Oleh: Siti Henny Nawani
Dengan manja Bulan merebahkan dirinya dipangkuanku. Semilir angin Sungai Musi menebarkan alunan kidung cinta asmara. Desiran puisi cinta mendayu-dayu menambah keindahan malam Jumat Kliwon yang keramat. Bulan membeikan kehangatan ranjang rumah panggungku yang sudah sepuluh tahun ditinggal Yulianti Murtopo, istriku yang terkena serangan penyakit kanker rahim yang ganas. Kuburan Yulianti sudah lama kering dan aku dikiriminya Bulan, gadis cantik, seksi dan anggun, yang ternyata bukan wanita bangsa gaib biasa, tetapi Yulianti Murdopo yang cantik. Arwah almarhumah istrku yang berubah nama menjadi.... Bulan!
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Hari setelah sepuluh tahun hidup bersama dengan Yulianti Mirdopo tanpa anak, akhirnya penyakit kanker ganas dirahimnya, terpaksa merenggut nyawanya juga. Kematian Yilianti menorehkan luka yang dalam dibatinku, utuk itu aku bertekad tidak akan menikah lagi, dan aku tetap setia sampai mati kepada istriku yang aku sangat cintai itu.Setiap minggu, aku ziarah ke makam Yulianti di Tebing Ginting, Ogan Ilir 40 kilometer dari Kota Palembang. Di pemakaman umum itu, aku mengganti kembang, bunga mawar kesukaan Yulianti ketika hidup, mawar warna merah yang sangat wangi, yang kubeli di tukang kembang Kertapati.
Semua keluarga, termasuk keluarga Yulianti Murdopo, Pak Mudopo, mertuaku, menyarankan agar aku menikah lagi, berpacaran dan melupakan Yulianti yang sudah tiada. Tetapin aku tidak bisa, karena cintaku yang berkarat kepada strku itu, maka aku tidak bisa melupakannya. Bahkan, pihak keluargaku menganggap aku sudah gila, mencintai istri yang sudah terkubur dan tiap minggu mendatangi makamnya dan berbicara.
"Yulianti sudah menjadi tulang belulang di tanah perkuburannya, bila kau hendak mengirim Al-Fatihah, tahlil untuknya, tdak harus ke makamnya, cukup kau lakukan di rumah Insya Allah akan sampai dan meringankan kehidupannya di alam baka," desis Haji Marwan Manaf, ayahku, yang bolak balik meminta aku untuk tidak ke makam Yulianti lagi, karena menempuh jarak yang jauh dan berisiko berat.
"Dari hari Jumat hingga Minggu kau mendatangi makam dan menginap di pemakaman, kau sudah tidak normal lagi, kau sudah gila ya?" bentak ayahku, meminta agar aku memberhentikan usaha itu, usaha yang dianggapnya sangat tidak masuk di akal sehat manusia. Berulang kali aku berkata kepada ayah, bahwa aku yang menjalani ini, wilayah pribadiku dan aku tidak berat melakukannya untuk Yulianti Murdopo.
Hubungan percintaan aku dengan Yulianti Murdopo, berlangsung sejak kami duduk di bangku SMA Negeri 1, Jalan Jaksa Agung R. Soeprapto, Bukit Besar, Palembang. Saat itu kami sama-sama satu kelas dan saling jatuh cinta pada pandangan pertama karena kami sama-sama aktif di kesenian.
Kami berada dalam satu kelompok Pop Song, grup musik sekolah yang sering tampil di panggung luar sekolah. Saya bermain gitar sedangkan Yulianti, bersama Rika, Ita dan Hilmie, menyanyi. Sedangkan aku bersama empat teman pria lain, bermain gitar,flute, dan keyboard.
Ketika grup kami diadu dalam festival Pop Song se-SLTA Sumatera Selatan, di luaar dugaan, karena rajinnya kami berlatih, kami keluar sebagai juara satu. Karena kami berjibaku utuk menang, kekentalan kami dalam satu grup, begitu dekat dan tak ayal aku dan Yulianti saling jatuh hati.
Percintaan akami semakin kuat hingga kami sampai d perguruan tinggi Universitas Sriwijaya di Fakultas Hukum. Setalah sarana, Yulianti mendalami ilmu notaris sedangkan aku menjadi pengacara LBH di Palembang. Setelah menjalani beberapa proses pendidikan, di antaranya magang sidang membantu advokat, aku pun akhirnya menjadi lawyer profesional.
Setelah kami sama-sama menghasilkan uang, kami pun mensucikan percintaan kami dengan menikah. Ijab Kabul dilakukan di Masjid Agung Sultam Mahmud Badaruddin dan resepsi dilakukan di Hotel Swarna Dwipa di Talang Semut, Palembang.
Setelah resepsi yang agung itu, kami kembali ke rumah panggung yang aku beli dari pamanku di tepi Sungai Musi daerah 7 Ulu Laut, Palembang Lamo. Rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu onglen, ulin itu, menghadap lalu lintas air sungai yang terbentang luas nan panjang. Aku membeli sebuah skoci, speedboat 80 PK untuk kendaraan air aku dan Yulianti ke mana mau pergi.
Jika kami berlibur hari Sabtu dan Minggu, dengan skoci itu kami berjalan selama 4 jam menyusri 80 mil laut menuju Sungsang, Musi Banyuasin. Kami menghabiskan liburan itu di hotel terapung milik Pak Lurah Sarketing, dan disitu pula kami menikmati hidup dengan kesederhanaan.
Cinta kami semakin kuat. Rasa ketergantungan hidup terhadap Yulianti semakin besar dari hari ke hari. Begitu juga dengan Yulianti, yang semakin jauh semakin ketergantungan kepadaku. Bila aku mendapatkan uang besar dari prfesiku sebagai lawyer dan Yulianti dapat bonus dari pekerjaannya sebagai notaris, kami gunakan pula uang kami bersama itu untuk jalan-jalan ke luar negeri. Kami sudah menginap di Rio Jeneiro Brazil, Pulau Bermuda di Puerto Rico dan kaki gunng Mount Cook di Selandia Baru.
Mungkin, karena tidak punya anak, maka usaha untuk berwisata mancanegara itu lebih mudah ketimbang orang yang punya anak. Yulianti sering memanjakan aku seperti anak kecil, aku dianggapnya sebagai anak yang dielus-elus dan dimanjakannya, setelah bergantian aku yang menadikannya sebagai anak, memanjkannya bahkan sering sekali aku menggendongnya sampai jauh. Untunglah tubuh Yulianti agak langsing, beratnya hanya 52 kg tinggi 166 cm sedangkan aku berberat 88 kg bertinggi 178 cm, maka itu aku sangat kuat menggendongnya sampai ratusan meter di kaki gunung.
Perjalanan kehidupan perkawinan kami penuh semarak. Keluarga Murdopo dan keluargaku, sangat mendukung apa yang kami lakukan, menikmati jerih payah kami sebagai pencari uang dengan keras. Namun begitu, kami menyisihkan sebagian penghasilan kami untuk keluarga Yulianti yang kurang mampu dan keluargaku juga yang kurang mampu.
Karena lama tidak hamil, kami memeriksakan keadaan kesubran kami ke para ahli. Beberapa dokter kami datangi beberapa ahli alternatif kami sambangi, kepingin mendapatkan anak. Namun terakhir, setelah melakukan general check up, termasuk melakukan foto MRI (magnetic resonance imaging) di Jakarta, kami terperanjat dan shock. Arkian, ternyata dalam dinding rahim Yulianti ada kanker, tumor ganas yang positif dan sangat berbahaya. Kanker itu, selain tidak akan membuatnya mampu hamil, tapi juga akan mengancam jiwanya.
Karena penyakit mengerikan itu, maka setiap malam aku sulit tidur. Pada saat Yulianti terlelap, aku memandangi wajahnya dan menangis. Namun, di dalam pandanganku juga, aku menyertakan doa yang khusyuk meminta agar Allah Azza Wajalla menurunkan kasih sayang Nya kepada Yulianti, membebaskan istrku itu dari penyakit berbahaya itu. Aku meminta dengan sangat kepada Allah agar Allah melindungi istriku, mnarik penyakit itu dan menyembuhkannya.
Sayang, doaku ini ternyata belum diijabah oleh Allah, karena setelah dilakukan operasi, operasi itu gagal dan Yulianti menghembuskan napasnya yang terahir. Tubuhku oleng dan aku tidak kuat lagi berdiri. Aku terus menerus mencuim jasad istriku yang malang itu. Yulianti Murdopo yang sangat aku cintai, sangat aku sayangi dan hampir sepenuh jiwaku kugantungkan kepadanya. Namun begitu, pada sisi yang lain, aku menerima keputusan Alla SWT yang buru-buru mengambil nyawa istrku ini setelah sepuluh tahun kami hidup berdua. Sudah menjadi skenario, jalan cerita hidup yang sudah tergaris dan aku harus bisa menerimanya.
Sebenarnya, terkadang aku kepingin mati bersama Yulianti dengan meminum racun atau menembak jantungku sendiri akan aku mati pula bersamanya. Namun, ajaran agamaku, mengharamkan orang mati bunuh diri dan Allah sangat murka, maka au membatalkan niat itu. Aku tidak mau masuk neraka karena sesuatu tindakan yang yang dibenci Allah, Tuhanku Yang Maha Agung.
"Bunuh diri adalah dosa yang tiada ampunan dari Allah. Tanpa ditimbang-timbang, orang yang mati karena bunuh diri, akan dimasukkan ke dalam neraka yang panas," ujar Kiyai Abdullah Rofiq, guru spiritualku di Lubuksakti, Ogan Komering Ilir, pada saat aku mempertanyakan hal itu kepadanya.
Tapi, pikirku, hal dosa itu hanya pendapat kiyai yang belum tentu ada di kitab suci maupun hadits. Yang berhak atas dosa, pahala, neraka dan surga itu hanya Allah. Kenyataan hidup mati itu, termasuk pernik dalam kehidupan, merupakan kekuasaan juga kekuatan Allah SWT dan hanya Dia-lah yang tahu. "Tahu apa manusia soal apa yang ada di keputusan Allah? Tidak ada yang tahu, kecuali Allah Yang Maha Besar," batinku.
Secara logika aku menghitung-hitung, bahwa lahir, hidup dan mati itu wewenang Allah dan hanya Dia-lah yang berkuasa atas manusia, alam raya, jagat semesta, dan dunia arwah.
Bunuh diri, mungkin artinya, sama saja dengan menyangkal keputusan Allah walau cara bunuh diri itu sendiri, bisa dicegat oleh Allah jika Allah mau. Takdir bunuh diri itu sendiri karena Allah, dalam hukum sebab akibat. Akibat menembak jantung, maka jantung terhenti lalu mati. Tetapi, jika Allah tidak tidak memutuskan hal itu, maka jantung yang ditembak, meleset ke daging dan tidak jadi mati. Atau peluru melenceng mengenai kerbau dan kerbaulah yang mati, bukan si penembak.
Namun bgitu, pikirku, dunia ini bukanlah matematika. Tidak bisa dinalar dengan hitung menghitung. Apalagi menyangkut mati, gaib, kelahiran dan penyakit. Allah menurunkan penyakit, memberi penyakit kepada ummatnya, tetapi Allah pula yang mngambil penyakit itu, jika Dia mau. Maka itu, banak dukun berkata, setiap penyakit pasti ada obatnya. Sebab Allah yang menurunkan penyakit, Allah pula yag menurunkan obat. Cuma terkadang keterbatasan manusia, maka manusia tidak tahu mana obat untuk penyakit yang sama-sama diturunkan oleh Allah itu.
Setelah sepuluh tahun Yulianti Murdopo meniggal dan aku rutin ke makamnya setiap minggu, suatu malam Jumat Kliwon yang wingit, aku tertidur di pusara Yulianti. Dalam mimpiku, Yulianti keluar dari kuburnya dan menunjkkan wajah yang cantik, anggun dan mempesona persis semasa kami baru menikah.
Dalam mimpiku itu, Yulianti memakai gaun warna putih sutra dengan gambar mawar merah di bagian krahnya.
"Aku akan hidup lagi dan akan bersamamu di rumah dengan nama Bulan, Bang. Abang rahasiakan hal ini kepada siapapun dan semutpun, tidak boleh tahu, dinding rumah kita pun, tidak boleh tahu. Apalagi keluarga besar kita. Rahasiakan pertemuan ini dan aku akan tetap hidup bersama Abang di Sungai Musi, rumah kita yang damai," kata Yulianti Murdopo, dalam impian itu. Setelah sepuluh tahun wafat, baru itulah aku mimpi didatangi Yulianti dan mimpi itu eperti kenyataan.
"Kesetian Abang kepadaku begitu besar, cinta dan kasih sayang Abang kepadaku begitu agung, walau sudah sepuluh tahun aku terkubur, sehingga gaib memerintahkanku untuk turun lagi ke bumi, maujud untuk mendampingi Abang yang kesepian," bisiknya, merdu, persis suara Yulianti Murdopo semasa hidup.
Ketika aku terbangun, hari sudah menjelang pagi. Aku buru-buru ke teluk, sumur dekat makam untuk mengambil air wudhu dan shalat Subuh d makam Yulianti. Sementara itu, Yulianti raib karena kenyataan itu hanya fatamorgana, mimpi belaka, mimpi yang seakan menjadi kenyataan. Fatamorgana yang seakan-akan nyata di depan mataku.
Setelah hari pagi, aku kembali ke Palembang, meninggalkan pemakaman Tebing Ginting, kuburan Yulianti bersama ribuan kuburan lain. Aku pacu kendaraanku dengan kecepatan tinggi karena aku ingin segera masuk ke rumahku di Sungai Musi, tempat di mana Yulianti menggambarkan ada kembang mawar merah kesukaannya di kamar. Dalam mimpiku, Yulianti berkata tentang bukti kehadirannya di rumah, yaitu kembang mawar merah di ranjang kami, yang speinya ditata oleh Yulianti 10 tahun lalu tanpa aku ganti, kecuali dibersihkan dari debu.
Begitu memarkirkan mobil di perparkiran 7 Ulu Laut, aku berjalan menuju rumah dengan cepat. Setelah membuka kunci pintu, aku buru-buru menghambur ke kamar tidur yang sudah lama tidak aku tempati itu. Aku terus terusan menangis melihat melihat tempat tidur kami berdua itu dan kenangan sprei serta ranjang yang begitu agung bagiku. Ibu dan ayahku marah besar mengetahui sprei itu tidak pernah aku ganti lantaran, kataku, karena demi cinta kepada almarhumah.
"Kamu itu seorang advokat, pengacara tangguh, lawyer yang pintar dan tangkas di persidangan, semua teman seprofesi kamu mengakui kehebatanmu. Akan tetapi sikap hidupmu sesungguhnya, terutama mensiasati kematian istrimu, tidak pernah sama sekali menunjukkan bahwa kamu itu seorang pengacara yang logis, matematis dan rasional. Kamu seorang yang tidak rasional dan cenderung menjadi gila kepada istrimu yang sudah menjadi tulang belulang," teriak ayahku, saat mengetahui sprei milik Yulianti masih terpasang utuh.
