Akibat lebar tubuhnya sama dengan Sungai Cisadane, maka, jika ia tak kunjung pulang, air sungai pun akan meluap dan menibulkan banjir besar. . . . .
______________________________
Warta berkisah, ribuan tahun lalu, hidup dua naga yang merupakan titisan dewa anata (ular) dan dipecaya sebagai penunggu Sungai Cisadane. Sebagaimana layaknya keluarga, daam berbagai hal, terutama kesaktian, satu sama lain seolah tak ada yang mau mengalah. Sang adik yang bernama Gede, diharapkan sebagai penguasa Gunung Gede – sementara, sang kakak yang bernama Naga adalah calon penguasa laut utara Jawa Barat, tepatnya di kawasan Teluk Naga.
Keduanya akan mendapat tugas khusus menjaga aliran sepanjang Sungai Cisadane. Gede mengatur sumber mata air, sedang Naga sebagai pengatur pertemuan air di muara – dan mencegah air lautagar tidak masuk ke daratan. Sebelum melaksanakan tugasnya, dewa anata keduanya untuk bertapadi kaki Gunung Gede selama 100 tahun.
Ketika pertapaan berjalan 100 tahun, keduanya ingin keluar dari goa untuk sekedar berjemur dan menikmati hangatnya sinar matahari. Dan sebelum kembali masuk goa, Naga ingin mengetahui kesaktian yang telah dimiliki adiknya.
“Adik tunjukkan kesaktianmu,” pinta sang kakak.
Alam seolah ingin menjadi saksi. Konon, tiba-tiba, langit cerah di atas Gunung Gede berubah menjadi gelap gulita disertai dengan petir yang menyambar tiada henti.
Betapa tidak, magma di dalam perut Gunung Gede langsung meningkat aktivitasnya ketika sang adik baru menarik napas.
“Hentikan. . . hentikan. . . ,” demikian pinta sang kakak. Ia tak dapat membayangkan, berapa banyak jatuhnya korban akibat luncuran lahar panas yang keluar dari kepundan Gunung Gede bakal membumihanguskan segala apa yang diterjangnya.
Kini, giliran sang kakak yang memperlhatkan kesaktiannya. Dan tak berapa waktu kemudian, terdengar teriakan Gede yang memperingatkan kakaknya.”Hentikan. . . hentikan. . . .”
Sang adik melihat betapa kehancuran di sepanjang Sungai Cisadane bakal terjadi karena sumber mata air di kaki Gunung Gede, tiba-tiba mengeluarkan air beribu kali lipat dari biasanya.
Sebagaimana sang kakak, ia juga tak sampai hati jika harus melihat begitu banyak padi yang menguning bakal membusuk akibat terjangan banjir, bellum lagi ternak, rumah maupun penduduk yang tinggal di sekitar aliran sungai bakal hanyut. Setelah menyadari keunggulan masing-masing, sejak itu, keduanya berjanji tidak akan menggunakan ilmunya dengan secara sembarangan.
Waktu terus berlalu, tanpa terasa, seribu tahun sudah Naga dan Gede menjalankan tapa bratanya dengan tekun dan khusyuk. Boleh dikata, dengan menguasai ilmu yang mumpuni, maka, mereka memang pantas menjaga daerah yang dipercayakan kepadanya. Walau begitu, kadang Gede merasa iri kepada sang kakak, yang ia yakini lebih mumpuni dari dirinya.
Keesokan harinya, saat keduanya keluar dari goa masing-masing untuk segera menjalankan dharma hidup sebagaimana yang dititahkan dewata, sang adik pun bertanya. “Kenapa hari ini kakak tampak murung?”
“Sebenarnya hari ini sudah saatnya aku pergi, tetapi, ada sesuatu yang harus aku lakukan,” jawab sang kakak tetap dengan wajah murung.
“Pergi kemana? Aku ikut. . . ,”demikian potong si adik cepat.
“Tidak, engkau harus tetap di sini,” ujar sang kakak sambil mengingatkan pesan dewa anata bahwa sang adik calon penunggu Gunung Gede, sedang dirinya harus berangkat ke muara Cisanade.
“Kakak aku tak pernah bisa berjauhan darimu,” rengek si adik yang selama ini banyak dibimbing dan diarahkan oleh kakaknya.
Naga pun kembali mengingatkan dan meyakinkan bahwa keduanya harus menunaikan tugas dewata untuk menjaga sungai dan lautan.
Cukup lama Naga mengingatkan Gede, adiknya, bahwa mereka harus berpisah. Hingga akhirnya, dengan perasaan berat, Naga pun berangkat meninggalkan adiknya. Sementara, sambil memeluk Gunung Gede, si adik pun menangis beberapa hari.
Menurut tutur yang berkembang di kalangan orang-orang tua, saat Naga hendak meninggalkan Gunung Gede, untuk mempermudah dan mempercepat tubuhnya yang selebar sungai itu meluncur ke arah laut, maka ia terlebih dahulu meluapkan Sungai Cisadane. Konon, saat itu, merupakan banjir untuk yang pertama kalinya.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, pada suatu ketika, Gede merasa rindu yang teramat sangat pada kakaknya. Semula ia mencoba menahannya. Tetapi apa daya, semakin ditahan, wajah sang kakak makin tampak jelas menari-nari dipelupuk matanya. Akhirnya, karena tak kuasa menahannya, ia pun memohon izin kepada dewa Anata untuk sekedar bisa bertemu dengan sang kakak walau hanya sesaat.
“Oh... dewa, aku sangat merindukan kakakku,” teriaknya sambil tak tahu apa yang harus dilakukan.
Ketika perasaan ini dijeritkan, hujan lebat pun turun selama beberapa hari mengguyur Gunung Gede, bahkan, di beberapa tempat, tebing pun longsor. . . .
Melihat bakal terjadi kerusakan di mayapada, dewa Anata turun dan berkata. “Pergilah, namun, perjalanan harus dilakukan pada malam hari, dan sudah kembali ke tempat ketika ayam mulai berkokok.”
Gede sontak setuju, ketika akan berangkat, mendadak hatinya kembali resah. Maklum, kemampuan untuk memperbesar dan memperkecil mata air hanya dimiliki sang kakak. Tapi Gede nekat, ia pun berangkat dengan menyusuri Sungai Cisadane.
“Kakak aku datang. . . ,” demikian kata Gede dengan gembira.
“Adik. . . ,” kata Naga juga dengan penuh kasih dan kerinduan.
Keduanya langsung saling melepaskan kerinduan di sebuah teluk di pantai itu. Tiba-tiba seseorang yang memiliki “daya luwih”, tanpa sengaja memergoki keduanya. Dan kejadian inilah yang menjadi cikal bakal daerah yang akhirnya disebut dengan Teluk Naga, yang sekarang termasuk dalam Kabupaten Tangerang – yakni suatu teluk yang mempertemukan dua ekor naga. Naga dan Gede.
Belum lagi hilang kerinduan keduanya, suara ayam jantan yang berkokok menandakan pagi tiba pun terdengar. Tetapi, Gede seolah tak mau mendengarnya. Ia enggan berpisah dengan kakaknya. Alih-alih sang kakak, dewata yang mengingatkannya pun tak digubris.
“Gede . . . kembalilah, waktumu sudah habis,” demikian dewata mengingatkan.
“Tidak . . . aku masih rindu,” jerit Gede.
“Kembali....!” perintah dewata semakin keras.
“Tidak. . . ,” jawab Gede tak kalah sengit.
Perdebatan yang beberapa saat itu, ternyata berakibat sangat buruk. Ketika itu, akibat Gede tak jua mau kembali, maka, sepanjang aliran Sungai Cisadane terkena banjir yang maha heba. Sawah, ternak, harta, bahkan nyawa hilang akibat banjir bandang. Betapa tidak, Gede tak menyadari bandannya yang panjang dan lebarnya sama dengan sungai itu, menutupi jalan air dari hulu menuju ke muara.
Menurut keyakinan masyarakat, banjir terhebat terjadi di suatu tempat yang belakangan termasuk dalam wilayah Tangerang Selatan. Hal itu terjadi karena ukuran perut Gede, tepat berada di tikungan sungai yang di bilangan Desa Lengkong, Tangerang Selatan. Namun, banyak yang meyakini, asal-usul Desa Lengkong bermula dari tikungan sungai tersebut yang tersumbat oleh bagian perut Gede yang paling besar.
Sehingga jangan heran, sampai dengan tulisan ini diturunkan, kebanyakan penduduk meyakini menyakini bahwa daerah Serpong. Kedemangan, Lengkong, dan Kranggan adalah bagian dari Sungai Cisadane, ketimbang daeraah yang lainnya. Dari berbagai sumber terpilih (*)