Sabtu, 28 Februari 2015

Cisadane Ketika Dua Naga Melepas Rindu



Akibat lebar tubuhnya sama dengan Sungai Cisadane, maka, jika ia tak kunjung pulang, air sungai pun akan meluap dan menibulkan banjir besar. . . . .

______________________________

Warta berkisah, ribuan tahun lalu, hidup dua naga yang merupakan titisan dewa anata (ular) dan dipecaya sebagai penunggu Sungai Cisadane. Sebagaimana layaknya keluarga, daam berbagai hal, terutama kesaktian, satu sama lain seolah tak ada yang mau mengalah. Sang adik yang bernama Gede, diharapkan sebagai penguasa Gunung Gede – sementara, sang kakak yang bernama Naga adalah calon penguasa laut utara Jawa Barat, tepatnya di kawasan Teluk Naga.

Keduanya akan mendapat tugas khusus menjaga aliran sepanjang Sungai Cisadane. Gede mengatur sumber mata air, sedang Naga sebagai pengatur pertemuan air di muara – dan mencegah air lautagar tidak masuk ke daratan. Sebelum melaksanakan tugasnya, dewa anata keduanya untuk bertapadi kaki Gunung Gede selama 100 tahun.

Ketika pertapaan berjalan 100 tahun, keduanya ingin keluar dari goa untuk sekedar berjemur dan menikmati hangatnya sinar matahari. Dan sebelum kembali masuk goa, Naga ingin mengetahui kesaktian yang telah dimiliki adiknya.

“Adik tunjukkan kesaktianmu,” pinta sang kakak.

Alam seolah ingin menjadi saksi. Konon, tiba-tiba, langit cerah di atas Gunung Gede berubah menjadi gelap gulita disertai dengan petir yang menyambar tiada henti.

Betapa tidak, magma di dalam perut Gunung Gede langsung meningkat aktivitasnya ketika sang adik baru menarik napas.

“Hentikan. . . hentikan. . . ,” demikian pinta sang kakak. Ia tak dapat membayangkan, berapa banyak jatuhnya korban akibat luncuran lahar panas yang keluar dari kepundan Gunung Gede bakal membumihanguskan segala apa yang diterjangnya.

Kini, giliran sang kakak yang memperlhatkan kesaktiannya. Dan tak berapa waktu kemudian, terdengar teriakan Gede yang memperingatkan kakaknya.”Hentikan. . . hentikan. . . .”

Sang adik melihat betapa kehancuran di sepanjang Sungai Cisadane bakal terjadi karena sumber mata air di kaki Gunung Gede, tiba-tiba mengeluarkan air beribu kali lipat dari biasanya.

Sebagaimana sang kakak, ia juga tak sampai hati jika harus melihat begitu banyak padi yang menguning bakal membusuk akibat terjangan banjir, bellum lagi ternak, rumah maupun penduduk yang tinggal di sekitar aliran sungai bakal hanyut. Setelah menyadari keunggulan masing-masing, sejak itu, keduanya berjanji tidak akan menggunakan ilmunya dengan secara sembarangan.

Waktu terus berlalu, tanpa terasa, seribu tahun sudah Naga dan Gede menjalankan tapa bratanya dengan tekun dan khusyuk. Boleh dikata, dengan menguasai ilmu yang mumpuni, maka, mereka memang pantas menjaga daerah yang dipercayakan kepadanya. Walau begitu, kadang Gede merasa iri kepada sang kakak, yang ia yakini lebih mumpuni dari dirinya.

Keesokan harinya, saat keduanya keluar dari goa masing-masing untuk segera menjalankan dharma hidup sebagaimana yang dititahkan dewata, sang adik pun bertanya. “Kenapa hari ini kakak tampak murung?”

“Sebenarnya hari ini sudah saatnya aku pergi, tetapi, ada sesuatu yang harus aku lakukan,” jawab sang kakak tetap dengan wajah murung.

“Pergi kemana? Aku ikut. . . ,”demikian potong si adik cepat.

“Tidak, engkau harus tetap di sini,” ujar sang kakak sambil mengingatkan pesan dewa anata bahwa sang adik calon penunggu Gunung Gede, sedang dirinya harus berangkat ke muara Cisanade.

“Kakak aku tak pernah bisa berjauhan darimu,” rengek si adik yang selama ini banyak dibimbing dan diarahkan oleh kakaknya.

Naga pun kembali mengingatkan dan meyakinkan bahwa keduanya harus menunaikan tugas dewata untuk menjaga sungai dan lautan.

Cukup lama Naga mengingatkan Gede, adiknya, bahwa mereka harus berpisah. Hingga akhirnya, dengan perasaan berat, Naga pun berangkat meninggalkan adiknya. Sementara, sambil memeluk Gunung Gede, si adik pun menangis beberapa hari.

Menurut tutur yang berkembang di kalangan orang-orang tua, saat Naga hendak meninggalkan Gunung Gede, untuk mempermudah dan mempercepat tubuhnya yang selebar sungai itu meluncur ke arah laut, maka ia terlebih dahulu meluapkan Sungai Cisadane. Konon, saat itu, merupakan banjir untuk yang pertama kalinya.

Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, Gede merasa rindu yang teramat sangat pada kakaknya. Semula ia mencoba menahannya. Tetapi apa daya, semakin ditahan, wajah sang kakak makin tampak jelas menari-nari dipelupuk matanya. Akhirnya, karena tak kuasa menahannya, ia pun memohon izin kepada dewa Anata untuk sekedar bisa bertemu dengan sang kakak walau hanya sesaat.

“Oh... dewa, aku sangat merindukan kakakku,” teriaknya sambil tak tahu apa yang harus dilakukan.

Ketika perasaan ini dijeritkan, hujan lebat pun turun selama beberapa hari mengguyur Gunung Gede, bahkan, di beberapa tempat, tebing pun longsor. . . .

Melihat bakal terjadi kerusakan di mayapada, dewa Anata turun dan berkata. “Pergilah, namun, perjalanan harus dilakukan pada malam hari, dan sudah kembali ke tempat ketika ayam mulai berkokok.”

Gede sontak setuju, ketika akan berangkat, mendadak hatinya kembali resah. Maklum, kemampuan untuk memperbesar dan memperkecil mata air hanya dimiliki sang kakak. Tapi Gede nekat, ia pun berangkat dengan menyusuri Sungai Cisadane.

“Kakak aku datang. . . ,” demikian kata Gede dengan gembira.

“Adik. . . ,” kata Naga juga dengan penuh kasih dan kerinduan.

Keduanya langsung saling melepaskan kerinduan di sebuah teluk di pantai itu. Tiba-tiba seseorang yang memiliki “daya luwih”, tanpa sengaja memergoki keduanya. Dan kejadian inilah yang menjadi cikal bakal daerah yang akhirnya disebut dengan Teluk Naga, yang sekarang termasuk dalam Kabupaten Tangerang – yakni suatu teluk yang mempertemukan dua ekor naga. Naga dan Gede.

Belum lagi hilang kerinduan keduanya, suara ayam jantan yang berkokok menandakan pagi tiba pun terdengar. Tetapi, Gede seolah tak mau mendengarnya. Ia enggan berpisah dengan kakaknya. Alih-alih sang kakak, dewata yang mengingatkannya pun tak digubris.

“Gede . . . kembalilah, waktumu sudah habis,” demikian dewata mengingatkan.

“Tidak . . . aku masih rindu,” jerit Gede.

“Kembali....!” perintah dewata semakin keras.

“Tidak. . . ,” jawab Gede tak kalah sengit.

Perdebatan yang beberapa saat itu, ternyata berakibat sangat buruk. Ketika itu, akibat Gede tak jua mau kembali, maka, sepanjang aliran Sungai Cisadane terkena banjir yang maha heba. Sawah, ternak, harta, bahkan nyawa hilang akibat banjir bandang. Betapa tidak, Gede tak menyadari bandannya yang panjang dan lebarnya sama dengan sungai itu, menutupi jalan air dari hulu menuju ke muara.

Menurut keyakinan masyarakat, banjir terhebat terjadi di suatu tempat yang belakangan termasuk dalam wilayah Tangerang Selatan. Hal itu terjadi karena ukuran perut Gede, tepat berada di tikungan sungai yang di bilangan Desa Lengkong, Tangerang Selatan. Namun, banyak yang meyakini, asal-usul Desa Lengkong bermula dari tikungan sungai tersebut yang tersumbat oleh bagian perut Gede yang paling besar.

Sehingga jangan heran, sampai dengan tulisan ini diturunkan, kebanyakan penduduk meyakini menyakini bahwa daerah Serpong. Kedemangan, Lengkong, dan Kranggan adalah bagian dari Sungai Cisadane, ketimbang daeraah yang lainnya. Dari berbagai sumber terpilih (*)

Perjanjian Gaib dengan Siluman Gunung Arjuna

Perjanjian Gaib dengan Siluman Gunung Arjuna

Orang yang memuja siluman Naga Pertala akan diikat perjanjian gaib, ia harus merelakan tumbal setiap tahunnya. Korban siluman Naga Pertala penguasa Gunung Arjuna itu tubuhnya akan kering dan menghitam.

_____________________________________________

Di sebelah utara Kota Batu, Malang, terdapat sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Arjuna. Di saat Sang Bagakara terbangun, ia seakan menopang dagunya di puncak Gunung Arjuna yang tampak gagah menjulang tinggi dengan megahnya. Sesekali puncak gunung itu mengeluarkan asap.



Dahulu saking tingginya, puncak Gunung Arjuna ini diibaratkan menyentuh langit. Namun sekarang ketinggiannya hanya mencapai 3.339 meter di atas permukaan laut. Konon salah satu puncak Gunung Arjuna ini dipotong oleh Kiai Semar dan Kiai Togog, dan dilempar ke sebelah tenggara Kota Batu, yang kemudian diberi nama Gunung Wukir.

Ketika Misteri ke Imogiri, kebetulan di tempat itu ada priyayi luhur, Panembahan Agung Tejowulan. Tak lupa menghaturkan sungkem-bhakti, sambil menikmati wedang uwuh. Panembahan Agung Tejowulan bercerita, bahwa disamping makam Sultan Agung Hanyokrokusumo itu ada batu yang agak dhekok (cekung) karena saking seringnya dicium para penziarah. Disela batu cekung lantai makam itu, tanahnya sangat harum. Konon, tanah harum itulah yang dilempar Sunan Kalijogo dari Tanah Suci Arab.

Beberapa sahabat yang pernah menunaikan Ibadah Haji bilang, bau harum tanah makam Sultan Agung aromanya sama dengan bau harum batu Hajar Aswat. Entah karena kebetulan, atau legenda tentang Sultan Agung yang melempar segenggam tanah dari Tanah Suci, itu benar-benar terjadi, yang mungkin ada makna yang “tersirat” maupun yang “tersurat”.

“Yang harumnya hampir sama dengan tanah makan Sultan Agung Hanyokrokusumo di Tanah Jawa, ada di puncak Gunung Arjuno itu, bila dibakar seperti harum kemenyan wangi,” jelas Panembahan Agung Tejowulan kala di Imogiri.

“Tak mudah untuk menemukan Tanah Arum di bukit Arjuna itu, orang-orang yang berhati bersih akan dituntun untuk menemukannya,” lanjut Panembahan.

Beliau juga bahkan membawa contoh Tanah Arum dari puncak Gunung Arjuno, berwarna putih, dan aromanya memang harum, benar seperti apa yang dikatakan Panembahan Agung Tejowulan. Merasa tertarik dengan cerita beliau, Misteri mencoba menelusuri legenda dan mitos yang hidup di Gunung Arjuna tersebut.

Konon, penguasa gaib Gunung Arjuna ini berupa siluman ular raksasa mengenakan mahkota (jamang) dan dikepalanya ada tanduk sepasang yang cukup panjang. Meski Gunung Arjuna merupakan introspeksi diri bagi orng-orang yang sudah tinggi ilmunya, jika lolos ujian dia akan menjadi “Ratu Lelananging jagad” (baca: pemimpin yang ambeg adil paramarta), namun bagi mereka yang gagal dengan godaan yang dilakukan penguasa gaib Gunung Arjuna ini, ia akan menjadi budak iblis selamanya.

Orang yang datang ke Gunung Arjuna jika hatinya tidak bersih, namun dia memiliki kesaktian atau kewaskitaan batin yang tinggi, dirinya akan dijumpai oleh siluman naga pertala (naga bumi) yang dijanjikan kekayaan dan kekuasaan yang luar biasa. Benar apa kata sahabat, bahwa mencari pesugihan itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, yang artinya tidak setiap orang yang datang ppasti berhasil berkolaborasi dengan setan. Setan itu sangat jeli dan licik. Dia tidak mau rugi, memberikan harta benda dan kuasa yang banyak, kalau orang yang mencari itu juga tidak memiliki prospek. Dijamin pasti gagal.

Orang yang kemudian memuja siluman naga pertala ini akan diikat dengan perjanjian gaib, biasanya dia harus merelakaan tumbal setiap tahunnya. Bagi mereka tak akan sulit mencari tumbal, cukup karyawan atau anak buahnya dijadikan korban gaib. Umumnya korban siluman naga pertala penguasa Gunung Arjuna ini tubuhnya akan kering dan menghitam. Sehabis setor tumbal, para penyupang ini usahanya akan melejit dan atau yang terjun ke dunia politik posisinya akan naik dengan luar biasa.

Namun jangan silap, orang yang mengadakan perjanjian gaib dengan siluman Gunung Arjuna ini biasanya juga akan menerima nasib yang sama dengan orang-orang yang ditumballkannya. Para tumbal itu akan bebas, jika orang yang menumbalkan itu sudah mati.

Legenda Gunung Arjuna dikaitkan dengan perjalanan Radyan Dananjaya, ia salah satu dari Ksatria Pandawa, putra Prabu Pandu Dewanata dan ibunya Ratu Kunti Talibrata. Wajahhnya yang sangat rupawan dan kegemarannya bertapa, yang waktu mudanya sangat ingin jadi Lelananging Jagad.

Suatu hari dia bertapa di sebuah gunung, tubuh Radyan Dananjaya tiba-tiba bersinar dan mengeluarkan kekuatan yang dahsyat. Hasil tapanya ini mengakibatkan gunung tempat bersemedinya itu menjulang tinggi hingga dikisahhkan menyentuh langit. Hal ini membuat khayangan jonggring salaka geger, dan arcapada gema bumi, akibat ulah tapa bratanya Radyan Dananjaya.

Perjanjian Gaib dengan Siluman Gunung Arjuna Sebagai sesepuh para dewa, Rsi Kanekaputra diutus sang hyang jagad nata untuk mencari sumber masalah. Dan ditemukan di sebuah puncak gunung ada Radyan Dananjaya, ia di-“gugah” Rsi Kanekaputra agar “wedar” tapa bratanya, tapi tak digubris. Bahkanpara bidadari diutus untuk menggoda Radyan Dananjaya, agar bata tapa bratanya, dengan godaan paling erotispun juga gagal total.

Sampai-sampai Rsi Kanekaputra berkata, “Pantas, kamu diberi nama Dananjaya, yang artinya tak terkalahkan, dengan godaan apapun. Hanya satu yang bisa membatalkan tapa bratamu, yaitu Kakang Ismaya dan Kakang Tejamaya.”

Dihadapan Bhatara Ismaya dan Bhatara Tejamaya, Rsi Kanekaputra menceritakan apa yang terjadi. “Hanya Kakang berdua yang bisa menggugah tapa bratanya momongan-mu. Meski sudah digempur senjata khayangan oleh Senopati Jongring Saloka dan juga diray para bidadari tercantik, dia tetap tak bergeming. Jika tapa bratanya diteruskan, maka arcapeda akanhancur dan khayangan akan binasa. Tolonglah Kakang,” pinta Rsi Konekaputra atau sering disebut Bathara Narada, gelar kedewaannya.

Akhirnya Bathara Ismaya dan Bathara Tejomantri, turun ke arcapeda dengan berganti wadag (raga) menjadi abdi para ksatria; Ki Lurah Semar dan Ki Lurah Togog, sampai di tempat Radyan Dananjaya “teteki”, Semar mencari posisi di kanan, Togog di kiri, dan memotong puncak gunung tersebut, lalu dibuang atau dilemparkan ke arah tenggara. Konon jatuhnya gunung di tenggara itu sekarang dikenal dengan nama Gunung Wukir.

Karena puncak gunung tempat bertapa dipotong, Radyan Dananjaya terjatuh, hingga tersadar dari tapa bratanya. Dan betapa terkejutnya ketika melihat di kanannya telah berdiri Sang Pamomong Ki Lurah Semar, dan sebelah kiri berdiri Ki Lurah Togog.

“Apa yang terjadi Uwa?” tanya Radyan Dananjaya.

“Kami baru melemparkan puncak gunung yang Radyan gunakan untuk bertapa,” jawab Semar kalem.

“Lho, kenapa Uwa lakukan padaku?” tanya lagi.

“Uwa hanya ingin memperingatkan. Masih belum cukupkah kesaktian yang Radyan Dananjaya miliki sekarang ini? Ingatlah Radyan ini Panengah Pandawa, yang juga memiliki nama Arjuno, dijuluki Sang Lelananging Jagad, yang sangat sakti mahambara, disegani kawan dan ditakuti lawan. Belum cukupkah semua itu?” tanya nasehat dengan keras namun bijak.

Radyan Dananjaya hanya diam menunduk, mulai menyadari kesalahannya. Semar melanjutkan wejangnya. “Radyan dijuluki Dananjaya; yang tak terkalahkan. Tapi Radyan ternyata belum bisa mengalahkan kesombongan, keangkuhan dan ambisi, Radyan. Sadarkah dari apa yang kamu lakukan ini telah menimbulkan malapetaka, arcapeda hancur dan jonggring saloka kacau balau.”

Segera Radyan Dananjaya menyadari kekhilafannya dan segera menubruk kaki Uwa Semar dan Uwa Togog. Dia ksatria, dan tak malu meminta maaf dengan apa yang telah dilakukannya itu jika memang keliru.

“Untuk mengingat-ingat kejadian ini, agar tidak ditiru anak cucu kelak, maka gunung tempatmu bertapa ini tidak aku beri nama Gunung Dananjaya, karena kamu masih dikalahkan oleh ambisi dan kesombonganmu. Sebaiknya kuberi nama Gunung Arjuna, yang telah sadar dari kekeliruannya,” sabda Uwa Semar badranaya.

Dan sejak kejadian itu gunung tersebut dikenal dengan nama Gunung Arjuna. Hingga sekarang puncak Gunung Arjuna masih sering digunakan untuk tirakat para ahli kebatinan, katanya belum tuntas ilmu Wong Jowo bila belum bisa menaklukkan puncak Gunung Arjuna. Padahal ajaran ini menyiratkan bahwa kita belum sempurna nggegulang kawruh kebatinan jika batin kita masih dikuasai oleh kesombongan, keangkuhan, ambisi keserakahan akan keduniawian. Manusia sering lupa diri, lebih-lebih kalau sedang bernasib baik, akan cenderung menjadi sombong dan tinggi hati yang bisa mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Alangkah bijaknya jika kita selalu rendah hati meskipun memiliki keistimewaan tertentu yang dianugerahi Gusti Allah. (*)