Jumat, 26 Juni 2015

Hikayat Kota Orang-Orang Putus Asa

Hikayat Kota Orang-Orang Putus Asa Oleh: Ilham Q Moehiddin



Berjalanlah ke selatan, akan kau temui sebuah kota, di mana orang-orang putus asa tinggal. Kota vyang memiliki telaga kecil dengan kilauan di permukaannya. Telaga yang menghisap harapan. Konon, tak ada ikan di dalamnya.

Telaga yang hanya memantulkan cahaya merah rembulan, dan tepiannya ditumbuhi lumut putih yang bertangkai sebesar lidi kelapa dengan bola-bola berlendir pada ujungnya. Orang-orang putus asa di kota itu menamai telaga kecil mereka: Telaga Dosa.

Konon, orang-orang putus asa terjun ke telaga itu, lalu mati karam ke dasarnya. Kematian telah mengubah suasana di sekeliling telaga itu menjadi suram. “Jangan coba-coba kau ungkit kisah ini. Orang di sana tak suka. Pamali!” kecam para Apua (tetua adat).

Larangan itu harus dipatuhi semua orang dari luar kota itu. Tetapi, larangan itu mencungkil keingin-tahuanku. Pada satu-satunya penujum di sini, kutanyai ia tentang kisah para pendahulu dan telaga itu. Bukan cerita yang kudapat darinya, justru diberinya aku amarah. Penujum tua itu melotot, menghumbalangkan panic ramuannya, lalu buru-buru mengubur tubuhnya di bawah selimut bulu Beruang. Diusirnya aku saat itu juga.


Ikutilah jejak ular pasir di gurun itu, kau akan tiba di kota yang ditinggali orang-orang putus asa. Orang-orang putus asa dari segala penjuru negeri datang ke kota itu untuk membuang diri. Melunta-luntakan hidup mereka yang mereka kira telah habis harapan itu.

“Sudah aku katakan jangan kau ungkit-ungkit kisah para pendahulu. Kelakuanmu itu sangat terlarang!” begitu jengkelnya Apua saat mengetahui perbuatanku.

Penasaranku telah menyusahkannya. Tetapi, siapa pun yang dilarang dengan kalimat macam itu, maka bohong besar jika ia tak terpancing keingin-tahuannya. Apua menceritakan suatu peristiwa; tentang kumpulan kecil orang datang ke kota itu, lalu dengan dalih reformasi mereka mencoba-coba mengubah kalimat keramat yang dipahatnya di tugu pembatas kota. Seketika mereka dihujat karena mereka menistakan para pendahulu, dituduh telah berbuat amoral dengan memberikan harapan pada orang lain. Satu-satunya moral yng diterima di kota ini hanyalah keputus-asaan.

Sekumpulan kecil orang itu dimahkamahkan, lalu diarak ketepian Telaga Dosa. Kemudian, seseorang dari mereka dijadikan contoh buat semua orang yang hadir di situ. Ia dianiaya hingga kepayahan, sebelum dilemparkan ke tengah telaga. Ia karam mati di situ. Mayatnya dikuburkan di luar tapal batas kota.

Hukuman yang paling menakutkan bagi penduduk kota itu bukanlah di tenggelamkan, tetapi dikuburkan di luar kota. Hukuman itu adalah pembantaian atas marwah mereka sebagai orang-orang putus asa.


Aku mengikuti sebentuk awan kelabu yang berarak ke selatan, sehingga sampailah aku di depan gerbang kota orang-orang putus asa. Kota orang-orang yang menerima kekalahan, sekaligus tak memberi apa pun melebihi keputus-asaan mereka sendiri.

Seperti apa yang mereka sampaikan pada setiap orang yang datang ke sini, padaku pun mereka sampaikan larangan yang sama; jangan sekali pun menanyakan perihal telaga di tengah kota ini dan kenapa pendahulu memilih kekal di dasarnya. –Itu bukan untuk didiskusikan. Pamali!

Tetapi, seringnya larangan itu diulang-ulang membuat kesabaranku terkikis. Keingin-tahuan mendorongku datang pada satu-satunya orang yang memiliki jawaban. Ya. Si Penujum tua itu. Namun ia seketika melotot, menendang panci ramuan hingga humbalang, mengubur tubuhnya di bawah selimut bulu Beruang seraya mengoceh tak putus-putus. “Pamali, pamali, pamali—“

“Informasi itu penting untuk cerita yang sedang aku tulis,” ujarku memohon.

“Memangnya kau siapa hendak menulis sesuatu yang kami larang?” Si Penujum tua berteriak dari bawah selimutnya. “Cukuplah bagimu apa yang terpahat di tugu batu di depan kota ini.”

“Baiklah, jika Tuan tak mau,” aku menenangkannya, “tapi katakanlah pada siapa aku bisa mendapatkan keterangan tentang itu?”

Seketika si Penujum tua keluar dari tumpukan bulu Beruang. Seperti baru saja tergigit seekor Semut Api Amazon, matanya merah karena terbakar amarah. “Pergilah! Jangan sampai aku mengadukanmu pada para pengawas kota. Akan aku lupakan bahwa kau pernah ke sini dan melontarkan kekotoran dari mulutmu. Pergilah!”

Bukankah telah jelas – siapa pun yang dilarang dengan kalimat bernama seperti itu, maka ia pasti berbohong jika rasa penasarannya tak terpancing. Aku keluar dari rumah si Penujum tua. Aku hendak menjemput jawaban dari orang-orang putus asa lainnya di kota ini. Aku hampiri mereka satu per satu. Aku singgahi setiap tempat mereka berkumpul.



Mendongaklah – saat kau menda-pati bulan berwarna merah di ujung gurun, maka sinarnya akan menuntunmu ke kota yang dihuni orang-orang putus asa. Kota orang-orang yang membunuh setiap pertanyaan perihal leluhur mereka, tentang keanehan telaga, tentang kedpatuhan yang tak boleh diungkap.

“Tidakkah kau baca pahatan ditugu batu di depan gerbang kota ini?” Seorang Pengawas Kota memuntahkan amarahnya ke wajahku.

Aku kini berada di mahkamah yang disesaki orang-orang putus asa. Aku memprotes mahkamah ini. Tak ada perlunya mereka mendakwaku um\ntuk hal yang tak aku pahami. “Tapi aku tak memahami maksudnya.”

Orang itu mendelik. “Kau tak perlu memahaminya. Kau hanya perlu mematuhinya.”

“Bagaimana aku mematuhi sesuatu yang tak aku pahami?” aku mendebatnya.

“Kau mengganggu keteraturan di kota ini dengan berbagai pertanyaan yang kami larang.” Aku menegakkan punggung. “Jadi? Apa yang nantinya akan kuceritakan tentang kota ini?”

Pengawas Kota itu mengangguk tegas. “Tidak ada. Terima saja keadaan kami. Kau tahu – kau tak patut memaksakan keberatan atas apa yang apa yang telah kami lakukan turun temurun.”

“Aku tak memaksa. Hanya ingijn jawaban.”

“Apa bedanya? Bukankah kau sedang berusaha membuat kami melanggar sesuatu yang kami haramkan?”

Aku terdiam. Wajah si Pengawas Kota tiba-tiba sinis, “—karenanya, kau akan kami hukum!”

“Tunggu!” Aku berdiri, “aku bahkan bukan warga kota ini.”

Tetapi Pengawas Kota tak hirau padaku lagi. Ia menoleh pada empat Pengawas Kota lainnya yang telah menganggukkan kepala mereka padanya.

“Kalian!” Pengawas Kota itu menunjuk dua orang dibelakangku, “bawa orang ini ke telaga!”

“Tunggu dulu—“ Aku menolak perlakuan mereka. Tetapi, orang-orang putus asa itu tak peduli. Mereka menggamit lenganku, memaksaku berjalan menuju telaga. Orang-orang putus asa lainnya mengekori kami seraya mendengungkan kalimat keramat.

Wahai pendahulu kami. Dimuliakan namamu, ditinggikan kisahmu, sucilah yang kalian larang.

Para Pengawas Kota memerintahkan agar aku dicampakkan ke tengah telaga. Tubuhku tercebur, membenam beberapa saat. Tanganku menggapai-gapai di permukaan air, berusaha sekuat tenaga menuju tepian. Tetapi air telaga itu seperti sedang mencarak semua harapanku, menarik tubuhku untuk dikaramkan ke dxasar telaga.

Aku bukan salah satu dari orang-orang putus asa di kota ini. Aku tak ingin mati di dasar telaga. Walau kepayahan, aku berhasil menggapai tepian telaga. Seorang gadis muda berjongkok di atas tubuhku yang sekarat itu. Kata-kata seperti berlompatan dari bibirku.

“Kau tahu – jawaban yang kalian cari ada di dasar telaga ini. Mungkin aku tak akan sempat menuliskannya dalam ceritaku.”

Gadis itu nyaris tak mendengar gumamku. Ia mendekatkan telinganya.

“Jangan dengarkan apa yang mereka ingin agar kau percayai.”

“Ada apa di bawah sana?” Gadis itu mendesak.

“Di bawah sana banyak ikan – banyak sekali.” Suaraku nyaris hilang. “Harapan lebih banyak di dasar telaga ini daripada di atasnya, di kota yang mengepungnya. Kau harus tahu bahwa di bawah sana tak ada jejak Para Pendahulu.” Gadis itu terpana, sebelum cahaya pergi dari bola mataku. (*)



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.

Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih