Senin, 11 Maret 2013

Diselamatkan Kapal Hantu

Oleh: Henny Nawani

Dari perusahaan Yunani itu, kami tersentak, di sana diberikan jawaban bahwa kapal Black Ship itu sudah tenggelam 40 tahun lalu di Bermuda Treangle, segitiga Bermuda dan menjadi kapal hantu, berkeliling dunia untuk menyelamatkan kapal-kapal yang terancam karam

* * * * * * * * * * * * * * *

Langit cerah, laut biru. Pelayaran sore itu sungguh menyenangkan. Kami sekeluarga harus pergi ke Pulau Gilitrawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kami berlayar menggunakan kapal yach pribadi, Juwita Marine, mesin 500 PK double angine, berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, untuk menikmati malam tahun baru di Pulau Gilitrawangan.

Di pulau kecil itu kami punya villa, namanya Bungalow Putih, semua ornament bercat putih, serba putih dengan bunga-bunga yang berunsur warna putih. Panitia setempat sudah mempersiapkan pesta, undangan 1400 orang sudah disebar, dari Surabaya, Bali, Mataram dan Sumbawa Besar. Semua datang dengan kapal pribadi, ada yach, ada yang membawa perahu layar bermesin. Bahkan ada pula yang datang dengan jetvoil.

Lima artis top dari Jakarta sudah diberi perskot, tiga artis perempuan satu artis pria dan satu MC.

"Kita harus menyenangkan semua teman-teman, keluarga dan semua relasi bisnis kita, maka itu, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk membuat suatu pesta besar setiap malam penutupan tahun dan malam pembukaan tahun," ujar suamiku.

Sopir kapal, kapten laut Wahyu Abdurahman begitu optimis sore itu. Udara baik, angin sedang dan gelombang laut cukup tenang. Dengan kecepatan 80 knot mil laut per jam, maka diperkirakan akan sampai ke Pulau Gilitrawangan tengah malam, sekitar pukul 23.40 Waktu Indinesia Tengah. Maka pada tanggal 31 Desember 2010 pagi, kami sudah biasa bersiap untuk pesta di malam harinya, menyiapkan makanan, minuman dan jejamuan untuk para tamu undangan.

Kapal terus berlayar dalam ketenangan dan keteduhan senja dan kenyamanan udara laut sore itu . Kami berjalan melewati Selat Madura, setelah masuk Selat Bali lalu menuju Selat Selong, Nusa Tenggara Barat. Di tengah laut Selong, tiba-tiba angin kencang datang. Angin keras dan deras itu di luar perkiraan dan tidak masuk dalam hitungan Wahyu Abdurahman sebagai pelaut berpengalaman.

"Maaf Pak, ini angin dan di luar perhitungan ramalan geofisika dan radar awan yang ada. Angin ini aneh dan tidak liar, tidak pernah terjadi sebelum ini. Sebab angin ini berputar, seperti angin puting beliung atau badai tornado Amerika," ungkap Wahyu Abdurahman, driver kapal pengalaman yang penah mangkal di Miami, Amerika Serikat sebagai pekerja kapal yacth di negeri Paman Sam. Semakin lama angin semakin ganas, liar dan menakutkan. Langit tiba-tiba berpetir dan berguntur keras lalu menyambar kapal kami. Tiga kali ledakan petir menghantam buritan kapal dan kapal kami terpecah lalu bocor. Aku segera mengumpulkan anakku dan kami berempat berpelukan di dekat cockpit, tempat dimana Wahyu Abdurahman terus mengendalikan kapal itu dengan wajah dan ekspresi yang sangat panik.

Karnetnya pun, Maman, ikut panik dan berulangkali menimba air yang masuk tapi air terus menerus menyerbu dinding kapal dan masuk ruang bawah. Mas Hermanto segera menelpon ke kapal-kapal temannya untuk bantuan, tapi karena petir, sinyal tiba-tiba menghilang, daerah laut itu menjadi daerah blackspot, daerah yang tidak bersinyal sama sekali. Radio komunikasi pun, cb channel full energies, tiba-tiba macet dan tidak dapat digunakan.

Pada saat gawat begitu, tiba-tiba sebuah kapal besar terlihat oleh mata kami. Kapal bercat serba hitam itu berjarak hanya beberapa meter saja dari kami, dan kami memberi sinyal SOS, meminta pertolongan bantuan penyelamatan dari kapal itu. "Kapal itu hanya berjarak 400 meter dari kita, kapal itu mendekat dan mereka siap membantu kita. Segera ambil barang-barang penting yang berharga dan naiklah ke kapal itu," perintah Mas Hermanto kepada Maman, karnet kapal dan kepadaku juga.

Kapal hitam itu memberi lampu dan berhenti di dekat kami. Lalu anak buah kapal menurunkan tali dan menarik kapal kami mendekat keburitan kapal mereka. Kami sekeluarga naik kapal, begitu juga dengan Wahyu Abdurahman dan Maman si awak kapal kami, semua naik ke kapal Black Ship untuk menyelamatkan diri.

Tidak begitu lama kami naik di kapal hitam itu, kapal kami pun tenggelam. Juwita Marine telah tenggelam, dan sejarah kapal itu mencatat, bahwa Juwita pernah ada dan kini terkubur di dasar laut Selong yang mengerikan, laut berpetir, berguntur dan berangin putingbeliung.

Kapal yang kami tumpangi mengarah ke Padang Bay, Semara Pura, pelabuhan penyeberangan di ujung Bali bagian timur. Kapten kapal memberi bantuan dengan ikhlas kepada kami dan menyelamatkan kami dari kematian. "Bila tidak ada kapal Black Ship ini, matilah kita semua dalam tragedi tenggelamnya Juwita Marine," kata Mas Hermanto, kepada Wahyu dan Maman, awak kapalnya, yang manggut-manggut sambil menangis.

Kami mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Kapten Kapal Black Ship, Mister Idral Zaron, 56 tahun, yang berasal dari Tebinggrinting, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, yang secara sukarela dan ikhlas membantu kami. Pada saat suamiku memberikan sejumlah uang tanda rerima kasih. Kapten Idral Zaron menolak dan dia tidak bersedia menerima uang tanda terima kasih itu.

"Saya menolong kalian dengan ikhlas, berdasarkan sumpah kelautan saya, untuk itu, bukan uang tujuan saya, tapi kasih sayang sesama sesuai perintah Allah SWT," desisnya, sambil menjabat tangan suamiku, dan tersenyum ramah.

"Berikan saja uang itu kepada anak yatim piatu dan orang jompo, Pak! Mereka lebih membutuhkannya, bukan saya," katanya, meminta agar suamiku berimfaq untuk orang-orang miskin dan papah.

Setelah menurunkan kami di dermaga Padang Bay, kapal Black Ship meneruskan pelayarannya menuju Cilacap, Jawa Tengah, untuk mengangkut minyak lalu pergi ke Yunani, Eropa Barat.

Setelah lima jam menunggu dan tidur di sebuh hotel kecil di Padang Bay, sebuah kapal jetvoil menjemput kami. Begitu kami checkout dari hotel, kami langsung naik ke kapal jetvoil itu dan memasukkan barang-barang yang masih tersisa. Sementara itu, Wahyu dan Maman, minta pamit kembali ke Surabaya, tidak ikut serta ke Pulau Gilitrawangan dengan alasan untuk menenangkan diri dari tragedi laut yang baru saja dihadapi dan sangat mengerikan.

"Kami mau buat pengajian, sujud syukur bersama keluarga besar, dimana kami telah diselamatkan oleh kapal Black Ship dan kapten Idral Zaron yang baik hati. Kami mohon maaf tidak bisa ikut ikutan pesta tahun baru di Pulau Gilitrawangan," kata Wahyu Abdurahman, dengan wajah gundah, sambil menerima ongkos dari suamiku, untuk acara syukuran di Surabaya.

Perjalan laut dengan jetvoil begitu cepat. Maka itu, tapet pukul 20.00 malam, kapal itu sudah sampai di Pulau Gilitrawangan dan kami bisa tetap membuat acara walau musibah baru saja menimpa kami. Semua tamu undangan yang mendengar kabar itu ikut berduka dan mereka ikut bersyukur atas keselamatan keluarga besar kami dari tragedi yang mengerikan di Laut Selong yang ganas tersebut.

Tepat pukul 21.00, acara segera di mulai. Band mulai bermain dan MC segera naik panggung. Semua tamu undangan sudah hadir. Pesta berjalan dengan mulus dan puncak acara sangat membahagiakan kami. Pas tepat pukul 00.00 tengah malam, suara petasan dan kembang api meletus menghiasi udara dan langit pun menjadi ceria. Semua orang keluar dan menikmati malam pergantian tahun dengan bahagia.

Namun tengah malam, saat kami melihat ke tengah laut, dari temaram bulan terang , kami melihat kapal hitam. Black Ship melempar sauh, lempar jangkar di tengah laut seberang bungalow kami. "Ma, itu kapal Black Ship yang menyelamatkan kita. Kapten Idral Zaron pasti ada di dalamnya," kata suamiku.

Kami segera meminta kapal kecil untuk diantarkan mendekati kapal itu. Aku dan Mas Hermanto berlayar mendekati kapal Black Ship dan kapal itu, anehnya, menghilang dalam hitungan detik.

"Kemana kapal tadi, bukankah tadi kapal itu jelas lempar jangkar di sini?" tanya suamiku, tak menuntut jawaban. Aku bingung,, sama dengan suamiku, bingung mempertanyakan, ke mana kapal itu perginya. Kalau pun jalan, bagaimana secepat itu jalannya?

"Jangan-jangan kapal itu, kapal Black Ship, bukan kapal biasa, Ma!" desis suamiku.

"Maksud Papa bukan kapal biasa itu, apa artinya?" tanyaku.

"Mungkin kapal itu kapal hantu, Ma, kapal misterius yang belakangan ini banyak muncul ke permukaan laut," kata suamiku.

Keesokan harinya, tanggal 1 Januari siang, Mas Hermanto menghubungi maskapai usaha laut kapal itu di Yunani lewat telpon. Nama maskapai itu adalah Olatus Rexx Ship Management. Dari perusahaan Yunani itu, kami tersentak, di sana diberikan jawaban bahwa kapal Black Ship itu sudah tenggelam 40 tahun lalu di Bermuda Treangle, segitiga Bermuda dan menjadi kapal hantu, berkeliling dunia untuk menyelamatkan kapal-kapal yang terancam karam.

"Kalian telah diselamatakan oleh kapal hantu Black Ship dan begitulah kapal itu, selalu muncul menbantu kapal-kapal yang terancam karam. Kapal itu tiba-tiba muncul secara gaib dan keberadaannya, selalu tepat waktu untuk mengangkut para korban kecelakaan laut," ungkap Mister Hanadiege Rumola, kepala humas perusahaan yang tetap eksis di dunia kelautan tersebut, memiliki 40 kapal berbendera Yunani dan mengangkut bahan bakar minyak di seluruh dunia. Sebagian kapal mereka, termasuk Black Ship, pernah mengangkut minyak di Indonesia 40 tahun yang lalu, sebelum tenggelam diterkap hantu laut Segitiga Bermuda.

Kami sangat terkesan dengan kapal Black Ship yang ternyata diawaki oleh kapten laut asal Indonesia yang mengaku lulusan sekolah tinggi kelautan Indonesia dan ternyata seorang gaib. Memang, dari Yunani kami dapat kabar, bahwa awak kapal mereka paling banyak berasal dari Indonesia, Filipina, dan Thailand.

"Tenaga kerja asal Indonesia baik-baik dan disiplin tinggi, lagi pula mereka tidak suka demo, tidak banyak protes dan menjadi pekerja paling baik untuk kapal-kapal berbendera Yunani," kata sang kepala humas kepada suamiku. (*)

Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013