trowulan, sebuah kecamatan di Mojokerto di mana banyak orang meyakini bahwa di kecamatan inilah Keraton Majapahit terpendam (beberapa orang juga teramat yakin bahwa keraton itu muksa setelah perang Paregrek usai), yang sdah tidak ingat lagi berapa usianya namun ngotot mengatakan bahwa dia sudah lahir ketika Sunan Ampel menginjakkan kaki pertama kali di Surabaya (bisakah Anda bayangkan berapa usianya? Bahkan, perihal sumber cerita ini saja sudah mragukan).

Di kota ini, tinggal seorang perempuan yang pandai meracik ramuan dan banyak membaca kitab-kitab mantra. Orang-orang menyebutnya dukun. Bertahun-tahun ia mempelajari segala ramuan dan mantra. Itu semua dikarenakan oleh seorang lelaki. Lelaki yang dicintainya namun menolaknya dengan cara yang tidak baik dan membuatnya merasa malu.

Lelaki itu berkata bahwa hidung si perempuan seperti hidung babi dan kulitnya kasar seperti kulit buaya. Dan si lelaki itu, yang juga seorang pembual, menceritakan di warung-warung, di pasar, di lapangan, di segala tempat keramaian bahwa ia telah menolak si perempuan karena rupa perempuan itu tidak seperti manusia.

"Bagaimana seseorang setampan aku bisa jatuh cinta dengan perempuan semacam itu?" si lelaki berkata. Dan Anda tak perlu heran bila pada waktu itu perempuan tidak merasa sungkan mengucapan cinta lebih dulu kepada laki-laki. Itu bukan hal yang tabu dn lazim dilakukan pada masa itu (dan entah karena kisah ini atau tdak, para perempuan di Mojokerto sekarang cenderung tidak mau mengungkapkan cintanya lebih dulu kpada lelaki dan memilih untuk menunggu. Barangkali ada sesuatu yang berada di bawah alam sadar mereka yang berasal dari cerita yang sudah diragukan dan banyak dilupakan ini yang menyebabkan mereka berlaku seperti itu. Sekali lagi, entahlah).

Si perempuan merasa begitu dilecehkan. Ia malu keluar rumah. Dan cinta di kedalaman dadanya, berubah menjadi dendam yang membara. Maka ia belajar mantra dan ramuan agar suatu hari bisa membalas sakit hatinya.

Tapi celakanya, ia tidak hanya ingin membalas dendam kepada lelaki yang mempermalukannya tersebut. Ia ingin membalas dendam kepada semua lelaki di kota tersebut. Ia berpikir bahwa semua lelaki memang brengsek dan suka melecehkan perempuan. Karena itulah, ketka ia telah menguasai sihir-sihir kegelapan, ia mengutuk semua lelaki di kota itu menjadi babi dan buaya.

Inilah yang kemudian keluar dari mulut para perempuan itu; "kalau tidak ada lagi lelaki di kota ini, bagaimana kami bsa hamil dan meneruskan keturunan?"

Si perempuan mengeluarkan sebotol ramuan. Ia tuangkan ramuan itu di sebuah sendang dan berkata; "Siapa pun yang minum air di sendang ini akan hamil. Anaknya sudah pasti berjenis kelamin perempuan sebab semua lelaki brengsek. Aku tdak ingin lagi ada kebrengsekan di kota ini. Aku tidak ingin lagi ada perempuan yang dipermalukan di kota ini."

Dan nama kota itu kemudian berganti menjadi Ayodya, kota perawan, karena penghuninya para perempuan. Dan setelah bertahun-tahun, setelah semua perempuan yang sebelumnya pernah bersuami meninggal, kota itu memang hanya dihuni para perempuan.

Veri yang lain yang lebih kupercaya mengatakan bahwa kota itu adalah kota para petarung. Namun para dewa berkehendak lain. Para dewa mengirim wabah demam yang mematikan seluruh lelaki dari Ayodya.

Bukan hanya para lelaki Ayodya yang terlibat dalam perjalanan itu yang ditimpa wabah, melainkan juga para lelaki yang masih tinggal di Ayodya: lelaki-lelaki jompo dan anak-anak kecil. Para perempuan di Ayodya menangis mengetahui hal itu. Mereka meratap mengharap belas kasihan para dewa. Meratap dengan sepilu-pilunya ratap.

Tak tega mendengar ratapan mereka, para dewa turn ke Ayodya dan berkata, "kalian akan tetap berketurunan. Setiap perempuan yang membatin ingin memiliki anak, maka ia akan mendapatkannya. Namun karena dalam darah para lelaki kalian mengalir darah para petarung, maka setiap anak yang lahir di kota ini akan berjenis kelamin perempuan."

Konon, arwah para lelaki Ayodya menitis pada sekelompok prajurit Majapahit. Dan si penguasa Ayodya menjelma menjadi salah satu penguasa Majapahit. Para arwah itu merasa tidak tenang sebelum apa yang mereka cita-citakan tercapai: menguasai dunia. Sekali pun pada akhirnya kita tahu dari buku-buku sejarah bahwa Majapahit pun tidak sanggup menguasai dunia. Mereka hanya mampu menguasai apa yang sekarang kita sebut Nusantara. Limapuluh tahun lamanya setelah kejadian tersebut kota itu masih bisa bertahan. Hanya ada perempuan di sana.

Yang jelas, tidak ada sisa-sisa dari kota tersebut yang tertinggal. Dan hal itu membuat siapa saja sulit mempercayai bahwa kota itu pernah benar-benar ada di Mojokerto. Dan hal itu membuat siapa saja yang mendengar nama Ayodya akan berkata: "Bukankah itu nama negeri asal Rama Wijaya dalam cerita Ramayana yang ditulis Walmiki. (*)

Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 30 Juni 2013