Cerpen: M. Amin Taufani
Bagaimana kalau salah satu melihat Galang, tentu ada Lia senyum-senyum membaca apa yang sedang ditulis kakaknya. Tulisan dengan kalimat yang indah dan penuh makna. Menggambarkan perasaan hati dan kerinduan pada seseorang. Ingin rasanya pada saat itu Lia berkomentar, tapi khawatir mengganggu penghayatan Kanty pada tulisannya.
Dari kamar Kanty cewek berambut panjang dan dikepang ini menuju tempat Ratih kakaknya juga. "Aneh apa ini musim orang jatuh hati?" gumam Lia, karena dilihatnya Ratih sedang bertopang dagu dengan berekspresi membayangkan wajah seseorang, Lia mendekati Ratih dan duduk disampingnya. Ratih sendiri mengeserkan duduknya memberikan tempat Lia. "kok tahu aku datang, kukira sedng melamun," kata Lia santai.
"Memang sedang melamun. Kamu saja yang mengganggu," ujar Ratih.
"Mau tanya kak, ini musim jatuh hati ya kak?"
"Siapa yang bilang?"
"Engga ada cuma menarik kesimpulan."
"Kesimpulan? Sok tahu kamu," ujar Ratih setengah tertawa mendengar kata-kata Lia yang bicara dengan gaya orang besar.
"Ya tadi ditempat Kak Kanty, ia sedang menulis puisi tentang hati. Dan di sini Kak Ratih pun sedang melamunkan seseorang. Benar bukan?"
Kalau benar bagaimana?"
"Aku diberitahu orangnya."
"Boleh tapi rahasia."
Lia mengangguk.
"Galang."
"O, Mas Galang si kutu buku itu."
"Ingat rahasia," tegas Ratih saat Lia berteriak menyebut nama Galang.
"Kamu besok ada acara?" lanjut Ratih yang khawatir adiknya akan membicarakan cowok idamannya ini atau mungkin akan bertanya macam-macam.
Lia menepuk jidat, lalu menggeleng. "Mau ngajak kemana?"
"Besok temani aku ke perputakaan."
"Kalau aku bisa.
Sebenarnya Lia bukanlah adik kandung bagi Kanty dan Ratih. Mereka bertemu di sekolah sebagai kakak dan adik kelas. Dan karena mereka aktif mengikuti kegiatan ekstra kulikuler bersama membuat mereka lebih cepat akrab. Ditambah lagi orang tua Lia juga menganggap dua anak ini layaknya anak sendiri. Sehingga secara tidak langsung ketiganya merasa telah menjadi saudara.
Bagi Lia untuk bermain di kamar Kanty atau Ratih sudah biasa. Dan kali ini i masuk kamar Kanty untuk mencari tahu tentang orang yang sedang diincar oleh Kanty. Telah hampir sepuluh menit Lia membuka-buka buku. Mungkin ada nama cowok disana. Lia berinisiatif demikian karena ia tahu kebiasaan Kanty yang menulis sesuatu dibukunya.
"Nah kebetulan kamu ada disini," suara Kanty mengejutkan aktivitas Lia.
"Kebetulan apa Kak Ti?"
"Kamu jaga kamarku."
"Kak Ty mau kemana?" Lia heran melihat Kanty yang tergesa.
"Perpustakaan."
Lia hanya mengangguk lalu kembali membuka buku lagi. Dan... "Galang," batin Lia ketika matanya menatap sebuah nama tertulis indah di pojok sebuah buku yang ditulis dengan tulisan yang indah. Jadi Kak Kanty juga suka Mas Galang? Wah payah, pikir Lia. Bagaimana jika keduanya tahu kalau orang yang disukai sama jangan-jangan mereka nanti bermusuhan, apa yang harus akku lakukan, batin Lia.
Celaka.... Lia tersentak. Ia ingat, kemarin Ratih mengajaknya keperpustakaan dan tadi juga Kanty akan ke sana. Rupanya mereka punya rencana yang sama, yaitu ingin bertemu Galang yang memang suka sekali berlama-lama di perpustakaan. Bagaimana kalau salah satu bertemu Galang dan yang lain melihat, tentu akan cemburu. Tidak, jangan sampai terjadi. Aku harus mencegah mereka tidak saling bertemu, batin Lia lagi.
Lia segera meninggalkan kamat Kanty dan menuju perpustakaan. Ia jadi gelisah bila kendaraan yang ditumpanginya berhenti untuk menaikan atau menurunkan penumpang, karena perjalanan jadi terhambat. Seandainya ia punya kuasa tentu akan meminta penumpang lain untuk mengalah, agar dirinya lebih cepat sampai tujuan. Akhirnya Lia menarik napas lega, setelah tiba di perpustakaan. Tapi hanya sesaat, karena ia harus mencari Galang, Ratih dan Kanty, serta membuat cara agar mereka tidak saling bertemu.
Pertama yang ditemukan adalah Galang. "Sudah lama Mas Galang? sapanya sedikit gugup.
"Lumayan. Kamu sendirian Lia?"
Lia mengangguk, tapi matanya berkeliling mengamati orang-orang di sekitarnya.
"Kamu cari siapa Lia?" tanya Galang yang memperhatikan kegelisahan Lia.
"Tidak Mas baca aja terus!" sahut Lia sambil menarik kursi dan mendudukinya. Untuk mengurangi rasa gugup, diambilnya sebuah buku sekenanya lalu pura-pura konsentrasi membaca.
Galang hanya tersenyum, namun matanya diam-diam mencuri pandang pada gadis di depannya. Sementara Lia sendiri kadang melihat ke arah Galang, maksudnya untuk melihat keadaan sekitar tanpa dicurigai menakala mata mereka bertemu Lia hanya tersenyum dan Galang kembali pada bukunya tentu setelah membalas senyum Lia. Cukup lama mereka kucing-kucingan dengan tujuan masing-masing.
Usaha Lia tidak sia-sia. Dilihatnya Ratih tengah berada diantara rak-rak buku sambil memilih-milih. Tapi arah jalan Ratih meskipun pandangannya tertuju pada buku-buku di depannya tapi menuju ke tempat dimana dirinya dan Galang berada. Harus dicegah.
Mau kemana Lia?" tanya Galang ketika Lia beranjak pergi.
"Ambil buku," jawab Lia singkat.
"Aku jua mau ambil buku pariwisata," ujar Galang mengikuti Lia.
"Jangan biar aku saja yang ambilkan," Lia buru-buru mencegah.
Galang mengalah, ia kembali duduk. Sedang Lia dengan perasaan tak menentu mendekati Ratih dengan sesekali menoleh pada Galang.
"Cari buku apa Kak?" suara Lia seperti membuat kejutan didekat Ratih agar terlihat wajar.
"Lho kok kamu di sini?"
"Kak Ratih kan kemarin minta aku temani jadi ya aku menemani Kak Ratih," jawab Lia mantap karena bisa menemukan jawaban tepat.
"Ya sudah kita cari tempat duduk," ujar Ratih setelah mengambil sebuah buku dan berjalan menuju dimana Galang berada.
"Jangan ke sana Kak," rajuk Lia.
"Kenapa?"
"Nggak enak banyak cowoknya."
Ratih menuruti saja tanpa merasa curiga sedikitpun. Padahal kalau ia tahu Galang ada di tempat yang ia tuju tentu akan mengajak Lia ke sana. Beberapa menit terasa tenang bagi Lia, tapi begitu Galang tidak ditempatnya Lia jadi gelisah.
"Pasti Mas Galang mencariku," batin Lia.
"Sebentar Kak," pamit Lia. Begitu Lia berdiri dari arah berlawanan dengan Kanty muncul.
"Kak Ratih duduk saja, baca dengan tenang dan jangan tengok-tengok," pinta Lia.
"Ada apa?"
"Nothing pokoknya tenang saja."
Dengan hati berdebar Lia mencari Galang tapi juga harus menghindari Kanty. Ia tetap bertekad untuk tidak mempertemukan ketiganya.
"Heh bengong di sini," tegur seseorang dari belakangnya.
"Oh ya Mas Galang juga di sini," sahut Lia menutupi rasa terkejutnya.
"Cari kamu. Kupikir sudah pulang atau sedang kecantol seseorang," goda Galang. Lia cuek saja menanggapinya. Keduanya lalu berjalan santai. Jantung Lia kembali berdebar dilajur rak sebelahnya, Kanty juga sedang berjalan ke arah berlawanan. Kanty tampak mengamati buku yang mungkin akan diambil. Karena deretan buku disitu tinggal beberapa sehingga sangat mudah untuk melihat orang di sebelah. Lia mengambil buku yang cukup besar untuk menutupi celah yang kemungkinan Kanty bisa melihatnya.
"Kamu sedang apa Lia?" Galang heran melihat tingkah Lia.
"Jangan triak-teriak," Lia bicara setengah berbisik.
"Ada apa?" Galang ikut berbisik, Lia menggeleng dan memberi isyarat Galang untuk jalan lebih dulu.
"Hari ini kamu aneh sekali Lia?"
"Aneh kenapa?"
"Kamu seperti sedang gelisah dan ketakutan," tebak Galang setelah mereka duduk.
"Nggak juga nyatanya aku masih bisa tertawa," elak Lia sambil memperdengarkan ketawanya. Galang geleng-geleng bukan hanya karena tingkah Lia, tapi juga ketawanya yang mengganggu lingkungan.
"Lia!" sebuah suara menghentikan tawa Lia seketika. Suara cewek. Ia merasa tulang-tulangnya seperti dilolosi sehingga badannya menjadi lemas. Perlahan Lia memutar leher. Demikian juga Galang. Terasa longgar rongga dada Lia saat ia tak mengenal orang yang memanggilnya. Rupanya hanya persamaan nama saja. Pada kesempatan itu pula Lia dapat melihat Kanty dan Ratih di tempatnya masing-masing.
"Lia kita pulang," Galang berdiri dan berjalan keluar yang kemudian diikuti Lia dengan hati-hati. Ia merasa berhasil meski sementara.
"Besok aku ke rumahmu," janji Galang di luar gedung perpustakaan. Lia hanya mengiyakan dengan mengangguk.
"Aku suka kamu Lia," kata Galang saat menemui Lia keesokan harinya.
"Suka aku maksudnya?"
"Ya suka kamu dan inginkan kamu menjadi milikku," ujar Galang tegas.
"Tapi kakak-kakakku......" kata-katanya terhenti terhenti tak sampai mengatakan hal yang sebenarnya.
"Kenapa apa karena mereka belum punya cowok?"
Lia tak menjawab.
"Baiklah kalau begitu aku akan minta izin pada mereka," Galang memutuskan. Lia masih diam dan tak peduli saat Galang meninggalkannya.
Sepekan setelah pernyataan Galang pada dirinya ia tak merasa adanya perubahan pada sikap Kanty dan Ratih. Mereka tetap biasa. Bahkan keduanya sering menggoda Lia yang tiba-tiba jadi pendiam. Namun ada juga kegembiraan yang menyelinap di hatinya. Ia berpikir Galang belum mengatakan apa yang pernah dijanjikan padanya untuk minta izin dari Ratih dan Kanty. Bagaimanapun juga ia tak bisa mengkhianati dua kakaknya untuk menerima Galang.
Hari-hari berikutnya Lia kembali ceria.
"Nah gitu dong jadi anak jangan cemberut."
"Siapa yang cemberut?" tangkis Lia.
"Ya kamu itu."
Lia hanya senyum simpul.
"Lia benarkah kamu anggap kami ini kakak-kakakmu?" Ratih bertanya serius. Lia tampak bingung namun ia jelas mengiyakan.
"Kalau begitu maukah memenuhi permintaan kami?" kali ini Kanty yang bicara.
"Permintaan apa Kak Ti?"
"Jawab dulu, Lia mau memenuhinya?"
Meski tak tahu apa yang dimaksud Lia menyanggupinya.
"Terimalah Galang dihatimu Lia."
Lia terkejut dipandanginya dua wajah didepannya. Penuh kedamaian. Tak ada kekecewaan dan keterpaksaan. Sebelum Lia berkomentar, Ratih telah menjelaskan tentang maksud Galang yang datang pada mereka. Ratih pun menambahkan, mereka memang suka Galang tapi lebih suka lagi, kalau Lia menerima Galang. Karena ini mempererat pertalian persahabatan dan persaudaraan di antara mereka. (*)
Bagaimana kalau salah satu melihat Galang, tentu ada Lia senyum-senyum membaca apa yang sedang ditulis kakaknya. Tulisan dengan kalimat yang indah dan penuh makna. Menggambarkan perasaan hati dan kerinduan pada seseorang. Ingin rasanya pada saat itu Lia berkomentar, tapi khawatir mengganggu penghayatan Kanty pada tulisannya.
Dari kamar Kanty cewek berambut panjang dan dikepang ini menuju tempat Ratih kakaknya juga. "Aneh apa ini musim orang jatuh hati?" gumam Lia, karena dilihatnya Ratih sedang bertopang dagu dengan berekspresi membayangkan wajah seseorang, Lia mendekati Ratih dan duduk disampingnya. Ratih sendiri mengeserkan duduknya memberikan tempat Lia. "kok tahu aku datang, kukira sedng melamun," kata Lia santai.
"Memang sedang melamun. Kamu saja yang mengganggu," ujar Ratih.
"Mau tanya kak, ini musim jatuh hati ya kak?"
"Siapa yang bilang?"
"Engga ada cuma menarik kesimpulan."
"Kesimpulan? Sok tahu kamu," ujar Ratih setengah tertawa mendengar kata-kata Lia yang bicara dengan gaya orang besar.
"Ya tadi ditempat Kak Kanty, ia sedang menulis puisi tentang hati. Dan di sini Kak Ratih pun sedang melamunkan seseorang. Benar bukan?"
Kalau benar bagaimana?"
"Aku diberitahu orangnya."
"Boleh tapi rahasia."
Lia mengangguk.
"Galang."
"O, Mas Galang si kutu buku itu."
"Ingat rahasia," tegas Ratih saat Lia berteriak menyebut nama Galang.
"Kamu besok ada acara?" lanjut Ratih yang khawatir adiknya akan membicarakan cowok idamannya ini atau mungkin akan bertanya macam-macam.
Lia menepuk jidat, lalu menggeleng. "Mau ngajak kemana?"
"Besok temani aku ke perputakaan."
"Kalau aku bisa.
Sebenarnya Lia bukanlah adik kandung bagi Kanty dan Ratih. Mereka bertemu di sekolah sebagai kakak dan adik kelas. Dan karena mereka aktif mengikuti kegiatan ekstra kulikuler bersama membuat mereka lebih cepat akrab. Ditambah lagi orang tua Lia juga menganggap dua anak ini layaknya anak sendiri. Sehingga secara tidak langsung ketiganya merasa telah menjadi saudara.
Bagi Lia untuk bermain di kamar Kanty atau Ratih sudah biasa. Dan kali ini i masuk kamar Kanty untuk mencari tahu tentang orang yang sedang diincar oleh Kanty. Telah hampir sepuluh menit Lia membuka-buka buku. Mungkin ada nama cowok disana. Lia berinisiatif demikian karena ia tahu kebiasaan Kanty yang menulis sesuatu dibukunya.
"Nah kebetulan kamu ada disini," suara Kanty mengejutkan aktivitas Lia.
"Kebetulan apa Kak Ti?"
"Kamu jaga kamarku."
"Kak Ty mau kemana?" Lia heran melihat Kanty yang tergesa.
"Perpustakaan."
Lia hanya mengangguk lalu kembali membuka buku lagi. Dan... "Galang," batin Lia ketika matanya menatap sebuah nama tertulis indah di pojok sebuah buku yang ditulis dengan tulisan yang indah. Jadi Kak Kanty juga suka Mas Galang? Wah payah, pikir Lia. Bagaimana jika keduanya tahu kalau orang yang disukai sama jangan-jangan mereka nanti bermusuhan, apa yang harus akku lakukan, batin Lia.
Celaka.... Lia tersentak. Ia ingat, kemarin Ratih mengajaknya keperpustakaan dan tadi juga Kanty akan ke sana. Rupanya mereka punya rencana yang sama, yaitu ingin bertemu Galang yang memang suka sekali berlama-lama di perpustakaan. Bagaimana kalau salah satu bertemu Galang dan yang lain melihat, tentu akan cemburu. Tidak, jangan sampai terjadi. Aku harus mencegah mereka tidak saling bertemu, batin Lia lagi.
Lia segera meninggalkan kamat Kanty dan menuju perpustakaan. Ia jadi gelisah bila kendaraan yang ditumpanginya berhenti untuk menaikan atau menurunkan penumpang, karena perjalanan jadi terhambat. Seandainya ia punya kuasa tentu akan meminta penumpang lain untuk mengalah, agar dirinya lebih cepat sampai tujuan. Akhirnya Lia menarik napas lega, setelah tiba di perpustakaan. Tapi hanya sesaat, karena ia harus mencari Galang, Ratih dan Kanty, serta membuat cara agar mereka tidak saling bertemu.
Pertama yang ditemukan adalah Galang. "Sudah lama Mas Galang? sapanya sedikit gugup.
"Lumayan. Kamu sendirian Lia?"
Lia mengangguk, tapi matanya berkeliling mengamati orang-orang di sekitarnya.
"Kamu cari siapa Lia?" tanya Galang yang memperhatikan kegelisahan Lia.
"Tidak Mas baca aja terus!" sahut Lia sambil menarik kursi dan mendudukinya. Untuk mengurangi rasa gugup, diambilnya sebuah buku sekenanya lalu pura-pura konsentrasi membaca.
Galang hanya tersenyum, namun matanya diam-diam mencuri pandang pada gadis di depannya. Sementara Lia sendiri kadang melihat ke arah Galang, maksudnya untuk melihat keadaan sekitar tanpa dicurigai menakala mata mereka bertemu Lia hanya tersenyum dan Galang kembali pada bukunya tentu setelah membalas senyum Lia. Cukup lama mereka kucing-kucingan dengan tujuan masing-masing.
Usaha Lia tidak sia-sia. Dilihatnya Ratih tengah berada diantara rak-rak buku sambil memilih-milih. Tapi arah jalan Ratih meskipun pandangannya tertuju pada buku-buku di depannya tapi menuju ke tempat dimana dirinya dan Galang berada. Harus dicegah.
Mau kemana Lia?" tanya Galang ketika Lia beranjak pergi.
"Ambil buku," jawab Lia singkat.
"Aku jua mau ambil buku pariwisata," ujar Galang mengikuti Lia.
"Jangan biar aku saja yang ambilkan," Lia buru-buru mencegah.
Galang mengalah, ia kembali duduk. Sedang Lia dengan perasaan tak menentu mendekati Ratih dengan sesekali menoleh pada Galang.
"Cari buku apa Kak?" suara Lia seperti membuat kejutan didekat Ratih agar terlihat wajar.
"Lho kok kamu di sini?"
"Kak Ratih kan kemarin minta aku temani jadi ya aku menemani Kak Ratih," jawab Lia mantap karena bisa menemukan jawaban tepat.
"Ya sudah kita cari tempat duduk," ujar Ratih setelah mengambil sebuah buku dan berjalan menuju dimana Galang berada.
"Jangan ke sana Kak," rajuk Lia.
"Kenapa?"
"Nggak enak banyak cowoknya."
Ratih menuruti saja tanpa merasa curiga sedikitpun. Padahal kalau ia tahu Galang ada di tempat yang ia tuju tentu akan mengajak Lia ke sana. Beberapa menit terasa tenang bagi Lia, tapi begitu Galang tidak ditempatnya Lia jadi gelisah.
"Pasti Mas Galang mencariku," batin Lia.
"Sebentar Kak," pamit Lia. Begitu Lia berdiri dari arah berlawanan dengan Kanty muncul.
"Kak Ratih duduk saja, baca dengan tenang dan jangan tengok-tengok," pinta Lia.
"Ada apa?"
"Nothing pokoknya tenang saja."
Dengan hati berdebar Lia mencari Galang tapi juga harus menghindari Kanty. Ia tetap bertekad untuk tidak mempertemukan ketiganya.
"Heh bengong di sini," tegur seseorang dari belakangnya.
"Oh ya Mas Galang juga di sini," sahut Lia menutupi rasa terkejutnya.
"Cari kamu. Kupikir sudah pulang atau sedang kecantol seseorang," goda Galang. Lia cuek saja menanggapinya. Keduanya lalu berjalan santai. Jantung Lia kembali berdebar dilajur rak sebelahnya, Kanty juga sedang berjalan ke arah berlawanan. Kanty tampak mengamati buku yang mungkin akan diambil. Karena deretan buku disitu tinggal beberapa sehingga sangat mudah untuk melihat orang di sebelah. Lia mengambil buku yang cukup besar untuk menutupi celah yang kemungkinan Kanty bisa melihatnya.
"Kamu sedang apa Lia?" Galang heran melihat tingkah Lia.
"Jangan triak-teriak," Lia bicara setengah berbisik.
"Ada apa?" Galang ikut berbisik, Lia menggeleng dan memberi isyarat Galang untuk jalan lebih dulu.
"Hari ini kamu aneh sekali Lia?"
"Aneh kenapa?"
"Kamu seperti sedang gelisah dan ketakutan," tebak Galang setelah mereka duduk.
"Nggak juga nyatanya aku masih bisa tertawa," elak Lia sambil memperdengarkan ketawanya. Galang geleng-geleng bukan hanya karena tingkah Lia, tapi juga ketawanya yang mengganggu lingkungan.
"Lia!" sebuah suara menghentikan tawa Lia seketika. Suara cewek. Ia merasa tulang-tulangnya seperti dilolosi sehingga badannya menjadi lemas. Perlahan Lia memutar leher. Demikian juga Galang. Terasa longgar rongga dada Lia saat ia tak mengenal orang yang memanggilnya. Rupanya hanya persamaan nama saja. Pada kesempatan itu pula Lia dapat melihat Kanty dan Ratih di tempatnya masing-masing.
"Lia kita pulang," Galang berdiri dan berjalan keluar yang kemudian diikuti Lia dengan hati-hati. Ia merasa berhasil meski sementara.
"Besok aku ke rumahmu," janji Galang di luar gedung perpustakaan. Lia hanya mengiyakan dengan mengangguk.
"Aku suka kamu Lia," kata Galang saat menemui Lia keesokan harinya.
"Suka aku maksudnya?"
"Ya suka kamu dan inginkan kamu menjadi milikku," ujar Galang tegas.
"Tapi kakak-kakakku......" kata-katanya terhenti terhenti tak sampai mengatakan hal yang sebenarnya.
"Kenapa apa karena mereka belum punya cowok?"
Lia tak menjawab.
"Baiklah kalau begitu aku akan minta izin pada mereka," Galang memutuskan. Lia masih diam dan tak peduli saat Galang meninggalkannya.
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *
Sepekan setelah pernyataan Galang pada dirinya ia tak merasa adanya perubahan pada sikap Kanty dan Ratih. Mereka tetap biasa. Bahkan keduanya sering menggoda Lia yang tiba-tiba jadi pendiam. Namun ada juga kegembiraan yang menyelinap di hatinya. Ia berpikir Galang belum mengatakan apa yang pernah dijanjikan padanya untuk minta izin dari Ratih dan Kanty. Bagaimanapun juga ia tak bisa mengkhianati dua kakaknya untuk menerima Galang.
Hari-hari berikutnya Lia kembali ceria.
"Nah gitu dong jadi anak jangan cemberut."
"Siapa yang cemberut?" tangkis Lia.
"Ya kamu itu."
Lia hanya senyum simpul.
"Lia benarkah kamu anggap kami ini kakak-kakakmu?" Ratih bertanya serius. Lia tampak bingung namun ia jelas mengiyakan.
"Kalau begitu maukah memenuhi permintaan kami?" kali ini Kanty yang bicara.
"Permintaan apa Kak Ti?"
"Jawab dulu, Lia mau memenuhinya?"
Meski tak tahu apa yang dimaksud Lia menyanggupinya.
"Terimalah Galang dihatimu Lia."
Lia terkejut dipandanginya dua wajah didepannya. Penuh kedamaian. Tak ada kekecewaan dan keterpaksaan. Sebelum Lia berkomentar, Ratih telah menjelaskan tentang maksud Galang yang datang pada mereka. Ratih pun menambahkan, mereka memang suka Galang tapi lebih suka lagi, kalau Lia menerima Galang. Karena ini mempererat pertalian persahabatan dan persaudaraan di antara mereka. (*)