Cerpen: Fakhrunnas M. A. Jabbar
Pelataran kecil di tepi laut itu kian rapuh dan ringkih. Ombak kecil masih berlarian. Saling mendahului dan berpacu. Teritip bertumbuh di tiap-tiap tiang kayu. Saling berhimpitan. Bak ukiran yang terpahat sendiri. Lengkung-lengkung berwarna hitam dan abu-abu di tiang-tiang itu membentuk mosaik yang begitu elok.
Di sela-sela mosaik itu selalu kulihat kilau kenangan bermunculan. Sekelebat wajah Zaini menyembul dengan senyum terkulum. Lelaki gagah dan berwibawa itu tak mudah lenyap dari pikiran dan perasaanku. Aku tiba-tiba jadi bergairah dan asyik-maksyuk tenggelam ke masa-masa silam itu. Cahaya lampu-lampu kapal di kawasan Pelabuhan Sri Bintan Pura bagai mengepung kesunyian. Memang, aku kian suka bersunyi-sunyi belakangan ini.
Meski boleh jadi aku datang bersendiri atau ditemani Zami, anakku satu-satunya --berusia sepuluh tahun-- buah pernikahanku dengan almarhum Usman. Seketika kutatap langit terbentang kala senja baru berlalu, warnanya kemerah-merahan. Biasanya, sebentar lagi bulan merah akan menggelantung di langit tinggi Tanjung Pinang. Sejak dulu, tak kutahu pasti kenapa bulan itu bisa berubah jadi merah saga.
Suasana begutlah pernah kulewati bersama Zaini. Lelaki berkulit agak gelap dengan kumis lebat yang pernah berikrar akan memperistri diriku. Aku selalu berbisik bangga pada lelaki itu bahwa dirinya adalah jelmmaan wira Melayu, Hang Jebat. Meski kemudian kutahu semangat kelelakiannya begitu jauh dari sosok sang wira.
"Pada bulan merah, aku pasti pulang!" hanya kalimat itu juga yang selalu terngiang di gendang telingaku. Kalimat itu juga yang diucapkan Zaini saat meninggalkan tanah Kawal yang merah terakhir kali.Butiran-butiran bauksit yang memerah ikut bersaksi malam itu. Zaini di usia belia --masa itu-- harus meninggalkanku. Ia hendak menimba ilmu di negeri Jiran Tanah Semenanjung Malaysia yang letaknya hanya berseberangan pulau saja.
Sampai penantian itu berbilang tahun --20 tahun hingga kini-- bagai kumbanng putus tali. Hilanng tanpa kendali. Andaikata pula ia tersesat, mestinya aku tahu di mana rimbanya. Kalaupun ia wafat, aku berharap tahu pula di mana tempat kuberziarah.
Amboi, Zaini begitu melekat dijiwaku. Padahal, selama dua puluh tahun itu, irama hidupku silih berganti. Aku sempat pula menikah dengan Usman atas paksaan Ayah dan Emak. Bahkan, hubungan pernikahan itu telah membuahkan Zamzami --orang-orang yang memanggilnya Zami--. Perkawinanku dengan Usman ditakdirkan tak berkekalan. Di usia Zami genap lima tahun, Usman mengalami kecelakaan feri. Ia tenggelam bersama puluhan penumpang lain di perairan antara Batam dan Bintan.
Meski hubungan cinta-kasihku dengan Zaini ditentang Ayah dan Emak --keduanya sudah almarhum dan almarhumah-- tapi kebengalan kami tetap saja tak mengapikkan kemarahan orang tua masing-masing. Kian hari, rasa cinta kami menghujam di lubuk hati yang terdalam. Sampai-sampai Zaini selalu mendendangkan pantun Melayu yang hingga kini tak akan pernah kulupa:
Biasanya bila Zaini sudah berpantun begitu, kami pasti tertawa bersama. Serasa diri kami bagaikan sepasang burung merpati yang sedang diamuk asmara. Sikap keras hati kami pula yang menyebabkan kisah cinta kami jadi buah mulut orang sekampung termasuk di sekolah kami.
Banyak hal yang membuat percintaan kami berkekalan di masa itu. Kami sama-sama menyukai sejarah. Titisan darah Melayu yang mengalir dalam nadi-nadi kami benar-benar menjadikan kami bagaikan Sultan dan Tuan Puteri yang bertahta di singgasana istana. Konon, diriku ini masih berkaitkelindan dan hubungan darah dengan pujangga Raja Ali Haji yang menghasilkan mahakarya Gurindam 12.
"Pada bulan merah, aku pasti pulang!" kalimat ringkas Zaini itu selalu berulang-ulang merajut kesunyian diriku. Bila aku sudah larut dalam lamunan yang ditingkahi debur ombak keputihan, tak kusadari aku bisa menghabiskan waktu setengah malam. Angin laut yang dingin tak mempan mengejutkan lamunanku.
"Mak, kenapa Emak suka bersunyi-sunyi di pelantar ini?" ucap Zami membuyarkan lamunanku. Aku tersentak. Amat gugup menatap mata Zami yang penuh ingin tahu.
"Apakah Emak teringat ayah?" selidik Zami dalam bahasa tanpa basa-basi.
Aku jadii teringat cara bertutur Zaini. Aku hanya bisa berdiam diri. Lamban. Tak bermaya.
Meski sebenarnya aku hendak berterus terang kepada Zami bahwa kerinduanku hanya semata kepada Zaini, lelaki yang tak pernah dikenalinya. Aku tak mungkin berterus terang pada Zami. Apa katanya bila sesungguhnya akumembayangkan seorang lelaki lain yang buukan ayah kandungnya. Tapi aku tak mungkin mengelabui hati dan perasaanku. Cinta-kasihku pada Zaini terpatri begitu dalam. Tak mungkin kulupa barang sekejap pun.
Ihwal Zaini sebenarnya bukannya tak pernah terbesut dari cerita-cerita orang sekampung yang juga merantau di Negeri Jiran itu. Tapi tak satu pun kisah-kisah itu yang bisa meyakinkan diriku. Seperti pernah dituturkan Wan Suib, sahabat karib Zaini setelah lima tahun kepergiannya.
Konon, Zaini yang menyeberang menuju Johor dengan menggunakan pompong yang mengangkut orang-orang Riau Kepulauan --masa itu-- sebagai TKI gelap, sempat disergap Polis Laut Diraja Malaysia.
Zaini bersama belasan orang yang tak begitu dikenalnya dijebloskan ke lokap. Sudah jamak jadi pembicaraan, barang siapa yang sempat masuk ke lokap itu pastilah mendapat perlakuan tak pantas.
Seperti yang dialami beberapa orang sekampung kami. Hasyim, Galib, dan Rajak yanng sempat disiksa selama ditahan di Negeri Jiran. Tahu-tahu waktu pulang terdampar di salah satu pantai Bintan yang tersuruk di ceruk-ceruk bakau. Keadaan ketiganya begitu memprihatinkan. Selain kondisi tubuh mereka yang jeging dan kumal juga senu atau hampir gila dan lupa ingatan. Memang tersebar luas di kampung itu, "pendatang haram" di Negeri Jiran biasanya diperlakukan tak manusiawi. Bahkan sampai-sampai disuntik "anjing gila."
Entah angin apa yang bertiup, Wan Suib, karib Zaini yang dulu menjadi tali-baut hubunganku dengan Zaini, bersama istrinya Zuleha, selepas Maghrib datang ke rumah. Aku terperanjat karena sudah lama sekali Suib tak bertandang.
"Ihwal apa yang awak bawa, Suib?" sambutku.
"Aku dapat kabar. Tapi boleh jadi ini kabar baik sekaligus kabar buruk," katanya. Wan Suib terbata-bata. Bagai menahan beban berat untuk berucap.
"Ihwal Zainikah?" desakku tak sabar.
Wan Suib mengangguk. Tak sabar aku mencecar dirinya. Tanganku seccara tiba-tiba mengguncang tubuh Suib. Aku betul-betul tak peduli pada Zuleha yang mendampinginya.
"Apakah Zaini sudah pulang? Di mana dia sekarang?" tanyaku tak habis-habisnya.
"Dengar dulu, Wan," sahut Wan Suib yang sejak dulu memanggil namaku Wan Zuraida. Wan Suib pun bercerita panjang lebar. Dirinya mengabarkan kepulangan Zaini beberapa hari lalu. Tapi kondisi Zaini begitu jauh berbeda. Ia pulang sudah jadi orang gila. Rambutnya kusut-masai. Ia benar-benar lupa ingatan. Tak seorang pun yang dikenalinya lagi. Benarlah kata orang bila sudah masuk lokap di Negeri Jiran itu, sudah bisa dipastikan tak akan selamat lagi.
"Sudahlah, Wan. Berdoa dan bersabar saja bagi kesembuhan Zaini," hanya kalimat itu yang bisa diucapkan orang-orang sekampung sekedar bersimpati pada diriku. Benarlah firasat burukku dulu bahwa kepergian Zaini ke negeri jiran hanya menjemput kenestapaan. Konon, kuperoleh cerita yang terpisah-pisah, Zaini tak sempat bersekolah apalagi bekerja karena ditangkap pihak polisi.
Meski hanya beberapa bulan di lokap tapi saat dirinya dilepas, kondisinya sudah senu. Hidupnya luntang-lantung di kawasan kebun sawit di Johor. Bahkan pernah pula ia terlantar di terminal bus Kuala Lumpur. Tak ada yang peduli. Hidupnya pun jadi orang usiran tanpa ada yang berbelas-hati. Tak banyak yang tahu bagaimana nasibnya selama belasan tahun lebih di rantau orang.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Hari-hariku masih selalu berharap agar Zaini kembali hidupseperti sediakala. Meski dokter jiwa memperkirakan penyakit gila Zaini sudah sangat kronis. Sulit disembuhkan. Tapi aku tak pernah menyerah. Meski kedengarannyaaku seolah-olah ikut jadi gila. Kucoba membawa Zaini ke pelantar kecil di tepi pantai yang pennuh kenangan itu. Kebetulan bulan merah bertahta persis di atas Pulau Penyengat. Kukisahkan sesukaku pada Zaini bagaimana bulan merah itu selalu jadi saksi percintaan kami. Aku bercerita lepas begitu saja bagai orang gila.
"Zaini, pada bulan merah ini, kau pulang. Masih ingatkah kau ucapkan janji itu?" ucapku tanpa berharap Zaini menyahut. Tapi selalu ada harapan dalam hatiku. Bolamata Zaini tampak menatap lama ke bulan merah itu. Meski tak kutahu apa maknanya. Zaini terbatuk beberapa kali. Ajaib. Kurasakan bolamatanya basah. Air matanya mengalir hangat yang hinggap di jemariku.
"Zaini....!! kupanggil namanya kuat-kuat. Berteriak sesukaku. Meski Zaini tetap bergeming. Terus saja kuberteriak. Berharap lelaki itu tersadar dan merajut kembali sisa kenangan yang lama berlalu.
Zainiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!" (*)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.
Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih