Oleh: Yudhistira ManafPesugihan yang aku jalani adalah pesugihan Monyet Melet, monyet yag menjulurkan lidah lalu mengeruk uang hasil korupsi dan dana kotor diperbankan. Hasilnya, aku mendapatkan solusi dana, jalan keluar untuk menutupi kekurangan biaya sekolah dan mampu membayar biaya operasi ibu kandungku operasi jantung di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura* * * * * * * * * * * * * * *
Kesulitan hidup dan kemiskinan membuat aku gelap mata, lalu melarikan diri pada dunia pesugihan. Aku benar-benar membutuhkan uang untuk biaya sekolah empat anak dan biaya berobat ibu kandungku yang terkena penyakit jantung. Suamiku, Rasdi Sungkono, 36 tahun, meninggalkan dalam suatu tragedy kecelakaan lalu lintas. Truk yang disopirinya, jatuh ke dalam jurang di bilangan Kalianda, Lampung Selatan, saat membawa nenas ke Pasar Induk, Jakarta Timur. Kenek bersama suamiku yang terjatuh bersama truknya, langsung meninggal di tempat, tidak sempat di bawa ke rumah sakit.
Pesugihan yang aku jalani adalah pesugihan Monyet Melet, monyet yang menjulurkan lidah lalu mengeruk uang hasil korupsi dan dana kotor dipernakan. Hasilnya, aku mendapatkan solusi dana, jalan keluar untuk menutupi kekurangan biaya sekolah dan mampu membayar biaya operasi ibu kandungku, operasi jantung di rumah sakit Mount Elizabeth, Singapura.
Pada saat aku panik karena kesulitn uang, aku mendatangi Kaji Maron, 45 tahun, dukun mumpuni yang bermukim yang bermukim di perkebunan karet Banggalajaya, Ogan Komering Ilir. Kaji Maron seorang pemilik ilmu gaib saktimandraguna yang mampu berbahasa hewan, terutama monyet utan yang banyak di sekitar rumahnya, di Banggalajaya, dekat Danau Takarang Sakti, satu kawasan hutan lebat dan perkebunan karet milik keluarga Kaji Maron yang semuanya sudah wafat.
Aku mengenal Kaji Maron sejak aku masih keci, karena dulu kami bertetangga di Desa Talangdukun, sama-sama berkebun duku dan durian Komering. Ketika aku bersekolah ke Kota Palembang, Kaji Maron pindah ke hutan mendalami ilmu Linuwih Ogan Badayah, ilmu sakti mandraguna yang mampu menaklukkan semua hewan di dalam hutan. Baik hewan buas sejenis macan, buaya, beruang maupun monyet-monyet.
Kaji Maron seorang diri di rumahnya yang sederhana. Rumahnya bertiang tinggi , tiga meter dari kayu ulin dan dinding rumahnya dari kayu gerawan, dan atap rumah itu dari daun nipah. Sebagai wanita, aku agak ragu juga untuk datang ke rumah Kaji Maron, apalagi rumahnya itu berada di tengah hutan belantara, jauh dari penduduk lain. Terpencil di pinggir danau yang masih perawan.
Walau Kaji Maron banyak mempunyai ilmu gaib, tapi lelaki asal Talangdukun, Tanjungraja, Ogan Komering Ilir ini, tidak boleh menjadi kaya. Perjanjian gaib dengan penguasa alas, tempatnya bersemadi, adalh hidup cukup akan dan cukup pakaian, tapi tidak boleh mengumpulkan uang yang banyak, walaupun dia mampu untuk itu.
"Kalau mau, aku bisa kaya raya, kekayaanku bisa membeli sebuah pulau di negeri ini, tapi aku dilarang gaib untuk kaya, karena begitulah perjanjian yang aku buat sejak aku mendalami ilmu ini. Bila aku kaya, aku akan terkena banyak penyakit dan aku mati mendadak," desis Kaji Maron kepadaku.
Perjalanan menuju rumah Kaji Maron di dalam hutan ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Setelah berhenti di Tugumulyo dengan bus, aku mesti berjalan kaki sepanjang 34 kilometer ke dalam hutan belentara. Tidak ada jalan menuju rumahnya. Jangankan jalan mobil, jalan untuk sepeda motor pun tidak ada menuju rumahnya.
Aku melangkah menuju rumahnya setelah melewati pohon-pohon berduri dan alang-alang yang tinggi. Kulit tubuhku terluka dan beret-beret kerana ketajaman duri yang aku senggol. Bahkan, kaki kananku keseloa karena kakiku itu tersangkut batu lalu terkilir.
Namun, demi uang dan solusi hidupku, maka aku nekad, bertekad harus bertemu dengan Kaji Maron yang sakti linuwih. Aku harus bertemu lalu berguru dengannya, walaupun apa yang akan terjadi. Untuk itu, empat anakku aku titip kepada ibuku yang sedang sakit, terkapar dengan napas yang ngap-ngapan karena penyakit jantungnya yang sewaktu-waktu kambuh.
Kaji Maron tidak pernah keluaar hutan menuju kampung dan kota. Dia hidup dengan makan ikan hasil tangkapan di danau yang dijaringannya dengan pukat dan jala. Dia makan nasi dari beras yang dia taman lewat persawahan padi tadah hujan yang subur dan berkembang baik. Memasak selalu dengan kayu bakar dan penerangan lampu dengan minyak jarak yang dia buat sendiri dari hasil kebunnya.
Sejak remaja, Kaji Maron tidak tertarik kepada lawan jenis. Dia sangat dingin kepada wanita dan tidak pernah terpikir untuk menikah. Pikirku, bahkan pemikiran banyak warga kami di Desa Talangdukun, Kaji Maron itu adalah seorang pria yang kerkalian khusus. Dia tidak tertarik pada lawan jenis dan tidak tertarik untuk menikah. Oleh karena itulah, aku berani tinggal di rumahnya, hidup bersamanya selama berguru ilmu Linuwih Ogan Mandraguna.
Pertama kali aku tinggal di rumahnya, Kaji Maron bertanya, aku senang pada buah macam apa. Setelah aku jelaskan aku senang durian, rambutan dan duku, Kaji Maron lalu mengeluarkan kepalanya di jendela sambil bersiul keras. Suara siulan ternyata memanggil menyet-monyet yang bersarang di atas pohon beringin di pinggir danau bagian blok barat.
Ratusan monyet itu turun dari pohon dan berlari mendekati rumah Kaji Maron. Ratusan monyet itu duduk tertib menunggu perintah. Dengan bahda primata, Kaji Maron memerintahkan sesuatu, tidak lama kemudian monyet-monyet itu berlari menuju kampung. Dalam waktu kurang dari satu jam, beberapa monyet datang dengan puluhan durian, duku dan rambutan. Buah-buahan itu diserahkan kepada Kaji Maron lalu disuguhkan kepadaku. Durian itu manis sekali, begitu juga dengan rambutan dan duku yang dibawa monyet dari perkebunan rakyat tersebut.
"Kalau manusia mengambil hasil kebun manusia lain, namanya mencuri, tapi kalau monyet yang mengambil hasil kebun orang, namanya meminta, minta diam-diam!" canda Kaji Maron kepadaku.
Setelh mengetahui aku datang untuk belajar ilmu menarik uang dari alam gaib, Kaji Maron menyarankan agar aku belajar dari monyet-monyet yang ditaklukkannya. Katanya, ada ilmu monyet. Raja monyet, tapi monyet gaib, artinya tidak terlihat oleh siapapun saat monyet itu beroperasi.
"Raja monyet itu akan tinggal bersamamu dan bisa kau perintah untuk mendapatkan uang haram, uang tidak bersih dari hasil korupsi pejabat hasil pencurian dan uang-uang kotor lainya. Kau akan melihat jelas monyet itu dan bisa kau gendong di punggungmu, lalu mendekatlah ke bank dan tunggui di depan bank tersebut, lalu dia akan masuk mencuri ke dalam bank, yang duitnya juga tidak terlihat, setelah itu gendong lagi monyet itu pulang dan nikmatilah uang hasil kerja siluman raja monyet itu. Nama pesugihan monyet ini adalah Raja Monyet Melet!" ungkap Kaji Maron, suatu malam, kepadaku.
"Kenapa dinamakan Monyet Melet, karena dalam menjalankan operasinya, lidah monyet itu melet-melet seperti di pinggir mulutnya ada bekas makanan yang kembali ditelan, terus menerus melet hingga tugas pengambilan uangnya selesai," desis Kaji Maron.
Untuk mendapatkan ilmu Monyet Melet ternyata tidak semudah yang aku bayangkan sejak awal. Arkian, aku ternyata diwajibkan melakukan tapa puasa tujuh hari tujuh malam tidak makan, puasa ngableng, patigeni dan tapa menyelam dalam air danau tanpa bernapas tujuh menit, keluar masuk air selama tujuh hari.
Walau tapa-tapa itu berat utuk aku jalani, tapi demi menebus kesulitan hidupku, aku terpaksa juga melakukannya. Aku ingin sukses dan tak ingin gagal lagi seperti masa-masa yang lalu, di mana aku juga pernah gagal melakukan pesugihan ular sanca di Pangandara, Jawa Barat, sementara uang 40 juta rupiah sudah kuhabiskan untuk pesugihan yang menarik uang dolar Amerika tersebut.
Setelah puasa satu minggu tidak makan tidak minum selama tujuh hari, aku melakukan tapa-tapa yang lain, dan yang paling berat adalah tapa air, di mana semua buaya di danau itu mendekati aku dan aku sangat ketakutan. Untunglah, Kaji Maron selalu menemaniku dan aku pun berhasil melewati masa-masa sulit dalam pertapaan ini.
Setelah dua bulan aku tinggal di dalam hutan bersama Kaji Maron, aku diberi ijazah, lulus dengan nilai sembilan. Seekor monyet gaib, Raja Monyet Melet, diserahkan kepadaku dengan tandatangan darah. Kaji Maron bertandatangan darahnya dan aku pun menandatangani selembar kertas perjanjian dengan tandatangan darahku pula.
Aku keluar rumah malam hari, pukul 23.45 Waktu Indonesia bagian Barat, tanggal 23 Maret 2001. Berdasarkan aturan yang baku di kalangan gaib, saat pergi meninggalkan guru, sangat tabu bila dilakukan siang hari, saat matahri masih mencorong di langit. Untuk itulah, aku diperkenankan pergi saat matahari tidak sedang bersinar dan boleh disinari oleh bulan dan bintang-bintang malam di kaki langit.
Dengan rasa yang sangat sedih, aku mencium tangan guruku dan aku pergi meninggalkannya sendirian di tengah hutan belantara itu. Jalan setapak yang penuh onak dan duri kembali aku jalani, kulangkahi menuju jalan raya, Jalan Lintas Timur menunggu bus untuk pulang ke Jakarta tempat tinggalku di Cidodol, Jakarta Selatan.
Berbeda dengan saat aku pergi ke rumah Kaji Maron, saat pulang aku berjalan begitu enteng. Tubuhku seakan-akan melayang terbang dengan kecepetan tinggi, jarak 34 kilometer bisa aku tempuh hanya dua jam perjalanan. Kecepatan langkahku bagaikan sepeda motor, berlari dengan speed 30 kilometer per-jam.
Begitu sampai di jalan raya, ada bus malam yang kosong dan aku naik bus tigaperempat itu menuju terminal Rajabasa, Bandar Lampung. Sesampainya di terminal aku ganti bus menuju pelabuhan Kalianda, lalu menyeberang dengan kapal Jatra menuju pelabuhan Merak, Banten. Sesampainya di Merak, monyet yang aku gendong memeluk erat leherku dan kakinya mengencang di pinggangku, dengan mulutnya yang melet-melet.
Syahdan, ternyata monyet itu melihat uang haram di sebuah bank di Merak dan langsung minta tugas untuk mengambil uang kotor itu. Monyet itu aku lepas lalu dia masuk ke dalam bank. Monyetku itu tidak dilihat leh seorang pun yang ada di Merak. Hanya aku yang dapat melihatnya. Kalau pun ada yang mampu melihat monyet itu, kata Kaji Maron, adalah orang-orang yang berilmu gaib tinggi, yang setara dengan ilmu yang dikuasai Kaji Maron.
Kaji Maron berpesan, bila ada orang berilmu gaib tinggi yang mampu melihat monyetku, aku harus mendekati orang itu baik-baik dan memintanya untuk diam.
"Mohon maaf, satu guru satu ilmu tidak boleh saling ganggu. Ilmu Anda untuk Anda, ilmuku untuk aku!" nasehat Kaji Maron. Bila tidak baik-baik, akan menjadi bahaya, bencana, dan monyet melet akan hilang kesaktiannya dan aku bisa dibunuh sendiri oleh monyet itu.
"Harus berbaik-baiklah dengan orang yang berilmu gaib yang tinggi, jangan menantang dan menentang. Harus selalu menerndahkan diri dan diam, sangat rahasia dan tidak boleh memberitahu siapapun, kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan ummat," pesan guruku, Kaji Maron.
Setelah beroperasi di pelabuhan, aku mendapatkan uang segar, uang dalam bal-balan serta berjumlah jutaan. Dengan uang itulah aku memberikannya kepada fakir miskin di pelabuhan, tuna netrea terlunta dan anak-anak pengemis dekat pelabuhan. Setelh memberikan uang pecahan ratusan ribu itu, aku segera mencarter mobil sedan menuju Jakarta lewat tol Merak-Jakarta.
Sejak itu Monyet Melet terus aku operasikan dan aku bisa membawa ibuku ke Singapura, operasi jantung, dipasangkan ring dan ibuku, Alhamdulillah, sehat lagi. Semua anakku aku bikinkan paspor dan semua aku bawa ke Singapura.
Setelah ibuku sembuh total, aku membawa ibu dan anak-anakku ke Amerika Serikat, kami tinggal di negeri Paman Sam dan anak-anakku sekolah di Baltimore, dekat Manhattan. Monyet Melet terus beroperasi di Amerika dan kubawa pula di beberapa Negara Eropa seperti Belanda, Jerman, Italia, Spanyol dan Yunani.
Secara rutin ibuku aku masukkan ke rumah sakit dan berobat jalan di Amerika Serikat. Tapi hal yang membuat saya menangis, saat bulan puasa lalu, saat kami sekeluarga pulang kampung, aku pergi ke rumah Kaji Maron membawakan oleh-oleh dari Amerika berbentuk baju, celana, selimut, dan sepatu boat untuk daerah cadas.
Namun sayang, Kaji Maron tidak lagi berada di situ. Rumahnya kosong melompong dan tidak ada lagi tanda-tanda bahwa Kaji Maron masih hidup dan masih tinggal di situ. Padinya mengering dan danau di sekitar rumahnya sudah menjadi tanah. Buaya-buaya dan monyet tidak ada lagi di situ, sementara monyet melet yang aku gendong, melepaskan diri dariku lalu menghilang ke hutan dan tidak kembali hingga sekarang ini. Pesugihan Monyet Meletku berakhir sudah. Monyet gaib ku tidak lagi kembali kepadaku, dia menghilang bersama hilangnya Kaji Maron di dalam rimba belantara lebat itu.
Belakangan baru aku tahu dari mimpiku, saat kedatangan Kaji Maron ketika aku menginap di kampungku, bahwa Kaji Maron menyebut bahwa dirinya sudah meninggalkan dunia.
"Saya sudah mukswa, mukso, menghilang dan masuk ke alam gaib. Saya bukan mati, tapi mukso, kembali ke alam gaib dan tidak bisa terlihat oleh manusia. Jika mati, pasti ada jasadnya, tulang dan bangkainya, tapi aku lenyap begitu saja, menghilang ke alam khusus, alam nirwana gaib dan kita tidak dapat bertemu selamanya, selain di alam mimpi," desis Kaji Maron, dengan wajah bersedih.
Kami kembali ke Amerika dengan hati yang gunda gulana. Kesedihanku terus berlangsung lama, hingga saat ini, sedih akan kehilangan Kaji Maron, teman spiritual yang baik hati dan murah hati memberikan ilmu yang begitu besar untukku menebus kesulitan hidup.
Sebenranya, jujur saja, saya bukan sedih kehilangan Monyet Melet yang telah membuat aku kaya di Amerika, tapi aku sedih dan ternyuh kehilangan sahabat gaibku yang begitu baik, yaitu Kaji Maron yang sakti mandraguna.
"Selamat jalan Kaji Maron, semoga Abang Kaji Maron diterima layak di sisi Allah SWT dan dimasukkan ke dalam surganya yang indah. Amin!" bisikku, kepada ibuku, agar ibu juga mendoakan Kaji Maron yang telah mukswa dan lenyap ditelan alam gaib yang digelutinya selama ini.
(*)Sumber: Misteri Edisi 550 Tahun 2013