Jumat, 28 Desember 2012

Pohon Zakaria

Cerpen: Dadang Ari Murtono

Ia tidak tahu kenapa bapaknya mengikuti Zakaria. Ia masih kecil benar ketika itu. Bapaknya berkata sebelum berangkat. "Nanti kalau bapak sudah pulang, kita main petak umppet lagi." Dan ia menunggu. Apakah bapaknya juga menjanjikan hal yang sama kepada ibunya? Apakah bapaknya juga akan mengajak ibunya bermain petak umpet? Namun sepanjang ingatannya, ibunya tidak pernah suka bermain petak umpet. Ibunya akan selalu memanggilnya untuk pulang dengan berbagai macam alasan.

"Sudah surup, shalat Maghrib dulu!" teriak ibunya ketika ia bersembunyi di balik pohon mangga dan temannya yang kebagian tugas celingukan hampir putus asa terus-terusan gagal menemukan tempat persembunyiannya. Ia mendengus kesal. Ia memasang tampang jengkel sambil keluar dari tempat persembunyiannya. Gara-gara teriakan ibunya, temannya jadi tahu tempat persembunyiannya. Ia ppenyembunyi yang baik. Jarang sekali ia tertangkap ketika bermain petak umpet.

"Tak banyak anak kecil keluar rumah saat Maghrib tiba. Nanti bisa digondol wewe dan disembunyikan di rumpun bambu," tambah ibunya sambil menggandeng paksa tangannya untuk segera pulang.

Bapaknya pergi dn membawa parang dan kampak. Ia ingat benar bagaimana pada hari sebelum keberangkatan bapaknya, bapaknya mengasah baik-baik dua benda kesayangan bapaknya itu. "Dengan ini bapak mencari uang. Dan uang itu untuk kebutuhanmu bersama ibumu," kata bapaknya.

"Bapak pergi dengan siapa?" tanyanya waktu itu. Dan ibunya, sambil menyiapkan nasi kepal berisi abon sapi untuk bekal bapaknya, menjawab dengan senyum. "Tentu saja dengan pergi dengan Zakaria. Tidak ada penebang pohon yang lebih baik dari Zakaria. Zakaria akan memastikan bapakmu dapat banyak kayu tebangan, itu artinya kamu bisa ikut berwisata bulan depan bersama kawan-kawan sekolahmu.

Ia tidak tahu perihal tebang menebang. Ia hanya tahu perihal petak umpet. Perihal mencari tempat yang aman, yang tak bakal bisa ditemukan temannya yang kebagian tugas menjaga. Dan apakah Zakaria tahu perihal petak umpet?

"Kenapa bapak tidak pulang-pulang, bu?" tanyanya sambil menguap. Sudah beberapa hari semenjak kepergian bapaknya? Entalah. "Apakah bapak sedang bermin petak umpet dengan Zakaria?" tanyanya lagi. Ibunya diam saja. Namun jauh kedalaman mata ibunya, ia melihat sebuah telaga. telaga yang sepertinnya kian lama kian penuh airnya. Telaga dengan tepi-tepi yang tak bakal lagi muat menampung air dan siap meluber.

Ia sering berpikir bahwa Zakaria bukanlah orang yang tahu artinya ditunggu. Atau barangkali, memang tidak ada satu pun orang yang menunggu Zakaria di rumahnya. Menunggu untuk bermain petak umpet. Apakah Zakaria orang yang kesepian? Itukah sebabnya, kesepian itu, yang membuat Zakaria mengajak bapaknya pergi menebang pohon ke hutan dan tak membawa bapaknya pulang?

Namun zakaria tidak pulang-pulang. Dengan begitu, bapaknya juga tidak pulang-pulang. Dan ia serta ibunya, juga mesti menunggu lagi. Sudah berapa abad? Bahkan ia sudah tak ingat lagi hal itu. Ia sudah tidak tahu lagi. Sama dengan ketidaktahuannya mengapa bapaknya mesti mengikuti Zakaria pergi. Namun dalam hati ia berjanji. Pada suatu waktu, ketika ia sudah cukup besar dan bearani pergi ke hutan, ia akan menyusul bapaknya ke hutan. Ia juga akan membawa kampak dan parang. Ia juga akan menebang pohon. Pohon-pohon yang tumbuh menghalangi jalan bapaknya untuk pulang.

Sungguh, ia merasa tak ada lagi orang di dunia yang makan lebih banyak garam dari ia dan ibunya. Suatu kali, ia bertanya kepada ibunya. "Kenapa ibu tidak lagi menggoreng mujair?" Ibunya, dengan tersenyum dan mengelus rambutnya berkata. "Tidak ada lagi kayu bakar yang bisa dijual, nak. Dan bapakmu tidak juga pulang."

Pada waktu itu, ia begitu membenci Zakaria. Kalau saja bapaknya tidak mengikuti Zakaria, bapaknya pasti akan segera pulang membawa tebangan kayu. Kayu yang bisa dijual sebagai kayu bakar.

Sungguh tekadnya sudah semakin bulat. Ia harus pergi ke hutan. Menyusul bapaknya. Dan berkata kepada Zakaria. "Biarkan bapak pulang. Ibu sudah bosan makan garam."

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Zakaria memang bukan seorang pemain petak umpet yang baik. I tidak habis pikir bagaimana masa kecil Zakaria. Barangkali Zakaria memang tidak pernah barmain petak umpet sewaktu kecil. Ah, kasian. Masa Zakaria pastilah bukan masa kecil yang menyenangkan. Zakaria pastilah anak yang kuper. Barangkali Zakaria kecil menghabiskan waktu sepanjang hari untuk membaca buku dan kitab-kitab tua di kamarnya ketika anak-anak sebayanya bermain petak umpet, belajar sembunyi dan berlari.

Barangkali karena itu pula Zakaria tumbuh menjadi lelaki yang tersendiri. Lelaki yang kesepian. Lalu memutuskan mengajak bapaknya ke hutan Zakaria menjengkelkan! Kenapa bapaknya mau mengikuti ajakan lelaki seperti itu? Tidak tahukah bapaknya bahwa ia dan ibunya berabad-abad menunggu? Dan seandainya Zakaria menghabiskan masa seperti ia enghabuskan masa kecil, pasti hal seperti ini tidak akan terjadi. Pasti Zakaria akan membawa bapaknya pulang.

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *



Cerita itu pada akhirnya sampai kepadanya. Entah siapa yang pertama kali mengisahkan. Ia mendengar dari ibunya. "Tiba-tiba, polisi hutan berdatangan ke hutan itu. Menangkap siapa-siapa yang menebang pohon. Menangkap mereka-mereka yang mencari kayu bakar."

"Karena itu, semua pencari kayu bakar mesti ditangkap. Tapi Zakaria orang yang keras hati. Ia mengajak bapakmu. Zakaria bilang peraturan pemerintah itu adalah upaya pembunuh secara perlahan-lahan terhadap orang-orang yang mata pencahariannya mencari kay bakar. SEperti bapakmu. Seperti Zakaria sendiri. Dan itu harus dilawan. Peraturan yang membunuh, tidak boleh dituruti. Penguasa yang lalim dengan mengabaikan nasib rakyatnya, harus dibantah. Maka dia pergi. Bersama bapakmu. Pergi dan tak kembali."

Ah,seandainya Zakaria pernah bermain petak umpet, pasti ia akan menemukan tempat persembunyian yang baik ketika para polisi itu mengejar Zakaria dan bapaknya. Pasti Zakaria tidak akan masuk ke pohon itu. Iti tempat persembunyian yang buruk.Para polisi itu dengan mudah mengetahui keratan di batang pohon yang digunakan Zakaria untuk masuk ke dalam batang pohon itu.

Dan begitulah. Dengan mudah pula, para polisi itu menemukan pohon persembunyian Zakaria. Tentu saja bukan getah yang mengalir dari pohon tersebut. Melainkan darah Zakaria. Zakaria yang tubuhnya terpotong menjadi dua serupa pohon yang tertebang.

Namun tidak ada kabar perihal bapaknya. Apakah bapaknya juga bersembnyi di dalam pohon serupa Zakaria? Bapaknya, walau tidak jago, namun pernah bermain petak umpet. Bapaknya pasti sedang bersembunyi. Sudah berabad-abad bapaknya bersembunyi. Dan kini ia, harus bersiap. Ia harus menjemput bapaknya. Ia sudah lelah menunggu. Ia kasian melihat ibunya bertambah kurus memikirkan nasib bapaknya. Ia akan pergi.

"Berhati-hatilah Yahya," kata ibunya. (*)

Parade Cerpen Ramadhan

* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *


Citra Budaya
Sumatera Ekspres, Minggu, 29 Juli 2012

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih