Musim kemarau belum juga berakhir. Terik matahari terasa begitu menyengat, seakan menembus kulit. Pak Imam baru saja keluar, menuju tempat parkir. Sebelum mengeluarkan kunci kontak, dia mengambil saputangan dari saku celana, menyeka keringat di wajah dan dibalik kerah bajunya.
Anak-anak kelas dua dan tiga yang berada di kantin sekolah, melihat pemandangan itu sebagai sesuatu yang tidak biasa. Mereka bertanya-tanya tentang kepergian Pak Imam yang tampak begitu tergesa-gesa. Pada jam istirahat begini, jarang sekali ada guru yang keluar. Adakalanya beberapa orang sering datang ke kantin secara berombongan duduk mengelilingi sebuah meja. Mereka makan atau minum sembari ngobrol.
Drs Imam Hanafi adalah guru agama di sekolah menengah atas itu. Banyak siswa yang mengagumi sosok Pak Imam yang ramah dan murah senyum. Begitulah penilaian mereka. Namun ada juga beranggapan, harusnya Pak Imam tidak menjadi guru, pantasnya jadi pemain sintron atau menjadi penyanyi seperti Maher Zain.
Pernah juga salah seorang guru wanita berkata bahwa Pak Imam adalah figur seorang pria yang “elok rupa bagus tabiat”, betapa beruntungnya wanita yang mendapatkan suami seperti dia.
Tetapi keadaan ini telah menyulitkan posisi Pak Imam, membuatnya serba salah karena menjadi batu sandungan untuk mendapatkan simpati dan predikat guru idola. Hari ini sikap guru agama itu lain dari hari biasanya. Tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, juga tidak tersenyum. Tiga hari berturut-turut Pak Imam tidak menampakkan wajahnya.
Pada keesokan harinya juga merupakan hari keempat Pak Imam tidak muncul di sekolah itu, tiga orang siswa kelas dua dan tiga, bergerombol, berbisik-bisik. Mereka baru saja mendapat bocoran bahwa Pak Imam kena skorsing.
Konon hal itu disebabkan Pak Imam dinilai telah bertindak tidak tegas dan tidak memberikan sanksi setimpal kepada kepada seorang siswa yang kedapatan menyimpan sebuah pisau kecil ditasnya. Padahal sesungguhnya Pak Imam sudah memberikan teguran keras agar perbuatan itu tidak terulang lagi. Menurutnya peringatan yang ia berikan sudah cukup untuk kasus yang baru pertama kali terjadi.
Namun tidak demikian yang dikehendaki Bapak Kepala Sekolah, Drs Muntahar. Nah, dari sinilah awal mula selisih paham itu. Sebenarnya, semenjak Drs Muntahar bertugas selama setahun terakhit di sekolah tersebut, memang sudah beberapa kali beda pendapat dengan Pak Imam.
Kali ini Pak Muntahar benar-benar merasa tersinggung, dengan cara-cara Pak Imam yang dinilai seakan-akan tidak mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkkan. Menurut Pak Muntahar, tindakan semacam itu secara tidak langsung telah melecehkan kewenangannya sebagai kepala sekolah. Dan itu tentu saja tidak boleh dibiarkan.
“Saya atasan di sini, semua guru, murid atau siapa pun yang berada di sekolah ini harus mematuhi setiap kebijakan yang telah saya tetapkan.”
Sebaliknya Pak Imam berpendapat, meski dirinya bukan kepala sekolah, tetapi dia senior. Atau paling tidak, dialah salah seorang guru yang terlama bertugas di sekolah itu. Bahwa dalam rentang waktu tidak kurang dari delapan tahun dia mengajar, sepertinya belum pernah ada masalah serius yang terjadi di sekolah tersebut.
Namun sesungguhnya, ada beberapa kebiasaan d sekolah itu yang kurang disetujui Pak Imam, tetapi oleh guru-guru yang lain, bahkan kepala sekolah pun beranggapan sebagai hal yang biasa. Salah satunya adalah aksi saling coret baju seragam saat kelulusan. Dalam pandangan Pak Imam aksi coret-coret baju itu tidak ada manfaatnya, justru mubazir.
Menurutnya baju-baju itu masih bisa dimanfaatkan, diberikan kepada mereka yang membutuhkan umpamanya. Yang lainnya adalah tradisi yang dilakukan oleh para siswa senior saat masa orientasi siswa (MOS). Pak Imam berkeinginan agar panitia MOS tidak bergaya seperti tuan besar, atau bertingkah laku layaknya jagoan yang adakalanya overacting.
Tingkah laku semacam itu tanpa kita sadari telah memberi contoh kurang baik. Menanamkan perilaku tidak mendidik kepada generasi mendatang. Tanpa disengaja seolah-olah menolerir sikap arogan yang dengan sendirinya cenderung menyukai kekerasan.
Kini tiga bulan telah berlalu dan kemarau panjang pun telah terlewatkan. Dalam masa peralihan cuaca itu, banyak hal telah berubah. Di lingkungan sekolah, juga pada diri Imam Hanafi. Guru agama yang kini menghilang. Curah hujan yang mengguyur bumi, mengalirkan sampah dan kotoran ke dalam got dan sungai.
Seiring dengan itu, tergerus pula jejak-jejak kaki Imam Hanafi, yang pernah beberapa tahun mengabdi di sekolah itu. Sekian tahun pula dia mencoba menerapkan nilai-nilai kebaikan kepada semua orang, terutama kepada anak didiknya.
Dengan segenap kemampuan dia berupaya agar setiap pribadi bersedia menjalani kehidupan ini dengan ikhlas. Berusaha penuh keyakinan untuk selalu melangkah di jalan yang lurus, jalan keselamatan duniawi dan ukhrawi. Dan selalu berharap semoga di bumi persada ini selalu ada orang-orang yang dengan sukarela meneladani perilaku para Rasul pilihan.
Waktu berjalan begitu cepat, hari-hari pun berlalu tanpa terasa. Para guru dn murid-murid tampaknya sedikit demi sedikit mencoba menghapus bayangan pribadi Imam Hanafi dari kenangan mereka. Meski sesungguhnya, banyak peristiwa meresahkan telah terjadi akhir-akhiir ini. Pernah dua orang wali murid mendatangi sekolah itu dengan segenap kemarahan. Kedua wali murid itu memprotes keras tindakan salah seorang guru yang telah menghukum dua orang siswa sampai memar.
Dan hari ini, tiba-tiba saja guru agama itu muncul. Kunjungannya yang hanya beberapa saat itu, tak ubahnya bagaikan malaikat yangturun dari langit. Dia tampil di halaman sekolah dengan setelan kemeja batik berlengan panjang. Keluar dari mobil Xenia berwarna silver, langsung menebar senyum seperti biasa.
Tetapi wajah itu kini memancarkan aura yang lain. Terkesan lebih segar, dan yang pasti lebih berwibawa. Saat itu jam istirahat. Tanpa aba-aba mantan murid-muridnya langsung merubungi, menyalami, dan bersorak sebagai luapan kegembiraan. “Mobil baru ya, Pak,” sapa mereka. “Ah, ini mobil teman, bapak hanya pinjam,” sahut Pak Imam merendah.
Guru-guru pun keluar seorang demi seorang menyapa dan menyalaminya. Yang terakhir adalah kepala sekolah, meski terlihat sedikit kikuk. Imam Hanafi mengangkat kedua tangannya: “Anak-anak, tenang, saya hanya ingin berpamitan,” katanya sembari tersenyum. “Lho, mau berpamitan ke mana Pak?” tanya para siswa serempak.
“Saya mendapat pekerjaan di satu perusahaan swasta,” ucap Pak imam dengan suara datar. “Yaaa...,” teriak para siswa pertanda kekecewaan yang mendalam. Lagi-lagi Imam Hanafi tersenyum. Kemudian untuk kedua kalinya menyalami para guru yang sedari tadi hanya berdiam diri, juga kepala sekolah. Mereka berdua berpelukan. Dari wajah kedua orang itu terbersat keharuan yang tak terucapkan.
Dan para siswa pun spontan berteriak: “Hiduuup, Pak Imam.” (*)
Anak-anak kelas dua dan tiga yang berada di kantin sekolah, melihat pemandangan itu sebagai sesuatu yang tidak biasa. Mereka bertanya-tanya tentang kepergian Pak Imam yang tampak begitu tergesa-gesa. Pada jam istirahat begini, jarang sekali ada guru yang keluar. Adakalanya beberapa orang sering datang ke kantin secara berombongan duduk mengelilingi sebuah meja. Mereka makan atau minum sembari ngobrol.
Drs Imam Hanafi adalah guru agama di sekolah menengah atas itu. Banyak siswa yang mengagumi sosok Pak Imam yang ramah dan murah senyum. Begitulah penilaian mereka. Namun ada juga beranggapan, harusnya Pak Imam tidak menjadi guru, pantasnya jadi pemain sintron atau menjadi penyanyi seperti Maher Zain.
Pernah juga salah seorang guru wanita berkata bahwa Pak Imam adalah figur seorang pria yang “elok rupa bagus tabiat”, betapa beruntungnya wanita yang mendapatkan suami seperti dia.
Tetapi keadaan ini telah menyulitkan posisi Pak Imam, membuatnya serba salah karena menjadi batu sandungan untuk mendapatkan simpati dan predikat guru idola. Hari ini sikap guru agama itu lain dari hari biasanya. Tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, juga tidak tersenyum. Tiga hari berturut-turut Pak Imam tidak menampakkan wajahnya.
Pada keesokan harinya juga merupakan hari keempat Pak Imam tidak muncul di sekolah itu, tiga orang siswa kelas dua dan tiga, bergerombol, berbisik-bisik. Mereka baru saja mendapat bocoran bahwa Pak Imam kena skorsing.
Konon hal itu disebabkan Pak Imam dinilai telah bertindak tidak tegas dan tidak memberikan sanksi setimpal kepada kepada seorang siswa yang kedapatan menyimpan sebuah pisau kecil ditasnya. Padahal sesungguhnya Pak Imam sudah memberikan teguran keras agar perbuatan itu tidak terulang lagi. Menurutnya peringatan yang ia berikan sudah cukup untuk kasus yang baru pertama kali terjadi.
Namun tidak demikian yang dikehendaki Bapak Kepala Sekolah, Drs Muntahar. Nah, dari sinilah awal mula selisih paham itu. Sebenarnya, semenjak Drs Muntahar bertugas selama setahun terakhit di sekolah tersebut, memang sudah beberapa kali beda pendapat dengan Pak Imam.
Kali ini Pak Muntahar benar-benar merasa tersinggung, dengan cara-cara Pak Imam yang dinilai seakan-akan tidak mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkkan. Menurut Pak Muntahar, tindakan semacam itu secara tidak langsung telah melecehkan kewenangannya sebagai kepala sekolah. Dan itu tentu saja tidak boleh dibiarkan.
“Saya atasan di sini, semua guru, murid atau siapa pun yang berada di sekolah ini harus mematuhi setiap kebijakan yang telah saya tetapkan.”
Sebaliknya Pak Imam berpendapat, meski dirinya bukan kepala sekolah, tetapi dia senior. Atau paling tidak, dialah salah seorang guru yang terlama bertugas di sekolah itu. Bahwa dalam rentang waktu tidak kurang dari delapan tahun dia mengajar, sepertinya belum pernah ada masalah serius yang terjadi di sekolah tersebut.
Namun sesungguhnya, ada beberapa kebiasaan d sekolah itu yang kurang disetujui Pak Imam, tetapi oleh guru-guru yang lain, bahkan kepala sekolah pun beranggapan sebagai hal yang biasa. Salah satunya adalah aksi saling coret baju seragam saat kelulusan. Dalam pandangan Pak Imam aksi coret-coret baju itu tidak ada manfaatnya, justru mubazir.
Menurutnya baju-baju itu masih bisa dimanfaatkan, diberikan kepada mereka yang membutuhkan umpamanya. Yang lainnya adalah tradisi yang dilakukan oleh para siswa senior saat masa orientasi siswa (MOS). Pak Imam berkeinginan agar panitia MOS tidak bergaya seperti tuan besar, atau bertingkah laku layaknya jagoan yang adakalanya overacting.
Tingkah laku semacam itu tanpa kita sadari telah memberi contoh kurang baik. Menanamkan perilaku tidak mendidik kepada generasi mendatang. Tanpa disengaja seolah-olah menolerir sikap arogan yang dengan sendirinya cenderung menyukai kekerasan.
Kini tiga bulan telah berlalu dan kemarau panjang pun telah terlewatkan. Dalam masa peralihan cuaca itu, banyak hal telah berubah. Di lingkungan sekolah, juga pada diri Imam Hanafi. Guru agama yang kini menghilang. Curah hujan yang mengguyur bumi, mengalirkan sampah dan kotoran ke dalam got dan sungai.
Seiring dengan itu, tergerus pula jejak-jejak kaki Imam Hanafi, yang pernah beberapa tahun mengabdi di sekolah itu. Sekian tahun pula dia mencoba menerapkan nilai-nilai kebaikan kepada semua orang, terutama kepada anak didiknya.
Dengan segenap kemampuan dia berupaya agar setiap pribadi bersedia menjalani kehidupan ini dengan ikhlas. Berusaha penuh keyakinan untuk selalu melangkah di jalan yang lurus, jalan keselamatan duniawi dan ukhrawi. Dan selalu berharap semoga di bumi persada ini selalu ada orang-orang yang dengan sukarela meneladani perilaku para Rasul pilihan.
Waktu berjalan begitu cepat, hari-hari pun berlalu tanpa terasa. Para guru dn murid-murid tampaknya sedikit demi sedikit mencoba menghapus bayangan pribadi Imam Hanafi dari kenangan mereka. Meski sesungguhnya, banyak peristiwa meresahkan telah terjadi akhir-akhiir ini. Pernah dua orang wali murid mendatangi sekolah itu dengan segenap kemarahan. Kedua wali murid itu memprotes keras tindakan salah seorang guru yang telah menghukum dua orang siswa sampai memar.
Dan hari ini, tiba-tiba saja guru agama itu muncul. Kunjungannya yang hanya beberapa saat itu, tak ubahnya bagaikan malaikat yangturun dari langit. Dia tampil di halaman sekolah dengan setelan kemeja batik berlengan panjang. Keluar dari mobil Xenia berwarna silver, langsung menebar senyum seperti biasa.
Tetapi wajah itu kini memancarkan aura yang lain. Terkesan lebih segar, dan yang pasti lebih berwibawa. Saat itu jam istirahat. Tanpa aba-aba mantan murid-muridnya langsung merubungi, menyalami, dan bersorak sebagai luapan kegembiraan. “Mobil baru ya, Pak,” sapa mereka. “Ah, ini mobil teman, bapak hanya pinjam,” sahut Pak Imam merendah.
Guru-guru pun keluar seorang demi seorang menyapa dan menyalaminya. Yang terakhir adalah kepala sekolah, meski terlihat sedikit kikuk. Imam Hanafi mengangkat kedua tangannya: “Anak-anak, tenang, saya hanya ingin berpamitan,” katanya sembari tersenyum. “Lho, mau berpamitan ke mana Pak?” tanya para siswa serempak.
“Saya mendapat pekerjaan di satu perusahaan swasta,” ucap Pak imam dengan suara datar. “Yaaa...,” teriak para siswa pertanda kekecewaan yang mendalam. Lagi-lagi Imam Hanafi tersenyum. Kemudian untuk kedua kalinya menyalami para guru yang sedari tadi hanya berdiam diri, juga kepala sekolah. Mereka berdua berpelukan. Dari wajah kedua orang itu terbersat keharuan yang tak terucapkan.
Dan para siswa pun spontan berteriak: “Hiduuup, Pak Imam.” (*)