Cerpen: Silvia Oktaresa
Perempuan itu memunguti sepuntung rokok yang cuma tersisa rasa manis di depan sebuah toko. Siang menyengat mungkin membuat lidahnya cepat pahit dan asam lambung naik. Cuma roko yang ia temukan sebagai pengobatnya. Wajahnya tegas, tidak seperti perempuan kebanyakan, perempuan tua yang masih cukup gagah ini berdada datar dengan rambut cepak yang menemaninya lima tahun belakangan ini. Tukang potongnya tak jauh dari sini, mungkin sahabat karibnya karena ia bisa pergi melenggang tanpa menyelipkan upah.
Sebagaimana di usianya, di sini tempat ia mencari nafkah. Kudengar sebelumnya, ia di-PHK sebagai buruh pabrik, tanpa pesangon sepeser pun. Ia cuma punya nyali baju pabrik yang dibawa kabur, mungkinn lebih tepatnnya sebagai sisa kenangan, bukan sebagai aset yang bisa dijual. Sepuluh tahun mengabdi bukan hal mudah dilupakan sebagai kenangan. Untuk hidup saja ia tidak punya pilihan, diberhentikan dari sana berarti sama halnya menggali kubur. ibunya dulu tidak pernah mengajarkan arti penting sebuah jenjang sekolah. Sebagai seorang tamatan sekolah dasar, bukan? Ia belum sampai melewati kelulusan itu. Ia hanya bisa hidup dengan menjadi pekerja kasar dan mustahil baginya memilih ang lain. Mengayuh becak memang bukanlah profesi untuk perempuan, tapi baginya ia tidak memiliki pilihan. Cuma itu satu-satunya pekerjaan yang ia dapatkan, meski dengan terpaksa sekalipun.
Guratnya sama sekali tidak menunjukkan kepayahan bahkan dadanya membusung seolah-olah menantang kenyataan, seraya berkata. "Kau tidak bisa membunuhku dengan cara ini." Lipatan matanya seakan menuntun ke sebuah rumah tua yang sangat gelap di dalamnya beberapa anak yang masih menjadi tanggungan. Ia mungkin saja bisa lelah, tapi lipatan matanya selalu meminta harapan. Ia tidak sempat mengeluh, cuma mengaduh di kepulan asap yang ia biarkan mengepul di wajahnya. Suaranya parau persis suara pria yang terbiasa mengisap rokok. Kepulan asap membaur di wajahnya, sesekali kudengar batuk paraunya membahana tapi itu tidak sempat membuatnya terganggu. Asap mungkin bagian kecil yang tidak perlu sama sekali mendapat hitungan, mengingat kehidupannya jauh lebih perih dibanding dengan sesuatu yang membuatnya terbatuk. Cuma terbatuk tidak membuatnya mati.
Matanya menerawang ke atas seolah pikiranya telah jauh membawanya, namun ia tidak pernah lengah terhadap kemungkinan penumpang yang menjadi incarannya. Ia cukup beristirahat sejenak siang itu, sebelum perempuan yang sedang asyik berbelanja di toko sembako itu memanggilnya.
Tak beberapa lama perempuan paruh baya itu benar memanggilnya. "Mas..." Ia bangkit dengan cepat dan matanya segera menusuk perempuan di depannya. Ia mengangguk dan mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat: tungg. Batuk yang membahana membuatnya mengambil botol air mineral di balakang kemudinya. Tanpa perlu disuruh, perempuan tua itu (sebenarnya ia tidak terlalu, cuaca, keadaan pekerjaan membuat kulitnya berlekas tua) telah mengangkut barang-barang belanjaan perempuan paruh baya itu. Beras satu karung itu ia hantamkan ke atas bahunya, melanjutkan dua kardus yang dipindahkan secara singkat ke atas becaknya. Ini memang bukan kali pertama aku meihatnya memanggul barang-barang berat, tapi tetap saja membuat mataku seolah tak percaya. Gas elpiji dua belas kilogram nyaris membuat tulangnya retak berkali-kali.
Setelah semua beres, penumpang perempuan paruh baya itu telah dirasa duduk dengan nyaman. Perempuan tua itu lalu mengayuh setelah sebelumnya bertanya tujuan hendak ke mana. "Gang Lebak murni, Bang!" Jawaban singkat penumpang itu segera menuntunnya mengayuh di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Terkadang kendaraan roda tiga itu cuma disebut sampah, yang membuat macet jalanan saja bagi kendaraan lain. Ia juga sampah, yang terkadang membuat pikiran mereka tak pernah berpikir kalau sampah terselip fungsi. Meski terlihat sebagai seonggok barang kotor yang tergeletak di pinggir jalan, terabaikan. Banyak yang kaya tidak suka sampah, tapi mereka tidak pernah tahubarang yang ia miliki juga setelahnya menjadi sampah. Setelah membusuk mereka juga akan menjadi sampah. Sampah, sampah, dan sampah.
Betisnya yang bulat mengayuh menggambarkan puluhan jarak yang pernah ia lewati. Mungkin setelahnya, di pertengahan jalan pulang ia menumukan penumpang lainnya sebelum kembali ke tempat ini. Mungkin aku tidak tidak pernah bertemu kembali dengannya.
Mengenal asap bukan bukan baranng baru baginya. Ia mengisap rokok setelah berstatus janda pertama kali. Terhitung ia telah menjanda tiga kali. Dengan dipenuhi berbagai tragedi, tentunya.
Lelaki petama di kehidupannya seorang pemabuk berat. Saat mabuk, ia bisa menjadi apa saja yang ia mau. Pipi merah yang didapatkannya setelah pagi bukan barasal dari perona merah bedak. Lelaki itu memang terkadang tak sadar setelah mabuk, bahkan ia telah lupa atas perilakunya. Lelaki itu semakin menjadi-jadi setlah di PHK dari pekerjaannya. Lelaki itu diberhentikan secara tidak hormat setelah isu yang merebak ia mencuri produk pabrik di sana.
Puncaknya, perempuan itu menghantamkan botol bir di kepala lelaki itu setelah sebelumnya lelaki itu mengancam akan menjual cincin kawin mereka. Akhirnya, tanpa status yang tak jelas mereka berdua berpisah. Perempuan itu tidak diceraikan tapi ia telah bebas dari bayang lelaki itu. Lelaki itu tidak pernah sama sekali menampakkan batang hidungnya lagi, setelah fase itu, ia mengenal rokok. Mengisi waktu kosong, ia lebih suka merokok. Menyemburkan ke wajahnya seolah-olah aroma terapi yang membuatnya dapat melupakan sejenak pahitnya kehidupan. Dari lelaki pertama ia mendapatkan satu anak yang saat itu masih berusia dua tahun.
Kemudian ia jatuh cinta dengan lelaki kedua yang mengenalkannya pada kenikmatan rokok. Bersama lelaki kedua, dukanya berlkas sirna. Ia akhirnya menikah lagi. Lalu mendapatkan dua anak. Hidup mereka cukup bahagia meski dalam serba keterbatasan. Sampai akhirnya pernikahan mereka terbawa gelombang, seorang wanita tiba-tiba datang ke rumahnya sambil menangis. Wanita itu menggamit tangan seorang seorang anak lelaki yang bengong sajja melihat ibunya menangis. Untuk kedua kalinya perempuan itu patah. Lelaki kedua ternyata tidak lebih baik dari lalaki pertama.
Mereka bertengkar hebat. Di balik pintu anak pertamanya cuma bisa menyaksikan peristiwa pelemparan itu. Wanita yang datang adalah istri pertama dari lelaki yang ia nikahi selama ini. Ia semakin sulit terlepas dari rokok, yang menjadi satu-satunya teman terbaiknya menghilangkan getirnya hidup.
Ia tidak akan menikah lagi, itu batinnya. Rasanya sudah cukup berat menghidupi kitiga anaknya, bahkan ia tidak sempat berdandan yang baik saat berjumpa dengan lelaki. Ia sudah cukup menasbihkan bahwa semua lelaki buaya. Cukup heran dengan perlambangan ini, padahal buaya sebenarnya selalu setia pada pasangannya. Seperti roti buaya di pernikahan Betawi.
Namun, ia kembali menemukan seorang yang menjungkirbalikan kehidupannya. Ia sangat mudah jatuh cinta, lalu menikah.Kehidupannya kembali membaik. Lelaki itu penuh tanggung jawab. Sampai kembali semua diuji, anak terakhir tiba-tiba jatuh sakit. Dengan keadaan seperti itu semua yang dibicarakan akan bergulir menjadi perang saraf. Lelaki itu menuding-nuding perempuan itu pembawa sial. Segala harta yang hanya beberapa gelintir habis untuk pengobatan. Lelaki itu tidak tahan lalu meninggalkannya. Lagipula ia belum memiliki anak bersama wanita itu. Ia bisa bebas.
Roko kembali menjejali perutnya. Ia kembali membunuh semua lelaki dalam pikirannya, semua lelaki sama dan berakhir mati. Sepenuhnya ia menghabiskan harta dan kerja keras demi mengobati anaknya yang sakit. Berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun. Profesi dari tukang cuci sampai juru masak, ia geluti. Sampai akhirnya, profesi tukang becak ia jalani. Semua tertuju padaa anak yang sakit. Si sulung yang sudah besar merasa terabakan.
"Bu, aku akan menikah!" Si sulung tiba-tiba melemparkan kata-kata yang menohok hati ibunya.
"Nak, dia bukan pilihan Ibu. Kau masih muda, teruskan sekolahmu, tinggikan cita-citamu, jangan kau seperti Ibu, kau harus bisa mengangkat Ibu ke tempat yang lebih baik."
"Aku harus menikah, Bu."
"Nak!"
Pembicaraan itu setelahnya terputus begitu saja, si sulung yang benar-benar dimabuk cinta telah melupakan segalanya. Diam-diam ia tuliskan surat dan diletakkan di atas meja makan, surat yang membawa guntur untuk ibunya. Bersamaan dengan surat itu, si sulung menghilang dari rumah dan tidak pernah kembali.
Perempuan itu benar-benar terpukul. Ia seolah-olah menjadi seorang ibu yang paling gagal di dunia. kedua anaknya ikut bersedih atas kehilangan kakaknya. Entah ia ada di mana, anaknya tidak pernah kembali. Mungkin ia menikah lalu mengulang kembali kisah hidup ibunya.
Sudah hampir dua minggu ini aku tidak melihat kembali perempuan itu di sini. Perempuan pengayuh becak yang wajahnya hitam legam terpapar sengat mentari. Aku biasanya mengamatinya lewat toko sembari membeli barang-barang kebutuhan. Ia biasanya bersantai di atas becaknya sembari menunggu penumpang. Mengisap rokok dalam-dalam dan mengamati pelan-pelan asap yang keluar dari mulutnya.
Dari toko depan yang menjual sembako, ia terbilang cukup akrab, biasanya pemilliknya memberi sekantong beras untuk perempuan itu bawa pulang tiap hari. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih telah mengantarkan pelanggannya pulang dengan baik. Hampir semua orang-orang pasar mengenalnya. Tapi, ia sudah tak pernah datang kembali dengan becaknya. Penumpang yang sering pakai jasanya juga bertanya-tanya. Atau mungkin ia mendapatkan kembali pekerjaan yang lebih layak atau jangan-jangan perusahaannya tempat ia bekerja mempekerjakannya kembali. Kalau begitu aku cukup senang mendengarnya, berarti ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Karena penasaran kutanyakan pada penjual toko depan yang tahu dengannya. Di tangan kananku menenteng belanjaan, di sebelah kiri menggamit anakku yang telah berusia tujuh tahun.
"Pak.... biasanya ada prempuan tua pengayuh becak di sini. Tapi beberapa hari ini dia tidak prnah kelihatan lagi. Ke mana ya Pak?"
"Owh Bu Sora."
"Iya Bu Sora."
"Dia sedang beristirahat di rumah. Beberapa hari yang lalu, ia melakukan operasi transplantasi ginjal buat anaknya yang sakit. Kasihan Ibu Sora, demi anaknya ia rela menyerahkan ginjal buat anaknya yang sudah lama sakit."
Mendengarnya seperti guntur mencabik-cabik tubuhku. Entah, aku terlalu malu untuk menyapa ibuku sendiri. Nasihat ibuku dahulu tidak kuhirau lagi, lalu menikah dengan teman sepermainanku dan mendapatkan satu anak darinya. Kisah ibu akhirnya terulang kembali.
Sungguh aku malu menemuinya. Ia masih berjuang demi anaknya di usianya yang yang tak lagi muda. Kalau mungkin ak yang sakit, kurasa ibu akan menyodorkan ginjalnya untukku.
Setelah ini, aku ingin kembali. Aku ingin pulang bersama anakku. Menemui Ibu (*)
Perempuan itu memunguti sepuntung rokok yang cuma tersisa rasa manis di depan sebuah toko. Siang menyengat mungkin membuat lidahnya cepat pahit dan asam lambung naik. Cuma roko yang ia temukan sebagai pengobatnya. Wajahnya tegas, tidak seperti perempuan kebanyakan, perempuan tua yang masih cukup gagah ini berdada datar dengan rambut cepak yang menemaninya lima tahun belakangan ini. Tukang potongnya tak jauh dari sini, mungkin sahabat karibnya karena ia bisa pergi melenggang tanpa menyelipkan upah.
Sebagaimana di usianya, di sini tempat ia mencari nafkah. Kudengar sebelumnya, ia di-PHK sebagai buruh pabrik, tanpa pesangon sepeser pun. Ia cuma punya nyali baju pabrik yang dibawa kabur, mungkinn lebih tepatnnya sebagai sisa kenangan, bukan sebagai aset yang bisa dijual. Sepuluh tahun mengabdi bukan hal mudah dilupakan sebagai kenangan. Untuk hidup saja ia tidak punya pilihan, diberhentikan dari sana berarti sama halnya menggali kubur. ibunya dulu tidak pernah mengajarkan arti penting sebuah jenjang sekolah. Sebagai seorang tamatan sekolah dasar, bukan? Ia belum sampai melewati kelulusan itu. Ia hanya bisa hidup dengan menjadi pekerja kasar dan mustahil baginya memilih ang lain. Mengayuh becak memang bukanlah profesi untuk perempuan, tapi baginya ia tidak memiliki pilihan. Cuma itu satu-satunya pekerjaan yang ia dapatkan, meski dengan terpaksa sekalipun.
Guratnya sama sekali tidak menunjukkan kepayahan bahkan dadanya membusung seolah-olah menantang kenyataan, seraya berkata. "Kau tidak bisa membunuhku dengan cara ini." Lipatan matanya seakan menuntun ke sebuah rumah tua yang sangat gelap di dalamnya beberapa anak yang masih menjadi tanggungan. Ia mungkin saja bisa lelah, tapi lipatan matanya selalu meminta harapan. Ia tidak sempat mengeluh, cuma mengaduh di kepulan asap yang ia biarkan mengepul di wajahnya. Suaranya parau persis suara pria yang terbiasa mengisap rokok. Kepulan asap membaur di wajahnya, sesekali kudengar batuk paraunya membahana tapi itu tidak sempat membuatnya terganggu. Asap mungkin bagian kecil yang tidak perlu sama sekali mendapat hitungan, mengingat kehidupannya jauh lebih perih dibanding dengan sesuatu yang membuatnya terbatuk. Cuma terbatuk tidak membuatnya mati.
Matanya menerawang ke atas seolah pikiranya telah jauh membawanya, namun ia tidak pernah lengah terhadap kemungkinan penumpang yang menjadi incarannya. Ia cukup beristirahat sejenak siang itu, sebelum perempuan yang sedang asyik berbelanja di toko sembako itu memanggilnya.
Tak beberapa lama perempuan paruh baya itu benar memanggilnya. "Mas..." Ia bangkit dengan cepat dan matanya segera menusuk perempuan di depannya. Ia mengangguk dan mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat: tungg. Batuk yang membahana membuatnya mengambil botol air mineral di balakang kemudinya. Tanpa perlu disuruh, perempuan tua itu (sebenarnya ia tidak terlalu, cuaca, keadaan pekerjaan membuat kulitnya berlekas tua) telah mengangkut barang-barang belanjaan perempuan paruh baya itu. Beras satu karung itu ia hantamkan ke atas bahunya, melanjutkan dua kardus yang dipindahkan secara singkat ke atas becaknya. Ini memang bukan kali pertama aku meihatnya memanggul barang-barang berat, tapi tetap saja membuat mataku seolah tak percaya. Gas elpiji dua belas kilogram nyaris membuat tulangnya retak berkali-kali.
Setelah semua beres, penumpang perempuan paruh baya itu telah dirasa duduk dengan nyaman. Perempuan tua itu lalu mengayuh setelah sebelumnya bertanya tujuan hendak ke mana. "Gang Lebak murni, Bang!" Jawaban singkat penumpang itu segera menuntunnya mengayuh di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Terkadang kendaraan roda tiga itu cuma disebut sampah, yang membuat macet jalanan saja bagi kendaraan lain. Ia juga sampah, yang terkadang membuat pikiran mereka tak pernah berpikir kalau sampah terselip fungsi. Meski terlihat sebagai seonggok barang kotor yang tergeletak di pinggir jalan, terabaikan. Banyak yang kaya tidak suka sampah, tapi mereka tidak pernah tahubarang yang ia miliki juga setelahnya menjadi sampah. Setelah membusuk mereka juga akan menjadi sampah. Sampah, sampah, dan sampah.
Betisnya yang bulat mengayuh menggambarkan puluhan jarak yang pernah ia lewati. Mungkin setelahnya, di pertengahan jalan pulang ia menumukan penumpang lainnya sebelum kembali ke tempat ini. Mungkin aku tidak tidak pernah bertemu kembali dengannya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Mengenal asap bukan bukan baranng baru baginya. Ia mengisap rokok setelah berstatus janda pertama kali. Terhitung ia telah menjanda tiga kali. Dengan dipenuhi berbagai tragedi, tentunya.
Lelaki petama di kehidupannya seorang pemabuk berat. Saat mabuk, ia bisa menjadi apa saja yang ia mau. Pipi merah yang didapatkannya setelah pagi bukan barasal dari perona merah bedak. Lelaki itu memang terkadang tak sadar setelah mabuk, bahkan ia telah lupa atas perilakunya. Lelaki itu semakin menjadi-jadi setlah di PHK dari pekerjaannya. Lelaki itu diberhentikan secara tidak hormat setelah isu yang merebak ia mencuri produk pabrik di sana.
Puncaknya, perempuan itu menghantamkan botol bir di kepala lelaki itu setelah sebelumnya lelaki itu mengancam akan menjual cincin kawin mereka. Akhirnya, tanpa status yang tak jelas mereka berdua berpisah. Perempuan itu tidak diceraikan tapi ia telah bebas dari bayang lelaki itu. Lelaki itu tidak pernah sama sekali menampakkan batang hidungnya lagi, setelah fase itu, ia mengenal rokok. Mengisi waktu kosong, ia lebih suka merokok. Menyemburkan ke wajahnya seolah-olah aroma terapi yang membuatnya dapat melupakan sejenak pahitnya kehidupan. Dari lelaki pertama ia mendapatkan satu anak yang saat itu masih berusia dua tahun.
Kemudian ia jatuh cinta dengan lelaki kedua yang mengenalkannya pada kenikmatan rokok. Bersama lelaki kedua, dukanya berlkas sirna. Ia akhirnya menikah lagi. Lalu mendapatkan dua anak. Hidup mereka cukup bahagia meski dalam serba keterbatasan. Sampai akhirnya pernikahan mereka terbawa gelombang, seorang wanita tiba-tiba datang ke rumahnya sambil menangis. Wanita itu menggamit tangan seorang seorang anak lelaki yang bengong sajja melihat ibunya menangis. Untuk kedua kalinya perempuan itu patah. Lelaki kedua ternyata tidak lebih baik dari lalaki pertama.
Mereka bertengkar hebat. Di balik pintu anak pertamanya cuma bisa menyaksikan peristiwa pelemparan itu. Wanita yang datang adalah istri pertama dari lelaki yang ia nikahi selama ini. Ia semakin sulit terlepas dari rokok, yang menjadi satu-satunya teman terbaiknya menghilangkan getirnya hidup.
Ia tidak akan menikah lagi, itu batinnya. Rasanya sudah cukup berat menghidupi kitiga anaknya, bahkan ia tidak sempat berdandan yang baik saat berjumpa dengan lelaki. Ia sudah cukup menasbihkan bahwa semua lelaki buaya. Cukup heran dengan perlambangan ini, padahal buaya sebenarnya selalu setia pada pasangannya. Seperti roti buaya di pernikahan Betawi.
Namun, ia kembali menemukan seorang yang menjungkirbalikan kehidupannya. Ia sangat mudah jatuh cinta, lalu menikah.Kehidupannya kembali membaik. Lelaki itu penuh tanggung jawab. Sampai kembali semua diuji, anak terakhir tiba-tiba jatuh sakit. Dengan keadaan seperti itu semua yang dibicarakan akan bergulir menjadi perang saraf. Lelaki itu menuding-nuding perempuan itu pembawa sial. Segala harta yang hanya beberapa gelintir habis untuk pengobatan. Lelaki itu tidak tahan lalu meninggalkannya. Lagipula ia belum memiliki anak bersama wanita itu. Ia bisa bebas.
Roko kembali menjejali perutnya. Ia kembali membunuh semua lelaki dalam pikirannya, semua lelaki sama dan berakhir mati. Sepenuhnya ia menghabiskan harta dan kerja keras demi mengobati anaknya yang sakit. Berbulan-bulan. Bahkan bertahun-tahun. Profesi dari tukang cuci sampai juru masak, ia geluti. Sampai akhirnya, profesi tukang becak ia jalani. Semua tertuju padaa anak yang sakit. Si sulung yang sudah besar merasa terabakan.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
"Bu, aku akan menikah!" Si sulung tiba-tiba melemparkan kata-kata yang menohok hati ibunya.
"Nak, dia bukan pilihan Ibu. Kau masih muda, teruskan sekolahmu, tinggikan cita-citamu, jangan kau seperti Ibu, kau harus bisa mengangkat Ibu ke tempat yang lebih baik."
"Aku harus menikah, Bu."
"Nak!"
Pembicaraan itu setelahnya terputus begitu saja, si sulung yang benar-benar dimabuk cinta telah melupakan segalanya. Diam-diam ia tuliskan surat dan diletakkan di atas meja makan, surat yang membawa guntur untuk ibunya. Bersamaan dengan surat itu, si sulung menghilang dari rumah dan tidak pernah kembali.
Perempuan itu benar-benar terpukul. Ia seolah-olah menjadi seorang ibu yang paling gagal di dunia. kedua anaknya ikut bersedih atas kehilangan kakaknya. Entah ia ada di mana, anaknya tidak pernah kembali. Mungkin ia menikah lalu mengulang kembali kisah hidup ibunya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Sudah hampir dua minggu ini aku tidak melihat kembali perempuan itu di sini. Perempuan pengayuh becak yang wajahnya hitam legam terpapar sengat mentari. Aku biasanya mengamatinya lewat toko sembari membeli barang-barang kebutuhan. Ia biasanya bersantai di atas becaknya sembari menunggu penumpang. Mengisap rokok dalam-dalam dan mengamati pelan-pelan asap yang keluar dari mulutnya.
Dari toko depan yang menjual sembako, ia terbilang cukup akrab, biasanya pemilliknya memberi sekantong beras untuk perempuan itu bawa pulang tiap hari. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih telah mengantarkan pelanggannya pulang dengan baik. Hampir semua orang-orang pasar mengenalnya. Tapi, ia sudah tak pernah datang kembali dengan becaknya. Penumpang yang sering pakai jasanya juga bertanya-tanya. Atau mungkin ia mendapatkan kembali pekerjaan yang lebih layak atau jangan-jangan perusahaannya tempat ia bekerja mempekerjakannya kembali. Kalau begitu aku cukup senang mendengarnya, berarti ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Karena penasaran kutanyakan pada penjual toko depan yang tahu dengannya. Di tangan kananku menenteng belanjaan, di sebelah kiri menggamit anakku yang telah berusia tujuh tahun.
"Pak.... biasanya ada prempuan tua pengayuh becak di sini. Tapi beberapa hari ini dia tidak prnah kelihatan lagi. Ke mana ya Pak?"
"Owh Bu Sora."
"Iya Bu Sora."
"Dia sedang beristirahat di rumah. Beberapa hari yang lalu, ia melakukan operasi transplantasi ginjal buat anaknya yang sakit. Kasihan Ibu Sora, demi anaknya ia rela menyerahkan ginjal buat anaknya yang sudah lama sakit."
Mendengarnya seperti guntur mencabik-cabik tubuhku. Entah, aku terlalu malu untuk menyapa ibuku sendiri. Nasihat ibuku dahulu tidak kuhirau lagi, lalu menikah dengan teman sepermainanku dan mendapatkan satu anak darinya. Kisah ibu akhirnya terulang kembali.
Sungguh aku malu menemuinya. Ia masih berjuang demi anaknya di usianya yang yang tak lagi muda. Kalau mungkin ak yang sakit, kurasa ibu akan menyodorkan ginjalnya untukku.
Setelah ini, aku ingin kembali. Aku ingin pulang bersama anakku. Menemui Ibu (*)
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Juara I Pena Sumsel Gemilang 2012
Cerpen Pilihan Pembaca Sumatera Ekspres
Kategori Pemuda 20--27 Tahun