Karena kesal, ayahku lalu menarik sprei itu dan melemparkannya ke Sungai Musi. Secara reflek, aku terjun dari jendela ke aliran sungai yang deras untuk mendapatkan kembali sprei Yulianti itu. Untunglah nyawaku selamat dan sprei itu kembali aku dapatkan, aku keringkan dan kupasang lagi di ranjangku.
Sejak itu ayah dan ibuku tidak berani lagi menggangu harta peninggalan Yulianti, barang peninggalan Yulianti istri terkasih. Sebenarnya ada dua pengacara wanita canti yang menaksirku dengan mendekati ibu dan ayahku. Mereka ingin aku pacari bahkan ingin aku nikahi. Keduanya berebut untuk mendapatkan cintaku, namun hatiku hanya untuk Yulianti sampai aku mati.
Pada saat aku membuka pintu kamar, aku benar-benar kaget, tersentak melihat setangkai mawar merah dengan tangkainya yang masih segar bugar berseri. Yang artinya baru saja dipetik dari sebuah taman di daerah Palembang.
Bila Abang masuk kamar dan melihat setangkai mawar merah kesukaanku, itu berarti aku akan datang di malam harinya dan Abang bersiaplah dengan busana tidur dan tubuh yang bersih setelah shalat Isya'," kata Yulianti, di dalam impianku di makam itu. Mawar itu segera aku ambil dan aku cium. Baunya semerbak dan sangat mewangi. Di tangkai kembang itu, aku menemukan tulisan di kertas kecil dan tulisan tangan itu sangat aku kenal betul, adalah goresan jari Yulianti Murdopo.
"Abang, aku Bulan, istrimu Yulianti Murdopo, dan sebutlah namaku Bulan, jangan dengan nama asliku, karena aku sudah menjadi bulan," tulisan Yulanti Murdopo, dengan rapi dan tertata artistik di kertas putih yang wangi.
Malam Jumat Kliwon, 7 Januari 2011, pukul 23.00 menjelang tengah malam, Yulianti Murdopo yang berganti nama Bulan, datang dari pintu depan, terbang di atas Sungai Musi yang damai. Dia masuk di jendela kamar dan mengenakan baju tidur putih bergambar mawar merah di krahn busananya. Sama persis dengan impianku, di makamnya itu. Malam itu kami bercerita banyak hal, persis sebagai mana kami dulu masih bersama dalam pernikahan. Suara, desah napas dan kemanjaannya, tidak ada yang berbeda dengan sepuluh tahun lalu saat dia menjadi istriku.
Bulan datang dan memberikan kebahagiaan Bulan datang dengan desiran nyanyian yang merdu, suara gemuruh gelombang Sungai Musi yang damai. Puisi cinta yang mendayu-dayu, mendatangiku, berbelitkan cinta malam Jumat Kliwon yang wingit.
"Abang, fajar telah menyingsing di timur kota dan aku akan segera pergi ke alamku, dan aku akan datang Jumat Kliwon yang indah di bulan Februari nanti. Selamat tinggal Abang dan berjanjilah akan tetap mencintaiku selamanya, karena aku mencintai Abang walau kita sudah berbeda dunia, di mana aku telah berganti dunia nyata dengan dunia alam tersendiri yang aku sendiri tak tahu namanya," desis Bulan sambil memeluk tubuhku dengan erat.
Lalu aku membalas memeluknya erat. Setelah itu, aku memeluk angin, karena Bulan menjadi angin lalu terbang ke Sungai Musi dan terbang jauh ke alamnya, alam Dilin, dimensi lain yang aku sendiri tidak tahu di mana adanya. Selamat jalan sayang dan jangan lupa datang di bulan depan, malam Jumat Kliwon, 11 Februari 2011 pukul 23.00 Waktu Palembang di mana aku menunggumu untuk bercerita semalam di kamar kita yang romatis. (*)
Sumber: Misteri Edisi 561 Tahun 2013
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.
Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih