Senin, 05 Agustus 2013

Tanah Kuburan Bikin Usahaku Bangkrut

Oleh: Yudhistira Manaf

Kebangkrutan dan kegagalan usaha, mendorong aku lari ke dunia supramistik. Mulanya aku pertaruhkan modal ratusan juta untuk membuka restoran, rumah makan, toko sembako, toko alat tulis, tapi semuanya bangkrut, tidak laku. Kegagalan semua usahaku itu akibat gangguan mistik, ditaburi lawan usahaku dengan tanah kuburan. Tanah kuburan membuat semua usahaku macet, tidak ada yang beli, sehingga modal habis dan aku terlibat hutang milyaran rupiah. Aku pun terancam dibunuh oleh para debt colector, para penagih hutang yang ganas. Duh Gusti!

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


Setelah mendapatkan gelar sarjana di Universitas Sriwijaya Palembang, aku merantau ke Jakarta. Aku melamar pekerjaan di bidang ekonomi dan akuntansi, sesuai dengan gelar kesarjanaanku, tapi tidak ada yang menerima. Ada seratus lamaran lebih aku layangkan, namun tidak satupun ada yang nyangkut. Apes, begitulah aku menyebut keadaan nasibku ini.

Beruntung almarhum ayahku di Kayuagung, Ogan Komering Ilir, mewariskan harta yang banyak, seperti tanah, rumah dan mobil angkutan kota. Ada sepuluh angkot yang dikelola ibuku, sehingga ibu tidak kelabakan saat ditinggal wafat oleh ayahku. Sementara itu, aku hanya sendiri, anak tunggal, laki-laki yang dimanjakan oleh ibuku, Hajah Rismala Sakdiyah, juragan angkot sohor di Kota Kayuangung.

Kebetulan, ibuku cukup cerdas menangani para sopir. Sopir yang suka bermain dengan sparepart, bermain curang dengan setoran,dicegat habis oleh ibuku, sehingga semua sopirnya menjad jujur dan takut kepada ibuku. Untuk itu, sepuluh angkot peninggalan ayahku, bukan berkurang, malah ditangan ibuku, menjadi bertambah. Terakhir, angkot ibuku menjadi dua puluh unit.

Karena ibu sangat mandiri, maka aku diperkenankannya untu merantau ke ibukota setelah aku menjadi sarjana. Ibu mengiringi aku dengan doa serta uang berapapun yang aku butuhkan. "Yang penting di Jakarta kau menjadi orang, artinya kau mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan gelarmu sebagai sarjana ekonomi," pesan ibuku.

Tanggal 19 Agustus 2005, tidak lama setelah ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang heboh di Kayuagung, aku berangkat ke Jakarta dengan mobil minibus kami satu-satunya. Aku berangkat sore hari hingga di perjalanan hutan, Jalan Lintas Timur, melintas di malam hari.

Perjalanan mulus menuju Lampung hingga mobil Kijangku masuk kapal ferry di Pelabuhan Bakauheni Subuh, pukul 05.00 Waktu Indenesia Bagian Barat. Setelah memarkirkan mobil di bagian bawah kapal, aku naik ke kamar vip room dan mmbayar tiket khusus. Aku tertidur di ruang super dingin itu dengan pulas, terbangun setelah satu setengah jam hingga kapal hampir sandar di Pelabuhan Merak, Banten.

Seseorang lelaki tua membangunkan aku. Lelaki berambut putih memakai baju lurik Jawa, sorjan dengan kain sarung khas tentara keraton. "Bade tindak pundi, Mas?" desisnya dengan bahasa Jawa Kromo inggil. Karena tetanggaku di Kayuagung banyak orang Jawa, maka aku bisa mengerti pertanyaan kakek-kakek itu, yang dimaksudkan, mau ke mana aku ini. Setelah aku jawab ke Jakarta dan dia pun akan ke Jakarta, maka kami berbincang beberapa hal sebelum kapal benar-benar sandar.

Karena aku membawa mobil sendiri, maka Si kakek yang ngeteng dengan angkutan umum itu, aku ajak serta di dalam mobilku, kami bersama-sama berjalan menuju Jakarta. Kendaraan aku pacu dengan kecepatan 100 kilometer per jam di jalan tol Merak-Jakarta.

Di dalam kendaraan kami terus ngobrol dan barulah aku tahu, bahwa kakek yang bernama Prawiro Handoyo itu adalah paranormal, dukun yang tinggal di kaki Gunung Rajabasa, Kalianda Lampung Selatan. Dia pelaku dan praktisi supranatural yang selama ini menutup dirinya, yang baru saja menyelesaikan tirakat, namandito di kesunyian Gunung Rajabasa. Singkat kata, dia adalah pertapa sejati, seseorang yang tidak memperdulikan dunia, kebutuhannya hanya sorgawi, hidup sederhana karena tauhidnya yang begitu dalam kepada Sang Pencipta, Allah Yang Maha Agung.

Karena aku tak begitu memahami dunia supranatural, maka agak sulit juga aku mengimbangi pembicaraan Kakaek Prawiro Handoyo yang terkadang seperti khayal. Sesuatu pembicaraan yang diterima akal sehat dan susah diikuti dengan nalar. Katanya, dia adalah benteng dari Gunung Rajabasa, gaibnya adalah Eyang Bawu Rekso, penenggu Gunung Rajabasa dan gunung itu akan meledak bila tdak dijaga oleh gaibnya.

Perkataan ini membuat aku sebaga seorang sarjana eksaktam ekonomi, agak ganjil, aneh dan bertentangan dengan hati nurani. Aku sering mendengar ilmu gaib, tapi aku tidak pernah percaya imu itu karena kita hidup di dunia ini nyata, yang harus bekerja keras bila ingin bertahan hidup. Tanpa bekerja keras, misalnya hanya bertapa meminta makan kepada Allah, rasanya tidak mungkin itu didapat. Berdoa itu penting, pikirku, karena ayah dan ibuku selalu berdoa setiap akan memulai pekerjaannya, tapi ikhtiar bekerja keras juga penting. Batinku, harus ada keseimbangan antara doa dan kerja. Ora at labora, bekerja sambil berdoa.

Aku ingat lagu Rhoma Irama judul Perjuangan dan Doa. Perjuangan akan sia-sia jika tidak disertai dengan doa. Doa juga akan sia-sia jika tidak diikuti dengan bekerja. Tetapi Kakek Prawiro atau Eyang Prawiro ini, hanya berdoa, bertapa di gunung, lalu katanya, makanan dan uang datang dengan sendirinya. Opo tumon? Batinku.

Tapi sudahlah, dunia kami berbeda. Sesampainya di Kota Tangerang, aku keluar tol lalu masuk ke jalan Bumi Serpong Damai (BSD) menuju Kampung Kunciran Induk, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang. Di sana aku mencari alamat cucunya Eyang Prawiro, namanya Surti Rohati, pekerja pabrik keramik Gratilo milik pengusaha Italia di Kota Tangerang itu juga.

Surti Rohati menyewa sebuah rumah sederhana bersama empat teman wanitanya, teman bekerjanya di Gratilo. Hari itu kebetulan empatnya libur, sedang mendapat cuti dan keempatnya ada di rumah itu, Surti gembira sekali kedatangan kakeknya dan mencium tangan kakeknya dengan girang hingga mengeluarkan airmata. Surti menangis, tidak menyangka si Mbah sampai di tempatnya dan Surti mohon ijin agar kakeknya nenginap beberapa hari di situ dan si teman tidak keberatan.

Namun, satu teman Surti Rohati, Sarminah, sedang sakit perut, perutnya melilit dan tidak bisa bangun. Kata Surti, Sarminah punya penyakit maag, lambungnya terluka, dia sakit maag kronis dan sudah mencapai stadium lima. Si Mbah minta iar putih kepada Surti Rohati, lalu air putih itu dimantrainya dengan serius sambil memejamkan mata beberapa saat, lalu mndekati Sarminah dan meminumkan air putih itu. Luar biasa, setelah meminum air putih itu, Sarminah langsung bisa berdiri, berjalan bahkan berlari kecil. Batinku, boleh juga ini ilmu Si Eyang Prawiro ini. Selanjutnya, Sarminah sembuh total. Hal ini kuketahui karena aku sering kontak telepon dan SMS dengan Surti Rohati.

Setelah tiga hari di rumah cucunya, Eyang Prawiro kembali ke Gunung Rajabasa dan aku kehilangan kontak dengan Surti Rohati. Handphone yang biasa aku gunakan hilang dan di situlah nomor-nomor semua temanku, termasuk Surti, ikut lenyap.

Di Jakarta aku mengontrak sebuah rumah kompleks di perumahan semi elite villa Kedoya, Jakarta Barat. Rumah itu aku dapatkan dari berita iklan koran harian Pos Kkota, yang aku beli beberapa saat yang lalu. Setelah mengecek lokasi dan cocok, aku langsung bayar untuk tiga tahun. Aku langsung mengisi rumah itu dengan perabotan dan aku melamar kerja ke mana-mana. Semua iklan koran aku kliping dan aku melamar. Namun setelah ratusan lamaran aku layangkan dan tidak ada panggilan, aku pun mulai kehilangan rasa percaya diri. Ternyata, menjadi sarjana ekonomi di Jakarta ini, tidak mudah ya, pikirku, jangankan tamatan SMA, sarjana saja banyak yang menganggur.

Setelah membaca buku motivasi bisnis dan wira usaha karya Raymond Hill, aku langsung menelpon ibukuuntuk membangun toko sembako. Aku merekrut beberapa karyawan untuk toko sembako ku di tepi jalan Panjang, Jakarta Barat. Pertama buka, tokoku ramai, banyak pembeli yang datang membeli, empat karyawan pun menjadi sibuk.

Namun, setelah satu bulan buka, usaha itu sepi, makin sepi dan akhirnya tidak ada lagi pembeli. Karena empat karyawanku harus dihidupi, maka aku membuka restoran cepat saji di jalan Jogio, Jakarta Barat. Rumah makan itu aku bangun indah, ditata berseni dan cat yang menarik. Rumah makan cepat saji itu aku buat di sebuah rumah yang aku kontrak lima tahun, strategis di tepi jalan raya Jogio, tidak jauh dari perumahan elit Srengseng Boulevard.

Pertama buka, ramai bukan main, namun setelah beberapa bulan, menjadi sepi, sepi dan akhirnya tidak ada yang makan sama sekali. Makanan menjadi basi dan dibuang untuk makanan kucing. Sementara karyawanku berjumlah enam, menganga setiap hari, melongo ngangur menanti pembeli namun tak ada yang masuk akan makan. Ada beberapa mobil yang mau singgah, nampak si penumpangnya akan makan, tetapi setelah melihat sepi, berbelok ke tempat lain, lalu masuk rumah makan yang lain. Rumah makanku mandeg total dan akhirnya aku tutup dan buka usaha lain.

Aku rubah dari restoran menjadi usaha toko alat tulis dan kantor. Aku pinjam bank lagi dengan agunan tanah serta rumah di Kayuagung, dan ibuku terus memberikan surat-surat yang diperlukan. Ibuku mendukung usahaku ini, walau berulang kali gagal. Toko buku dan alat tulis dan kantor pun, tidak laku, sepi dari pembeli dan akhirnya bangkrut total.

Belakangan kredit kami macet, kami tak mampu membayar bunga cicilan dan uang pinjaman keseluruhan dari beberapa bank besar itu. mau tak mau, akhirnya disidang perdata dan pengadilan menyita semua asset kami dan harta kami pun menjadi habis ludes, termasuk dua puluh angkot milik ibuku. Semua harta peninggalan ayahku, bagaikan spritus dilalap api. Habis total tanpa meninggalkan bekas.

Ibuku yang mengidap penyakit jantung, masuk ICCU Rumah Sakit Charitas Palembang. Aku segera pulang dengan mobil kijangku, tengah malam, saat dikabari ibuku anfal. Sesampainya d depan ibuku, ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir, setelah kami berpelukan dan menangis. Satu-satunya milikku, kini hilang, pergi untuk selama-lamanya. Aku sangat tertekan dan bersedih dengan kematian ini. Rasanya sulit menerima keputusan Allah SWT ini, tapi aku harus ikhlas karena kematian itu adalah sunnatullah an harus terjadi kepada siapapun, termasuk aku yang relatif muda.

"Anakku, jagalah dirimu baik-baik, ingat, jangan meninggalkan shalat dan jangan lalai bersedekah kepada fakir miskin dan orang-orang susah. Teruslah berbagi dan hati-hatilah Nak, menjalani hidup ini," pesan ibuku, terakhir, sebelum napasnya hilang dan dia pergi untuk selama-lamanya. Itulah kata-kata terakhir ibu yang aku ingat hingga sekarang. Selain selalu terngiang, juga selalu bergema dalam batinku dan kata-kata itu memacu diriku untuk berbat baik di jalan Allah.

Setelah 40 hari membuat tahlilan di rumah kami di Kayuagung, datang penagih hutang yang mengancam membunuhku. Rumah terakhir itu, akhirnya disita dan diambil oleh penagih hutang dengan kekuatan senjata. Mereka menggunakan tentara dan aku terncam dibunuh. Karena aku ingin tetap hidup, aku pun mengalah lalu berjalan keluar rumah. Untung mobil satu-satunya, Kijang Komando antikku, tidak disita dan aku bisa pergi dengan mobil itu menuju Gunung Rajabasa, Lampung Selatan.

Setelah susah payah mencari Eyang Prawiro, akhirnya aku menemukan tempat pertapaan Eyang Prawiro di Desa Sangkil, kaki Gunung Rajabasa Selatan. Di bawah sebuah pohn angsana tua, Eyang membangun gubuk dari daun nipah dan da tersentak melihat aku. Setelah berdzikir sejenak, dia mendatangi dan memeluk erat tubuhku. Sementara mobilku, aku tinggalkan di kantor kelurahan dan aku titip kepada kepala desa setempat. Aku berjalan kaki selama dua jam melalui jalan terjal menuju Desa Sangkil yang angker.

"Tanah kuburan dan kaum dukun bisnis yang menghancurkan semua usahamu. Di Jakarta dan Tangerang itu, semua usaha menggunakan kekuatan jin dan saya melihat jin-jin menjaga semua rumah makan, toko dan perkantoran. Jin-jin itu menjaga usaha dari serangan gaib. Jika kau tidak mempercayai hal itu, usahamu hancur total. Coba dari dulu kau ajak aku, aku akan bersihkan tempatmu dan aku tempatkan beberapa jin pengalir sehingga usahamu laku keras dan maju pesat," kata Eyang Prawiro serius.

"Tahukah kau, persaingan di Jakarta itu sangat keras dan jahat. Seseorang yang merasa usahanya disaingi, buru-buru menebar tanah kuburan dan membuat tempat usaha lawan langsung macet, tidak laku dan sepi. Tanah kuburan itu tanah yang paling ampuh untuk memberhentikan usaha apapun. Semua usaha menggunakan kekuatan gaib dan sering terjadi perang gaib, antara dukun yang satu dengan dukun yang lain, perang dalam membentengi beberapa usaha kliennya," cerita Eyang Prawiro, nyaris tanap ekspresi.

Belakangan, aku sangat percaya ada peran mistk dalam setiap usaha. Jangankan di Indonesia, negeri yang berbudaya tradisional warisan leluhur, negeri Eropa Barat yang maju pun, seperti Inggris dan Belanda, semua usaha menggunakan kekuatan dukun dan perdukunan. Di Amsterdam dan London, malah banyak dukun yang membuka praktek terang-terangan secara terbuka untuk mendongkrak kesuksesan usaha. Dan bayarannya sangat mahal dan tinggi.

Setelah hidup bersama Mbah Prawiro, barulah aku sadar dan percaya, bahwa ada ilm mistik, ilmu yang tak tersentuh umum, yaitu ilmu gaib yang hanya dimilki segelintir orang. Seperti apa yang trjadi pada Mbah Prawiro Handoyo.

Setelah tiga bulan hidup bersama dia, barulah aku tau bahwa makanan dan uang itu bisa didapatkan secara gaib. Entah dari mana datangnya, aku yang kepingin makan nasi dengan lauk ikan patin pindang pegagan, tiba-tiba datang dalam keadaan hangat. Mbah Prawiro berdzikir lalu beberapa menit usai dzikir, aku disuruh membuka mata dan makanan enak itu sudah ada di depanku. Masakannya lezat dan nikmat sekali aku rasakan di lidahk.

"Suatu saat kau akan melihat seseorang yang mengantarkan makanan itu. Dia datang tapi kau tidak melihat, dia pergi, kau lebih tidak melihat. Jika ilmumu sudah cukup, kau bukan saja dapat melihat, tapi apat mendayagunakannya dengan baik," tutur Eyang Prawiro, sambil tersenyum. Senyum itu jarang aku lihat dan senyumnya, manis sekali.

Banyak mantra yang aku hafalkan, banyak tatacara ritual yang aku pelajari dari Mbah Prawiro. Bahkan, soal uang pun, dengan mudah Mbah mndatangkan uang, memerintahkan jin-jin nya untuk membawakan uang, entah dari mana uang itu diambil.

"Kau jangan coba-coba bertanya uang itu dari mana diambil jin itu, tapi kau harus percaya bahwa uang itu bukan uang haram karena datangnya dari langit," kata Eyang Prawiro sambil merengut.

"Daun pun, bisa berubah menjadi uang, tapi tdak boleh untuk kekayaan. Jika terdesak, kau bolehmembaca mantra merubah daun menjadi uang, itupun, jika kau terdesak. Uang dari daun itu laku dan tidak akan berubah menadi daun lagi," pesan Eyang.

Setalah satu tahun bersama Eyang Prawiro dan diijazah, aku kembali merantau ke Jakarta. Kini aku berkelana dengan keadaan tidak kaya dan hidup sederhana dengan mobil tuaku Kijang Komando yang setia. Aku berikhtiar untuk membantu sesama, menolong usaha kecil yang dimatikan oleh seorang dukun.

Tidak jarang, belakangan aku bertempur dengan dukun yang jahat, yang memberikan tanah kuburan kepada usaha lawan kliennya. Aku akan mementahkan tanah kuburan itu dan mengembalikannya ke tempat asalnya di pemakaman. Jin-jin aku ajak berdamai dan au suruh pergi dari kejahatan itu. Dukun yang mengetahui ini lalu menyerang aku dengan santet. Banyak bola api menyerang dan akan membunuhku.

Tetapi aku pasrahkan semua ini kepada Allah Azza Wa Jalla dan Allah aku yakin aan melindungi orang-orang yang benar. Usaha kecil yang tadinya macet, yang membuat sengsara pengusaha kecil, aku bukakan, aku bantu total, hingga usahanya bangkit dan semua usaha bersaing itu sama-sama laku. Mereka sama-sama mendaptkan rejeki yang halal dari usaha mereka itu, dengan tidak saling membunuh secara mistik. Hanya kepada Allah kita meminta, hanya kepada Allah jugalah kita secara total berserah diri. (*)

(Kisah ini dialami Sang Pengelana Gaib, Arsyad Haji Manan, Yudhistira Manaf menulis cerita ini untuk majalah Misteri, red)

Sumber: Misteri Edisi 562 Tahun 2013