Cerpen: Dian Eka Sari
"Aku ingin cerai. Ceraikan aku Mas," tegas Dewi kepada Usman suaminya.
"Kalau terus-terusan begini aku tidak sanggup lagi hidup denganmu Mas," Dewi terus berbicara sembari tangannya sibuk memberskan pakaian yang dimasukkannya ke kantong berukuran besar berawna hitam.
"Aku akan pulang kerumah orangtuaku. Zaki akan kubawa. Terserah Mas mau menyusul atau tidak. Aku sudah siap kalau Mas sudah siap dengan perceraian kita," ucap Dewi dengan nada tinggi seolah melampiaskan puncak kekesalannya terus berkata dengan Usman yang tetap duduk di tempat tidur tanpa ekspresi apa pun.
"Aku pergi Mas," Dewi langsung meninggalkan Usman sembari menggendong Zaki yang baru berusia tiga tahun buah hati pernikahannya dengan Usman.
Dengan membanting pintu kamar, Dewi tidak peduli lagi dengan pandangan dari mertuanya yang sedang duduk di depan televisi. Tanpa pamit lagi, Dewi langsung keluar rumah dan menyetop becak yang melintas untuk kembali ke rumah ibunya.
Sementara, Usman masih mematung di tempat tidurnya. Usman tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Usman menyadari, sudah 6 bulan ini ia tidak mampu memberikan nafkah lahir untuk istrinya. Pekerjaannya yang serabutan membuat Usman tidak mampu mencegah kepergian Dewi yang membawa serta Zaki.
Debu-debu berterbangan ditiup angin menjelang musim kemarau. Udara yang panas membuat hati Dewi kian panas. Turun dari becak, ia langsung menerobos masuk ke rumah orang tuanya tanpa mengucap salam.
Setelah menitipkan Zaki kepada ibunya, Dewi langsung masuk ke kamarnya menghempaskan kekesalan di tempat tidurnya. Dewi tidak mampu lagi mencari jalan keluar dari permasalahan yang membelit rumah tangganya. Kekesalan yang disimpannya dirasakan telah mencapai titik didih.
Jika hanya tidak mencari nafkah, masih bisa dimaafkan. Namun dewi merasa kesal dengan ulah suaminya yang setiap hari bergadang tanpa jelas arah tujuan. Apalagi, Dewi pernah memergoki Usman tengah berjudi.
Sudah beberapa kali Dewi mengingatkan Usman. Namun permintaan Dewi seolah hanya angin lalu di telinga Usman. Di benak Dewi, Usman seolah tidak perduli kalau ada buah hati yang harus mereka hidupi.
Semua harta simpanan termasuk mas kawin yang dimiliki Dewi sudah ludes terjual untuk membiayai kehidupan rumah tangga mereka. Terkadang Dewi merasa malu ketika saudara-saudara iparnya berkunjung kemudian memberi bantuan atau sekedar uang jajan untuk Zaki. Demikian dengan saudara kandungnya ketika Dewi sedang menjenguk ibunya. Dewi tidak ingin menjadi orang yang dikasihani.
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Tujuh hari menjelang Ramadhan, Usman diingatkan ibunya untuk menjemput Dewi di kediaman orang tuanya. "Seminggu lagi kita puasa. Tidak baik menyambut bulan yang penuh berkah ini, kalian masih belum akur. Cobalah temui Dewi. Bicarakan baik-baik, bujuk dia untuk kembali ke sini. Pikirkan Zaki, jangan pikirkan keegoisan kalian saja," urai ibu kepada Usman di sela-sela makan siang.
"Nanti kalau Dewi tetap tidak mau. Biar ibu yang langsung bicara dengannya," tegas ibu yang melihat roman enggan dimuka Usman ketika mendapat nasihat.
Meski dengan perasaan enggan. Usman pun menuruti nasihat ibunya. Ia memang tak menampik terselip kerinduan kepada Dewi, terutama tingkah lucu Zaki serta celoteh jagoannya itu yang hampir dua pekan tidak bertemu. Dipacunya motor bebek butut kesayangannya, Usman pun ke rumah mertuannya.
Tidak sampai seperempat jam, Usman tiba di kediaman mertuanya. Ibu mertuanya terlihat tengah menjemur kerupuk memanfaatkan cuaca panas menjelang Ramadhan.
"Assalamu'alaikum. Apa kabar BU? Dewi dan Zaki ada?" tanya Usman kepada ibu mertuanya seraya menyalami.
"Ada. Kamu ingin menjemputnya?"
"Iya Bu. Sebentar lagi Ramadhan, aku tak ingin mengawali bulan suci ini dengan hal-hal yang tidak baik."
"Syukurlah kalau begitu. Masuklah. Dewi sekarang ada di kamarnya menemani Zaki bermain. Bicaralah baik-baik. Ibu tidak ingin kalian terus-terusan seperti ini."
"Maafkan Usaman Bu," ucap Usman dengan nada penyesalan seraya masuk menemui Dewi.
Di ruang tamu berukuran 6x4 metr dengan lantai papan, Dewi terlihat asyik menemani Zaki menyusun puzzle bergambar dinosaurus. Ketika mengetahui kedatangan Usman, Zaki yang mulai bosan bermain langsung menghambur ke pelukan ayahnya. "Ayah. Ayah kok baru datang sekarang? Ayah akan menjemput Zaki kan?" berondong Zaki dengan cadelnya di pelukan Usman.
"Iya. Ayah akan menjeput Zaki sama Ibu. Ayo sekarang beres-beresin mainannya, kita segera kembali ke tempat nenek lagi."
Zaki pun langsung mematuhi perintah ayahnya. Sementara Usman mencoba merayu Dewi agar bisa ikut serta dengannya.
"Maafkan Mas, Wi. Selama ini mas belum mampu menjadi suami yang baik. Namun menjelang bulan baik ini Mas berjanji akan memperbaiki semuanya. Tolong berikan kesempatan lagi. Jika nanti memang Mas tidak mampu, Mas akan menuruti semua kemauan Dewi," ujar Usman pelan dengan nada penyesalan.
Melihat ketulusan yang ditunjukkan oleh Usman, Dewi pun tidak membantah. Lagi pula ia tidak mau melihat Zaki kecewa. Segera dibereskannya pakaian untuk kembali ke rumah mertuanya.
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Setelah dua malam merenda kembali benang-benang rumah tangganya, Usman membuktikan janjinya. Ia tidak lagi keluar malam serta dari pagi hingga petang Usman pun mencoba mencari nafkah dengan cara berdagang ponsel di kawasan Beringin Janggut dengan bantuan modal dari kakak iparnya. Hanya saja Dewi masih belum membuka hatinya dengan ikhlas atas perubahan itu.
Sore kedua setelah kebersamaan, Usman dengan baju koko putih usai shalat Ashar mengajak Zaki berjalan sore dengan motornya sembari membeli tekwan, makanan kegemaran Zaki di kawasan Pasar 7 Ulu.
Pulang dari jalan-jalan, Zaki terlihat benar-benar bahagia. Dengan pedang mainan yang dibelikan Usman, Zaki dengan bangga memamerkan mainan barunya kepada nenek dan kakeknya yang bersiap ke masjid untuk shalat Maghrib.
Usai shalat Maghrib, Usman duduk di meja makan mengajak Zaki menikmati tekwan yang telah mereka beli. Baru satu suap menelan makanan khas Palembang itu, tiba-tiba Usman merasakan dadanya sesak dan kemudian tersungkur ke lantai. Zaki langsung menjerit memanggil ibunya tatkala melihat ayahnya sudah terkapar di lantai.
Dewi yang tengah menyiapkan makan malam langsung memeluk Usman yang sudah tidak bergerak. Beberapa kali dipanggilnya Usman, tetap tidak ada respons, namun detak jantung Usman masih terdengar. Segera saja Dewi menyetop becak depan rumahnya menuju rumah sakit yang berjarak sekitar 1 km dari rumahnya. Sedangkan Zaki dititipkan Dewi ke tetangga depan rumahnya yang memang telah menganggap Zaki seperti anak mereka sendiri.
Sesampai di rumah sakit, Usman langsung dibawa ke UGD. Melihat tidak ada respons, dokter langsung memasang oksigen serta infus di tangannya. Sekitar 3 menit melakukan tindakan, dokter meminta Dewi menebus obat ke apotik rumah sakit yang jaraknya 500 m dari UGD. Karena memang tidak ada yang menemani segera saja Dewi menebus obatnya.
Betapa terkejutnya Dewi, ketika kembali ke UGD ia tdak bisa lagi bertemu suami. Dokter mengatakan Usman terkena serangan jantung yang menyebabkan dia meninggal.
Seumur hidupnya, perjalanan di ambulance dari rumah sakit ke rumah mertuanya merupakan perjalanan paling jauh. Dewi tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Ia ingin menangis, tapi air mata seolah tak ingin menjadi saksi kesedihan Dewi.
Begitu jasad Usman diturunkan, ibu dan ayah Usman angsung menghabur menangisi kepergian anaknya. Mereka benar-benar tidak percaya bahwa sebelum mereka ke masjid sore tadi adalah saat terakhir kebersamaan bersama puteranya.
Kesedihan begitu terasa pada malam itu. Namun Dewi tak mampu merasakannya. Kesedihan itu tertutup penyesalan mendalam sehingga air mata pun tak mampu a titikkan. Sehingga setiap pelayat yang datang kagum dengan ketegaran Dewi menghadapi musibah yang menimpanya.
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Angin musim kemarau berhembus pelan di area pemakaman Kebun Bunga. Banyak pelayat yang mendatangi makam-makam keluarga mereka menjelang Ramadhan. Demikian juga dengan Dewi. Di atas gundukan tanah merah yang masih baru, Dewi bersimpuh di sebelah makam Usman.
"Tuhan mendengarkan doaku Mas. Tuhan mengabukan doaku Mas," lirih Dewi perlahan.
"Tuhan benar-benar mengijabah doaku Mas. Kita akhirnya bercerai. Tapi bukan dengan cara seperti ini yang aku inginkan Mas. Aku belum siap kehilanganmu Mas. Aku belum sempat meminta maafmu. Bahkan kau tidak izinkan aku menemai saat detik-detk kepergianmu Mas. Mengapa Mas. Aku tidak mau bercerai denganmu Mas," tangis Dewi pun pecah. Tangisan yang diselimuti penyesalan mendalam pecah di kala senja menjelang.
Rona merah di ufuk barat membuat para pelayat berangsur meninggalkan pemakaman. Sedangkan Dewi dengan penyesalan seolah enggan beranjak. Ditemani sekuntum kamboja yang gugur di atas makam Usman di awal malam Ramadhan. (*)
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih kunjungannya sahabatku. saya harap sudilah kiranya rekan dan sahabat meninggalkan sepatah atau dua patah kata di kolom komentar ini.
Harap berkomentar dengan sopan, dan juga mohon tidak promo. tidak mencantumkan kode-kode togel atau isi komentar yang berbau togel. jika melanggar dengan terpaksa komentar saya hapus...!! terima kasih