Minggu, 14 Juli 2013

Terhipnotis Cinta yang Ditolak

Terhipnotis Cinta yang DitolakOleh: Restoe Prawironegoro Ibrahim

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mengunjungi sahabatku Lestari yang telah belasan tahun tak bertemu. Keinginan itu tak bisa kutahan. Rumah Lestari berada di pinggiran Kota Jakarta, sudah masuk wilayah Kodya Bekasi. Melihat kedatanganku ia menyambut gembira. Begitupun keluarganya, membuatku terkesan. Mereka tetap akrab dan ramah, meski aku tak bawa buah tangan

• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •


"Sudah lama tak ketemu. Rasanya kangen sekali," ucap mereka sembari menyalamiku.

"Aduh, maaf ya, bu, saya nggak bawa apa-apa. Tadi niatnya mau mampir ke pasar. Eh angkotnya nerus saja. Jadi lupa deh," jelasku sedikit basa-basi. "Lagian si Neng nggak mau main ke sini. Sombong, deh," goda ibu sahabatku.

"Jangan didoain sombong dong bu, entar saya sombong beneran," sahutku diiringi derai tawa. Tapi mataku tak dapat ditipu. Aku melihat ada garis kesedihan terpancar di wajah polos mereka. Wajah yang berubah layu, seakan menyimpan suatu duka. Aku mencoba mencari tahu akar kesedihan mereka.

"Kenapa anak-anak tdak diajak neng?" Tanya ibunya. aku tersenyum lalu kuhirup teh di atas meja. "Maaf bu, saya haus sekali."

"Neng Lastri sekarang anaknya berapa?" tanya si ibu. "Dua bu. Yang pertama perempuan dan yang edua laki-laki," jawabku singkat. "Syukurlah sudah sepasang."

"Maaf ya, bu. Buan maksud saya ingin tahu. Kalau saya lihat dari raut waja ibu sekeluarga sepertinya sedang ada masalah. Barangkali saja saya bisa bantu?" ucapku. Lestari, sahabatku, beranjak dari duduknya dan berlari masuk ke kamar. Aku merasa tidak enak. Sedangkan ibunya kulihat meremas-remas ujung kebayanya. Aku menarik napas panjang. Ada rasa sesal atas pertanyaanku yang kulontarkan tadi.

"Maaf bu. Bukan maksud............"

"Nggak apa-apa kok neng. Neng sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Selama ini kepedihan yang ibu rasakan seakan-akan sudah mau meledak. Saking nggak kuatnya melihat penderitaan si Lestari!"

"Penderitaan Lestari? Apa maksud ibu?" tanyaku. Aku emain tidak mengerti. Kupegang tangan kurus itu. Kulihat bibirnya gemetar. Kugenggam erat tangannya. Kutepuk-tepuk telapanya dengan lembut.

"Sudahlah, bu, lupakan pertanyaan saya tadi. Minum.....?" Kusodorkan segelas air putih. Setelah minum, ia kelihatan ebih tenang. Aku berusaha meredam keingintahuanku. Kulangkahkan kaki ke kandang ayam yang isinya telah kosong.

"Ayamnya telah lama dijual Bapak. Habis mati melulu," sela Lestari yang tba-tba sudah berada di sampingku. Di tangannya tergenggam sesuatu. "Nggh, sayang ya! Las........., sebenarnya aku bercerita padamu, tapi aku malu. Aku takut kamu tidak mempercayainya." Kupandangi wajah Lestari. Begitu beratkah bebannya sampai-sampai ia kikuk untuk menceritakan padaku?

"Kalau begitu, nggak usah saja! Paling-paling aku cuma mendengarkan saja kan? Lalu kamu pikir setelah tahu aku akan tertawa ngakak. Begitu kan......?" Gantian Lestari yang menatap ke arahku, lalu berpaling seakan ia berusaha bicara tapi tak kuasa. "Apa itu?" Aku menunjuk sesuatu yang digenggamnya. Lestari membuka telapak tangannya.

"Seperti Isim ya? Dari mana? Punya kamu?" Ia mengangguk. Kuraih Isim tersebut. Kubuka isinya. Sederetan tulisan Arab yang tak kumengerti maknanya. "Aku diberi ini oleh Mas Joko."

"Mas Joko! Siapa dia?" tanyaku.

"Suamiku." Aku terperangah.

"Jadi kamu telah menikah? Kapan?"

Lestari menarik tanganku. Dibimbingnya aku memasuki rumahnya. Setiba di dalam kamarnya, kudapati photo seorang laki-laki tampan berpakaian ABRI.

"Oh...... ini Mas Joko!" Lestari mengangguk. Kuturunkan bingkai photo itu. Kuusap debu yang menutupi sebagian pinggirnya.

"Aku malas membersihkannya. Malah kadang ingin kubuang sajja...."

"Kenapa?" tanyaku lagi. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur.

"Aku merasa sudah tak berarti lagi baginya," ucapnya lirih.

"Kalian bercerai?" Ia menggeleng. Kulihat tatapan matanya kosong. Lalu menyusul setetes air mata jatuh di pipinya. Kuambil tissue dari saku celana dan kuberikan padanya. Ia menghapus air matanya. Aku kembalikan photo pada tempatnya. Aku duduk di samping Lestari. "Sebenarnya ada apa? Aku jadi penasaran!"

"Karena kamu temanku, akan kuceritakan apa yang telah menimpaku."

"Tiga tahun lalu aku bertemu Mas Joko. Waktu ia sedang mengikuti program ABRI Masuk Desa. Desaku mendapat giliran. Mereka memperbaiki jalan dengan sirtu (pasir dan batu). Dari ujung desa hingga ke desa lainnya. Waktu itu kelompokku dapat giliran menjamu mereka. Akulah yang disuruh Pak Kades mengantarkan makanan. Melihat kedatanganku, mereka yang tengah bekerja seakan tersentak, berhenti. Tanpa komando mereka memandangiku. Aku malu. Aku grogi dipandangi belasan pasang mata lelaki."

"Habis kamu cantik sih. Kalau aku jadi laki-laki, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama," godaku. Ia tersipu, lalu melanjutkan ceritanya. "Melihat tatapan mereka, aku buru-buru meletakkan makanan lalu cepat balik. Akibat buru-buru ujung sandalku terjepit sebongkah batu. Hampir aku jatuh kalau tanganku tidak diraih seseorang. Tanpa melihat yang menolongku, aku terus saja berlari pulang.

Setelah itu setiap giliran kelompokku, aku menolak ikut mengantarkan makanan. Ketidakhadiranku ternyata membuat seseorang mendatangiku. Dialah Mas Joko, yang berpangkat Sersan Satu. Awalnya aku terkejut, tapi melihat sikapnya yang santun dan harmonis, aku jadi menyukainya. Keluargaku juga ikut akrab. Aku tak kuasa menolak cintanya. Bahkan komandannya sendiri datang ke orang tuaku untuk melamarkan. Melihat keberuntunganku, banyak temanku jadi iri dan sirik.

Sebelum aku resmi jadi istrinya, dibawanya aku ke Jakarta untuk menemui pamannya yang mengasuhnya sejak kecil. Orang tua Mas Joko telah lama meninggal. Ia anak tunggal.

Cintaku semakin tumbuh. Meski punya banyak kesempatan menjamah tubuhku, apalagi bakal jadi istri, tapi sikap Mas Joko tetap sopan. Katanya nanti saat malam pertama. Ia hanya mengecup keningku.

Lestari terdiam. Nada bicaranya yang tadi bersemangat mengendor dan raut wajahnya muram. "Ada apa Les, kok berhenti.........?" Dipandanginya wajahku.

"Kamu kenal kan sama si Faruk?" tanyanya. "Faruk! Faruk yang mana?" Aku berusaha mengorek isi kepalaku untuk mengingat wajah Faruk.

"Faruk yang dulu mengambil sandalmu yang hanyut di sungai? tebakku. Lestari mengangguk.

"Lalu kenapa dengan dia? Apa hubunganya denganmu? tanyaku. Ia melanjutkan ceritanya.

"Faruk, ternyata diam-diam mencintaiku. Mendengar aku dilamar orang, ia mengamuk. Dengan membawa parang ditebasnya seluruh pohon pepaya dan pisang milik orang tuanya. Dengan berteria-teriak ia acungkan parangnya, menantang siapapun yang mencegah amuknya. Penduduk ketakutan. Berita Faruk mengamuk sambil menyebut-nyebut namaku ceoat tersebar. Aku dan keluargaku jadi ketakutan, apalagi setelah tahu Faruk sedang menuju rumahku.

Mas Joko berusaha menenangku. Pak Kades sendiri tak kuasa mencegah. Kami semua tahu Faruk, walau masih muda, ia suka mempelari ilmu hitam. Ia sering tidur di kuburan atau duduk-duduk di bawah pohon waru di tepi kali. Padahal waru itu terkenal angker. Kalau diperingatkan pasti marah. Bahkan tak segan-segan mengancam dan melukai orang yang menegurnya. Ia merasa jadi jagoan. Apapun yang diinginkan harus dimiliki.

Setiba di rumah ia berteriak-teriak memanggilku dan menantang duel dengan Mas Joko, tapi tak diladeni. Merasa diremehkan ia nekad menerobos masuk rumahku. Warga kampung yang hanya bisa berkerumun. Mereka takut jadi korban keganasan Faruk yang terus mengayun-ayunkan goloknya. Teman Mas Joko yang berusaha melerai banyak yang kena sabetan. Mereka mundur setelah jatuh korban.

Melihat Faruk semakin brutal, Mas Joko terpaksa menembaknya untuk melumpuhkannya. Hebatnya semua peluru mental setelah mengenai tubuhnya. Tahu dirinya kebal, ia tertawa terbahak-bahak, mengejek Mas Joko agar terus menembaknya. Tiba-tiba sebuah peluru mengenai tepat di mulutnya yang tertawa lebar. Darah segar muncrat, matanya mendelik, parangnya terlempar dan darah segar membasahi tubuhnya. Sebelum mati ia sempat menyumpahi diriku bahwa suatu hari ia akan merenggut kegadisanku dan membuatku menderita.

Setelah menyumpahi sambil tangannya menunjuk-nunjuk diriku, roh Faruk terlepas dengan mengeluarkan suara mirip babi disembelih. Tak berselang lama tubuhnya seperti hangus terbakar. Aku ketakutan. Mas Joko merengkuh tubuhku dan dipeluknya.

Setelah kejadian itu pikiranku kacau. Kami sekeluarga berusaha tidak tidur. Berjaga kalau sumpah Faruk benar-benar terjadi. Teman Mas Joko juga begadang di rumah. Keluarga Faruk tidak dendam pada kami, karena sadar anaknya memang biang kerok. Bikin susah semua orang termasuk orang tuanya sendiri.

Kecemasan keluargaku beralasan. Sumpah itu bisa benar-benar terjadi.

"Maksudmu, dia benar-benar memperawanimu?" Mendengar pertanyaanku, Lestari terisak.

Setelah Faruk mati, Mas Joko menyerahkan diri pada komandannya. Tapi ia minta syarat sebelum disdangkan diijinkan dulu menikahku. Keinginannya dipenuhi. Seminggu setelah kasusnya selesai Mas Joko menemuiku. Ia siap menerimaku apa adanya. Kebesaran jiwanya membuatku dapat bertahan hingga sekarang.

Seumur hidup aku tak dapat melupakannya. Aku menjadi malas mengurus diriku sendiri. Melihat perubahan diriku, kedua orang tuaku ikut tersiksa. Kalau bukan karena Mas Joko, sudah lama aku ingin mati. Aku terharu melepas kepergiannya.

Lestari mengusap air mata. Ia pandangi aku yang ganti ketakutan. Sebenarnya aku hanya terkejut di zaman teknologi canggih masih ada makhluk halus memperkosa. Mudah-mudahan Allah SWT menjaga setiap langkahku dan memeliharaku dari fitnah dunia.

"Las.... Lastri!" Aku terkejut ketika Lestari menepuk lenganku. Jantungku terasa mau copot. Aku seperti terhipnotis ceritanya.

"Ya Alla, bikin jantung orang mau lepas saja!"

"Ngelamun ya?" tanyanya.

"Ceritamu bikin aku deg-degan." Tak lama kemudian terdengar suara adzan Ashar dari surau. "Alhamdulillah, masih ketemu Ashar," ucapku. Aku beranjak dari dudukku. Pinggangku terasa sakit bersandar di antara bilik rumah yang berplester semen.

"Les, pohon waru yang mana sih?" tanyaku penasaran ketika kami sedang mengambil wudhu.

"Tadi kamu lewat mana? tanyanya.

"Lewat situ," sahutku sembari menunjuk ke depan. "Pokoknya ada waru dekat kali itu. Ya..... itu tempatnya," jelasnya.

"Ah! Jadi yang kulewati tadi tadi dong.....!" Lestari tak menyahut. Aku melotot. Selepas shalat Ashar aku berpamitan.

"Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini saja. Hati-hati ya!" Aku mengangguk. Kurangkul Lestari.

"Sabar ya, semua merupakan kehendak Allah SWT. Aku akan selalu berdoa untukmu. (*)

Sumber: Misteri Edisi 561 Tahun 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih